Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Senin, 31 Januari 2011

KISAH PERJUMPAAN IMAM IBNUL MUBARAK DENGAN SEORANG YANG MEMILIKI RAHASIA

Hits:

oleh Abu Fahd NegaraTauhid pada 31 Januari 2011 jam 15:34

Abdullah ibn al Mubarak menuturkan, "Aku berada di Mekkah ketika orang2 ditimpa paceklik dan kemarau panjang. Mereka pun keluar ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat istisqa'. Akan tetapi, hujan tidak segera turun. Disampingku ada seseorang laki2 berkulit hitam yang kurus. Kudengar dia berdoa, 'Ya Allah, sesungguhnya mereka sudah berdoa kepada-Mu, namun Engkau tidak memenuhinya. Sesungguhnya aku bersumpah kepada-Mu agar Engkau menurunkan hujan kepada mereka.' Demi Allah, tak berapa lama kemudian turun hujan kepada kami."

"Orang itu beranjak pergi," lanjut Ibnul Mubarak. "Aku mengikutinya hingga dia masuk sebuah rumah milik seorang penjahit. Keesokan paginya, aku mendatangi rumah itu sambil membawa beberapa dinar. Di depan rumah ada seorang laki2. Aku berkata kepadanya, 'Aku ingin bertemu pemilik rumah ini.'

'Akulah orang yang engkau maksudkan,' jawabnya.

Aku berkata, 'Aku ingin membeli seorang budak darimu.'

'Aku mempunyai empat belas orang budak. Aku akan mengeluarkan mereka semua agar engkau dapat melihat mereka,' katanya.

Pemilik rumah itu pun mengeluarkan keempat belas budaknya. Namun, tak seorang pun diantara mereka yang aku inginkan. Aku bertanya, 'Apakah masih ada yang lain?'

Dia menjawab, 'Aku mempunyai seorang budak lagi yang kini sedang sakit.' Dia lalu mengeluarkan budak yang dimaksud, seorang budak kulit hitam.

'Juallah budak ini kepadaku,' pintaku.

'Dia menjadi milikmu, wahai Abu Abdirrahman,' katanya.

Aku lantas menyerahkan empat belas dinar kepadanya dan membawa budak itu. Di tengah perjalanan, dia bertanya kepadaku, 'Wahai tuanku, apa yang akan engkau perbuat kepadaku sementara aku sedang sakit?'

Aku menjawab, 'Aku mengetahui apa yang engkau lakukan kemarin sore.'

Budak itu bersandar ke dinding sambil berkata, 'Ya Allah, kalau Engkau membuatku terkenal, maka cabutlah nyawaku.'

Seketika itu juga, budak itu jatuh dan meninggal dunia. Penduduk Mekkah mengiringi jenazahnya."

(Shifatush Shafwah, jilid 2, hal. 177)

Ada versi lain dari kejadian ini. Setelah Ibnul Mubarak membelinya, budak itu berkata, "Sesungguhnya aku sakit dan tidak dapat melakukan apa-apa."

Ibnul Mubarak menyahut, "Allah tidak memberiku pilihan untuk mempekerjakanmu. Namun, aku membelimu karena aku sudah menyediakan rumah khusus bagimu dan aku juga akan menikahkanmu, bahkan aku sendiri yang akan membiayaimu."

Budak itu menangis. Ibnul Mubarak pun bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?"

Budak menjawab, "Engkau tidak berbuat seperti ini melainkan karena engkau telah melihat hubunganku dengan Allah. Jika tidak, mengapa engkau justru memilih diriku di antara para budak itu?"

"Engkau tidak perlu bicara seperti itu," tukas Ibnul Mubarak.

"Aku memohon kepadamu, Demi Allah, mengapa engkau memilih diriku?" tanya budak.

"Karena doamu yang dikabulkan," jawab Ibnul Mubarak.

"Aku yakin, Insya Allah, engkau adalah orang yang shalih," kata budak, "Sesungguhnya Allah mempunyai makhluk-makhluk pilihan yang keadaan mereka tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang disukai dan yang diridhai-Nya."

Budak itu lalu berkata lagi, "Bagaimana kalau engkau memberiku kesempatan barang sejenak. Sebab, aku merasa masih ada waktu bagiku untuk mengerjakan beberapa rakaat malam ini?"

Ibnul Mubarak berkata, "Itu ada rumah bagus dekat dari sini."

"Tidak. Aku lebih suka di sini, karena ketetapan Allah sudah tidak dapat ditunda-tunda," sahut budak itu.

Budak itu masuk ke dalam masjid, lalu melaksanakan shalat di sana. Usai shalat, dia bertanya, "Wahai Abu Abdirrahman, apakah engkau punya keperluan denganku?"

"Ada apa?" ibnul Mubarak balik bertanya.

"Aku ingin kembali," jawab budak.

"Kemana?" tanya Ibnul Mubarak lagi.

"Ke akhirat," jawab budak.

"Jangan lakukan itu. Biarkan aku menghiburmu," Ibnul Mubarak memohon.

"Kehidupan ini menjadi menyenangkan ketika aku menjalin hubungan dengan Allah. Jika engkau dapat melihatnya, maka orang lain akan melihatnya pula, sehingga aku pun tidak membutuhkannya lagi," kata budak. Setelah itu, dia bersujud sambil berdoa, "Ya Allah, cabutlah nyawaku sekarang juga."

Ibnul Mubarak mendekat. Namun, pada saat yang bersamaan, budak itu juga meninggal dunia. Demi Allah, Ibnul Mubarak tidak mengingat budak itu kecuali hanya akan membuatnya bersedih, dan menjadika dunia terlihat kecil di matanya.

(Shifatush Shafwah, jilid 2 hal. 178. Al Akhfiya, Walid bin Sa'id Bahakam)