Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Ilmu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 November 2011

Kitab-Kitab Penuntut Ilmu

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin


Pertama: Kitab-Kitab Aqidah
1.  Kitab Tsalaatsatul Ushuul (Tiga Landasan Utama)
2.  Kitab al-Qawaa'idul Arba' (Empat Kaidah)
3.  Kitab Kasyfusy Syubuhaat (Membongkar Syubhat)
4.  Kitab at-Tauhiid
Keempat kitab tersebut adalah karya Syaikhul Islam Imam Muhammad bin 'Abdil Wahhab Rahimahullah

5.  Kitab al-'Aqiidah al-Waasithiyyah yang mencakup tauhid Asma' wa Shifat. Inilah kitab terbaik yang dikarang dalam bab ini dan amat penting untuk dibaca dan dipelajari (berulang-ulang)
6.  Kitab al-Hamawiyyah
7.  Kitab at-Tadmuriyyah
Keduanya merupakan risalah yang lebih luas daripada al-'Aqidah Wasithiyyah
Ketiga kitab tersebut adalah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah

8.  Kitab al-'Aqidah Thahaawiyyah, karya Syaikh Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi
9.  Kitab Syarah al-'Aqidah Thahaawiyyah, karya Abul Hasan 'Ali bin Abil 'Izz
10. Kitab ad-Durarus Saniyyah fil Ajwibah an-Najdiyyah, disusun oleh Syaikh 'Abdurrahman bin Qasim Rahimahullah
11. Kitab ad-Durratul Mudhiyyah fii 'Aqiidatil Firqah al-Mardhiyyah, karya Muhammad bin Ahmad as-Safarini al-Hanbali. Di dalamnya terdapat beberapa point yang menyimpang dari madzhab Salaf. Seperti ucapannya (artinya):
Rabb kami bukanlah mutiara ataupun materi
Tidak pula berjisim, Rabb kita yang Tinggi dalam ketinggian-Nya
Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus mempelajarinya melalui seorang syaikh yang memahami 'aqidah Salafiyyah dengan benar agar dia menjelaskan point-point yang menyimpang dari 'aqidah Salafush Shalih yang ada di dalamnya.

Kedua: Kitab-Kitab Hadist
1. Kitab Fat-hul Baari Syarh Shahiih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-'Asqalani Rahimahullah
2. Kitab Subulus Salaam Syarh Bulughul Maraam, karya ash-Shan'ani dan kitabnya ini memadukan antara hadist dan fiqih.
3. Kitab Nailul Authar Syarh Muntaqaa al-Akhbaar, karya asy-Syaukani
4. Kitab 'Umdatul Ahkaam, karya al-Maqdisi. Ini adalah kitab yang ringkas dan sebagian besar hadist-hadistnya terdapat dalam dua kitab Shahiih (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) sehingga keshahihannya tidak perlu dibahas
5. Kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah, karya Abu Zakariya an-Nawawi Rahimahullah.
Ini adalah kitab yang baik, karena di dalamnya terkandung adab dan manhaj yang baik serta kaidah-kaidah yang sangat bermanfaat, seperti hadist (artinya):
"Diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat  baginya." (1)
Inilah suatu kaidah yang seandainya engkau menjadikannya sebagai jalan yang engkau tempuh, maka akan cukup bagimu.
Demikian pula kaidah berbicara (seperti) dalam hadist (artinya):
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam." (2)
6. Kitab Bulughul Maraam, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani Rahimahullah. Ini adalah kitab yang bermanfaat karena beliau menyebutkan para perawi dan menerangkan pula orang yang menshahihkan dan mendha'ifkan hadist dan memberi komentar terhadap hadist-hadist itu.
7. Kitab Nukhbatul Fikr, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani Rahimahullah yang dianggap mencakup. Bila seorang penuntut ilmu memahaminya secara sempurna maka hal ini akan membuatnya tidak memerlukan kitab-kitab lain dalam ilmu mushthalah. Ibnu Hajar Rahimahullah mempunyai metode yang baik dalam menyusunnya, yaitu pokok dan terbagi (cabang). Maka seorang penuntut ilmu akan bersemangat jika membacanya karena dibangun berdasarkan hasil pemikiran akal. Dan saya katakan: Amat baik bagi penuntut ilmu untuk menghafalkannya karena merupakan ringkasan yang amat bermanfaat dalam ilmu mushthalah.
8. Kitab yang enam (al-Kutubus Sittah) yaitu Shahiih al-Bukhari, Shahiih Muslim, Sunan an-Nasai, Sunan Abi Dawud, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan at-Tirmidzi. Saya nasihatkan agar para penuntut ilmu banyak membaca kitab-kitab ini karena di dalamnya terkandung dua faedah:
a. Merujuk kepada hal yang pokok
b. Mengulang-ulang nama perawi dalam ingatannya. Jika engkau mengulang-ulang nama-nama perawi, hampir tidak pernah dalam sanad manapun yang tidakn bertemu dengan salah seorang rawi al-Bukhari -umpamanya- maka akan lebih dikenal bahwa dia adalah perawi al-Bukhari, dan dia bisa mengambil faedah dalam ilmu hadist ini.

Ketiga: Kitab-Kitab Fiqih
1. Kitab Aadabul Masyyi ilaash Shalaah, karya Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdil Wahhab Rahimahullah
2. Kitab Zaadul Mustaqni' fii Ikhtishaaril Muqni', karya al-hijawi, dan ini adalah sebaik-baik matan dalam ilmu fiqih dan merupakan kitab yang diberkahi, ringkas dan padat. Guru kami telah mengisyaratkan kepada kami untuk menghafalnya, padahal beliau sudah menghafal matan Daliiluth Thaalib
3. Kitab ar-Raudhul Murabi' Syarh Zaadul Mustaqni', karya Syaikh Mansur al-Bahuti
4. Kitab 'Umdatul Fiqh, karya Ibnu Qudamah Rahimahullah

Keempat: Kitab-Kitab Faraa-idh
1. Matan ar-Rahabiyyah, karya Muhammad al-Burhany
2. Kitab Matan al-Burhaniyyah, karya Muhammad al-Burhany.
Ini adalah kitab yang ringkas, bermanfaat dan mencakup semua masalah faraa-idh. Saya melihat bahwa al-Burhaniyyah lebih baik daripada ar-Rahabiyyah, karena al-Burhaniyyah lebih lengkap daripada ar-Rahabiyyah dari satu sisi dan informasinya lebih lengkap dari sisi yang lain.

Kelima: Kitab-Kitab Tafsir
1. Kitab Tafsiir al-Qur-aan al-'Azhiim, karya Ibnu Katsir Rahimahullah.
Ini adalah kitab yang bagus dalam masalah tafsir dengan atsar (riwayat), bermanfaat dan aman, tetapi kandungan i'rab dan balaghah-nya sedikit.
2. Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan, karya Syaikh 'Abdurrahman as-Sa'di Rahimahullah.
Ini adalah kitab yang bagus, mudah dan aman. Saya nasihatkan untuk dibaca.
3. Kitab Muqaddimah Syaikhul Islam fii Tafsiir dan ini adalah muqaddimah yang penting dan bagus (dalam ilmu tafsir).
4. Kitab Adhwaa-ul Bayaan, karya al-'Allamah Muhammad asy-Syinqithi Rahimahullah.
Ini adalah kitab yang memadukan antara hadist, fiqih, tafsir, dan ushul fiqih.

Keenam: Kitab-Kitab Umum dalam Beberapa Disiplin Ilmu
1. Dalam ilmu nahwu, Matan al-Aajuruumiyyah. Ini adalah kitab yang ringkas namun padat.
2. Dalam ilmu nahwu, Alfiyah Ibnu Malik. Ini adalah ringkasan dalam ilmu nahwu.
3. Dalam masalah sirah (sejarah) kitab yang terbaik yang saya lihat adalah Zaadul Ma'aad, karya Ibnul Qayyim Rahimahullah. Kitab ini sangat bermanfa'at yang menerangkan sejarah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam segala aspek (kehidupan), kemudian banyak diterangkan aspek hukumnya.
4. Kitab Raudatul 'Uqalaa', karya Ibnu Hibban al-Busti Rahimahullah.
Meskipun ringkas, kitab ini adalah kitab yang sangat bermanfaat dan banyak menghimpun pelajaran dan kisah-kisah para ulama, para ahli hadist, dan yang lainnya.
5. Kitab Siyar A'laamin Nubalaa', karya adz-Dzahabi.
Kitab ini memiliki manfa'at yang amat banyak dan banyak mengandung pelajaran yang harus dibaca dan dipelajari oleh para penuntut ilmu.

(Disalin dari kitab Panduan Lengkap Menuntut Ilmu, karya Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, penerbit Pustaka Ibnu Katsir)
read more “Kitab-Kitab Penuntut Ilmu”

Jumat, 27 Mei 2011

MEMBERI FATWA TANPA BERDASARKAN ILMU

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian guru ada yang memberi fatwa kepada murid-muridnya mengenai masalah syari'at tanpa berdasarkan ilmu. Bagaimana hukumnya?

Jawaban
Kami tujukan jawaban ini kepada para peminta dan pemberi fatwa. Untuk para peminta fatwa; Tidak boleh meminta fatwa, baik kepada perempuan maupun laki-laki, kecuali yang diduga berkompeten untuk memberi fatwa, yaitu yang dikenal keilmuan-nya, karena ini adalah perkara agama, dan agama itu harus dijaga. Jika seseorang ingin bepergian ke suatu negara, hendaknya tidak menanyakan jalannya kepada sembarang orang, tapi mencari orang yang bisa menunjukkan, yaitu yang mengetahuinya. Demikian juga jalan menuju Allah, yaitu syari'atNya, hendaknya tidak meminta fatwa dalam perkara syari'at kecuali kepada orang yang diketahuinya atau diduganya berkompeten untuk memberikan fatwa.

Kemudian untuk para pemberi fatwa ; Tidak boleh memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

"Artinya : Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap llah apa saja yang tidak kamu ketahu”[Al-A'raf : 33]

Allah menyebutkan perbuatan mempersekutukan Allah pada pembicaraan dalam hal ini yang tidak didasari ilmu. Dalam ayat lain disebutkan,

"Artinya : Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim "[Al-An'am : 144]
.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda

"Artinya : Barangsiapa yang berdusta dengan mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka."[2]

Maka hendaklah orang yang ditanya tidak begitu saja memberikan jawabannya kecuali berdasarkan ilmu, yaitu mengetahui masalahnya, baik itu dari dirinya sendiri, jika ia memang mampu mengkaji dan menimbang dalil-dalilnya, atau dari orang alim yang dipercayainya. Karena ini adalah perkara agama. Pemberi fatwa itu adalah yang memberi tahu tentang agama Allah dan tentang hukum Allah serta syari'at-syari'atNya, maka hendaknya ia sangat berhati-hati.

[Dalilut Thaubah Al-Mu'minah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hat. 38]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] HR. Ad-Darimi dalam AI-Muqaddimah (157).
[2]. HR. AI-Bukhari dalam Al-'Ilm (110), Muslim dalam AI-Muqaddimah (3) dari hadits Abu Hurairah. Diriwayatkan pula selain ini lebih dari seorang sahabat.


Sumber:http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1083
read more “MEMBERI FATWA TANPA BERDASARKAN ILMU”

Kamis, 26 Mei 2011

IJTIHAD DAN PEMBERIAN FATWA

Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah pintu ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum Islam masih terbuka untuk setiap orang, ataukah ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid (yang melakukan ijtihad)? Apakah boleh seseorang memberi fatwa berdasarkan pandangannya tanpa mengetahui dalilnya dengan pasti. Dan apa derajat hadits “Yang paling berani di antara kalian dalam memberi fatwa, berarti ia yang paling berani di antara kalian masuk ke dalam neraka." dan apa maksudnya?

Jawaban:
Pintu ijtihad untuk mengetahui hukum-hukum syari' at masih tetap terbuka bagi yang berkompeten melakukannya, yaitu hendaknya ia mengetahui hujjah-hujjah dalam masalah yang diijtihadkannya yang berupa ayat-ayat dan hadits-hadits, mampu memahami dalil-dalil tersebut dan menggunakannya sebagai dalih perkaranya, mengetahui derajat hadits-hadits yang digunakan sebagai dalilnya, mengetahui ijma' (konsesus para imam kaum muslimin) dalam masalah yang sedang dibahasnya sehingga tidak keluar dari ijma' kaum muslimin dalam masalah tersebut, menguasai bahasa Arab yang memungkinkannya memahami nash-nash sehingga bisa menggunakannya sebagai dalilnya dan mengambil kesimpulan darinya. Hendaknya seseorang tidak mengungkapkan pendapat dalam perkara agama hanya berdasarkan pandangannya belaka, atau memberi fatwa kepada orang lain tanpa berdasarkan ilmu, bahkan seharusnya ia mencari petunjuk dengan dalil-dalil syari'at, lalu dengan pendapat-pendapat para ulama dan pandangan mereka terhadap dalil-dalilnya serta metode mereka dalam menggunakan dalil-dalil tersebut dan dalam mengambil kesimpulan, kemudian barulah berbicara atau memberi fatwa dengan apa yang diyakini dan diridhai untuk dirinya sebagai bagian dari agama.

Adapun hadits.

“Yang paling berani di antara kalian dalam memberi fatwa, berarti ia yang paling berani di antara kalian masuk ke dalam neraka."[1]

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi dalam kitab Sunannya dari Abdullah bin Abi Ja'far Al-Mishri secara mursal. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad serta keluarganya.

[Fatwa Hai'ah Kibaril Ulama, Syaikh Ibnu Baz]


Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1083
read more “IJTIHAD DAN PEMBERIAN FATWA”

Selasa, 26 April 2011

KETIKA BERAMAL TANPA ILMU

Selasa, 19 April 2011 16:11:02 WIB

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro

Sebagai seorang muslim tentu setiap kali mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama dilalui oleh orang-orang yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan orang-orang dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, sedangkan orang dhallin adalah Nashara.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan orang yang beriman menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi kehilangan amal, sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan. Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak memperoleh jalannya, karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya. Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”[2]

Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah sering kita dengar, dan itulah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita mencoba untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini, maka semua sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu yang beterbangan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].

Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً

Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].

Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang sangat panas [3]. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”

KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa Ta'ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? [Ar Ra`ad:19].

Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli dan bisu .

Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al Araf:187].

وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al Maidah:103].

Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan lebih dungu daripada binatang:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. [Al Anfal: 22].

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang dengan segala bentuk dan macamnya. Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari binatang-bintang tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para rasul dari mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.

Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu. Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang diajarkan berburu, berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu,"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah,"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya." [Al Maidah:4] [5]

Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.

Setelah ini semua, ketika seorang muslim mengarahkan pandangannya kepada jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam, maka didapatkan bahwa dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan. Inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman Islam.

Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka, jika dibandingkan shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya bagaikan rahib ... Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan saja ... Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya; mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berazam, jika Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka Beliau akan memeranginya, sebagaimana diperanginya kaum `Ad ...

Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan thariqat Naqsyabandiyyah.

Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid. Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila dibandingakan dengan orang-orang musyrik Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka hanya mengakui tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara aqidah Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka mereka dibaiat dengan empat thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus kali, dan (Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw kepada Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.

Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka, apa yang disebut dengan Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah, melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga dengan kitab Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya ...

Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu mereka dendangkan yaitu, “sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih, akan tetapi yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap hadits ini. Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru dakwah dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid ...dan mereka permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang sedang tenggelam yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya hendak menolong karena tidak bisa berenang sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan kesalahan.

Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka, kemudian junub ketika musim dingin, dan dia bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya. Semoga kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengapa kalian tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu ialah bertanya.”

Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah naungan kelompok mereka?

Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat pembaca, berbeda dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena ajaran tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera bid`ah serta sebagai penyebarnya.

Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.

Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang berhala terbanyak di dunia-, maka penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal mereka.

Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah ini dalam berdakwah?!

Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah moderen yang mempunyai persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:

... Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia mengeluarkan mereka dari tempat-tempat tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah, dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam thariqat tasawuf? Benar ... Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari jahiliyah kepada jahiliyah. “

Dia tidak memindahkan mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya, ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi. Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat diskotik itu, kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang secara jelas nampak ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari thawaf di sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan hukum demokrasi kepada berhukum dengan hukum Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya, tentu dakwah yang dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi sebagaimana kata syair:

إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ

Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan rebana
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka

Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut dan memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat tersebut? [7]

Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai para pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan dan keselamatan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh `Adi bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud , Thayalisi di Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah `Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al Qurthubi, Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104, Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan permasalahan ini dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus Sa`adah. Cobalah untuk menelaahnya. Sungguh untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan kaki yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal. 1/48-126, Darul Fikri, Beirut.
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …, Syaikh Hamud Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh, Cet. II/ 1997.
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah As Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar Dakwah Salafiah).

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3043/slash/0
read more “KETIKA BERAMAL TANPA ILMU”

Minggu, 24 April 2011

Penghalang-Penghalang dalam Menuntut Ilmu

Oleh: Panji Islami Al-Atsary 24 April jam 8:37
Ilmu adalah cahaya yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Tidak diragukan lagi kedudukan orang yang berilmu disisi Allah adalah lebih tinggi beberapa derajat. Hanya orang-orang yang berilmu & berakal lah manusia dapat memahami kebesaran Allah melalui penciptaan alam semesta beserta segala isinya.

Demikian mulia kedudukan orang yang berilmu sehingga Rasulullah meriwayatkan dalam sebuah hadist :

“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu maka Allah mudahkan jalannya menuju syurga. Sesungguhnya malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan di atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar, tidak juga dirham, Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yangmengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telahmendapatkan bagian yang paling banyak.1

Siapa sich orang yang ga mau di doakan oleh malaikat dan makhluk-makhluk Allah yang ada di bumi?? Sungguh hal tersebut adalah suatu kemuliaan yang besar.

Seperti kata pepatah “No pain, no gain” (tidak ada yang akan kita dapatkan tanpa pengorbanan), maka untuk mencapai kemuliaan yang bernama ilmu itu pasti ada tantangan yang harus kita hadapi..

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat menghalangi sampainya kemuliaan ilmu kepada seseorang :

1. Niat yang rusak

Niat adalah dasar dan rukun amal. Apabila niat itu rusak maka rusaklah seluruh amalannya. Sebagaimana sabda Rasulullah “Amal itu tergantug niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan…”2)

Imam Malik bin Dinar (wafat th.130 H) rahimahullah mengatakan,”Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah.”

2. Ingin Terkenal dan Ingin Tampil

Coba kita ingat mungkin terkadang saat kita belajar terbersit di hati kita “Supaya jadi rangking 1 atau jadi juara umum dan dikenal orang?? Ya, ingin terkenal dan ingin tampil adalah penyakit kronik. Tidak seorang pun yang bisa selamat darinya kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Hal itu lebih dikeal dengan sebutan riya. Rasulullah sangat mengkhawatirkan adanya penykit ini pada umatnya. Karena seringkali penyakit itu halus hingga muncul tanpa kita sadari, hingga Rasulullah mengibaratkan bahwa penyakit riya itu seperti semut hitam, di batu hitam pada malam yang gelap. Nah lho, bayangin hampir ga keliatan khan?? So, be careful…

Rasulullah bersabda,”….sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah kesyirikan dan syahwat tersembunyi.”3

Mahmud bin Ar-Rabi berkata : “syahwat yang tersembunyi maksudnya adalah seseorang ingin / senang apabila kebaikannya dipuji oleh orang lain. Hendaknya kita behati-hati terhadap penyakit ini, karena Allah memperingatkan dalam sebuah hadist yang diampaikan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi Wassallam :

“Barangsiapa yang menyiarkan amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya. Dan banrangsiapa yang beramal karena riya maka Allah akanmembuka niatnya di hadapan manusia pada hari kiamat.”4 Naudzubillahi mindzalik.

3. Lalai Menghadiri Majelis Ilmu

Jika kita tidak memanfaatkan majelis ilmu yang dibentuk dan pelajaran yang disampaikan, niscaya kita akan gigit jari sepenuh penyesalan. Kalau kebaikan yang ada di majelis ilmu hanya berupa ketenangan dan rahmat Allah yang meliputi mereka, maka dua alasan itu saja seharusnya sudah cukup sebagai pendorong untuk menghadirinya. Apalagi jika seseorang mengetahui bahwa orang yang menghadiri majelis ilmu –insyaAllah- mendapatkan dua keberuntungan, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ganjaran pahala di akhirat??!

4. Beralasan dengan banyaknya kesibukan

Alasan ini sewringkali dijadikan syaitan sebagai alasan menjadi penghalang dalam menuntut ilmu. Coba dihitung, Allah memberikan kita 24 jam, 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk istirahat, masih sisa 8 jam lagi… apa yang selama ini telah kita lakukan untuk memanfaatkan sisa waktu itu???

5. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di waktu kecil.

Allah Ta’ala berfirman : ”Dan beribadahlah kepada Rabb-mu hingga datangnya kematian.” (QS.Al-Hijr : 99)

Karena itu, mari kita semua para remaja, maupun orang tua, laki-laki maupun wanita, kita bertaubat pada Allah Ta’ala atas apa yang telah luput dan berlalu. Sekarang, kita mulai menuntut ilmu, menghadiri majelis ta’lim, belajar dengan benar dan sungguh-sungguh dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya sebelum ajal tiba.

Ketika ditanya pada Imam Ahmad, ”Sampai kapankah seseorang harus menuntut ilmu?” Beliau pun menjawab ”sampai meninggal dunia.”

6. Bosan dalam menuntut ilmu

Diantara penghalang menuntut ilmu adalah merasa bosan dan beralasan dengan berkonsentrasi mengikuti peristiwa yang sedang terjadi. Ilmu yang kita cari seharusnya mendorong kita untuk mengetahui keadaan kita sendiri. Kita tidak akan bisa mengatasi berbagai masalah dan musibah yang menimpa kecuali dengan meletakkannya pada timbangan syariat. Seorang penyair mengatakan : ” Syariat adalah timbangan semua permasalahan dan saksi ata akar masalah dan pokoknya”5

Bosan itu adalah penyakit. Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan ada obatnya. Tidaklah musibah terjadi melainkan ada penyelesaiannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, kita harus melawan rasa bosan yang terkadang timbul saat kita belajar. Belajarlah sampai Anda mendapatkan nikmatnya ilmu.

7. Menilai Baik Diri Sendiri

Maksudnya adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar oranglain memujinya.

Allah TA’ala berfirman : ”Maka janganlah kamu merasa dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm : 32)

8. Tidak Mengamalkan Ilmu

Tidak Mengamalkan Ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya keberkahan ilmu. Allah Ta’ala benar-benar mencela orang yang melakukan ini dalam firmanNya : ”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS.Ash-Shaff : 3)

9. Putus Asa dan Rendah Diri

Allah berfirman : “Dan Allah mengeluarkankamu dari perut ibumu dlam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan danhati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl : 78)

Putus Asa dan Rendah Diri adalah salah satu penghalang ilmu. Semua manusia dicptakan dalam keadaan sama yang tidak mengetahui sesuatupun. Jangan merasa rendah diri dengan lemahnya kemampuan menghapal, lambat membaca atau cepat lupa.

Selain itumenjauhi maksiat adalah sebab paling utama dalammenguatkan hapalan dan memperoleh ilmu.

10. Terbiasa Menunda-Nunda

Yusuf bin Asbath rahimahullah mengatakan : ”Muhammad bin samurah pernah menulis surat kepadaku sebagai berikut : ” Wahai saudaraku janganlah sifat menunda-nunda menguasai jiwamu dan tertanam di hatimu karena ia membuat lesu an merusak hati. Ia memendekkan umur kita, sedangkan ajal segera tiba… Bangkitlah dari tidurmu dan sadarlah dari kelalaianmu! Ingatlah apa yang telah engkau kerjakan, engkau sepelekan, engkau sia-siakan, engkau hasilkan dan apa yang telah engkau lakukan. Sungguh semua itu akan dicatat dan dihisab sehingga seolah-olah engkau terkejut dengannya dan engkau sadar dengan apa yang telah engkau lakukan, atau menyesali apa yang telah engkau sia-siakan.”6

11. Belajar kepada Ahlul Bid’ah

Seorang penuntut ilmu tidak boleh belajar pada ahlul bid’ah karena ahlul bid’ah merasa ridha terhadap sesuatu yang menyelisishi agama Allah, seolah-olah ia mengatakan bahwa Allah Ta’ala belum menyempurnakan agama ini dan Rasulullah belum menyampaikan seluruh risalah.

12. Tergesa-gesa ingin memetik buah ilmu.

Seorang penuntut ilmu tidak boleh tergesa-gesa dalam usahanya memperoleh ilmu, karena belajar adalah proses seumur hidup. Terutama yang berkaitan dalam masalah agama tidak cukup dilakukan dlam waktu satu atau dua tahun belajar.

Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah mengatakan,”Ilmu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan”

Imam Ibnu Madini rahimahullah mengatakan,”Dikatakan kepada Imam As-Sya’bi ’Darimana Anda peroleh semua ilmu ini?’ Beliau menjawab,’Dengan tidak bergantung pada manusia, menjelajahi berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, dan berpagi-pagi mencarinya seperti pagi-paginya burung gagak.”

Disarikan dari : Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas (Pustaka At-Takwa : 1428 H)

sumber: http://jilbab.or.id/archives/16-penghalang-penghalang-dalam-menuntut-ilmu/
read more “Penghalang-Penghalang dalam Menuntut Ilmu”