Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Minggu, 28 Agustus 2011

Zakat fitrah untuk pembantu

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ustadz, saya punya seorang pembantu (PRT). Pertanyaannya: apakah zakat fitrinya menjadi (wajib) tanggungan keluarga kami atau tidak? Demikian, Ustadz. Terima kasih sebelumya. Semoga Allah memudahkan Ustadz dalam segala urusan.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ade Tatang (ade**@***.com)

Jawaban bolehkah tuannya  membayarkan zakat fitrah untuk pembantunya:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jika nafkah pembantu tersebut ditanggung oleh tuannya, misalnya: pembantu rumah tangga, maka wajib bagi tuannya membayarkan zakat fitrah untuk pembantunya.
Jika nafkah pembantu tidak ditanggung tuannya maka tidak ada kewajiban bagi tuannya untuk menunaikan zakat fitrah pembantunya.
Imam Malik mengatakan, “Tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk membayarkan bagi budak milik budaknya, pembantunya, dan budak istrinya, kecuali orang yang membantu dirinya dan harus dia nafkahi maka status zakatnya wajib. (Al-Muwaththa’, 2:334)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
read more “Zakat fitrah untuk pembantu”

Jumat, 26 Agustus 2011

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

Ustadz, Siapa saja orang yang berhak menerima zakat fitrah? Jazakallahu khairan atas jawaban Ustadz.


Jawaban untuk orang yang berhak menerima zakat:


Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi zakat fitri adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.

Bagaimana dengan enam golongan yang lain?

Dalam surat At-Taubah, Allah berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ (التوبة: 60

Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. At-Taubah:60)

Ayat di atas menerangkan tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika kata “zakat” terdapat dalam Alquran secara mutlak, artinya adalah ‘zakat yang wajib’. Oleh sebab itu, ayat ini menjadi dalil yang menguraikan golongan-golongan yang berhak mendapat zakat harta, zakat binatang, zakat tanaman, dan sebagainya.

Meskipun demikian, apakah ayat ini juga berlaku untuk zakat fitri, sehingga delapan orang yang disebutkan dalam ayat di atas berhak untuk mendapatkan zakat fitri? Dalam hal ini, ulama berselisih pendapat.

Pertama, zakat fitri boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah pada surat At-Taubah ayat 60 di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan zakat fitri dengan “zakat”, dan hukumnya wajib untuk ditunaikan. Karena itulah, zakat fitri berstatus sebagaimana zakat-zakat lainnya yang boleh diberikan kepada delapan golongan. An-Nawawi mengatakan, “Pendapat yang terkenal dalam mazhab kami (Syafi’iyah) adalah zakat fitri wajib diberikan kepada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat harta.” (Al-Majmu’)

Kedua, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut, selain kepada fakir dan miskin. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Dalil pendapat kedua:

  1. Perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
  2. Berkaitan dengan hadis ini, Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2:7)
  3. Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan zakat fitri dan membagikannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukupi kebutuhan mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.’” (Hr. Al-Juzajani; dinilai sahih oleh sebagian ulama)
  • Yazid (perawi hadis ini) mengatakan, “Saya menduga (perintah itu) adalah ketika pagi hari di hari raya.”
  • Dalam hadis ini, ditegaskan bahwa fungsi zakat fitri adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin ketika hari raya. Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu kemungkinan tujuan perintah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin di hari raya adalah agar mereka tidak disibukkan dengan memikirkan kebutuhan makanan di hari tersebut, sehingga mereka bisa bergembira bersama kaum muslimin yang lainnya.
Di samping dua alasan di atas, sebagian ulama (Ibnul Qayyim) menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah membayarkan zakat fitri kecuali kepada fakir miskin. Ibnul Qayyim mengatakan, “Bab ‘Zakat Fitri Tidak Boleh Diberikan Selain kepada Fakir Miskin’. Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan orang miskin dengan zakat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikan zakat fitri kepada seluruh delapan golongan, per bagian-bagian. Beliau juga tidak pernah memerintahkan hal itu. Itu juga tidak pula pernah dilakukan oleh seorang pun di antara sahabat, tidak pula orang-orang setelah mereka (tabi’in). Namun, terdapat salah satu pendapat dalam mazhab kami bahwa tidak boleh menunaikan zakat fitri kecuali untuk orang miskin saja. Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mewajibkan pembagian zakat fitri kepada delapan golongan.” (Zadul Ma’ad, 2:20)


Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak menerima zakat adalah fakir miskin saja.

Catatan:

Sebagian orang memberikan zakat fitri untuk pembangunan masjid, rumah sakit Islam, yayasan-yayasan Islam, atau pemuka agama. Apa hukumnya?

  • Jika kita mengambil pendapat bahwa zakat fitri hanya boleh diberikan kepada fakir miskin maka memberikan zakat fitri kepada masjid, yayasan Islam, atau tokoh masyarakat yang bukan orang miskin itu termasuk tindakan memberikan zakat kepada sasaran yang tidak berhak. Sebagian ulama menerangkan bahwa memberikan zakat kepada golongan yang tidak berhak itu dinilai sebagai tindakan durhaka kepada Allah dan kewajibannya belum gugur. Artinya, zakat fitrinya harus diulangi.
  • Jika kita bertoleransi terhadap pendapat yang membolehkan pemberian zakat fitri kepada semua golongan yang delapan maka perlu diketahui bahwasanya masjid, yayasan Islam, atau pemuka agama tidaklah termasuk dalam delapan golongan tersebut. Masjid atau yayasan tidak bisa digolongkan sebagai “fi sabilillah”.
  • Demikian pula terkait pemuka agama. Jika dia orang yang berkecukupan maka dia tidak berhak diberi maupun menerima zakat karena zakat ini adalah hak orang fakir miskin. Jika ada pemuka agama atau tokoh masyarakat yang menerima zakat atau bahkan meminta zakat maka berarti dia telah menyita hak orang lain.
Allahu a’lam.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
read more “Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah”

Kamis, 25 Agustus 2011

Nikah Tanpa Wali: Bolehkah?

Hadits dan Fiqih adalah dua sahabat karib yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling berkaitan erat bagi seorang alim, ibarat dua sayap bagi seekor burung. Dahulu Ali bin Madini pernah mengatakan:
“Mempelajari fiqih hadits adalah separuh ilmu, dan mempelajari rijal (rawi) hadits juga separuh ilmu”.[1]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata:
“Sungguh amat jelek sekali bagi seorang ahli hadits ketika ditanya tentang suatu kejadian, lalu dia tidak mengerti karena kesibukannya dalam mengumpulkan jalur-jalur hadits. Demikian pula sangat jelek bagi seorang faqih ketika ditanya: Apa maksud sabda Nabi ini, lalu dia tidak mengerti tentang keabsahan dan maknanya”. [2]
Oleh karenanya, bagi seorang yang menggeluti ilmu fiqih hendaknya dia melengkapinya dengan ilmu hadits. Imam asy-Syaukani berkata:
Seorang yang ingin menulis kitab fiqih  -sekalipun dia telah mencapai puncak yang tinggi- apabila dia tidak membidangi ilmu hadits dan pembedaan antara yang shahih dan lemah, maka kitab karyanya tidaklah dibangun di atas pondasi, sebab kebanyakan ilmu fiqih itu diambil dari ilmu hadits”. [3]
Sebagaimana juga bagi seorang yang menggeluti ilmu hadits hendaknya dia tidak lupa bahwa buah hadits adalah dengan mempelajari fiqihnya dan mengamalkannya, bukan hanya sekedar dalam jalur-jalur riwayatnya belaka. Ambilah kisah berikut sebagai ibrah!
Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 16/108 menceritakan bahwa Hamzah al-Kinani berkata:
“Saya pernah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan, sayapun merasa sangat gembira sekali, lalu saya bermimpi melihat Yahya bin Ma’in, akupun berkata padanya: Wahai Abu Zakariya! Saya telah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan. Beliau kemudian diam sejenak, lalu berkata: “Saya khawatir hal ini masuk dalam firman Allah:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”. (At-Taktsur: 1)
Maka alangkah indahnya apabila ilmu fiqih dan hadits dipadukan bersama!! Dan alangkah butuhnya kita kepada fiqih yang bersumber dari sunnah nabawiyyah shahihah!!.
  • Kajian berikut merupakan salah satu contoh tentang pentingnya paduan antara ilmu hadits dan fiqih. Kajian yang kami maksud adalah “nikah tanpa wali”, lantaran dalam sebagian madzhab (baca; Madzhab Hanafiyah) dan itu diikuti oleh sebagian saudara kita bahwa semua hadits-hadits yang berkaitan tentangnya adalah tidak shahih dari Nabi[4], sehingga mereka membuat suatu kesimpulan bahwa seorang wanita tidak perlu wali dan saksi dalam pernikahannya[5].
  • Oleh karenanya, sangat penting sekali bagi kita untuk mengkaji akar permasalahan ini sehingga nampak bagi kita cahaya kebenaran dan gelapnya kebatilan[6].
A. TAKHRIJ HADITS[7]
  • Hadits tentang bahasan kita kali ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, diriwayatkan dari banyak sahabat. Al-Hakim berkata dalam Al-Mustadrak 2/168: “Telah shahih riwayat tentangnya dari para isteri Nabi; Aisyah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy”. Lalu katanya: “Dan dalam bab ini terdapat pula riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Mu’adz, Abdullah bin Umar, Abu Dzar, Miqdad, Ibnu Mas’ud, Jabir, Abu Hurairah, Imran bin Hushain, Abdullah bin Amr, Miswar bin Makhramah dan Anas bin Malik”.[8]
  • Al-Ustadz yang mulia, A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawabnya hal. 245-247 telah mencantumkan sebelas hadits fakta pembahasan tetapi beliau mementahkan seluruhnya, sehingga beliau membuat sebuah kesimpulan pada hal. 253: “Pendeknya, sekalian riwayat yang menerangkan “Tidak sah nikah melainkan dengan wali” itu tidak sunyi daripada celaan tentang riwayatnya”. Katanya juga: “Tidak ada satupun yang betul-betul sah riwayatnya”.
  • Demikianlah ucapan beliau -semoga Allah mengampuninya-!! Tentu saja ucapan beliau ini perlu diteliti ulang kembali, sebab menurut penelitian ulama ahli hadits bahwa hadits ini adalah shahih. Oleh karenanya, perkenanlah kami sedikit memaparkan hadits pembahasan beserta sanggahan sesingkat mungkin atas kritikan Al-Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya-.
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah menambahkan ilmu bagimu- bahwa hadits tentang masalah ini telah shahih dari riwayat Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Berikut keterangannya:
I. Hadits Aisyah

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”.
  • SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 2083, Tirmidzi 1102, Ibnu Majah 1879, ad-Darimi 2/137, Ahmad 6/47, 165, Syafi’I 1543, Ibnu Abi Syaibah 4/128, Abdur Razzaq 10472, ath-Thayyalisi 1463, ath-Thahawi 2/4, Ibnu Hibban 1248, ad-Daraquthni 381, Ibnu Jarud 700, al-Hakim 2/168, al-Baihaqi 7/105, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/39 dari beberapa jalur yang banyak sekali dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah dari Nabi.
  • Hadits ini shahih dengan tiada keraguan di dalamnya. Adapun al-Ustadz yang mulia, A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- beliau mengatakan dalam Soal Jawabnya 253: “Keterangan ketiga dianggap lemah oleh sebagian ahli hadits[9], lantaran seorang bernama Zuhri yang meriwayatkan hadits ini, tatkala orang bertanya kepadanya dia menjawab: “Saya tidak meriwayatkan hadits itu”.
  • Beliau mengisyaratkan apa yang terdapat dalam riwayat Ahmad 6/47 usai hadits ini: “Ibnu Juraij berkata: Saya bertemu dengan Zuhri lalu saya bertanya kepadanya tentang hadits ini tetapi dia tidak mengetahuinya. Dan dia memuji Sulaiman bin Musa”.
Kritikan ini sangat mentah sekali, telah dibantah oleh para ulama ahli hadits dari beberapa segi:
1. Kisah ini dilemahkan oleh para ulama seperti Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, Ibnu Adi, Ibnu Abdil Barr, al-Hakim dan lain sebagainya, karena tambahan ini tidak diriwayatkan kecuali dari Ibnu ‘Ulayyah saja. [10]
2. Anggaplah kisah ini shahih, tetap tidak bisa dijadikan sebagai alasan melemahkan hadits ini, sebab lupanya Zuhri tidaklah mengharuskan bahwa Sulaiman bin Musa keliru. Masalah ini telah dikupas oleh Imam Daraquthni dalam kitab Man Haddatsa wa Nasiya (Orang-orang yang menceritakan hadits lalu lupa) dan para ulama lainnya. [11]
  • Al-Hakim berkata: “Telah shahih dengan riwayat para imam bahwa para perawi tersebut mendengar antara sebagian dari sebagian lainnya. Maka riwayat-riwayat ini tidaklah dimentahkan karena cerita Ibnu ‘Ulayyah dan pertanyaan kepada Ibnu Juraij dan ucapannya: Saya bertanya kepad Zuhri, tetapi dia tidak mengetahuinya”. Seorang yang terpercaya dan penghafal hadits terkadang lupa usai menceritakan hadits, sebagaimana tak sedikit ahli hadits tertimpa hal ini”. Ibnu Hibban juga berkata: “Hal ini tidak menjadikan cacat keshahihan hadits ini, karena seorang ahli ilmu yang kuat terkadang meriwayatkan kemudian lupa, sehingga ketika ditanya dia tidak mengetahuinya, jadi lupanya dia tidak menunjukkan batilnys hadits tersebut”. [12]
3. Sulaiman bin Musa tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Juraij, beliau dikuatkan oleh kawan-kawannya yang lain, diantaranya:
a. Hajjaj bin Artah sebagaimana dalam riwayat Ibnu Majah 1/580, Ahmad 6/260, Baihaqi 7/105
b. Ja’far bin Rabi’ah sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud 2084, Ahmad 6/66
c. Ubaidullah bin Abu Ja’far sebagaimana dalam riwayat ath-Thahawi 3/7
d. Ayyub bin Musa al-Qurasyi sebagaimana dalam riwayat Ibnu Adi dalam Al-Kamil 4/1516
4. Para ulama ahli hadits telah menshahihkan hadits ini. Berikut kami nukilkan sebagian komentar mereka:
  • Yahya bin Ma’in berkata: “Hadits Aisyah “Tidak sah pernikahan tanpa wali” tidak shahih hadits yang berkaitan akan hal ini kecuali hadits (dari jalur) Sulaiman bin Musa”.
  • Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla 9/465: “Tidak shahih dalam masalah ini selain sanad ini. Hal ini cukup sebagi dalil tentang saksi dalam pernikahan”.[13]
  • Tirmidzi berkata: “Hadits hasan”.
  • Al-Hakim berkata: “Hadits shahih menurut syarat Bukhari Muslim”.[14]
  • Ibnul Jauzi berkata dalam At-Tahqiq 3/71: “Hadits ini shahih, seluruh rawinya adalah para perawi shahih”.[15]
  • Adz-Dzahabi juga berkata dalam Tanqih Tahqiq 8/270: “Hadits shahih”.
  • Al-Albani menyimpulkan bahwa hadits ini pada asalnya hasan tetapi dapat naik kepada derajat shahih karena adanya beberapa syawahid (penguat) dari jalur lainnya. [16]
  • Demikian pula para ulama lainnya yang mencantumkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka yang khusus memuat hadits shahih seperti Ibnu Hibban, Ibnul Jarud, Abu Awanah dan sebagainya[17].
II. Hadits Abu Musa al-Asy’ari

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

Dari Abu Musa al-Asy’ari berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”.
  • SHAHIH. Diriwayatkan  Abu Dawud 2085, Tirmidzi 1/203, Ibnu Majah 1/580, Darimi 2/137, ath-Thahawi 2/5, Ibnu Abi Syaibah 4/131, Ibnul Jarud 702, Ibnu Hibban 1243, Daraquthni 38, al-Hakim 2/170, Baihaqi 7.107, Ahmad 4/393, 413, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/38 dari jalur Abu Ishaq as-Sabi’I dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asy’ari secara marfu’ (sampai kepada Nabi).
  • Hadits inipun shahih juga. Adapun Ustadz yang mulia A. Hassan, beliau berkata dalam Soal Jawabnya hal. 253: “Keterangan kedua dilemahkan oleh Ibnu Hibban dengan alasan bahwa yang meriwayatkan hadits itu tidak jumpa sendiri dengan Nabi, tetapi dengan perantaraan seorang sahabat yang tidak disebut namanya”.
Kritik ini sangat lemah sekali ditinjau dari beberapa segi:
1. Di kitab apakah hadits ini dilemahkan Ibnu Hibban, sebab setahu kami Ibnu Hibban malah mencantumkan hadits ini dalam kitab Shahihnya dan tidak berkomentar melemahkan hadits ini seperti dinukil oleh Ustadz A. Hassan. Bahkan Ibnu Hibban secara tegas dalam Shahih-nya 9/395 mengatakan bahwa hadits ini shahih secara mursal maupun bersambung dan tidak ada keraguan akan keshahihannya!!.
2. Anggaplah nukilan itu benar, maka alasan seperti di atas sangat tidak tepat sekali, sebab telah mapan dalam disiplin ilmu hadits bahwa semua sahabat adalah adil dan terpercaya, baik disebut namanya maupun tidak, apalagi dalam hadits pembahasan telah nyata disebut nama sahabatnya yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
3. Kritikan yang populer di kalangan ahli hadits adalah hadits ini diperselisihkan tentang bersambung dan tidaknya. Artinya, dalam riwayat dari Israil bin Yunus, Syarik bin Abdillah, Abu Awanah, Zuhair bin Muawiyah dan Qais bin Rabi’ dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi secara bersambung. Tetapi dalam riwayat Syu’bah dan Sufyan Tsauri dari Abu Ishaq dari Abu Burdah langsung dari Nabi tanpa menyebut Abu Musa al-Asy’ari. Namun kritikan inipun telah dijawab oleh para ulama:
  • Imam Tirmidzi berkata: “Riwayat orang-orang yang meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” menurut saya lebih shahih, sebab mereka mendengar dari Abu Ishaq dalam waktu yang berbeda-beda. Sekalipun Syu’bah dan Tsauri lebih kuat hafalannya daripada mereka, tetapi riwayat mereka menurutku lebih shahih karena Syu’bah dan Tsauri mendengar hadits ini dari Abu Ishaq dalam satu waktu. Bukti yang menunjukkan hal ini adalah apa yang diceritakan Mahmud bin Ghailan kepada kami: Menceritakan kami Abu Dawud: Menceritakan kami Syu’bah, dia berkata: Saya mendengar Syafi’I bertanya kepada Abu Ishaq: Apakah engkau mendengar Abu Burdah berkata bahwa Nabi bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali, lalu dia menjawab: Ya.
  • Hadits ini menunjukkan bahwa Syu’bah dan Tsauri mendengar hadits ini dalam satu waktu, sedangkan Israil sangat kuat riwayatnya dari Abu Ishaq. Saya mendengar Muhammad bin al-Matani berkata: Saya mendengar Abdur Rahman bin Mahdi mengatakan: “Tidaklah luput padaku hadits Tsauri dari Abu Ishaq kecuali saya mengandalkan pada Israil karena dia memiliki yang lebih sempurna”.
  • Al-Albani berkomentar dalam Irwaul Ghalil 6/238): “Tidak ragu lagi, ucapan Tirmidzi bahwa riwayat yang lebih shahih adalah riwayat jama’ah dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa secara marfu adalah pendapat yang benar, karena dzahir sanadnya adalah shahih. Oleh karena itulah sejumlah para ulama telah menilai hadits ini shahih, diantaranya adalah Ali bin Madini, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli sebagaimana diceritakan al-Hakim dan beliau juga menshahihkan serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan juga Bukhari sebagaimana diceritakan Ibnu Mulaqqin dalam al-Khulashah 2/143”.[18]
  • Alangkah bagusnya apa yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Kifayah hal. 413 dari Muhammad bin Harun al-Makki, dia berkata: Saya mendengar Bukhari pernah ditanya tentang hadits Israil dari Abi Ishaq dari Abu Burdah dari ayahnya dari Nabi “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”, maka beliau menjawab: “Tambahan dari orang yang terpercaya itu diterima, Israil bin Yunus adalah terpercaya. Sekalipun Syu’bah dan Tsauri memursalkannya (menjatuhkan sahabat Abu Musa al-Asy’ari) namun hal itu tidak membahayakan hadits”.[19]
Demikianlah ucapan Imam Bukhari. Cukuplah kiranya hal itu sebagai hujjah yang kuat. Dengan demikian, seorang yang mengerti ilmu hadits tidak akan meragukan tentang keabsahan hadits ini. Lantas, bagaimana kiranya apabila digabungkan dengan riwayat-riwayat lainnya??!!
Kesimpulan, hadits pembahasan ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, apalagi didukung oleh riwayat-riwayat lainnya yang masih banyak lagi[20].
Saudaraku, sebenarnya hati ini masih berkeinginan untuk memaparkan hadits-hadits lainnya, namun sepertinya kita cukupkan sampai sini dulu karena kita harus berpindah kepada point penting lainnya, yaitu fiqih hadits ini. Wallahul Muwaffiq.
B. FIQIH HADITS[21]
Berangkat dari hadits-hadits di atas, maka mayoritas ulama berpendapat seperti kandungan hadits tersebut.
  • Imam al-Baghawi berkata: “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pandapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’I, Abdullah bin Mubarak, Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq”. [22]
  • Termasuk ulama yang berpendapat seperti itu juga adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua sahabat Abu Hanifah[23]. Bahkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/187 menyebutkan dari Ibnu Mundzir bahwa tidak diketahui dari seorang sahabatpun yang menyelisihi hal itu[24].
  • Kembali kepada hadits pemabhasan, di muka tadi kami menerjemahkan (tidak sah pernikahan seorang kecuali dengan wali). Terjemahan ini dikritik oleh Ustadz. A. Hassan dalam Soal Jawab-nya hal. 254: “Hadits-hadits itu tidak boleh diartikan begitu, karena kalau kita artikan tidak sah nikah dengan tanpa wali niscaya berlawanan dengan beberapa hadits, diantaranya:

الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا

“Wanita janda lebih lebih berhak dengan dirinya daripada walinya”. [25]
Kami jawab dengan tidak mengurangi penghormatan saya dan pengakuan saya terhadap ilmu Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya-:
1. Terlebih dahulu kita harus memahami sebuah kaidah yang populer di kalangan ulama bahwa nafi (peniadaan) itu pada asalnya bermakna tidak ada, kemudian tidak sah, kemudian tidak sempurna. Jadi apabila kita menjumpai dalam Al-Qur’an dan sunnah peniadaan sesuatu, maka pada asalnya bermakna “tidak ada” terlebih dahulu, contohnya:

لاَ خَالِقَ لِلْكَوْنِ إِلاَّ اللهُ

Tidak ada pencipta alam kecuali Allah”
  • Kalau ternyata yang ditiadakan itu wujudnya ada, maka kita artikan “tidak sah”. Contohnya:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْكِتَابِ

Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Al-Fatihah”
  • Di sini tidak mungkin diartikan “tidak ada” karena memang wujud shalat itu ada.
Kalau tidak mungkin diartikan demikian, lantaran suatu ibadah tetap sah tanpa adanya sesuatu tersebut, maka kita artikan tidak sempurna, bukan tidak sah. Contohnya hadits:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman seorang sehingga dia mencintai saudaranya apa yang dia cinta untuk dirinya”.
  • Di sini tidak mungkin diartikan “tidak sah” karena keimanan seorang tetap ada sekalipun dia tidak melakukan hal itu. [26]
  • Berangkat dari kaidah di atas, maka terjemahan hadits pembahasan “La Nikaha Illa bi Wali” yang paling tepat adalah kita terjemahkan “Tidak sah pernikan kecuali dengan wali”.
Kalau ada yang bertanya: Mengapa tidak diartikan “tidak ada” atau “tidak sempurna” saja?!  Kami jawab: Tidak mungkin kita menerjemahkan seperti itu. Adapun terjemahan “tidak ada”, maka sungguh tidak tepat sekali, karena kenyataan di dunia membuktikan bahwa ada sebagian wanita yang menikah tanpa wali.
Sedangkan terjemahan “tidak sempurna” inipun tidak tepat juga, sebab selagi kita bisa mengartikannya dengan “tidak sah” maka kita tidak mengartikannya dengan “tidak sempurna”, karena inilah dzahir lafadz hadits dan urutan yang lebih pertama. Apalagi secara tegas dalam hadits Aisyah dinyatakan “maka nikahnya batil, batil, batil”. Lantas bagaimana kita akan mengatakan sah padahal Nabi mengatakan batil alias tidak sah?!
  • Jadi, kita mengartikannya dengan “tidak sah” sampai ada dalil yang menunjukkan tentang sahnya pernikahan tanpa wali.[27]
2. Adapun dalil yang digunakan oleh Ustadz A. Hassan untuk merubah makna hadits ini, maka hal ini sangat lemah sekali ditinjau dari beberapa segi:
a. Hadits pembahasan kita adalah hadits yang muhkam dan jelas sekali, adapun hadits yang dibawakan oleh Ustadz A. Hassan itu tidak jelas menunjukkan bahwa wanita janda boleh menikah tanpa wali. Maka bagaimana mungkin kita meninggalkan dalil yang jelas karena dalil yang tidak jelas?!
b. Jawaban atas hadits ini ditinjau dari dua segi:
Pertama: Maksud hadits ini bukan berarti wanita janda boleh menikah tanpa wali, tetapi maksudnya adalah bahwa wanita janda itu tidak boleh dinikahkan sehingga dia diajak musyawarah dan dimintai pendapatnya serta dijelaskan perkaranya sejelas mungkin, tidak boleh hanya cukup dengan pendapat dan pandangan wali saja. Hal ini sangat jelas sekali apabila kita mengamati hadits ini secara lebih sempurna:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوْتُهَا

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bersabda: “Wanita janda itu lebih berhak tentang dirinya daripada walinya, dan wanita gadis dimintai izin, dan izinnya adalah diamnya”.
  • Hadits ini selaras dengan hadits-hadits lainnnya seperti:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ, وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Wanita janda tidak dinikahkah sehingga diajak musyawarah, dan anak gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izin”. Mereka bertanya: Wahai rasulullah! Bagaimana izinnya? Dia menjawab: “Diamnya”.
  • Jadi nampak jelaslah bagi kita bahwa pembicaraan hadits ini berkaitan tentang izin dan keridhaan wanita, bukan masalah melangsungkan akad pernikahan.
.
Kedua: Perlu diketahui bahwa lafadz “dia lebih berhak” menunjukkan bahwa kedua-duanya memiliki hak, hanya saja wanita janda lebih berhak daripada walinya karena tidak mungkin bagi wali untuk menikahkannya kecuali setelah ridhanya. Berarti wali itu punya hak yaitu dalam akad dan wanita juga punya hak yaitu izin dan keridhaannya. Dengan demikian dapat kita padukan antara keduanya, yakni si wanita lebih berhak dalam masalah izin dan tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dalam akad.
  • Ibnul Jauzi berkata dalam At-Tahqiq 8/292: “Adapun hadits (Ibnu Abbas), maka Nabi menetapkan bagi si wanita sebuah hak dan menjadikannya lebih berhak daripada wali, karena memang tugas wali hanyalah melangsungkan akad pernikahan dan tidak boleh baginya untuk menikahkan kecuali dengan izin si wanita”. [28]
c. Rawi hadits tersebut adalah sahabat Abdullah bin Abbas, sedangkan pendapat beliau adalah mengatakan tidak sah pernikahan kecuali dengan wali[29].
Dan kita tahu semua sebuah kaidah “perawi itu lebih mengerti tentang maksud riwayat yang dia bawakan”.
C. NASEHAT DAN SERUAN
  • Syaikh Ahmad Syakir berkata: “Tidak diragukan lagi oleh seorangpun yang menggeluti ilmu hadits bahwa hadits “Tidak sah pernikahan tanpa wali” adalah hadits yang shahih dengan sanad-sanad yang hampir mencapai derajat mutawatir ma’nawi yang pasti maknanya. Hal itu merupakan pendapat mayoritas ulama dan didukung oleh fiqih Al Qur’an, tidak ada yang menyelisihi hal ini –sepengatahuan saya- kecuali para ahli fiqih Hanafiyyah dan yang mengekor kepada mereka. Bagi ulama pendahulu, mereka masih memiliki udzur karena ada kemungkinan belum sampai hadits ini kepada mereka, tetapi bagi orang belakangan, mereka telah dibutakan oleh fanatik madzhab sehingga serampangan dalam melemahkan hadits atau memalingkan artinya tanpa alasan yang kuat.
  • Kenyataan yang dapat kita saksikan pada kebanyakan negera muslim yang berpegang pada madzhab Hanafiyyah dalam masalah ini adalah kerusakan akhlak dan kehormatan, sehingga menjadikan pernikahan kebanyakan para wanita yang menikah tanpa wali adalah bathil dan merusak nasab.
  • Saya menghimbau kepada para ulama dan tokoh Islam di setiap negeri dan tempat untuk mengkaji ulang tentang masalah krusial ini dan kembali kepada perintah Allah dan rasulNya berupa persyaratan wali dalam nikah sehingga dengan demikian para wanita akan terselamatkan dari mara bahaya yang menghadang mereka”. [30]
D. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kesimpulan pembahasan ini ada dalam dua point berikut:
1. Hadits pembahasan adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya.
2. Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa wali.
  • Akhirnya, demikianlah keterangan singkat tentang pembahasan ini, semoga dapat menghilangkan kesamaran dan membuat terang kebenaran, sehingga harapan kami kepada sebagian saudara kami yang masih berpemahaman salah untuk mengkaji lagi masalah ini dan kembali kepada jalan kebenaran. Alangkah bagusnya ucapan Ustadz A. Hassan  -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawab-nya hal. 262: “Kalau ada keterangan kuat yang dapat merubah pendirian itu, saya tidak akan mundur untuk menerimanya”.
  • Kami menyadari bahwa beliau dalam hal ini telah berusaha semaksimal mungkin mencari titik kebenaran dan kami juga menyadari bahwa beliau dalam hal ini mengikuti pendapat sebagian ulama sebelumnya, tetapi kami juga menyadari bahwa kebenaran adalah di atas segalanya sehingga tidak menutup pintu kritik terhadap pendapatnya, dan tidak ada yang ma’shum dari kesalahan selain Rasulullah.
  • Kita tutup pembahasan ini dengan ucapan Syaikh al-Albani: “Kenapa pendapat yang sesuai dengan hadits shahih ini ditinggalkan hanya karena pendapat salah seorang dari imam kaum muslimin?! Benar, kita menghargai pendapat para imam, tetapi pendapat itu memiliki arti tatkala tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan sunnah. Semua kita membaca dalam kitab-kitab ushul ucapan para ulama:

إِذَا وَرَدَ الأَثَرْ بَطَلَ النَّظَرْ

Apabila ada dalil maka gugurlah pendapat.

إِذَا جَاءَ نَهْرُ اللهْ بَطَلَ نَهْرُ مَعْقِلْ

Apabila ada dalil gugurlah logika.

لاَ اجْتِهَادَ فِيْ مَوْرِدِ النَّصِّ

Tidak ada ijtihad apabila ada nash..
Semua kaidah ini telah diketahui bersama. Lantas kenapa kita tidak menerapkan kaidah-kaidah ini, malah menerapkan pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah?!”. [31]Dahulu juga pernah dikatakan:

فَلَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا                         إِلاَّ خِلاَفٌ لَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ

Tidak semua perselisihan itu dianggap
Kecuali perselisihan yang memiliki kekuatan dalil.[32]
.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
abiubaidah.com

[1] Al-Jami’ li Akhlaq Raw wa Adab Sami’i, al-Khathib al-Baghdadi2/211. [2] Shaidul Khathir hal. 399-400.
[3] Adab Thalab hal. 71.
[4] Lihat Al-Mughni Anil Hifdzi wal Kitab hal. 407 oleh Syaikh Umar bin Badr al-Mushili al-Hanafi dan Bada’I Shana’I’ 2/371 oleh al-Kasani.
[5] Lihat Al-Mabsuth 3/10 as-Sarakhsi.
[6] Bahasan ini juga sekaligus melengkapi makalah yang pernah ditulis oleh akhuna wa ustadzuna Abu Yusuf Ahmad Sabiq “Nikah Sirri Dalam Timbangan Syar’I” yang dimuat dalam Majalah Al Furqon edisi 12/Th. 3
[7] Diramu dari Irwaul Ghalil 6/243/1840 oleh al-Albani dan Junnatul Murtab hal. 407-418 oleh Abu Ishaq al-Huwaini dengan beberapa tambahan.
(Faedah): Al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathi memiliki buku khusus tentang jalur-jalur hadits ini sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhis Habir 3/156. Dan sebagian penulis hadits masa kini, Syaikh Muflih bin Sulaiman ar-Rusyaidi juga memiliki buku khusus tentang hadits ini berjudul “At-Tahqiq Al-Jali li Hadits La Nikaha Illa biwali”, cetakan Muassasah Qurthubah, Mesir.
[8] Lihat perincian takhrij riwayat-riwayat ini dalam risalah “At-Tahqiq al-Jaliy li Hadits Laa Nikaha ‘Illa bi Wali” oleh Syaikh Muflih bin Sulaiman –semoga Allah membalas kebaikan padanya-.
[9] Diantaranya adalah Imam ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 3/8, cet Darul Kutub Ilmiyyah.
[10] Lihat Ilal Hadits 1/408 Ibnu Abi Hatim, al-Kamil Ibnu Adi 3/1115, at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157.
[11] at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157).
[12] Lihat pula Al-Muhalla Ibnu Hazm 9/453 dan at-Tahqiq Ibnul Jauzi 8/273).
[13] Ucapan Imam Yahya bin Ma;in dan Ibnu Hazm di atas tidak sepenuhnya benar, karena penelitian menunjukkan bahwa telah shahih juga dari riwayat sahabat yang lain, hanya saja riwayat Aisyah ini adalah riwayat yang paling shahih.
[14] Sekali-kali tidak, Sulaiman bin Musa bukanlah rawi Imam Bukhari. (Irwaul Ghalil al-Albani 6/246), yang benar sanad hadits ini adalah hasan dan bisa naik kepada shahih karena adanya beberapa penguat lainnya.
[15] Ibnu Abdil Hadi membantah dalam At-Tanqih 3/261 bahwa Sulaiman rawi yang hasan, bukan perawi Bukhari Muslim.
[16] Irwaul Ghalil 6/246).
[17] Lihat pula Bulughul Maram hal. 70 oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, tahqiq Samir az-Zuhairi, cet kedua.
[18] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 9/345 menukil dari al-Marrudzi: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in tentang hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”, lalu keduanya menjawab: Shahih”.  Saya berkata: Dan dishahihkan juga oleh Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitabnya Ikhtilaf Ulama hal. 121, al-Baihaqi, Dhiya’ dan banyak ahli hadits sebagaimana dalam Subulus Salam ash-Shan’ani 6/26, an-Nawawi dalam Syarh Muslim 9/208, bahkan sebagian ulama menilainya mutawatir seperti as-Suyuthi seebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadir 6/437 dan al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 157-158. Wallahu A’lam.
[19] Al-Hafizh adz-Dzahabi juga berkata dalam Siyar Nubala’ 7/359: “Saya lebih condong mendahulukan Israil pada riwayat kakeknya daripada Syu’bah dan Tsauri, sebab Israil adalah kepercayaan kakeknya. Disamping ilmu dan hafalannya yang kuat, beliau juga orang yang khusyu’ dan shalih”. Kemudian saya mendapati keterangan Imam Ibnu Qayyim yang sangat bagus dalam Tadzib Tahdzib 6/74 -Aunul Ma’bud-, beliau menguatkan riwayat Israil ini ditinjau dari lima segi. Walhamdulillah.
[20] Lihat Sunan Kubra al-Baihaqi 7/107, At-Tanqih Ibnul Jauzi 8/270-290, Nasbur Rayah az-Zailai’I 3/341-349, Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/1173-11735, Irwaul Ghalil al-Albani6/235-243, Junnatul Murtab Abu Ishaq al-Huwaini 418-429.
[21] Lihat faedah-faedah hadits ini dalam Ma’alim Sunan al-Khothobi 3/196-197
[22] Syarh Sunnah 9.40-41.
[23] Syarh Ma’ani Atsar ath-Thhawi 3/7.
[24] Adapun hikmah dari syarat wali nikah bagi wanita adalah menjaga kaum wanita karena mereka mudah tertipu oleh kaum lelaki. (Al-Mughni 9/347 Ibnu Qudamah). Diantara hikmahnya juga adalah untuk membendung jalan perzinaan, karena seorang pezina dengan amat mudahnya nanti akan mengatakan kepada wanita: “Nikahilah aku dengan sepuluh dirham” dan saksinya adalah kedua temannya!! (I’lam Muwaqqi’in Ibnu Qayyim 5/59).
[25] HR. Muslim 1421
[26] Syarh Mumti’ 1/158-159 oleh Ibnu Utsaimin).
[27] Lihat I’lam Muwaqqi’in Ibnu Qayyim 6/175, Faidhul Qadir al-Munawi 6/4371, Subulus Salam ash-Shan’ani6/27, Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin2/70).
[28] Lihat pula Al-Hawi Al-Kabir al-Mawardi11/65, Syarh Shahih Muslim Nawawi 9/208, Subulus Salam ash-Shan’ani 6/37.
[29] Lihat Mu’jam Kabir ath-Thabrani 12483.
[30] Umdah Tafsir 2/123
[31] Ath-Thasfiyah wa Tarbiyah hal. 25.
[32] Ucapan Abul Hasan bin al-Hashshar dalam qashidahnya tentang surat makiyah dan madaniyah di kitabnya An-Nasikh wal Mansukh. Lihat Al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.


Sumber: http://abiubaidah.com/nikah-tanpa-wali-bolehkah.html/
read more “Nikah Tanpa Wali: Bolehkah?”

Rabu, 24 Agustus 2011

Orang Tua Tak Merestui Hubungan Kami

Monday February 8, 2010 02:06

Ustadz, Saya sedang bimbang, karena orang tua tidak menyukai lelaki pilihan saya, dengan alasan secara fisik tidak pantas bersanding dengan saya. Saya diminta putus padahal sudah 7 tahun saya jalani. Perlu diketahui, pasangan saya bertubuh sangat kurus dan berkulit hitam, namun dia sudah bekerja dan beragama muslim. Apa yg harus saya lakukan ustad?
Terima Kasih.
Seorang Muslimah
Alamat: Surabaya
Email: aldya_xxxxx@yahoo.com
Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc. menjawab:
Pertama: Ukhti… Perlu kita ingat kembali bahwa hukum wanita menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan mahrom (pacaran) adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Dan janganlah kalian mendekati zina, karena ia merupakan suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk“. (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini melarang dan mengharamkan kita untuk mendekati zina, apapun bentuknya. Dan diantara bentuk perbuatan mendekati zina adalah pacaran.
Ingat pula sabda Nabi -Shallallahu’alaihi Wasallam-:
?? ???? ??? ??? ??? ??? ??? ?? ?????? ???? ??? ?? ?????? ???? ????? ?????? ???? ?????? ??????? ?????? ???? ??????? ?????? ?????? ??? ??? ???????? (???? ??????? 6243, ????? 2657)
Sesungguhnya Alloh mentakdirkan untuk anak adam, bagian zina yang ia pasti akan melakukannya. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah dengan bertutur kata, dan hatinya berangan-angan dan menyenangi sesuatu. Sedang kemaluannya, bisa jadi ia menuruti semua itu, dan bisa juga ia tidak menurutinya”. (HR. Bukhari no.6243, Muslim no.2657)
??? ???? ?? ??? ????? ????? ?? ???? ??? ?? ?? ?? ??? ????? ?? ??? ?? (???? ???????? ????? ???????? ?? ??????? 226)
Andai saja kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan penusuk dari besi, itu lebih baik bagi dia, daripada memegang wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Thabarani, dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits no: 226)
Dan Islam tidak melarang sesuatu, kecuali karena adanya banyak mafsadah di dalamnya, atau mafsadah-nya lebih besar dari pada manfaatnya. Baik mafsadah itu kita rasakan langsung atau tidak.
Oleh karena itu, mohonlah ampun kepada Alloh dan bertaubatlah, karena Rasul -Shallallahu’alaihi Wasallam- juga bersabda:
?? ??? ??? ????? ???? ???????? ???????? (???? ??????? 2499, ????? ????????)
Setiap anak adam itu banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya itu mereka yang banyak taubatnya”. (HR. Tirmidzi: 2499, dan di-hasan-kan oleh Al Albani)
Kedua: Jangan kita lupakan pula, bahwa kita terlahir di dunia, -dari bayi yang tidak tahu apa-apa, hingga dewasa sehingga kaya ilmu-, adalah atas jasa orang tua kita. Oleh karena itulah Islam sangat menekankan masalah berbakti kepada orang tua, membahagiakan mereka, dan tidak durhaka pada mereka. Bahkan Nabi -Shallallahu’Alaihi Wasallam- bersabda:
??? ???? ?? ??? ???????? ???? ???? ?? ??? ????????
Keridhaan Allah itu terletak pada keridhaan kedua orang tua, dan (sebaliknya) kemurkaaan Allah (juga) terletak pada kemurkaan kedua orang tua“.
Apalagi, kita juga nantinya akan menjadi orang tua bagi anak-anak kita, bukankah ketika itu, kita juga ingin agar anak kita berbakti pada kita, membahagiakan kita, dan tidak mendurhakai kita?! Jika kita nantinya ingin seperti ini, maka hendaklah sekarang kita melakukannya untuk orang tua kita, karena balasan sesuatu itu sesuai dengan amalan yang kita lakukan. (fal jaza’u min jinsil amal)
Ketiga: Islam sangatlah menghormati wanita, dan melindunginya dari segala sesuatu yang merugikan dan membahayakannya. Oleh karena itulah, ia tidak boleh menikah kecuali dengan izin dari walinya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu’alaihi Wasallam-:
???? ????? ???? ???? ??? ????? ??????? ????
Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (tidak sah)”
Dan jika bapak anti masih ada, beliaulah yang harus menjadi wali. Maka bagaimana anti akan menikah dengan sah, jika bapak anti tidak mengizinkannya?!
Keempat: Keputusan menikah adalah keputusan yang sangat besar dalam perjalanan hidup anti, dan konsekuensinya akan anti rasakan seumur hidup. Oleh karena itu, hendaklah ekstra hati-hati dalam menghadapi masalah ini. Bertukar pendapatlah dengan orang yang paling berhak dijadikan rujukan, yakni orang tua kita. Biasanya mereka lebih jernih dalam melihat keadaan dari pada kita, karena mereka lebih pengalaman dalam mengarungi kehidupan, dan lebih matang pikirannya. Tentunya keputusan yang diambil dari kesepakatan antara kita dengan mereka, itu lebih baik dan lebih matang dari pada keputusan dari satu pihak saja.
Ditambah lagi, jika kita menjalani suatu keputusan atas restu dari orang tua, tentunya mereka akan selalu mendoakan kebaikan bagi kita, dan tidak diragukan lagi, doa mereka akan sangat mustajab dan menjadikan hidup kita penuh berkah, tentram, dan bahagia dunia akhirat.
Kelima: Cobalah membayangkan jika anti berada di posisi orang tua, mungkin anti juga akan mengambil langkah yang sama. Karena seringkali orang tua lebih menghargai anaknya, dari pada kita sendiri. Oleh karena itu, mungkin orang tua merasa tidak pantas anaknya mendapatkan orang yang kurang memenuhi standar dalam pandangannya. Disinilah pentingnya komunikasi, tukar pendapat, dan saling memberi informasi.
Keenam: Ingat pula sabda Nabi -Shallallahu alaihi Wasallam- tentang pentingnya agama calon kita, tentunya orang yang agamanya kuat, lebih kita dahulukan dari pada orang yang agamanya lemah, karena orang yang agamanya kuat, akan lebih mengetahui hak dan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.
Ketujuh: mungkin solusi berikut bisa menjadi pertimbangan anti:
  • Adakan komunikasi yang lebih baik dan lebih terbuka dengan orang tua.
  • Jelaskan alasan yang mendasari langkah anti, dan kelebihan yang ada pada pilihan anti.
  • Jelaskan kerugian yang timbul, jika anti meninggalkan pilihan anti.
  • Jika satu kesempatan tidak cukup, teruslah komunikasi dalam kesempatan-kesempatan lainnya.
  • Mungkin orang tua ada pandangan lain, cobalah untuk menjajakinya
  • Jangan lupa untuk selalu berdoa kepada Alloh, terutama ketika sujud dalam sholat, dan ketika sepertiga malam terakhir, agar dimudahkan urusan anti, dan diberikan solusi terbaik.
  • Jangan lupa juga untuk sholat istikhoroh, dan memohon petunjuk Alloh, apakah calon anti itu baik bagi masa depan anti di dunia dan akhirat, atau tidak?… Karena hanya Dia-lah yang maha mengetahui apa yang tersembunyi dari hambanya… Petunjuk dari sholat istikhoroh, tidak harus berupa mimpi, tapi bisa juga dengan perasaan hati, atau yang lainnya.
Pesan terakhir, ingatlah selalu dan jangan sampai lupa, bahwa langkah untuk menikah adalah langkah besar dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, jangan sampai kita melangkah, kecuali semuanya sudah clear, serta orang tua setuju dan merestui langkah besar ini…
Sekian… Mohon ma’af bila ada kata yang kurang berkenan… Semoga anti bisa tabah dan sabar dalam menghadapi masalah ini… Dan diberikan taufiq oleh Alloh untuk meraih yang terbaik bagi anti, di dunia ini hingga di akhirat nanti… amin.
Dari hamba yang sangat membutuhkan maghfiroh dari-Nya, Musyaffa’ ad-Dariny

Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
read more “Orang Tua Tak Merestui Hubungan Kami”

Senin, 22 Agustus 2011

Bagaimana doa zakat fitrah (zakat fitri)

Adakah doa zakat fitrah pada waktu menjelang idul fitri?

Jawaban:

Tidak ada doa khusus ketika membayar zakat fitri (zakat fitrah).

Lajnah Daimah (Komite Tetap untuk Fatwa dan Penelitian Islam) ditanya, “Apakah ada bacaan khusus ketika membayar zakat fitri? (doa zakat fitrah)”

Mereka menjawab, “Alhamdulillah, kami tidak mengetahui adanya doa tertentu (doa zakat fitrah) yang diucapkan ketika membayar zakat fitri. Wa billahit taufiq.”

Fatwa Lajnah yang tercantum di http://www.islamqa.com/ar/ref/27015

**

Catatan redaksi perihal doa zakat fitrah


Bagi yang ingin berdoa (doa zakat fitrah), memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan amalnya. Misalnya, bisa dengan membaca doa,

اللّهُمَّ تَقَبَّل مِنِّي إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ العَلِيمُ

Ya Allah, terimalah amal dariku. Sesungguhnya, Engkau Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

Hanya saja, doa ini berlaku untuk semua bentuk ibadah, tidak hanya pada zakat (doa zakat fitrah)

Allahu a’lam.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kesimpulan: Tidak penjelasan masalah doa zakat fitrah secara khusus
read more “Bagaimana doa zakat fitrah (zakat fitri)”

Minggu, 14 Agustus 2011

ASI Di Gelas, Apakah Menjadikan Anak Yang Meminumnya Anak Susuan?

Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz, ana mau tanya : Kalo ASI yang disimpan di gelas, lalu diberikan/diminumkan kepada seorang anak di bawah 2 tahun, sebanyak lima kali atau lebih dan sampai kenyang, apakah memenuhi syarat menjadi saudara sepersusuan? Jazakallahu khairan. Baarakallaahu fikum. Wassalamu'alaikum. (Abu Mujahid)
Jawab: Wa'alaikumsalaamwarahmatullaahi wabarakaatuhu. Wa fiikum barakallaahu.
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah, wa ba'du.
Jumhur ulama mengatakan bahwa semua cara menyusui menjadikan anak tersebut anak susuan, apabila terpenuhi semua syarat-syarat (anak di bawah 2 tahun, lima kali atau lebih menyusu), mereka tidak membedakan apakah anak tersebut menyusu langsung, atau tidak langsung (dari gelas misalnya). (Lihat Badai'ush Shanai' 4/9, Al-Mudawwanah 2/299, Al-Umm 6/76, Al-Majmu' 18/220, dan Al-Mughny 11/313)
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لا رضاع إلا ما شد العظم وأنبت اللحم
"Tidak termasuk menyusui kecuali susu yang membentuk tulang dan menumbuhkan daging" (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Segi pendalilannya bahwa ASI yang diminum dengan memakai gelas juga bisa membentuk tulang dan menumbuhkan daging, dengan demikian hukumnya sama dengan ASI yang diminum langsung dari payudara ibunya.
Demikian pula kisah Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) radhiyallahu 'anhaa ketika Salim bin Ma'qil (bekas budak Sahlah yang diambil anak oleh Abu Hudzaifah) sudah dewasa dan sering masuk ke rumah mereka, kemudian mereka merasa tidak enak dengan keberadaan Salim, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Sahlah untuk menyusui Salim supaya menjadi anak susuannya (dan ini adalah kekhususan Sahlah ketika menyusui Salim) seraya bersabda
أرضعيه تحرمي عليه
"Susuilah dia maka dia menjadi haram atasmu (menjadi mahram)" (HR. Muslim)
Hadist ini menunjukkan bahwa Salim radhiyallahu 'anhu tidak langsung menyusu dari Sahlah karena saat itu dia bukan mahram Sahlah, ini menunjukkan bahwa meminum ASI secara tidak langsung hukumnya sama dengan meminum langsung.
Berkata Al-Qadhy 'Iyadh rahimahullah:
ولعله هكذا كان رضاع سالم، يصبه في حلقه دون مسه ببعض أعضائه ثدي امرأة أجنبية
"Mungkin demikian yang terjadi ketika menyusui Salim, susu sampai ke tenggorokannya tanpa menyentuh payudara wanita asing dengan sebagian anggota badannya " (Ikmaalul Mu'lim 4/641)
Berkata An-Nawawy rahimahullahu:
وهذا الذي قاله القاضي حسن
"Dan apa yang dikatakan Al-Qadhy ini baik" (Syarh Shahih Muslim 10/31).
Wallahu a'lam.


Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2010/05/asi-di-gelas-apakah-menjadikan-anak.html
read more “ASI Di Gelas, Apakah Menjadikan Anak Yang Meminumnya Anak Susuan?”

Rabu, 10 Agustus 2011

Hukum Nyogok untuk Dapat Kerja

hukum_menyogok_uang_untuk_mendapat_kerja_1.jpg

Pertanyaan, “Aku menjumpai adanya tiga pendapat mengenai boleh/tidaknya memberikan sejumlah uang untuk mendapatkan pekerjaan, baik di instansi swasta maupun instansi negeri. Pertama, boleh. Kedua, boleh dengan syarat memiliki kapabilitas untuk bekerja di bidang tersebut, tidak menyebabkan orang lain tergusur, pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal, dan adanya kebutuhan mendesak atau kondisi darurat untuk bekerja di bidang tersebut. Ketiga, boleh untuk instansi swasta dengan memenuhi syarat-syarat di atas, namun tidak boleh untuk instansi negeri. Manakah pendapat yang paling kuat dari tiga pendapat di atas?”

Jawaban, “Pendapat kedua, yang membolehkan menyerahkan sejumlah uang untuk mendapatkan kerja dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di teks pertanyaan, adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran dan pendapat yang lebih tepat, baik untuk instansi negeri atau pun swasta. Dengan terpenuhinya persyaratan di atas, jelaslah bahwa orang tersebut berhak dan layak untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.
Dengan demikian, uang yang diserahkan adalah uang haram untuk yang mengambilnya namun tidak haram untuk pihak yang memberikan, karena uang tersebut diberikan dalam rangka mendapatkan hak yang dibuktikan dengan kelayakan orang tersebut untuk mendapatkan suatu pekerjaan dan uang sogok ini tidak menyebabkan adanya pihak yang dizalimi. Memberikan sejumlah uang kepada seorang pejabat untuk menghilangkan hak orang lain --dengan didasari kepentingan pihak yang memberikan sejumlah uang-- adalah tindakan yang haram, mengingat firman Allah,
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
'Janganlah kalian memakan harta di antara sesama kalian dengan cara-cara yang tidak benar, dan janganlah kalian bawa urusan harta tersebut kepada penguasa supaya kalian dapat memakan sebagian harta milik orang lain dengan jalan berbuat dosa padahal kalian mengetahuinya.' (Q.s. Al-Baqarah:188)
Inilah alasan adanya hadis-hadis yang melarang memberikan hadiah kepada para pejabat karena hadiah semacam itu hanya akan membuahkan tindakan kezaliman dan pelanggaran terhadap hak orang lain.
Tolong-menolong dalam kezaliman adalah perbuatan yang haram dalam hukum agama, sebagaimana firman Allah,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالعُدْوَانِ
'Dan tolong-menolonglah untuk melakukan kebaikan serta takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong untuk melakukan dosa dan kezaliman.' (Q.s. Al-Maidah:2)."

Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bi54.php
Artikel www.PengusahaMuslim.com
read more “Hukum Nyogok untuk Dapat Kerja”

Hukum Jamsostek

hukum_asuransi_kesehatan_1.jpg 

Pertanyaan, “Apa hukum mengikuti asuransi kesehatan (jamsostek, dan lain-lain)?”

Jawaban, “Asuransi kesehatan itu bagian dari asuransi tijari (asuransi yang berorientasikan keuntungan). Hukum mengikuti asuransi tijari itu ada dua macam.
  1. Jika mengikuti asuransi tersebut karena suka-rela tanpa ada satu pun pihak yang memaksanya maka hukumnya adalah tidak boleh karena transaksi asuransi itu mengandung unsur gharar (gambling) dan taruhan yang terlarang dalam syariat.
  2. Jika keanggotaan asuransi tersebut dipaksakan oleh pemerintah dan tidak mungkin menghindarinya maka kita boleh bergabung dengan asuransi tersebut, namun kita memiliki kewajiban untuk tidak ridha dengannya. Inilah level pengingkaran terhadap kemungkaran yang paling rendah. Kita punya hak dan kita boleh memanfaatkan polis asuransi sebanyak total premi yang pernah kita berikan kepada perusahaan asuransi.
Orang yang benar-benar mengenal Allah tentu saja yakin bahwa bertakwa kepada Allah penyebab dimudahkannya segala urusan, mendapatkan rezeki, dan keluar dari kesempitan penghidupan serta kondisi keuangan yang mengkhawatirkan.
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan untuknya jalan keluar dan Allah akan melimpahkan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Q.s. Ath-Thalaq:2--3)
وقال تعالى: وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Allah berfirman yang artinya, “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan mudahkan segala urusannya.” (Q.s. Ath-Thalaq:4)
Referensi: http://www.ferkous.com/rep/Bi133.php
Artikel www.PengusahaMuslim.com
read more “Hukum Jamsostek”

Selasa, 09 Agustus 2011

TUNTUNAN ZAKAT FITHRI

Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
http://almanhaj.or.id/content/3147/slash/0

Islam adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla
untuk manusia. Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya
bagi umat ini setiap tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua
rukun Islam yang besar. ‘Idul Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul
Fithri mengiringi ibadah puasa Ramadhan.

Karena di dalam melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering
melakukan perkara yang dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan
hikmahNya, Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih
menyempurnakan puasanya. Oleh karena itulah, sangat penting bagi kita
untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Semoga
pembahasan ringkas ini dapat menjadi sumbangan bagi kaum muslimin
dalam menjalankan ibadah ini.

MAKNA ZAKAT FITHRI
Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat
fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah
yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa
Ramadhan.[1]

HIKMAH ZAKAT FITHRI
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah
zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

"Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang
berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan
bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat
(‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa
menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari
shadaqah-shadaqah".[2]

HUKUM ZAKAT FITHRI
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian ulama beranggapan,
kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil yang mereka gunakan
tidak shahih dan sharih (jelas).[3]

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang
kewajiban zakat fithri ini. Beliau t berkata,"Telah bersepakat semua
ahli ilmu yang kami menghafal darinya bahwa shadaqah fithri wajib [4].
Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan bahwa zakat fithri hukumnya
wajib, tidak mansukh.

SIAPA YANG WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI?
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya atau miskin, yang mampu
menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua: (1) Islam dan
(2) Mampu.

Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak,
laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah
diwajibkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua
dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri
itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)" [5].

Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa
Jalla berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya".[al Baqarah/2:286].

Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan
Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi
dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu
malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki
kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ
فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّارِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي
مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ- فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا يُغْنِيهِ -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمَا
الْغِنَى الَّذِي لَا تَنْبَغِي مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ- قَالَ: ((قَدْرُ
مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ
آخَرَ أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ
وَيَوْمٍ-

"Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka
sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan
di tempat yang lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para
sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an
Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan
itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang
mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di
tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari
dan semalam” atau “semalam dan sehari". [HR Abu Dawud, no. 1629.
dishahihkan oleh Syaikh al Albani].[6]

Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran kemampuan itu ialah, memiliki
nishab zakat uang atau senilai dengannya dan lebih dari kebutuhan
tempat tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :

لاَصَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى

"Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan".[7]

Tetapi pendapat ini lemah, karena:
1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada
zakat maal.
2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta,
seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi
ukuran.
3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil, karena kita
berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib mengeluarkan
zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah
dijelaskan. Wallahu a’lam.[8]

BAGAIMANA DENGAN JANIN?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga
wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?

Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al
Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri
atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin,
menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak
kecil”.[9]

Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad
bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang
merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang
tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai
mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut
ibunya”.[10]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Yang
nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fithri
bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah
ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah
empat bulan”.

Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fithri bagi
janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau
mengeluarkan zakat fithri bagi janin [11]. Jika tidak, maka tentang
hal ini tidak ada Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari
Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah
mereka”.[12]

Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan bagi orang tua untuk
membayar zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat bulan dalam
kandungan, wallahu a’lam.

SUAMI MEMBAYAR ZAKAT FITHRI DARI DIRINYA DAN ORANG-ORANG YANG MENJADI
TANGGUNGANNYA
Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang wajib membayar zakat
fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga wajib
membayar zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung
seluruh anggota keluarganya?[13]

Pendapat Pertama.
Suami wajib membayar zakat fithri bagi dirinya dan orang-orang yang
dia tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan dalil,
bahwa suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka dia
juga membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَمَرَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ عَنِ
الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ مِمَّنْ تُمَوِّنُوْنَ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari
anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang
yang kamu tanggung”. [Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no.
835].[14]

Pendapat Kedua.
Sebagian ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Ibnul Mundzir, Ibnu
Hazm, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat, seorang
isteri membayar zakat fithri sendiri, dengan dalil:

1. Hadits Ibnu Umar :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua
dari kalangan umat Islam”. [HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].

Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan kewajiban tiap-tiap
orang pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan “wanita”, sehingga
dia wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah bersuami
ataupun belum bersuami.

Tetapi pendapat ini dibantah : Bahwa disebutkan “wanita”, tidak
berarti dia wajib membayar zakat fithrah bagi dirinya. Karena di dalam
hadits itu, juga disebutkan budak dan anak kecil. Dalam masalah ini
sudah dimaklumi, jika keduanya ditanggung oleh tuannya dan orang
tuanya. Demikian juga para sahabat membayar zakat fithri untuk janin
di dalam perut ibunya. Apalagi sudah ada hadits yang menjelaskan,
bahwa suami membayar zakat fithri bagi orang-orang yang dia tanggung.

2. Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak
ditanggung orang lain. Allah berfirman:

"Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". [al An’aam/6 : 164].

Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri seseorang dan orang-orang
yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban (berdosa) akan
memikul beban (dosa) orang lain.

Tetapi pendapat ini dibantah : Ini seperti seorang suami yang
menanggung nafkah orang-orang yang dia tanggung. Dan setelah hadits
yang memberitakan hal itu sah, maka wajib diterima, tidak boleh
dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau yang lainnya. Dari
keterangan ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih kuat. Wallahu
a’lam.

BENTUKNYA
Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah keumuman makanan pokok di
daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak terbatas pada jenis
makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang
paling benar dari para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Beliau rahimahullah ditanya tentang zakat fithri : “Apakah dikeluarkan
dalam bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis gandum), sya’ir
(sejenis gandum), atau tepung?”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Al-Hamdulillah.
Jika penduduk suatu kota menggunakan salah satu dari jenis ini sebagai
makanan pokok, maka tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat
fithri dari (jenis) makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka
mengeluarkan makanan pokok dari selain itu? Seperti jika makanan pokok
mereka padi dan dukhn (sejenis gandum), apakah mereka wajib
mengeluarkan hinthah (sejenis gandum) atau sya’ir (sejenis gandum),
ataukah cukup bagi mereka (mengeluarkan) padi, dukhn, atau semacamnya?
(Dalam permasalahan ini), telah masyhur dikenal terjadinya
perselisihan, dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad :

Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan
jenis) yang disebutkan di dalam hadits.

Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari
jenis-jenis ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama –seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah
yang lebih benar dari pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal,
dalam semua shadaqah adalah, diwajibkan untuk menolong orang-orang
miskin, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5 ayat 89-".[15]

UKURANNYA
Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah satu sha’ kurma kering, atau
anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok yang
menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا
نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ
طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ

"Dari Abu Sa’id Radhiyalahu 'anhu, dia berkata : “Kami dahulu di zaman
Rasulullah n pada hari fithri mengeluarkan satu sha’ makanan”. Abu
Sa’id berkata,"Makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering, keju,
dan kurma kering.” [HR Bukhari, no. 1510.

Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah [16], apakah satu sha’
seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan pendapat yang benar adalah
yang kedua, yaitu setengah sha'.

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ ثَعْلَبَةَ بْنُ صُعَيْرٍ الْعُذْرِيُّ خَطَبَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ
الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ
بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ

"Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari
sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkhutbah kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’
burr atau qumh (gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu
sha’ kurma kering, atau satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas
setiap satu orang merdeka, budak, anak kecil, dan orang tua "[17].

Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk Madinah zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud
adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat,
maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk
menakar ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat
dengan perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai
masalah ini, sebagai berikut:

1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih Sunnah, 2/83).
2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam, 3/74).
3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus. (Syarhul Mumti’, 6/176).

Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,"Para ulama telah mencoba
dengan gandum yang bagus. Mereka telah melakukan penelitian secara
sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu sha’ mencapai 2 kg 40 gr
gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda
ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan
menambah timbangannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh)
menyedikitkan”. [Syarhul Mumti’, 6/176-177].

Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al ’Utsaimin ini
selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita
-umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan
beras sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.

TIDAK BOLEH DIGANTI DENGAN JENIS LAINNYA
Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam wujud makanan pokok
ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena itu, tidak
boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun
dengan uang!

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan ahli fiqih tidak
membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah
membolehkannya”. [Syarah Muslim].

Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat Abu Hanifah
rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu
lupa” - Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu
telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah
berhenti pada zhahir nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan
dengan makna lainnya”. [al Wajiiz, 230-231].[18]

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Zakat fithri wajib
dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak
menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena,
tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan
walaupun dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [19].

WAKTU MENGELUARKAN
Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:
1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan,
atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat
fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar
zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya
adalah, tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun
Hanafiyah berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar 'Idul
Fithri.[20]

2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat
fithri, yaitu fajar hari 'Id, dengan kesepakatan empat madzhab.[21]

3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi
membayar zakat fithri. Tentang waktu terakhirnya, para ulama
bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id,
dianggap tidak berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadits :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk
menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan
keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa
menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang
diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu
adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609;
Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].

Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat
beberapa pendapat : [22]
- Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : "Boleh maju setahun atau dua tahun".
- Malik rahimahullah berpendapat : "Tidak boleh maju".
- Syafi’iyah berpendapat : "Boleh maju sejak awal bulan Ramadhan".
- Hanabilah : "Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id".

Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan
perbuatan Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma, sedangkan beliau adalah
termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallm . Nafi’ berkata:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ
يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ

"Dan Ibnu 'Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang
menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri".
[HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].

YANG BERHAK MENERIMA
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.
1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur,
dan pendapat Hanabilah.[23]

2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin.
Asy Syaukani rahimahullah berkata,"Adapun tempat pembagian shadaqah
fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam 'Barangsiapa membayarnya sebelum shalat,
maka itu merupakan zakat yang diterima,' dan perkataan Ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan zakat
fithri. Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya
didahulukan orang-orang faqir, karena perintah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut.
Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang lain." [24]

Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq
Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Tempat pembagian shadaqah
fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi,
orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada
bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam 'Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!' Maka
zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir,
kecuali jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau
besarnya kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain
mereka".[26]

3. Hanya orang miskin.
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka,
muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang
mengurusinya, atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan
kepada mujahid (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang)
untuknya, tidak diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada
ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi
karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang
menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat
fithri itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.[27]

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul
Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul 'Azhim bin Badawi dalam
al Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta
Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 105-106].

Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan
alasan-alasan sebagai berikut:

1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang zakat fithri:

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin". [HR Abu Dawud, no.
1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].

2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa),
sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak,
yaitu orang miskin, wallahu a’lam.
3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan golongan
sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri
termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :

"(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan. -at Taubah/9 ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa
ayat ini khusus untuk zakat mal, dilihat dari rangkaian ayat
sebelumnya dan sesudahnya.[28]

Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat
ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan
ini. Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk
delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit.
Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau
musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai
dengan hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.

PANITIA ZAKAT FITHRI?
Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu adanya
orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di
antara keterangan yang menunjukkan hal ini.[30]
1. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah
menjaga zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].
2. Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu biasa memberikan zakat fithri kepada
orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].
Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin.
Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab
mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami
jelaskan di atas.

Demikian sedikit pembahasan seputar zakat fithri. Semoga bermanfaat
untuk kita. Wallahu a'lam.

Maraji’:
1. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan, hlm:
101-107, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al
Halabi al Atsari.
2. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79-85, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim.
3. Ta’liqat Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyah,1/548-555, Imam
Shidiq Hasan Khan, ta’liq: Syaikh al Albani.
4. Al Wajiz fii Fiqhis-Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, halaman 229-231.
5. Minhajul Muslim, 230-232, Syaikh Abu Bakar al Jazairi.
6. Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/169-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi.
7. Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin,
Penerbit Muassasah Aasaam, Cet. I, Th. 1416H/1996M.
8. Majmu’ Fatawa, 25/68-69, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
9. Taisirul Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyyah li Syaikhil
Islam Ibni Taimiyah, halaman 408-414, Syaikh Dr. Ahmad al Muwafi.
10. Minhajus Salikin, 107, Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
11. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79.
[2]. HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al Albani.
[3]. Lihat Fat-hul Bari, 2/214, al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani; Ma’alimus Sunan, 2/214, Imam al Khaththabi; Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, halaman 101, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari.
[4]. Ijma', karya Ibnul Mundzir, halaman 49. Dinukil dari Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80.
[5]. HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984.
[6]. Lihat Ta’liqat Radhiyah, 1/55-554; al Wajiz, 230; Minhajul Muslim, 299.
[7]. HR Bukhari, no. 1426; Ahmad, no. 7116; dan lain-lain. Lafazh ini milik Imam Ahmad.
[8]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80-81.
[9]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 102.
[10]. Taisirul Fiqh, 74, karya beliau]???
[11]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/419; dan 'Abdullah bin Ahmad dalam al Masail, no 644. Bahkan hal ini nampaknya merupakan kebiasaan Salafush-Shalih, sebagaimana dikatakan oleh Abu Qilabah rahimahullah : “Mereka biasa memberikan shadaqah fithri, termasuk memberikan dari bayi di dalam kandungan”. (Riwayat Abdurrazaq, no. 5788).
[12]. Syarhul Mumti’, 6/162-163.
[13]. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/179-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi; Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.
[14]. Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan : “Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/141), al Baihaqi (4/161), dari Ibnu 'Umar dengan sanad yang dha’if (lemah). Juga diriwayatkan oleh al Baihaqi (4/161) dengan sanad lain dari Ali, tetapi sanadnya munqathi’ (terputus). Hadits ini juga memiliki jalan yang lain mauquf (berhenti) pada Ibnu 'Umar (yakni ucapan sahabat, bukan sabda Nabi, Pen) diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al Mushannaf (4/37) dengan sanad yang shahih. Dengan jalan-jalan periwayatan ini, maka hadits ini merupakan (hadits) hasan”. (Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, hlm. 105).
[15]. Majmu’ Fatawa 25/68-69. Lihat juga Ikhtiyarat, 2/408; Minhajus Salikin, 107.
[16]. Hinthah atau qumh, yaitu sejenis gandum yang berkwalitas bagus.
[17]. HR Ahmad, 5/432. Semua perawinya terpercaya. Juga memiliki penguat pada riwayat Daruquthni, 2/151 dari Jabir dengan sanad shahih. Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, hlm. 105.
[18]. Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu Baaz, Ibnu 'Utsaimin, al Fauzan, 'Abdullah al Jibrin.
[19]. Minhajul Muslim, halaman 231.
[20]. Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/76.
[21]. Ibid, 3/80.
[22]. Ibid, 3/75.
[23]. Ikhtiyarat, 2/412-413.
[24]. Dararil Mudhiyyah, halaman 140. Penerbit Muassasah ar Rayyan, Cet. II, Th. 1418H/1997M.
[25]. At Ta’liq t ar R dhiyyah, 1/555.
[26]. Minhajul Muslim, 231. Penerbit Makatabatul 'Ulum wal Hikam & Darul Hadits, tanpa tahun; Taisirul Fiqh, 74.
[27]. Lihat asy Syarhul Kabir, 1/508; al Khurasyi 2/233. Dinukil dari Ikhtiyarat, 2/412-413.
[28]. Lihat Majmu Fatawa, 25/71-78.
[29]. Bahkan sebagian ulama berpendapat wajib dibagi untuk delapan golongan. Lihat Majmu Fatawa 25/71-78.
[30]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 106.
read more “TUNTUNAN ZAKAT FITHRI”