Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Tazkiyatun Nufus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Tazkiyatun Nufus. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Februari 2011

Letak Kebahagiaan Bukan Pada Kemewahan Dunia

Setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun  banyak orang yang menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian  menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil mewah,  Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka  menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia. Namun apakah betul  seperti itu? Simak tulisan berikut ini.

Kebahagiaan untuk Orang  yang Beriman dan Beramal Sholeh

Saudaraku … Orang yang beriman dan beramal sholeh, merekalah yang sebenarnya merasakan manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena  hatinya yang selalu tenang, berbeda dengan orang-orang yang lalai dari  Allah yang selalu merasa gelisah. Walaupun mungkin engkau melihat  kehidupan mereka begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan harta. Namun jika engkau melihat jauh, engkau akan mengetahui bahwa merekalah  orang-orang yang paling berbahagia. Perhatikan seksama firman-firman  Allah Ta’ala berikut.

Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ  أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun  perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan  kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97). Ini adalah  balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan kehidupan  yang baik.
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ  بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan  pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.  An Nahl: 97). Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan di akhirat, yakni  alam barzakh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ  بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً  وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka  dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di  dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau  mereka mengetahui.” (QS. An Nahl: 41)
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ  تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى  وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat  kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan  memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada  waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang  yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3).  Kedua ayat ini menjelaskan balasan di akhirat bagi orang yang beriman  dan beramal sholeh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا  اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ  وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ  بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh  kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS.  Az Zumar: 10)

Inilah empat tempat dalam Al Qur’an yang menjelaskan balasan bagi  orang yang beriman dan beramal sholeh. Ada dua balasan yang mereka  peroleh yaitu balasan di dunia dan balasan di akhirat. Itulah dua  kebahagiaan yang nantinya mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa mereka  lah orang yang akan berbahagia di dunia dan akhirat.

Salah Satu Bukti

Seringkali kita mendengar nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namanya  begitu harum di tengah-tengah kaum muslimin karena pengaruh beliau dan   karyanya begitu banyak di tengah-tengah umat ini. Syaikhul Islam Ibnu  Taimiyyah, nama aslinya adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali  bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau  adalah Abul ‘Abbas.

Berikut adalah cerita dari murid beliau Ibnul Qayyim mengenai  keadaannya yang penuh kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh  kesengsaraan di dalam penjara. Namun di balik itu, beliau termasuk orang yang paling berbahagia.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun  yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu  Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari  kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah  Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari  musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa  beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami  (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana  atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami  merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya  memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta  hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan  lapang, tegar, yakin dan tenang”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada Ibnul Qoyyim, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku?  Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku.”

Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala  beliau berada di dalam penjara, padahal di dalamnya penuh dengan  kesulitan, namun beliau masih mengatakan, “Seandainya benteng ini  dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, “Sebenarnya  orang yang dikatakan dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari  mengenal Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan). ”

Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak  do’a agar dapat banyak bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma  a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, aku  meminta pertolongan agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik pada-Mu). Masih sempat di saat sujud, beliau mengucapkan do’a ini. Padahal beliau sedang dalam belenggu, namun itulah kebahagiaan yang  beliau rasakan.

Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik  dinding, beliau mengatakan,
فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ  بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ

“Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di  sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al Hadid: 13)

Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan  yang kokoh. Kenikmatan seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para  raja dan juga pangeran.

Para salaf mengatakan,
لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ  المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ

“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”

Mendapatkan Surga Dunia

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di dunia itu terdapat  surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan  memperoleh surga akhirat.”

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga  dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya,  merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan  kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan  segala urusan hanya pada-Nya.

Inilah surga dunia yang dirindukan oleh  para pecinta surga akhirat.

Itulah saudaraku surga yang seharusnya engkau raih, dengan meraih  kecintaan Allah, senantiasa berharap pada-Nya, serta dibarengi dengan  rasa takut, juga selalu menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya.

Penutup

Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak  kebahagiaan adalah di dalam hati, yaitu hati yang memiliki keimanan, yang selalu merasa cukup dan  selalu bersandar pada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ , وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang  selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga  dunia yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.

Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa  shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi  wa  sallam.


Sumber rujukan: Shahih Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hl. 91-96, Dar Ibnul Jauzi

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
read more “Letak Kebahagiaan Bukan Pada Kemewahan Dunia”

Kamis, 27 Januari 2011

Sadarilah Realita Ini

Oleh Syaikh Khalid ar-Raasyid

Pernahkah kita berpikir, berapa orang yang meninggal dunia di kota kita selama satu bulan? Atau selama satu tahun? Atau bahkan setiap hari di seluruh penjuru bumi ini? Ketetapan Allâh Subhanhu wa Ta’ala terus berjalan. Ada yang lahir ke dunia dan sebagian lagi meninggal dunia. Suatu saat nanti, pasti kita akan mendapatkan giliran. Ini sebuah realita kehidupan yang tidak bisa dipungkiri. Namun sangat disayangkan, banyak orang lupa atau melupakan kematian.
Padahal dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak membicarakan tentang kematian kepada para sahabat, sementara kondisi hati mereka hidup. Ini sangat berbeda dengan realita sangat ini. Betapa banyak acara yang dibuat, upaya yang dirancang untuk mengalih perhatian dari kematian. Padahal kita sangat membutuhkannya untuk menyadarkan kita dari kelalaian dan melunakkan hati yang sudah mengeras !! Kalau kita mau menjawab dengan jujur, siapakah yang lebih butuh terhadap pembicaraan tentang kematian, kita ataukah para shahabat Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawabnya, tentu kita.

Oleh karena itu, pembicaraan tentang kematian kami angkat. Pembicaraan tentang sebuah peristiwa yang amat mengerikan. Peristiwa yang memutuskan seluruh kesenangan dan mengubur seluruh angan-angan. Kematian berarti berpisah dengan orang-orang yang dicintai. Kematian memutus kesempatan beramal, dan mengantarkan ke gerbang hisab!
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehati kita dengan nasehat yang menyentuh. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ : الْمَوْتَ , فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ فِيْ ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ , وَلاَ ذَكَرَهُ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهَا عَلَيْهِ
Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena kematian itu, jika diingat oleh orang yang sedang dalam kesusahan hidup, maka akan bisa meringankan kesusahannya. Dan jika diingat oleh orang yang sedang senang, maka akan bisa membatasi kebahagiaannya itu.” [HR. ath-Thabrani dan al-Hakim. Lihat Shahîh al-Jâmi’ush Shaghîr: no. 1222; Shahîhut Targhîb, no: 3333]
Mengingat kematian itu dapat menghidupkan hati. Orang yang benar-benar malu terhadap Allâh Azza wa Jalla tidak akan melalaikan kematian serta tidak akan meremehkan persiapan menghadapi kematian. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kamu benar-benar malu kepada Allâh!”. Kami mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, al-hamdulillah kami malu (kepada Allah)”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi (yang dimaksud) benar-benar malu kepada Allâh adalah engkau menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan apa yang berhubungan dengannya; dan hendaklah engkau mengingat kematian dan kebinasaan. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan itu, berarti dia telah benar-benar malu kepada Allâh Azza wa Jalla.” [HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh al-Albâni rahimahullah menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîhut Targhîb, 3/6, no. 2638, penerbit. Maktabah al-Ma’ârif]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Bila ada kesempatan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingatkan para sahabatnya tentang kematian dan berbagai rentetan persistiwa yang akan mengiringinya.
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ فَجَلَسَ عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ فَبَكَى حَتَّى بَلَّ الثَّرَى ثُمَّ قَالَ يَا إِخْوَانِي لِمِثْلِ هَذَا فَأَعِدُّوا
Dari al-Bara’ Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada (penguburan-red) suatu jenazah, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada tepi kubur, kemudian beliau menangis sehingga tanah menjadi basah, lalu beliau bersabda: “Wahai saudara-saudaraku! Bersiap-siaplah untuk yang seperti ini!” [HR. Ibnu Mâjah, no: 4190, di hasan kan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah]
Dalam riwayat lain, al-Barâ’ bin ‘Azib mengatakan,
بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ بَصَرَ بِجَمَاعَةٍ فَقَالَ : عَلَامَ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ هَؤُلَاءِ؟ قِيْلَ : عَلَى قَبْرٍ يَحْفِرُوْنَهُ ، قَالَ : فَفَزِعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَدَرَ بَيْنَ يَدَيْ أَصْحَابِهِ مُسْرِعًا حَتَّى انْتَهَى إِلَى الْقَبْرِ فَجَثَا عَلَيْهِ ، قَالَ : فَاسْتَقْبَلْتُهُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ لِأَنْظُرَ مَا يَصْنَعُ ، فَبَكَى حَتىَّ بَلَّ الثَّرَى مِنْ دُمُوْعِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا قَالَ: أَيْ إِخْوَانِي ! لِمِثْلِ الْيَوْمِ فَأَعِدُّوْا
Ketika kami bersama Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau shallallahu ‘alaihi wa sallm melihat sekelompok orang, maka beliau bertanya, ‘Untuk apa mereka berkumpul?’ Dikatakan kepada beliau, ‘Mereka berkumpul pada kuburan yang sedang mereka gali’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terperanjat, lalu bergegas mendahului para sahabat sehingga sampai di kuburan, lalu beliau berlutut ke arah kuburan. Bara’ berkata, ‘Maka aku menghadap di depan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat apa yang akan beliau lakukan’. Kemudian beliau menangis sehingga tanah menjadi basah karena air mata beliau. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada kami dan bersabda, “Wahai saudara-saudaraku! Bersiap-siaplah untuk yang sepertil hari ini!” [Lihat Silsilatush Shahîhah, no. 1751, karya Syaikh al-Albâni rahimahullah]
Demikian juga Salafus Shalih, mereka mengingat kematian dan mengingatkan orang lain dengannya. Diriwayatkan bahwa Uwais al-Qarni rahimahullah berkata kepada penduduk Kufah, “Wahai penduduk Kufah, sesungguhnya ketika kamu tidur, kamu berbantalkan kematian. Oleh karena itu, jika kamu telah bangun, jadikanlah kematian itu selalu di hadapanmu.”
Mengingat kematian itu memiliki pengaruh besar dalam menyadarkan jiwa dari kelalaian. Kematian merupakan pelajaran terbesar. Seorang ahli zuhud ditanya, “Apakah pelajaran yang paling berpengaruh?” Dia menjawab, “Melihat tempat orang-orang yang mati.” Ahli zuhud yang lain mengatakan, “Orang yang tidak berhenti dari kemaksiatan dengan (nasehat) al-Qur’ân dan kematian, seandainya gunung-gunung bertabrakkan di hadapannya, dia juga tidak akan berhenti!”
Sungguh, ziarah kubur, menyaksikan jenazah, melihat orang sekarat, merenungkan sakaratul maut, merenungkan wajah mayit setelah matinya, akan mengekang jiwa dari berbagai kesenangannya serta akan mengusir kegembiraan hati.
Orang yang mempersiapkan diri menghadapi kematian, dia akan beramal dengan sungguh-sungguh dan memperpendek angan-angan.
Al-Lubaidi berkata, “Aku melihat Abu Ishâq rahimahullah di waktu hidupnya, selalu mengeluarkan secarik kertas dan membacanya. Ketika dia telah wafat, aku melihat kertas tersebut, ternyata tertulis padanya ‘Perbaguslah amalanmu, sesungguhnya ajalmu telah dekat !! Perbaguslah amalanmu, sesungguhnya ajalmu telah dekat!!!’
Saudara-saudaraku, sesungguhnya orang yang hidup dengan tetap mewaspadai akhir kehidupan, dia akan menjalani kehidupan dengan terus mempersiapkan diri. Sehingga ketika kematian menjelang, dia tidak menyesal atau kalau pun menyesal tapi tidak terlalu.
Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Syaqiq al-Balkhi rahimahullah berkata, “Bersiaplah ! Jika kematian mendatangimu, engkau tidak berteriak sekuat tenaga memohon kehidupan. Namun permohonanmu tidak akan dikabulkan”.
Dengan nasihat ini aku ingin membangunkan hati dari tidurnya, menghentikan jiwa dari bergelimang dalam kesesatan dan syahwatnya.
Dengan nasehat ini aku ingin orang yang shalih bertambah keshalihannya dan orang yang lalai segera bangun sebelum menyesal atau sebelum kematiannya.
Kalian telah melihat kehidupan ini berlalu dengan cepat, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya. Ada yang lahir sementara yang lain meninggal. Rahim mengeluarkan bayinya, sementara bumi menelan mayit.
Saudara-saudaraku, kehidupan di dunia ini terbatas waktunya. Dia pasti akan berakhir. Orang-orang shalih akan mati, begitu juga orang-orang jahat. Orang-orang bertaqwa akan meninggal, begitu juga yang bergelimang dosa.
Para pahlawan dan mujahid, para penakut dan orang yang lari meninggalkan medan jihad, semua akan mati. Orang-orang mulia yang hidup untuk akhirat dan orang-orang tamak yang hidupnya hanya untuk kesenangan dunia, semuanta tak akan luput dari kematian.
Orang-orang yang memiliki cita-cita tinggi atau hidup hanya untuk syahwat kemaluan dan perut, semuanya pasti dicabut nyawanya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman (yang artinya),
Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” [ar-Rahmân/55: 26]
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” [Ali Imrân/3:185]
Semua makhluk yang bernyawa akan mengalami kematian. Ia merupakan hakekat, namun kita selalu berusaha lari darinya. Kematian merupakan hakekat, yang bisa menjungkalkan:
- Keangkuhan orang-orang yang bersombong
- Penentangan orang-orang yang menyimpang
- Kezhaliman para thagut yang mengangkat dirinya sebagai tuhan yang harus ditaati.
Kematian merupakan hakekat yang akan dialami oleh semua yang bernyawa, bahkan para Nabi dan Rasul. Allâh berfirman (yang artinya),
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” [al-Anbiyâ’/21: 34]
Kematian merupakan realita yang terdengar sepanjang zaman dan di setiap tempat. Dia terdengar di telinga, masuk ke pemikiran semua orang yang berakal dan mengetuk hati semua orang yang hidup. Dia membisikan bahwa semua orang akan mati, kecuali Dzat yang memiliki kemuliaan dan keperkasaan.
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allâh.” [Al-Qashshash/28: 88]
Kematian merupakan realita yang mungkin dihindari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allâh), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [al-Jum’ah/62: 8]
Ya, kematian itu pasti akan menemui kamu…di mana saja kamu berada, kamu akan mati,
Wahai orang-orang kuat …
Wahai orang-orang kuat, nan muda usia …
Wahai orang-orang cerdas dan jenius …
Wahai pemimpin, pembesar …
Wahai orang fakir dan rakyat jelata …
Semua orang yang menangis (karena kematian orang yang dicintai), dia juga akan membuat orang lain menangis (ketika dia mati) …
Semua pembawa berita kematian, dia juga akan diberitakan kematiannya…
Semua harta simpanan akan binasa …
Semua yang disebut-sebut akan dilupakan …
Tidak ada yang kekal selain Allâh.
Jika ada orang yang merasa tinggi, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala lebih tinggi.
Ketahuilah, semoga Allâh menjagamu, orang yang hidup pasti akan mati … dan orangyang mati akan hilang (dari kehidupan) … dan semua yang akan datang pasti akan tiba waktunya …
Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allâh, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allâh itu, pasti datang.” [Al-Ankabut/29: 5]
Wahai saudaraku, kehidupanmu yang hakiki akan mulai setelah kematianmu … Persiapkanlah segala sesuatu untuk bekal menjalani kehidupanmu yang sebenarnya. Amal kebaikan, itulah bekal menghadap Allâh Azza wa Jalla.
[Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari makalah berjudul Ablaghul ‘Izhaat, karya Syaikh Khalid ar-Raasyid]
Artikel www.ustadzmuslim.com
read more “Sadarilah Realita Ini”

Kamis, 20 Januari 2011

Saat Terindah dalam Hidup Manusia (Seri 3)

Saat Terindah dalam Hidup Manusia (Seri 3)

Saat yang paling indah di akhirat kelak adalah ketika bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya (Allah Ta’ala), maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan Allah dengan apapun dalam beribadah kepada-Nya.” (QS al-Kahfi: 110).

Inilah saat terindah yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu saat ketika bertemu dengan-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan dan kemuliaan dari-Nya (lihat kitab Fathul Baari, 4/118).
Dalam sebuah doa dari Imam Hasan al-Bashri, “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik amalan kami sebelum ajal (menjemput) kami, dan jadikanlah sebaik-baik hari (bagi) kami adalah hari ketika kami berjumpa dengan-Mu.” (Dinukil oleh Imam Harits bin Abi Usamah dalam Musnad al-Harits, 2/756 – Bugyatul Baahits).
Mereka inilah orang-orang yang mencintai perjumpaan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah-pun mencintai perjumpaan dengan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, maka Allah mencintai perjumpaan dengannya.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 6142 dan Muslim, no. 2683).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kegembiraan orang yang bertakwa ketika bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amal shaleh yang mereka lakukan di dunia, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabb-nya (Allah Subhanahu wa Ta’ala)” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 7054 dan Muslim, no. 1151).
Kemudian, saat yang paling indah bagi orang-orang yang beriman ketika berjumpa dengan Allah Ta’ala adalah saat mereka memandang wajah-Nya yang Mahamulia. Inilah kenikmatan tertinggi yang Allah janjikan bagi mereka yang melebihi besarnya kenikmatan lainnya yang ada di surga. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yuunus: 26).
Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sal;lam adalah orang yang paling memahami makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (lihat kitab  Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah, 1/452). Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?’ Maka mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?’ Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Mahamulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas (Hadits shahih riwayat Muslim dalam Shahih Muslim, no. 181).
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung, serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di surga lainnya (lihat kitab  Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah, 1/453).
Imam Ibnu Katsir berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang Mahamulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah.” (Kitab  Tafsir Ibnu Katsir, 4/262).
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan kenikmatan tertinggi ini dengan sifat kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu selalu merindukan perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa beliau, “(Ya Allah) aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang menyesatkan.” [HR An Nasa-i dalam As-Sunan (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam Al-Musnad (4/264), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 1971) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani dalam Zhilaalul Jannah fii Takhriijis Sunnah” (no. 424)].
Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahafaan [hal. 70-71 dan hal. 79 (Mawaaridul Amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad-Dammaam, 1415 H)] menjelaskan keterkaitan dua hal ini, yaitu bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah balasan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang yang selalu mengharapkan dan merindukan pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kekasih-Nya yang telah merasakan kesempurnaan dan kemanisan iman, yang wujudnya berupa perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya.
Atau dengan kata lain, orang yang akan menjumpai saat yang paling indah dan dinanti-nantikan di akhirat ini, yaitu saat melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Mahamulia, adalah orang yang ketika di dunia dia merasakan bahwa saat terindah dalam hidupnya adalah ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Zat yang dicintainya, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nasihat dan penutup
Demikianlah gambaran saat-saat paling indah bagi para kekasih Allah ‘Azza wa Jalla di dunia dan akhirat, bandingkanlah dengan saat-saat yang dianggap paling indah oleh mayoritas manusia sekarang ini.
Kemudian tanyakan kepada diri kita sendiri: apakah yang kita anggap sebagai saat terindah dalam hidup kita?
Maka, berbahagialah hamba Allah yang menjadikan saat terindah dalam hidupnya ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berbahagialah dengan kabar gembira dari Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نزلا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan memberi kabar gembira), ‘Janganlah kamu merasa takut dan bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah penolong-penolongmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta.’ Sebagai hidangan (balasan yang kekal bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushilat: 30-32).
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ، لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ، لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ، ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali (kekasih) Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64).
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk mendapatkan kebaikan dari-Nya di dunia dan akhirat, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 30 Muharram 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com
read more “Saat Terindah dalam Hidup Manusia (Seri 3)”

Saat Terindah dalam Hidup Manusia (Seri 2)

Saat Terindah dalam Hidup Manusia (Seri 2)

Berbahagialah dengan saat terindah dalam hidupmu!
Berdasarkan renungan tentang keindahan dan kebahagiaan hidup di atas, maka jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan yang sejati dalam hidup manusia adalah dengan mengamalkan amalan shaleh yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengutamakannya di atas segala sesuatu yang ada di dunia ini.

Inilah keindahan dan kebahagiaan sejati yang direkomendasikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia).’” (QS Yunus:58).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka, dan Dia Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan mulia dari semua kesenangan dunia yang berlomba-lomba dikejar oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al-Quran”, yang keduanya (keimanan dan Al-Quran) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) (lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab Miftahu Daaris Sa’aadah, 1/51).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “Kenikmatan (yang berupa) agama (iman) yang bergandengan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat (jelas) tidak bisa dibandingkan dengan semua kenikmatan duniawi yang hanya sementara dan akan hilang.” (kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 366).
Inilah kebahagiaan hakiki bagi hati dan jiwa manusia, yang digambarkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam ucapan beliau, “Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakikatnya) merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk pandangan mata), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ، قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb-mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia).’” (QS.Yuunus: 57-58)” (Kitab Ighaatsatul Lahfaan, hal. 75-76 – Mawaaridul Amaan).
Maka berdasarkan semua ini, berarti saat yang paling indah dalam hidup seorang manusia adalah ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan taufik-Nya kepadanya untuk mengikuti jalan Islam dan memberi petunjuk kepadanya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya guna mencapai keridhaan-Nya.
Inilah pernyataan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat yang mulia, Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat al-Quran (QS. at-Taubah: 118) tentang diterima-Nya taubat shahabat ini dan dua orang shahabat lainnya radhiallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya dengan wajah yang berseri-seri karena gembira, “Berbahagialah dengan hari terindah yang pernah kamu lalui sejak kamu dilahirkan ibumu.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 4156 dan Muslim, no. 2769).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari diterimanya taubat seorang hamba oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai hari/ saat yang terindah dalam hidupnya karena taubat itulah yang menyempurnakan keislaman seorang hamba, maka ketika dia masuk Islam itulah awal kebahagiaannya dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubatnya itulah penyempurna dan puncak kebahagiaannya, sehingga hari itu adalah saat terindah dalam hidupnya (lihat kitab Fathul Baari, 8/122).
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Dalam hadits ini terdapat argumentasi (yang menunjukkan) bahwa hari yang paling indah dan utama bagi seorang hamba secara mutlak adalah ketika dia bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatnya… Kalau ada yang bertanya, ‘Bagaimana (mungkin) hari ini (dikatakan) lebih baik daripada hari (ketika) dia masuk Islam?’ Jawabannya, hari ini adalah penyempurna dan pelengkap hari (ketika) dia masuk Islam, maka hari (ketika) dia masuk Islam adalah awal kebahagiaanya, sedangkan hari taubatnya adalah penyempurna dan pelengkap kebahagiaanya, wallahu musta’aan.” (Kitab Zaadul Ma’aad, 3/511).
Senada dengan hadits di atas, ucapan shabat yang mulia, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang menggambarkan kegembiraan para shahabat radhiallahu ‘anhum ketika mendengar sebuah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anas bin Malik berkata, “Maka kami (para shahabat radhiallahu ‘anhum) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan setelah (kegembiraan dengan) Islam melebihi kegembiraan kami tatkala mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau (akan dikumpulkan di surga) bersama orang yang kamu cintai.’ Maka, aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan Umar radhiallahu ‘anhu, dan aku berharap akan bersama mereka (di surga nanti) dengan kecintaanku kepada mereka meskipun aku belum mampu melakukan seperti amal perbuatan mereka.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 3485 dan Muslim, no. 2639).
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa saat-saat yang terindah bagi orang-orang yang sempurna imannya, para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika mereka mendapat hidayah untuk menempuh jalan Islam dan ketika mereka memahami, serta mengamalkan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mencapai ridha-Nya dan masuk ke dalam surga-Nya.
-Bersambung Insya Allah-
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, Lc., M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com
read more “Saat Terindah dalam Hidup Manusia (Seri 2)”

Saat Terindah dalam Hidup Manusia (Seri 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Pernakah Anda mengalami saat-saat terindah dalam hidup Anda? Apakah yang Anda rasakan pada saat itu? Bukankah Anda merasakan hati Anda sangat bahagia, sehingga Anda ingin seandainya saat-saat itu terulang kembali?
Setiap insan tentu pernah merasakan saat-saat terindah dalam hidupnya, akan tetapi masing-masing orang akan menjadikan saat terindah dalam hidupnya sesuai dengan apa yang mendominasi hati dan jiwanya.

Orang yang sedang semangat melakukan usaha perdagangan dan bisnis menganggap saat terindah adalah ketika dia berhasil meraup keuntungan besar dan berlipat ganda dalam bisnisnya. Orang yang berambisi besar untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan duniawi merasa saat yang terindah adalah ketika dia berhasil menduduki jabatan tinggi dan penting dalam kariernya.
Demikian pula, orang yang sedang dimabuk cinta merasa bahwa saat terindah adalah ketika cintanya diterima oleh sang kekasih dan ketika berjumpa dengannya.
Demikianlah sekilas gambaran keadaan manusia dalam menilai saat-saat terindah dalam hidup mereka. Sekarang, marilah kita perhatikan dan renungkan dengan seksama, manakah di antara semua itu yang benar-benar merupakan kebahagiaan dan keindahan yang sejati, sehingga orang yang mendapatkannya berarti sungguh dia telah merasakan saat terindah dalam hidupnya?
Renungan tentang keindahan dan kebahagiaan hidup yang sejati
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya, bentuk-bentuk kebahagiaan (keindahan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam):
1- Kebahagiaan (keindahan) di luar zat (diri) manusia, bahkan keindahan ini merupakan pinjaman dari selain dirinya, yang akan hilang dengan dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan (keindahan) dengan harta dan kedudukan (jabatan duniawi)…
Keindahan seperti ini adalah seperti keindahan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya tersebut, maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!
Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ada seorang ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya, kemudian kapal tersebut pecah (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka, para saudagar tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta mereka tenggelam di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu yang dimilikinya). Ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah Anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat Anda?” Maka ulama itu menjawab, “Iya, sampaikanlah kepada mereka, ‘Jika kalian ingin mengambil harta (kemuliaan), maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu sebagai (barang) perniagaan (kalian).”
2- (Bentuk) kebahagiaan (keindahan) yang kedua: kebahagiaan (keindahan) pada tubuh dan fisik manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan, keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Keindahan ini meskipun lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan keindahan yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair,
Wahai orang yang (hanya) memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu
Padahal kamu (disebut) manusia dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu
(Mulai dari sini sampai akhir paragraf ini adalah keterangan tambahan dari penulis) Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya,
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik) mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar.” (QS. al-Munafiqun: 4).
Artinya: mereka memiliki penampilan rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/472; Tafsir al-Qurthubi, 18/124-125; dan Fathul Qadiir, 7/226).
3- (Bentuk) kebahagiaan (keindahan) yang ketiga: inilah kebahagiaan (keindahan) yang sejati, keindahan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu keindahan dengan ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
Sesungguhnya, kebahagiaan inilah yang menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan menyertainya dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam tempat menetap (akhirat). Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat kesempurnaan.” (Kitab Miftaahu Daaris Sa’aadah, 1/107-108).
-Bersambung Insya Allah-
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, Lc., M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com
read more “Saat Terindah dalam Hidup Manusia (Seri 1)”