Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Nasehat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Nasehat. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 April 2011

Sekali Lagi, Berlemahlembutlah Wahai Ahlus Sunnah

ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة

Oleh : Al-Muhaddits  al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd

Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Alloh semata, dan tidak ada kemampuan dan kekuatan melainkan atas izin Alloh. Semoga shalawat,  salam dan keberkahan senantiasa tercurahkan kepada hamba dan Rasul-Nya,  Nabi kita Muhammad, juga terhadap keluarga, sahabat dan siapa saja yang  mencintai beliau.

Wa ba’d : sesungguhnya, orang-orang dari kalangan ahlus  sunnah wal jama’ah yang menyibukkan diri dengan ilmu syar’i dan meniti  di atas jalan salaful ummah, mereka di zaman ini lebih butuh untuk  saling bersatu dan menasehati diantara mereka, terlebih lagi mereka  adalah golongan yang terhitung minoritas jika dibandingkan dengan  firqoh-firqoh dan kelompok-kelompok yang menyimpang dari manhaj salaful  ummah.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, di penghujung masa hidup dua  orang syaikh yang mulia, yaitu syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz dan  Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimîn rahimahumallâhu, sekelompok kecil yang sangat minoritas dari kalangan ahlus sunnah,  masih menyibukkan diri untuk memperingatkan (ummat) dari  kelompok-kelompok yang menyeleweng dari manhaj salaful ummah, dan ini  adalah tindakan yang patut dipuji dan disyukuri. Namun yang amat  disayangkan, pasca wafatnya kedua syaikh tersebut, sebagian dari  kelompok kecil ini mulai sibuk  mencela sebagian saudara-saudara mereka  sesama ahlus sunnah yang menyeru untuk berpegang teguh kepada manhaj  salaful ummah, baik di dalam ataupun luar negeri.

Padahal, termasuk hak mereka yang harus ditunaikan, adalah wajib  menerima kebaikan-kebaikan mereka, mendukung dan meluruskan mereka  apabila didapati suatu kesalahan yang apabila memang itu suatu  kesalahan. Kemudian hendaknya tidak menyibukkan diri di dalam majelis  menyebutkan kesalahan saudara-saudaranya dan mentahdzir mereka. Namun  hendaknya mereka sibuk dengan ilmu, mempelajari, mengajarkan dan  mendakwahkannya. Inilah manhaj yang lurus di dalam mencapai kebaikan dan perbaikan yang dipegang oleh syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, imam  ahlus sunnah wal jama’ah di zaman ini, semoga Alloh merahmati beliau.

Ahlus sunnah yang menyibukkan diri dengan ilmu di zaman ini sangat  sedikit jumlahnya, mereka lebih butuh untuk ditambah bukan  dikurang-kurangi, lebih butuh untuk saling bersatu bukan malah saling  memutuskan hubungan. Mungkin keadaan ini seperti yang dikatakan oleh  ahli Nahwu :

المصغَّر لا يصغَّر

“al-Mushoghghor laa yushoghghor“[1] .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmû’ al-Fatâwâ (51/27) :

“Kalian ketahui bahwa termasuk kaidah yang agung yang  menghimpun agama adalah menarik simpati, mempersatukan kalimat dan  memperbaiki hubungan diantara sesama, karena sesungguhnya Alloh Ta’ala  berfirman : “Bertakwalah dan perbaikilah hubungan diantara kalian“, dan firman-Nya : “dan berpegangteguhlah kalian dengan tali (agama) Alloh semuanya dan janganlah kalian berpecah belah” dan firman-Nya : “dan janganlah kalian berpecah belah dan berselisih setelah sampai kepada  kalian keterangan yang jelas dan bagi mereka ada siksa yang besar”  dan ayat-ayat semisal yang memerintahkan untuk bersatu serta melarang  dari berpecah belah dan berselisih. Mereka yang berpegang dengan pokok  inilah yang disebut ahlul jama’ah dan yang keluar dari pokok/landasan  ini disebut dengan ahlul furqoh.”

Saya telah menulis pembahasan seperti ini sebelumnya dalam risalah yang berjudul “Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah“, yang dicetak pertama kali tahun 1424 kemudian dicetak lagi pada tahun  1426, lalu dicetak kembali di dalam kumpulan buku dan risalah saya (Majmû’ al-Kutub war Rosâ’il Syaikh al-Abbâd) juz VI hal. 327-381 pada tahun 1428. Saya paparkan di dalamnya sejumlah besar teks ayat al-Qur’an, sunnah dan ucapan ulama muhaqqiq (peneliti) dari kalangan ahlus sunnah. Di dalam risalah ini, setelah muqoddimah terkandung beberapa bab pembahasan sbb :

  • Nikmat berbicara dan lisan
  • Menjaga lisan di dalam berbicara kecuali dalam hal kebaikan
  • Prasangka dan tajassus (mencari-cari kesalahan)
  • Ramah dan lemah lembut
  • Sikap ahlus sunnah terhadap seorang alim yang jatuh kepada kesalahan maka beliau diberikan udzur tidak malah dibid’ahkan dan dihajr (diboikot)
  • Fitnah tajrih (mencela) dan hajr pada sebagian ahli sunnah di zaman ini dan jalan keluarnya
  • Bid’ah menguji manusia dengan perseorangan
  • Peringatan dari fitnah tajrih dan tabdi’ (vonis bid’ah) pada sebagian ahli sunnah di zaman ini.

Namun amat disayangkan, akhir-akhir ini malah keadaannya semakin  runyam dengan adanya sebagian ahlus sunnah yang sibuk dengan celaan,  vonis bid’ah hingga muncul sikap saling menghajr. Pertanyaan seperti ini senantiasa berulang-berulang ditanyakan  : “Apa pendapatmu terhadap  fulan yang  menvonis bid’ah fulan”, “apakah saya membaca buku si fulan  yang dibid’ahkan oleh Fulan?” Bahkan sampai-sampai ada sebagian penuntut ilmu junior berkata  terhadap sesama mereka : “apa sikapmu terhadap  fulan yang dinvonis bid’ah fulan? Kamu harus punya sikap terhadap hal  ini, jika tidak kamu akan kami tinggalkan!!!” Hal ini semakin diperburuk dengan terjadinya hal seperti ini di sebagian negara Eropa dan  semisalnya yang para penuntut ilmu ahlis sunnah di dalamnya memiliki  perbendaharaan ilmu yang masih sangat minim, padahal mereka lebih sangat membutuhkan untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan melepaskan diri dari fitnah saling menghajr yang disebabkan oleh sikap taklid di dalam tajrih (mencela).

Manhaj seperti ini serupa dengan thoriqoh Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya mengatakan tentang jama’ahnya :

فدعوتُكم أحقُّ أن يأتيها الناس ولا تأتي أحداً … إذ هي جِماعُ كلِّ خير، وغيرها لا يسلم من النقص!!

“Dakwah kalian lebih utama untuk didatangi manusia bukan mendatangi  seseorang… Karena jama’ah ini mengumpulkan semua kebaikan, sedangkan  selain (jama’ah ini) tidak lepas dari kekurangan” (Mudzakkarât ad-Da’wah wad Dâ’iyah hal 232 cet. Dar asy-Syihab karya Syaikh Hasan al-Bannâ)

Beliau juga berkata :

وموقفنا من الدعوات المختلفة التي  طغت في هذا العصر ففرَّقت القلوبَ وبلبلت الأفكار، أن نزنها بميزان دعوتنا، فما وافقها فمرحباً به، وما خالفها فنحن براء منه!!

“Sikap kita terhadap dakwah-dakwah yang beraneka ragam yang memampoi  batas di zaman ini, yang memecah belah hati dan memporakporandakan  fikiran, adalah kita timbang dengan timbangan dakwah kita, apabila  selaras dengan dakwah kita maka marhaban (kita sambut), dan apabila menyelisihinya, maka kita berlepas diri darinya!!!” (Majmû’ah ar-Rosâ’il Hasan al-Bannâ hal. 240 cet. Dar ad-Da’wah th. 1411)

Termasuk kebaikan bagi mereka, para penuntut ilmu, ketimbang sibuk  dengan fitnah ini, lebih baik mereka sibukkan diri dengan membaca  buku-buku yang bermanfaat karya ahlus sunnah, terutama buku-buku ulama  zaman ini seperti fatwa-fatwa syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz,  fatwa-fatwa Lajnah ad-Dâimah lil Iftâ`, karya tulis Syaikh Ibnu  ‘Utsaimîn dan selainnya. Karena dengan demikian mereka akan memperoleh  ilmu yang bermanfaat dan selamat dari “qîla wa qôla” (desas-desus) dan  memakan daging saudaranya sesama ahlus sunnah.

Ibnul Qoyyim berkata di dalam “al-Jawâbul Kâfi” (hal. 203) :

ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز  من أكل الحرام والظلم والزنى والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغير  ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه، حتى يُرى الرجل يشار إليه بالدين  والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل  بالكلمة الواحدة منها أبعد مما بين المشرق والمغرب، وكم ترى من رجل متورع  عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما  يقول

“Sungguh aneh, ada orang yang mudah di dalam menjaga dan memelihara  dirinya dari memakan yang haram, berbuat aniaya, berzina, mencuri, minum khamr, memandang suatu yang haram dan perbuatan haram lainnya, namun ia berat di dalam menjaga gerakan lisannya. Sampai-sampai dapat anda  lihat, ada seorang lelaki yang dipuji agamanya, zuhudnya dan ibadahnya,  namun ia berbicara dengan suatu ucapan yang dimurkai Alloh, yang ia  anggap remeh. Dengan satu kata dari ucapan tersebut derajatnya turun  sejauh timur dan barat. Betapa banyak orang yang anda lihat, menjaga  diri dari perbuatan keji dan aniaya, namun lisannya gemar berbuat fitnah terhadap kehormatan manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah  meninggal, dan ia tidak mempedulikan apa yang diucapkannya.”  

Apabila didapati ada ucapan seorang ahli sunnah yang masih global dan terperinci, maka hendaknya berbaik sangka dengannya dan membawa  ucapannya yang global kepada yang terperinci, sebagaimana ucapan ‘Umar Radhiyallâhu ‘anhu : “Janganlah sekali-sekali kamu berprasangka terhadap ucapan yang  disampaikan saudara mukminmu melainkan dengan persangkaan yang baik dan  kamu dapati ucapannya memang bisa dibawa kepada kemungkinan yang baik”,  ucapan ini disebutkan oleh Ibnu Katsîr dalam menafsirkan Surat  al-Hujurât.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab ar-Radd ‘alal Bakri (hal 324) :

ومعلوم أن مفسر كلام المتكلم يقضي على مجمله، وصريحه يُقدَّم على كنايته

“Suatu hal yang sudah diketahui bersama bahwa ucapan yang terperinci itu menentukan ucapan yang global, dan ucapan yang jelas (shârih) itu lebih didahulukan daripada ucapan yang bersifat samar (kinayah).”

Beliau juga berkata di dalam kitab ash-Shôrimul Maslûl (2/512) :

وأَخْذ مذاهب الفقهاء من الإطلاقات من غير مراجعة لما فسروا به كلامهم وما تقتضيه أصولهم يجرُّ إلى مذاهب قبيحة

“Mengambil pendapat yang masih bersifat umum dari madzhab-madzhab  ahli fikih tanpa kembali kepada apa yang bisa menafsirkan perkataan  merka dan yang dikehendaki oleh ushul madzhab mereka, akan menghantarkan kepada madzhab yang buruk”

Beliau juga berkata dalam kitab al-Jawâbush Shahîh liman Baddala Dînal Masîh (4/44) :

فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به

“Wajib menafsirkan ucapan seseorang dengan ucapannya yang lain dan  mengambil perkataannya dari sana dan sini, sehingga bisa diketahui dari  kebiasaannya apa yang dimaksudkan dan dikehendaki dari lafal yang ia  kemukakan itu.”

Orang yang mengkritik dan dikritik itu tidak ma’shum dan tidak ada  seorangpun dari mereka yang lepas dari kekurangan dan kesalahan. Mencari kesempurnaan itu memang yang diinginkan, namun jangan sampai hal ini  mengecilkan bahkan menghilangkan kebaikan pada selainnya. Karena itu  tidak layak mengatakan : “Kalau tidak sempurna berarti tidak ada”, atau  “Kalau bukan cahaya sempurna berarti kegelapan”, bahkan seharusnya  menjaga cahaya yang kurang tersebut dan berupaya untuk menambahnya.  Apabila tidak bisa mendapatkan dua lentera atau lebih, maka satu lentera cahaya itu lebih baik daripada kegelapan.

Semoga Alloh merahmati syaikh kami, asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz  yang menghabiskan hidupnya dengan ilmu syar’i, mempelajarinya,  mengamalkan, mengajarkan dan mendakwahkannya. Beliau adalah orang yang  paling menganjurkan masyaikh dan para penuntut ilmu agar (sibuk)  mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau menasehati salah  satu masyaikh tentang hal ini, dan syaikh tersebut mengemukakan alasan  yang tidak diridhai oleh syaikh Ibnu Baz, beliau rahimahullâhu  mengatakan : “rabun tidaklah (sama dengan) buta”. Maksudnya adalah,  sesuatu yang tidak bisa diperoleh seluruhnya tidaklah ditinggalkan  sebagiannya. Apabila tidak ada penglihatan yang kuat dan hanya ada  pengelihatan yang lemah yaitu rabun, maka sesungguhnya rabun itu masih  lebih baik daripada kebutaan.

Syaikh (Ibnu Bâz) kehilangan pengelihatannya semenjak usia 20 tahun,  akan tetapi Alloh menganugerahkan kepada beliau cahaya bashirah, yang  orang khusus (para ulama) dan awam pun sudah mengetahui hal ini.

Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ Fatawa (10/364) :

فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور  الذي ليس بصاف وإلا بقي الناس في الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة إلا إذا حصل نور لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج  عن النور بالكلية

“Apabila tidak ada cahaya yang bersih/murni dan hanya ada cahaya yang masih belum bersih sedangkan manusia masih dalam kegelapan, maka tidak  sepatutnya mencela seseorang dan mencegah dari cahaya yang masih  tercampur kegelapan tersebut kecuali apabila sudah ada cahaya yang tidak tercampur lagi dengan kegelapan. Jika tidak, betapa banyak orang yang  menyimpang darinya akan keluar dari cahaya keseluruhannya.”

Dan yang juga semisal dengan ini adalah ucapan sebagian orang :  “Kebenaran itu seluruhnya tidak bertingkat/bercabang, ambillah  seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya”, jadi jika mengambil seluruhnya  adalah haq dan meninggalkan seluruhnya adalah bathil. Barang siapa yang  ada padanya kebenaran maka dinasehati untuk tetap pada kebenaran  tersebut dan berupaya untuk memperoleh kebenaran yang belum ada padanya.

Hajr yang terpuji adalah yang bermaslahat bukannya malah menyebabkan  mafsadat. Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ al-Fatâwâ (28/173) :

ولو كان كلما اختلف مسلمان في شيء تهاجرا لم يبق بين المسلمين عصمة ولا أخوة

“Jikalau setiap kali dua orang muslim berselisih pendapat terhadap  suatu hal dan langsung saling menghajr, niscaya tidak ada ada lagi  keterpeliharaan dan persaudaraan di antara kaum muslimin.”

Beliau juga berkata (28/206) :

وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين في قوتهم وضعفهم وقلتهم وكثرتهم؛ فإن المقصود به زجر المهجور وتأديبه ورجوع العامة عن مثل  حاله، فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته  كان مشروعاً، وإن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر،  والهاجر ضعيف، بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر إلى أن قال: ((إذا عُرف هذا، فالهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله،  فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله وأن تكون موافقة لأمره، فتكون خالصة لله  صواباً، فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجراً غير مأمور به كان خارجا عن هذا،  وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله)).

“Syariat hajr itu berbeda-beda dilihat dari fihak yang menghajr, dari sisi kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, dan tujuannya adalah  untuk membuat jera dan mendidik orang yang dihajr serta agar masyarakat  tidak melakukan perbuatannya. Apabila maslahat dari hajr itu lebih kuat, menyebabkan keburukan semakin lemah dan memudar, maka hajrnya  disyariatkan. Namun jika baik yang dihajr ataupun orang lain tidak  mendapatkan manfaat dari hajr dan bahkan malah semakin menambah  keburukan, sedangkan fihak yang menghajr dalam posisi lemah dan mafsadat dari hajr lebih besar daripada maslahatnya, maka hajr tidak  disyariatkan…” Sampai ucapan, “jika hal ini telah diketahui, maka hajr  yang syar’i itu termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Alloh dan  Rasul-Nya. Oleh karena itu, ketaatan itu haruslah ikhlas karena Alloh  dan haruslah sesuai dengan perintah-Nya. Sehingga ketaatan itu murni  untuk Allah dan benar pelaksanaannya. Maka barangsiapa yang melakukan  hajr karena hawa nafsunya, atau melakukan hajr yang tidak diperintahkan, maka ia telah keluar dari syariat. Betapa banyak perbuatan dilakukan  karena mempertutkan hawa nafsu, namun acapkali dikira karena ketaatan  kepada Alloh.”

Para ulama menyebutkan bahwa jika seorang alim melakukan kekeliruan,  tidak diikuti kesalahannya dan tidak pula berlepas diri darinya (dari  alim tersebut), kesalahannya diampuni karena masih banyaknya kebenaran  padanya. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu  Taimiyah dalam “Majmû’ Fatawa” (3/349) setelah perkataan sebelumnya :

ومثل هؤلاء إذا لم يجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعة الإسلام، يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه  وتعالى يغفر للمؤمنين خطأهم في مثل ذلك، ولهذا وقع في مثل هذا كثير من سلف  الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد، وهي تخالف ما ثبت في الكتاب  والسنة، بخلاف من والى موافقه وعادى مخالفه وفرق جماعة المسلمين…

“Orang-orang seperti mereka jika ucapan bid’ah dari para ulama tidak  dijadikan sebagai pemecah belah jama’ah kaum muslimin, dan dasar  menerapkan kecintaan dan permusuhan, maka mereka anggap termasuk bentuk  kesalahan, padahal Alloh Subhânahu wa Ta’âlâmengampuni kesalahan orang-orang mukmin dalam hal seperti ini. Karena  itulah, banyak para imam salaful ummah, mereka berpendapat dengan  ijtihadnya, namun menyelisihi al-Qur’an as as-Sunnah,( tetapi mereka  tidak berwala’ kepada yang menyepakatinya, memusuhi orang yang  menyelisihinya). Berbeda dengan orang yang loyal karena sepakat  dengannya, benci karena menyelisihinya dan memecah belah jama’ah kaum  muslimin…”

Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’ (14/39) :

ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد  المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى  الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة

“Sekiranya setiap imam yang keliru di dalam ijtihadnya pada suatu  masalah yang seharusnya mereka dimaafkan atasnya, namun kita malah  membid’ahkan dan menghajr mereka, niscaya tidak akan ada seorang alim  pun yang selamat, baik itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah dan ulama selain  mereka yang lebih senior. Dan Alloh, Dia-lah yang memberi petunjuk  makhluk-Nya kepada kebenaran dan Dia-lah yang paling maha pemurah. Kita  memohon perlindungan kepada Alloh dari hawa nafsu dan sikap keras.”

Beliau juga berkata (14/376) :

ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة  إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من  الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه

“Sekiranya setiap ulama yang bersalah di dalam ijtihadnya, dengan  keimanan yang benar dan bermaksud untuk mengikuti kebenaran, kita  tinggalkan dan kita vonis bid’ah, niscaya akan sangat sedikit para imam  yang selamat darinya. Semoga Alloh merahmati mereka semua dengan  anugerah dan kemuliaan-Nya.”

Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa terkadang tajrih (mencela kredibilitas perawi) itu didorong oleh hawa nafsu. Beliau berkata di dalam bukunya, “Shayidul Khâthir” (hal. 143) :

لقيت مشايخ أحوالهم مختلفة يتفاوتون في مقاديرهم في العلم، وكان أنفعهم لي في صحبته العامل منهم بعلمه وإن كان غيره أعلم منه، ولقد لقيت جماعة من علماء الحديث يحفظون ويعرفون ولكنهم كانوا يتسامحون  بغيبة ويخرجونها مخرج جرح وتعديل … ولقد لقيت عبد الوهاب الأنماطي فكان على قانون السلف ولم يُسمع في مجلسه غيبة…

“Saya menjumpai banyak masyaikh, dan keadaan mereka berbeda-beda  tingkatan keilmuannya. Yang paling bermanfaat diantara mereka yang  kusertai adalah mereka yang mengamalkan ilmunya walaupun ada dari selain mereka lebih alim darinya. Saya juga menjumpai segolongan ulama hadits  yang menghafal dan mengenal (ilmu hadits), akan tetapi mereka  memperbolehkan ghibah dan menganggapnya bagian dari cakupan Jarh wa  Ta’dil… Saya pernah bertemu dengan ‘Abdul Wahhab al-Anmâthi dan beliau  berada di atas pokok salaf, namun tidak pernah didengar di dalam  majlisnya beliau melakukan ghibah…”

Beliau juga berkata di dalam bukunya “Talbîs Iblîs” (2/689) :

ومن تلبيس إبليس على أصحاب الحديث قدح بعضهم في بعض طلباً للتشفي، ويُخرجون ذلك مخرج الجرح والتعديل الذي استعمله قدماء هذه  الأمة للذب عن الشرع، والله أعلم بالمقاصد

“Termasuk perangkap Iblis terhadap ahli hadits adalah, mereka saling  mencela satu sama lainnya untuk menuntut balas, dan mereka menganggap  hal ini dari cakupan jarh wa ta’dil, yang mana para ulama sebelumnya  menggunakannya sebagai pembelaan terhadap syariat, dan hanya Allohlah  yang mengetahui maksud tujuan mereka”

Apabila ini terjadi di zaman Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597  atau sekitar itu, lantas bagaimana kiranya dengan orang-orang di abad  ke-15?!

Baru-baru ini ada sebuah risalah bermutu berjudul “al-Ibânah ‘an  Kaifiyatit Ta’âmul ma’al Khilâf baina Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah” karya  Syaikh Muhammad bin ‘Abdillâh al-Imâm dari Yaman, dan risalah ini dipuji oleh lima ulama Yaman. Di dalamnya terkandung banyak nukilan dari ulama ahli sunnah baik terdahulu maupun sekarang, terutama Syaikhul Islam  Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim rohimahumâllâh, tentang  nasehat bagi ahlus sunnah untuk saling berbuat baik diantara mereka.  Saya telah menelaah sebagian besar isi risalah ini, dan memetik faidah  darinya berupa sumber rujukan sebagian penukilan yang dipaparkan di  dalam risalah ini, dari dua imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim. Oleh  karena itu saya menasehatkan untuk membaca risalah ini dan mengambil  manfaat darinya.

Alangkah bagusnya apa yang beliau (Syaikh Muhammad al-Imâm) katakan di dalam risalah ini (hal 170) :

وقد يجرِّح المعتبرُ بعضَ أهل السنة فتنشب فتن  الهجر والتمزيق والمضاربات، وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم، فعند  حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن، فالواجب إعادة النظر في  طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد، وفيما تدوم به الأخوة وتحفظ به  الدعوة وتعالج به الأخطاء، ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها  الضرر

“Terkadang seorang ulama mu’tabar (yang diakui) menjarh  sebagian ahlis sunnah yang mengakibatkan merebaknya fitnah hajr,  mengoyak (barisan) dan kekacauan, terkadang juga menyebabkan peperangan  diantara ahli sunnah sendiri, apabila konsekuensi (jarh tersebut)  seperti ini, maka diketahui bahwa jarh ini menghantarkan kepada fitnah,  oleh karena itu wajib mengevaluasi kembali cara tajrih dan melihat  kepada maslahat, kerusakannya dan  apa yang bisa membuat persaudaraan  tetap terjaga, dakwah tetap terpelihara dan kesalahan bisa terobati.  Tidak benar tetap bersikeras menggunakan cara jarh yang secara nyata  lebih menimbulkan madharat.”

Tidak ada keraguan bahwa para masyaikh dan penuntut ilmu lainnya dari ahli sunnah juga turut merasakan apa yang dirasakan oleh  saudara-saudara dari Yaman ini, mereka mengeluhkan terjadinya perpecahan dan perselisihan ini, dan mengharapkan untuk lebih mengedepankan  nasehat kepada saudara-saudara mereka, dan saudara-saudara kita dari  Yaman telah mendahului dalam hal ini, semoga Alloh membalas mereka  dengan kebaikan.

Semoga nasehat ini merupakan bagian dari sabda Nabi SAW :

الإيمان يمان والحكمة يمانية

“Keimanan dan hikmah dari arah kanan (dari arah negeri Yaman) ” (HR Bukhari (3499) dan Muslim (188).

Diharapkan nasehat dari saudara kita di Yaman ini dapat memberikan  kontribusi positif dari penulisan dan penyebarannya. Saya tidaklah  mengira akan ada seseorang dari ahli sunnah yang mendukung bentuk tajrih seperti ini (yang menyebabkan mafsadat, pent) dan berkonsentrasi  mengikutinya, dimana hal ini tidak akan membuahkan sesuatu melainkan  sikap permusuhan dan kebencian diantara ahli sunnah serta kerasnya hati.

Keheranan orang yang berakal tidak berhenti sampai di sini, di saat  kaum westernis lagi giat-giatnya merusak negeri Haramain setelah Allah  memperbaikinya. Terutama bencana moral di forum-forum mereka yang  diadakan di Jeddah, yang mereka sebut secara dusta dengan nama “Forum  Khadijah binti Khuwailid”, yang saya menulis tentang hal ini sebuah  risalah berjudul “Laa Yalîqu ittikhâdza Ism Khadîjah binti Khuwailid  ‘Unwânan Linfilâtin Nisâ’”. Saya katakan, di saat seperti ini, ada ahlus sunnah yang menyibukkan diri dengan saling mencela satu dengan lainnya  dan mentahdzir mereka.

Saya memohon kepada Alloh Azza wa Jalla agar memberikan taufiq kepada Ahlus sunnah di setiap tempat, agar tetap berpegang teguh dengan  sunnah, saling menyatu dan bekerjasama di dalam kebaikan dan takwa, dan  menghilangkan segala bentuk perpecahan dan perselisihan diantara mereka. Saya juga memohon kepada Alloh agar memberi taufiq kepada seluruh kaum  muslimin agar mau memahami agama dan tetap di atas kebenaran. Semoga  shalawat, salam dan keberkahan senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita  Muhammad, keluarga beliau dan sahabatnya.

16 Muharam 1432 H.

‘Abdul Muhsin bin Hamd al-’Abbad al-Badr

Selesai dialihbahasakan oleh Abu Salma al-Atsari dan diposting secara berkala ke Grup BB “Manhaj al-I’tidal”

Dikoreksi kembali oleh al-Ustadz Fakhruddin, Lc. (Mudir Ma’had Abu Hurairoh, Lombok)



[1] Al-Mushoghghor laa yushoghghor rasanya sulit untuk diterjemahkan. Secara maksud adalah : sesuatu yang sudah berbentuk tasghir tidak dapat lagi ditasghir.
Di dalam bahasa arab kita mengenal yang namanya ism tasghir, yang fungsinya untuk menganggap lebih kecil. Seperti contohnya :

‘Utsmân menjadi ‘Utsaimîn (‘Utsmân kecil)
‘Umar menjadi Umair (Umar kecil)
Thullab menjadi Thuwailib (penuntut ilmu kecil)

Maksud syaikh di sini adalah, ahlus sunnah itu sudah kecil, maka  janganlah diperkecil lagi dengan tindakan-tindakan saling mencela,  menghujat, dls. Jadi, sesuatu yang sdh kecil, jangan dikecilkan lagi.  Jadi rasanya tepat jika kaidah nahwu ini dianalogikan untuk  menggambarkan hal ini. Wallohu a’lam. (Pent.)

http://abusalma.net/?p=1129#more-1129
read more “Sekali Lagi, Berlemahlembutlah Wahai Ahlus Sunnah”

Kamis, 31 Maret 2011

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH FUTUR

Jumat, 15 Februari 2008 11:18:08 WIB

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.

Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan.

Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:

1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.

2). Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.

3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]

Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.

Di antara sebab-sebab itu adalah.

1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu syar’i.
3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.
7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
11). Lemahnya pendidikan. [2]

Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan mengetahuinya.

Di antara obat penyakit futur adalah.

1). Memperbaharui keimanan.
Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.
2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
3). Ikhlas dan takwa.
4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.
6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
7). Mencari teman yang baik (shalih).
8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
9). Sabar dan belajar untuk sabar.
10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [3]

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN

Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”

Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.

‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan?

Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”

Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok). Ia menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya.

Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka meninggal.

Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i. Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
__________
Foote Notes
[1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22).
[2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71).
[3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas.
[4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2351/slash/0
read more “PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH FUTUR”

Senin, 21 Maret 2011

Untaian nasehat Ibnu Taimiyyah 4 : " Niat lebih sampai daripada amalan"

Thursday, 16 September 2010 09:28 administrator

embun pagiIbnu Taimiyyah pernah ditanya tentang sabda Nabi –sallallahu 'laihi wa sallam-  نِيَّةُ الْمَرْءِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ "Niat seseorang lebih sampai daripada amalannya"

Maka beliau menjawab, "Perkataan ini telah disebutkan oleh lebih dari satu orang, dan sebagian orang menyebutkan perkataan ini dengan secara marfu' (disandarkan kepada Nabi). Adapun penjelasan perkataan ini maka dari beberapa segi;

Pertama : sebuah niat yang kosong dari amalan (tanpa disertai amalan) tetap diberi pahala, adapun amalan tanpa disertai niat maka tidak diberi pahala. Al-Qur'an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama telah menunjukan bahwasanya barangsiapa yang mengerjakan amalan-amalan sholeh tanpa disertai keikhlasan maka tidak akan diterima oleh Allah. Telah valid dari Nabi –dari banyak jalan hadits- bahwasanya beliau bersabda:

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ

"Barangsiapa yang berniat hendak melakukan suatu kebaikan lalu dia tidak melaksanakannya maka dicatat baginya satu kebaikan"


Kedua : Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu ia mengerjakannya semampunya dan tidak sanggup untuk menyempurnakan amalan tersebut maka ia akan memperoleh pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaiamana dijelaskan di dalam shahihain (shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim) bahwasanya beliau bersabda:

إنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إلَّا كَانُوا مَعَكُمْ قَالُوا : وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ قَالَ : وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
"Sesungguhnya di kota Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu perjalanan dan tidaklah kalian melewati lembah kecuali mereka menyertai kalian". Para sahabat berkata, "Padahal mereka di kota Madinah?". Nabi berkata, "Iya, mereka di kota Madinah, mereka terhalangi oleh udzur"

Imam At-Thirimidzi telah menshahihkan hadits Abu Kabsyah Al-Anmaariy dari Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- bahwasanya beliau menyebut empat orang;

رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ فِيهِ بِطَاعَةِ اللَّهِ . وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا . فَقَالَ : لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ مَا لِفُلَانِ لَعَمِلْت فِيهِ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ فُلَانٌ . قَالَ : فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ فِيهِ بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ لَمْ يُؤْتِهِ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَقَالَ : لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ مَا لِفُلَانِ لَعَمِلْت فِيهِ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ فُلَانٌ قَالَ : فَهُمَا فِي الْوِزْرِ سَوَاءٌ

"(Petama) seseorang yang Allah berikan kepadanya harta dan ilmu, maka diapun menggunakan hartanya dalam ketaatan kepada Allah. (Kedua) seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu namun Allah tidak memberikannya harta, maka diapun berkata, "Kalau seandainya aku memiliki harta seperti si fulan (orang yang pertama-pent) maka aku akan beramal sebagaimana amalannya." Nabi berkata, "Maka keduanya sama-sama mendapatkatkan pahala yang sama".

(Ketiga) seseorang yang Allah berikan kepadanya harta namun Allah tidak memberikan kepadanya ilmu, maka diapun menggunakan hartanya untuk bermaksiat kepada Allah. (Keempat) seseorang yang tidak Allah berikan kepadanya harta dan ilmu, maka dia berkata, "Kalau seandainya aku memiliki harta seperti si fulan (orang yang ketiga-pent) maka aku akan berbuat sebagaimana amalannya". Nabi berkata, "Maka keduanya sama dalam mendapatkan dosa"

Dalam shahihain dari Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- bahwasanya beliau bersabda,

مَنْ دَعَا إلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ اتَّبَعَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ دَعَا إلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْوِزْرِ مِثْلُ أَوْزَارِ مَنْ اتَّبَعَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

"Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebaikan) maka bagi dia pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sama sekali. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sama sekali"
Dalam shahihain dari Nabi –shallallahu 'alihi wa sallam- bahwasanya beliau bersabda

إذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِنْ الْعَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ وَهُوَ صَحِيحٌ مُقِيمٌ

"Jika seorang hamba sakit atau sedang bersafar maka akan dicatat baginya amalan sebagaimana amalan yang biasanya ia lakukan tatkala dalam keadaan sehat dan dalam keadaan muqim (tidak bersafar)"

Dan dalil-dalil yang menunjukan makna seperti ini banyak.

Ketiga : Sesungguhnya hati adalah rajanya badan, dan anggota-anggota badan adalah pasukan (anak buah) si hati. Jika si raja baik maka baik pula pasukannya. Dan jika sang raja buruk maka buruk pula pasukannya. Dan niat merupakan amalannya sang raja, berbeda dengan amalan-amalan yang lahiriah maka itu merupakan amal perbuatan para pasukan.

Keempat : Sesungguhnya taubatnya seseorang yang tidak mampu melakukan kemaksiatan sah (diterima oleh Allah) menurut Ahlus Sunnah. Seperti taubatnya seorang yang tidak memiliki kemaluan dari perbuatan zina dan taubatnya orang yang tidak memiliki lidah dari perbuatan menuduh orang baik-baik, dan yang lainnya. Asal taubat adalah kesungguhan hati, dan ini bisa dilakukan bagi orang yang tidak mampu bermaksiat.

Kelima :  Sesungguhnya niat tidak akan dimasuki oleh fasad (kerusakan), hal ini berbeda dengan amalan-amalan lahiriah. Karena niat asalnya adalah cinta kepada Allah dan cinta kepada RasulNya dan pengharapan terhadap wajah Allah. Hal ini sendiri dicintai oleh Allah dan RasulNya, dan diridhoi oleh Allah dan RasulNya. Adapun amalan-malan lahiriah maka bisa dimasuki banyak penyakit yang bisa merusaknya (seperti riya', sum'ah, ujub, takbbur, tidak terpenuhinya rukun atau syarat dari amalan lahiriah tersebut, dll-pent). Barangsiapa yang tidak selamat dari penyakit-penyakit ini maka amalan lahiriahnya tidak akan diterima oleh Allah.

Oleh karenanya amalan-amalan hati yang murni lebih afdhol dari pada amalan-amalan badan yang murni.

sebagian salaf berkata,

قُوَّةُ الْمُؤْمِنِ فِي قَلْبِهِ وَضَعْفُهُ فِي جِسْمِهِ وَقُوَّةُ الْمُنَافِقِ فِي جِسْمِهِ وَضَعْفُهُ فِي قَلْبِهِ

"Kekuatan seroang mukmin terletak pada hatinya, dan kelemahannya terletak pada badannya. Dan kekuatan seorang munafik terletak pada badannya dan kelemahannya terletak pada hatinya"

Adapu perinciannya maka butuh pembahasan yang panjang, wallahu a'lam"  (Majmuu' al-Fataawaa 22/244-245)

Nasehat emas diatas mengingatkan kita untuk benar-benar memperhatikan niat, dan hendaknya kita memperbanyak niat untuk melakukan kebaikan, karena sesungguhnya niat yang baik sudah tercatat di sisi Allah dan akan mendapatkan ganjaran di sisi Allah.

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
read more “Untaian nasehat Ibnu Taimiyyah 4 : " Niat lebih sampai daripada amalan"”

Untaian Nasehat Ibnu Taimiyyah 3 : "Bahaya Syahwat Tersembunyi "

Tuesday, 14 September 2010 23:45 administrator

Syaikhul Islam berkata, "Kesyirikan mendominasi jiwa manusia, sebagaimana disebutkan dalam hadits وَهُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ "Kesyirikan pada umat ini lebih samar daripada rayapan semut", dan dalam hadits yang lain "Abu Bakar berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ . كَيْفَ نَنْجُو مِنْهُ وَهُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ ؟
"Wahai Rasulullah, bagaimana kita bisa selamat dari kesyirikan sementara ia lebih samar dari rayapan semut?".
Maka Nabi –sallallahu 'alaihi wa sallama-  berkata kepada Abu Bakar
أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً إذَا قُلْتَهَا نَجَوْتَ مِنْ دِقِّهِ وَجِلِّهِ ؟ قُلْ : اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
Maukah aku ajarkan kepadamu sebuah kalimat yang jika engkau mengucapkannya maka engkau akan selamat dari kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar?, katakanlah, "Yaa Allah aku berlindung kepada Engkau dari perbuatan syirik kepadamu yang aku mengetahuinya dan aku memohon ampun kepadaMu dari kesyirikan yang tidak aku ketahui"
Umar senantiasa berkata dalam doanya,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيهِ شَيْئًا
"Yaa Allah jadikanlah seluruh amalanku ikhlas untuk wajahMu, dan janganlah jadikan sedikitpun amalanku untuk seorangpun"

Sering sekali syahwat khofiyyah (syahwat tersembunyi) mengotori jiwa sehingga merusak perealisasian jiwa terhadap peribadatan dan kecintaan terhadap Allah dan pengikhlasan agama kepada Allah, hal ini sebagaimana disinyalir oleh Syaddad bin Aus –rahimahulloh-, beliau berkata

يَا بَقَايَا الْعَرَبِ إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّيَاءُ وَالشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ
"Wahai kaum Arab yang masih tersisa, sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riyaa' dan syahwat khofiyyah"
Abu Dawud As-Sajistaani pernah ditanya, "Apakah itu syahwat tersembunyi?", beliau berkata, حُبُّ الرِّئَاسَةِ "Senang kepemimpinan".
Dari Ka'ab bin Malik bahwa  Nabi –sallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي زَرِيبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
"Kerusakan yang timbul di kandang kambing akibat diepaskannya dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar tidaklah lebih parah daripada kerusakan yang timbul terhadap agama seseorang akibat semangatnya untuk mencari harta dan kedudukan" Imam At-Thirmidzi berkata, "Hadits ini hadits hasan shahih"

Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- menjelaskan bahwasanya kerusakan pada agama seseorang yang semangat untuk mencari harta dan kedukukan tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala yang lapar yang dilepas di kandang kambing. Dan hal ini tentu sudah jelas, karena sesungguhnya agama yang lurus tidak akan termasuki semangat mencari harta dan kedudukan. Karena hati jika telah merasakan manisnya peribadatan kepada Allah dan indahnya kecintaan kepada Allah maka tidak ada sesuatupun yang lebih dicintainya daripada hal itu, apalagi sampai mendahulukan sesuatu diatas hal itu.
Karena hal ini maka orang yang ikhlas akan dipalingkan oleh Allah dari keburukan dan perbuatan keji sebagaimana firman Allah
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas (QS 12:24).
Sesungguhnya orang yang ikhlash kepada Allah telah merasakan manisnya peribadatan kepada Allah sehingga mencegahnya untuk menyerahkan peribadatan kepada selain Allah. Manisnya cinta kepada Allah yang dirasakannya mencegahnya untuk mencintai selain Allah, karena pada hatinya tidak ada yang lebih manis dan lebih lezat, lebih baik, lebih lembut, dan lebih nikmat daripada manisnya iman yang mengandung peribadatan kepada Allah, kecintaan dan keikhlasan kepadaNya. Hal ini melazimkan tertariknya hati kepada Allah, maka jadilah hati selalu kembali kepada Allah, disertai rasa khouf dan roghbah dah rohbah kepadaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah
مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ
(yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan Dia datang dengan hati yang bertaubat, (QS 50 :33)
Karena seseorang yang mencintai sesuatu maka dia kawatir akan kehilangan apa yang dicintainya dan  datangnya perkara yang dibencinya. Maka jadilah dia seorang hamba Allah dan pecintaNya yang berada diantara khouf dan rojaa'. Allah berfirman
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS 17:57)

Jika seorang hamba ikhlash kepada Allah maka Allah akan memilihnya lalu Allah akan hidupkan hatinya dan menarik hatinya, lalu Allah akan memalingkan dari hatinya semua yang bertentangan dengan pemilihan Allah ini, Allah akan memalingkan hatinya dari keburukan dan kekejian, dan sang hambapun kawatir akan timbulnya hal-hal yang buruk.
Hal ini berbeda dengan hati yang tidak ikhlas kepada Allah, maka ia selalu dalam pencarian, kehendak, dan kecintaan yang tidak jelas dan terkendali. Maka ia akan menghendaki apa yang mendatanginya dan ia akan berpegang teguh dengan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya sebagaimana ranting pohon kalau dilewati oleh hembusan angin apa saja maka akan menggoyangkannya mengikuti arah angin tersebut. Maka terkadang hatinya terpikat oleh gambar-gambar dan bentuk-bentuk yang haram dan juga yang tidak haram. Maka jadilah ia tawanan dan budak kepada dzat yang kalau seandainya dzat tersebut ia jadikan budaknya maka itu merupakan suatu kekurangan dan tercela (bagaimana lagi jika dia yang menjadi budak dzat tersebut?-pen).
Terkadang hatinya terpikat oleh kedudukan dan kepamimpinan, akhirnya ia bisa ridho karena sebuah kalimat dan juga bisa marah karena sebuah kalimat. Ia menjadi budak orang yang memujinya, meskipun dengan pujian yang batil, dan dia akan memusuhi orang yang memusuhinya meskipun musuhnya tersebut di atas kebenaran. Terkadang ia diperbudak oleh dirham dan dinar, dan demikian juga perkara-perkara yang lain yang semisalnya yang bisa memperbudak hati-hati manusia, dan ternyata memang hati-hati manusia menyukai perkara-perkara tersebut. Maka jadilah ia menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya, dan dia mengikuti hawa nafsunya tanpa ada petunjuk dari Allah.
Barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah dan tidak menjadi hamba Allah, tidak menjadikan hatinya menyembah Allah saja tanpa syarikat dimana Allahlah yang paling ia cintai dari segala sesuatu, sehingga hatinya menjadi rendah, hina, dan tunduk dihadapan Allah, -barangsiapa yang tidak demikian- maka ia akan menjadi budak benda-benda yang ada, dan syaitan akan menguasai hatinya, sehingga ia termasuk orang-orang yang disesatkan syaitan dan menjadi saudara-saudara syaitan. Maka jadilah hatinya terpenuhi dengan keburukan dan kekejian yang sangat banyak yang tidak mengetahui hakekatnya kecuali Allah.
Ini merupakan perkara yang pasti terjadi dan tidak bisa dihindarkan. Jika hati tidak condong dan berjalan menuju Allah, dalam kondisi berpaling dari selain Allah, jika tidak demikian maka akan terjerumus dalam kesyirikan" (Majmuu' al-Fataawaa 10/215-217)
Sungguh nasehat emas Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- di atas mengingatkan kita kepada bahayanya syahwat tersembunyi, yang sering menghinggapi kita tanpa kita sadari. Karenanya dinamakan dengan syahwat yang samar dan tersembunyi. Bagaimana bisa kita menyadarinya sementara kesamarannya lebih samar daripada rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam. Tidak seorangpun yang bisa merasakan bahwa dirinya dihinggapi syahwat ini kecuali orang yang diberi bashiroh (petunjuk) dari Allah.
Ada beberapa faedah yang bisa diambil dari nasehat di atas;
Pertama : Ternyata seorang sekelas Abu Bakar As-Shiddiq juga kawatir terjerumus dalam syahwat yang tersembunyi ini. Padahal kita tahu bahwasanya beliau telah dijamin masuk surga dan bagaimana tingkat keimanan beliau yang sangat tinggi. Oleh karenanya sungguh berbahagia orang yang selalu memperhatikan gerak-gerik hatinya, selalu mengecek apakah niatnya sudah lurus atau belum, karena orang yang seperti inilah yang sadar akan bahayanya syahwat yang tersembunyi. Adapun orang yang tidak pernah mengecek gerak-gerik hatinya, tidak pernah meneliti perubahan di hatinya bagaimana mungkin dia akan tahu bahwasanya hatinya sedang terjangkit syahwat tersembunyi ini atau tidak.
Kedua : Syahwat tersembunyi yang ditafsirkan dengan "cinta kepemimpinan dan cinta kedudukan (terpandang di masyarakat)" ternyata sangat berbahaya dalam merusak agama seseorang. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kerusakannya lebih parah daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala.
Perhatikanlah kembali lafal hadits nabi tentang serigala
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي زَرِيبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
"Kerusakan yang timbul di kandang kambing akibat diepaskannya dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar tidaklah lebih parah daripada kerusakan yang timbul terhadap agama seseorang akibat semangatnya untuk mencari harta dan kedudukan"
Kita dapat merasakan kerusakan yang ditimbulkan serigala tersebut pada poin-poin berikut ini:
  • Serigala adalah binatang buas, jika tidak dalam keadaan laparpun ia sudah buas, bagaiamana lagi jika dalam keadaan lapar?, tentunya semakin lapar akan semakin buas.
  • Rasulullah tidak menyebutkan seekor serigala, akan tetapi beliau menyebutkan dua ekor serigala. Jika seekor serigala saja sudah merusak bagaimana lagi jika dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar
  • Kambing-kambing yang didatangi serigala terdapat dalam kandang, tentunya kambing-kambing tersebut tidak bisa lari menyelamatkan diri dari dua ekor serigala buas tersebut.
Oleh karenanya tidak diragukan lagi kerusakan yang diakibatkan oleh dua ekor serigala tersebut, tentunya tubuh kambing-kambing tersebut akan tercabik-cabik oleh keganasan dua ekor serigala buas tersebut. Namun ternyata kerusakan ini tidaklah lebih parah daripada kerusakan dan tercabik-cabiknya agama seseorang yang diakibatkan oleh syahwat tersembunyi yang menjangkitinya. Bagaimana tidak?, agama seseorang yang dia sangka telah dia bangun di atas bangunan megah ternyata hancur lebur seperti debu yang beterbangan hanya karena adanya syahwat tersembunyi ini, tidak ada nilainya di sisi Allah.
Betapa banyak orang yang setelah banyak beramal merasa dirinya lebih hebat dari yang lainnya, sehingga akhirnya merasa bahwa perkataannya dan pendapatnyalah yang harus didengar dan diikuti, merasa bahwa dirinyalah yang pantas untuk dijadikan panutan. Merasa dirinyalah yang pantas untuk menjadi pemimpin??!! Merasa geram dan marah jika ada pendapatnya diselisihi, bukan karena diselisihinya al-haq(kebenaran), akan tetapi karena merasa perkatannya tidak diikuti dan tidak didengar?, merasa ada yang mendahuluinya dan berani membangkangnya?...inilah syahwat khofiyyah. Betapa banyak orang yang marah karena merasa perkataan mereka dilanggar –bukan karena syari'at yang dilanggar- namun mereka membungkus syahwat khofiyyah ini dengan label syari'at, seakan-akan kemarahan mereka dikarenakan pelanggaran syari'at, seakan-akan mereka marah karena Allah. Namun ternyata kemarahan mereka adalah karena syahwat khofiyyah. Wallahul musta'aan
Ketiga : Diantara faedah yang luar biasa dari keikhlasan adalah Allah menjaga orang yang ikhlas dari fitnah syahwat. Allah berfirman,
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas (QS 12:24).
Ada dua qiro'ah dari lafal (الْمُخْلَصِينَ),
Pertama : Dengan memfathahkan huruf lam (المخلَصين) yang artinya Nabi Yusuf termasuk hamba-hamba yang dipilih oleh Allah.
Kedua : Dengan mengkasrohkan huruf laam (المخلِصين) yang artinya Nabi Yusuf –alaihis salaam- termasuk hamba-hamba Allah yang ikhlash (lihat penjelasan As-Syaukani dalam fathul qodiir dan juga As-Syinqiithi dalam adwaaul bayaan).
Akan tetapi dua tafsiran ini tidak bertentangan bahkan saling berkaitan yaitu orang yang ikhlas kepada Allah maka dia akan dipilih oleh Allah sehingga dijaga oleh Allah dari segala perbuatan keji dan keburukan. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah diatas "Jika seorang hamba ikhlash kepada Allah maka Allah akan memilihnya lalu Allah akan hidupkan hatinya dan menarik hatinya, lalu Allah akan memalingkan dari hatinya semua yang bertentangan dengan pemilihan Allah ini, Allah akan memalingkan hatinya dari keburukan dan kekejian"
Sesungguhnya keikhlasan akan membuahkan rasa manisnya iman dan lezatnya peribadatan kepada Allah, oleh karenanya orang yang ikhlas tidak akan mencari kelezatan dan kenikmatan pada perkara-perkara yang dibenci oleh Allah, dan dia tidak akan mau meninggalkan kelezatan iman and ikhlas yang dirasakannya, maka dia tidak akan membiarkan dirinya terjangkiti oleh syahwat khofiyyah.

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
read more “Untaian Nasehat Ibnu Taimiyyah 3 : "Bahaya Syahwat Tersembunyi "”

Untaian nasehat Ibnu Taimiyyah 2 : "Janganlah mencegah orang untuk melakukan penyiaran kebajikan dengan dalih kawatir riyaa'"

Sunday, 29 August 2010 10:50 administrator
air beriakSyaikhul Islam berkata, "Barang siapa yang memiliki kebiasaan ibadah yang disyari'atkan seperti sholat dluha, sholat malam, dan yang lainnya, maka hendaknya ia tetap mengerjakannya dimanapun ia berada. Hendaknya ia tidak meninggalkan kebiasaan ibadahnya tersebut hanya karena dia sedang berada dihadapan manusia jika Allah telah mengetahui dari isi hatinya bahwasanya ia (biasanya) telah melakukan ibadah-ibadah tersebut secara sirr (bersendirian dan sembunyi-sembunyi) karena Allah dan kesungguhannya untuk membersihkan hatinya dari penyakit riyaa' dan penyakit-penyakit lain yang bisa merusak keikhlasannya. Oleh karena itu Fudhoil bin 'Iyaadh pernah berkata,
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
"Meninggalkan amalan karena manusia adalah riyaa', dan beramal karena manusia adalah kesyirikan"….

Barangsiapa yang melarang suatu perkara (ibadah) yang disyari'atkan hanya karena persangkaanya bahwa hal itu adalah riyaa' maka pelarangannya tersebut tertolak dari beberapa segi;

Pertama : Amalan-amalan yang disyari'atkan tidaklah dilarang hanya karena takut terjerumus dalam riyaa', bahkan amalan-malan tersebut tetap diperintahkan sambil diperintahkan untuk ikhlas dalam mengamalkannya. Jika kita melihat ada orang yang melakukan ibadah dan amalan –meskipun kita bisa memastikan ia melakukannya karena riyaa'- kita tetap membenarkan amalannya. Orang-orang munafiq yang disifati oleh Allah dengan firmanNya
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (QS An Nisaa’ [4] :142)
Nabi –sallallahu 'alaihi wa sallama- dan kaum muslimin membenarkan perkara agama yang dinampakkan oleh orang-orang munafiq tersebut –meskipun mereka melakukannya karena riyaa'-, dan mereka tidak dilarang untuk menampakkan amalan dzohir. Hal ini karena kerusakan yang timbul akibat meninggalkan sikap menampakkan (menyiarkan) ibadah yang disyari'atkan lebih besar dari pada kerusakan yang timbul akibat menyiarkan ibadah dengan riyaa'. Sebagaimana kerusakan yang timbul karena meninggalkan penyiaran iman dan sholat lebih besar daripada kerusakan yang timbul akibat menyiarkannya dengan riyaa'.
Dan karena pengingkaran hanyalah tertuju pada kerusakan yang timbul karena menyiarkan amalan karena riyaa' terhadap manusia.
Kedua : Karena pengingkaran hanyalah tertuju pada apa yang diingkari oleh syari'at, padahal Rasulullah pernah bersabda
إنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ، وَلَا أَنْ أَشُقَّ بُطُونَهُمْ
"Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk memeriksa hari-hati manusia dan membelah perut mereka"
Umar bin Al-Khotthoob pernah berkata,
مَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَجَبْنَاهُ، وَوَالَيْنَاهُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ سَرِيرَتُهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ، وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا شَرًّا أَبْغَضْنَاهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ زَعَمَ أَنَّ سَرِيرَتَهُ صَالِحَةٌ
"Barangsiapa yang menampakkan kepada kami kebaikan maka kami akan menerimannya dan kami akan berwala' kepadanya, meskipun batinnya menyelisihi dzohirnya.
Dan barangsiapa yang menampakkan kejelekan kepada kami maka kami akan memusuhinya meskipun dia menyangka bahwa batinnya baik"
Ketiga : Pembenaran perkara ini (yaitu mengingkari orang yang menampakkan amalan sholeh karena dituduh riyaa') menjadikan para pelaku kesyirikan dan kerusakan akan mengingkari para pelaku kebaikan dan agamawan. Karena jika mereka melihat ada orang yang menampakkan ibadah yang disyari'atkan dan disunnahkan serta merta mereka akan berkata, "Orang ini adalah orang yang riyaa'". Hal ini tentu mengakibatkan orang-orang yang baik dan ikhlas akan meninggalkan penyiaran ibadah-ibadah yang disyari'atkan karena kawatir dengan celaan dan ejekan mereka. Akibatknya kebaikan akan ditinggalkan, dan jadilah kekuatan didominasi oleh para pelaku keyirikan dalam menyiarkan keburukan, dan tidak seorangpun yang mengingkari perbuatan mereka. Ini tentu merupakan kerusakan yang sangat besar.
Keempat : Bentuk pengingkaran seperti ini merupakan salah satu syi'arnya orang-orang munafiq, yaitu mencela orang yang menampakkan amalan-amalan yang disyari'atkan. Allah berfirman
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
(orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih (QS At Taubah [ 9] :79)
Sesungguhnya tatkala Nabi –sallallahu 'alaihi wa sallama- tatkala memotivasi para sahabat untuk berinfaq pada waktu perang Tabuuk maka datanglah sebagian sahabat menginfakkan sekantong uang yang berat hingga hampir-hampir tangannya tidak mampu untuk membawa kantong tersebut. Orang-orang munafik pun mengomentari dengan berkata, "Orang ini orang yang riyaa'". Sebagian sahabat ada juga yang menginfakkan satu soo' (sekitar 2,5 kg gandum atau kurma) maka orang-orang munafikpun berkomentar, "Allah sungguh tidak butuh dengan satu soo' si fulan". Maka mereka orang-orang munafik mengejek yang model ini dan model itu, maka Allahpun menurunkan ayat diatas, dan jadilah peristiwa ini sebagai peringatan bagi orang-orang yang mengejek dan mencela kaum mukminin yang melakukan amalan sholeh karena Allah dan RasulNya. Wallahu a'lamu" (Majmuu' al-Fataawaa 23/174-175)

Sungguh nasehat emas Ibnu Taimiyyah diatas mengingatkan kita untuk terus semangat beramal sholeh dengan penuh keikhlasan, dan tetap berjuang untuk ikhlas dan melawan penyakit riyaa' jika kita melakukan amalan-amalan kebajikan dihadapan khalayak ramai. Jangan sampai kita akhirnya meninggalkan syi'ar islam hanya karena takut riyaa'. Menyembunyikan amalan sholeh memang merupkan hal yang disyari'atkan, akan tetapi terkadang kita dihadapkan dengan kondisi yang mau atau tidak mau kita harus menampkkan amalan sholeh kita dihadapan orang lain, jika tidak maka kita tidak jadi beramal. Misalnya kita sedang berada rapat bersama sahabat-sahabat kita dari pagi hingga waktu sholat dzuhur, sementara kebiasaan kita adalah sholat dhuha. Maka bagaimanakah sikap kita, apakah kita tetap melaksanakan sholat dhuha dihadapan teman-teman kita?, ataukah kita meninggalkan sholat dhuha kita, karena kawatir terjerumus dalam riyaa'?. Terkadang datang bisikan dalam hati kita untuk tidak menampakkan syi'ar islam dengan alasan kawatir terjerumus dalam riyaa'. Jika datang bisikan tersebut maka yakinlah bisikan tersebut datang dari syaitan yang ingin mencegah kita dari beramal kebajikan.  Maka nasehat emas di atas merupakan jawaban atas bisikan yang menggoda kita tersebut.
Dan ingatlah, bukankah jika kita menampakkan syi'ar-syi'ar Islam maka itu merupakan salah satu bentuk dakwah secara terang-terangan?. Ketahuilah di zaman sekarang ini betapa banyak kaum muslimin dan muslimat yang malu untuk menunjukan ke-Islaman mereka. Betapa banyak orang Islam yang malu untuk membuka al-qur'an jika mereka sedang berada di hadapan umum, di ruang tunggu, atau di atas bis kota.? Betapa banyak orang Islam yang malu melaksanakan sholat sunnah di hadapan teman-teman mereka?. Betapa banyak wanita yang malu untuk memakai jilbab yang lebar dan syar'i hanya karena malu dan takut dikatakan sok alim.
Wahai para pembaca yang budiman, ingatlah bagaimana para sahabat –tatkala di awal dakwah Islam di kota Mekah- betapa banyak di antara mereka yang berangan-angan untuk bisa menampakkan Islam. Meskipun taruhannya adalah siksaan yang berat dan pedih yang harus mereka rasakan. Untuk bisa mengucapkan Laa ilaaha illallaah secara terang-terangan maka harus ditebus dengan pukulan yang menyakitkan dengan kroyokan, bahkan ada diantara para sahabat yang diseret dengan bertelanjang badan diatas tanah dan batu-batu yang panas di bawah sinar matahari yang sangat terik. Bahkan ada diantara mereka ada yang harus menebus penyiaran Islam dengan harus diletakkan tubuhnya di atas arang yang menyala-nyala hingga akhirnya arang-arang tersebut padam karena melecetkan kulit tubuhnya….
Bahkan ada yang harus menebus penyiaran Laa ilaaha illallahu dengan mati syahid….
Lantas sekerang kenapa kita sekarang harus malu untuk menyiarkan syi'ar Islam dihadapan masyarakat??, kenapa kita harus malu untuk menggerakkan bibir dan lisan kita dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwasanya kita cinta untuk berdzikir dan mengingat Allah penguasa alam semesta ini???
Nasehat emas diatas juga merupakan bantahan yang telak kepada syubhat yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang dalam hati mereka ada kemunafikan. Diantara mereka ada yang berkata –seakan-akan memberi nasehat, padahal hakekatnya adalah ingin menyesatkan-, "Janganlah engkau sholat berjama'ah nanti engkau terjerumus dalam riyaa', cukuplah engkau sholat di rumah, karena hal itu bisa lebih menjaga keikhlasan". Ada juga yang berkata kepada wanita mukminah, "Janganlah engkau memakai jilbab, itu akan mendatangkan riyaa' dalam hatimu, bukankah sahabat-sahabatmu tidak memakai jilbab?, maka buat apa engkau tampil beda yang akan bisa mendatangkan kesomobongan dalam hatimu". Dan lontaran-lontaran lainnya yang merupakan bisikan Iblis kepada mereka.
Kepada mereka kita katakana, "Jangalah kalian mengaku sebagai seorang muslim, karena itu akan mendatangkan riyaa', katakanlah saja jika ada yang bertanya tentang agama kalian, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang munafik". Karena sesungguhnya jawaban ini lebih jauh dari riyaa' –sebagaimana keyakinan kalian-"
Sumber: www.firanda.com
read more “Untaian nasehat Ibnu Taimiyyah 2 : "Janganlah mencegah orang untuk melakukan penyiaran kebajikan dengan dalih kawatir riyaa'"”

Untian Nasehat Ibnu Taimiyyah, "Carilah Ridho Allah, Bukan Ridho Makhluk"

Saturday, 28 August 2010 06:31 administrator


mountainSyaikhul Islam berkata, "Merupakan perkara yang wajib untuk diketahui bahwasanya –menurut akal sehat dan menurut agama- tidak diperbolehkan mencari keridoan para makhluq, karena dua hal:
Pertama : Hal ini adalah suatu perkara yang tidak mungkin untuk bisa dicapai sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi'i, رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ "Ridho manusia merupakan tujuan yang tidak bisa tercapai" maka hendaknya engkau mencari perkara yang baik bagimu, lazimilah perkara tersebut, dan tinggalkan yang selainnya dan janganlah engkau bersusah-susah untuk memperolehnya.

Kedua : Sesungguhnya kita diperintahkan untuk senantiasa mencari keridhoan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah :

[وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ} [التوبة: 62}
Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak untuk mereka cari keridhoan-Nya (QS 9:61)
Maka wajib bagi kita untuk takut kepada Allah, dan hendaknya kita tidak takut kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah sebagaimana firman-Nya
[فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ} [آل عمران: 175}
Maka janganlah kalian takut kepada mereka tapi takutlah kalian kepadaKu (QS 3:175)
[فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ} [المائدة: 44}
Maka janganlah kalian takut kepada manusia, akan tetapi takutlah kepadaKu (QS 5:44)
[فَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ} [النحل: 51}
Maka kepadaKulah takutlah kalian (QS 16:51)
[وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ} [البقرة: 41}
Maka hanya kepadaKulah takutlah kalian (QS 2:41)
Maka hendaknya kita takut kepada Allah, dan hendaknya kita bertakwa keapda Allah dihadapan manusia, maka janganlah kita mendzolimi mereka baik dengan hati kita maupun dengan anggota tubuh kita, dan hendaknya kita menunaikan hak-hak mereka dengan hati kita maupun dengan anggota tubuh kita. Janganlah kita takut kepada mereka sehingga akhirnya kita meninggalkan perintah Allah dan Rasul-Nya karena takut kepada mereka.
Barangsiapa yang melazimi sikap ini maka kesudahannya adalah sebagaimana yang pernah dituliskan Aisyah kepada Mu'awiyah
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّهُ مَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ الناَّسَ، وَعَادَ حَامِدُهُ مِنَ النَّاسِ ذَامًّا، وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ
"Sesungguhnya barangsiapa yang mencari keridhoan manusia dengan mendatangkan kemurkaan Allah maka Allah akan murka kepadanya dan akan menjadikan manusia juga marah kepadanya, dan orang yang memunjinya akan berubah menjadi mencelanya.
Dan barangsiapa yang mencari keridhoan Allah meskipun mendatangkan kemarahan manusia maka Allah akan ridho kepadanya dan akan membuat mereka ridho kepadanya".
Maka seorang mukmin janganlah menjadikan pikirannya dan tujuannya kecuali mencari keridhoan RobNya dan menjauhi kemurkaanNya, dan kesudahan sesuatu adalah ditanganNya, serta tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah". (Majmu' Al-fatawa 3/232-233)

Sungguh ini merupakan nasehat yang sangat berharga dari syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, betapa banyak orang yang tatkala mengambil tindakan dan keputusan maka yang menjadi pertimbangan utama adalah sikap manusia kepadanya, apakah mereka akan ridho dengan keputusannya ataukah tidak…?
Bahkan betapa banyak orang yang akhirnya memilih untuk meraih keridhoan dan pujian manusia dengan mengorbankan syari'at Allah, dengan nekad melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap syari'at Allah. Tapi yang menjadi pertanyaan apakah akhirnya yang mereka raih..???
Betapa banyak orang yang melakukan demikian dengan penuh harapan untuk dipuji dan diridhoi oleh manusia namun akhirnya mereka tidak memperolehnya, bahkan apa yang mereka peroleh berbalik dengan apa yang mereka harapkan, masyarakat justru mencela dan memaki mereka.
Memang benar, terkadang mereka berhasil meraih pujian manusia dengan mengorbankan syari'at Allah, akan tetapi apakah pujian ini akan langgeng…??, tentu tidak, suatu saat Allah akan merubah pujian tersebut menjadi celaan.
Bukankah ada partai yang tadinya berjalan diatas rel dakwah namun akhirnya merubah relnya hanya karena ingin mencari massa dan mencari keridoan mereka…, akhirnya partai inipun dicela dan dimaki-maki oleh manusia, bahkan dicela dari orang-orang yang dahulu mendukungnya…?.
Bukankah ada dai yang tadinya berdakwah di atas sunnah, namun tatkala dakwahnya tidak mendatangkan massa maka diapun merubaha cara dakwahnya dengan mengikuti selera masyarakat dengan harapan akan mendatangkan massa. Dan sungguh benar bahwa apa yang diharapkannya itu diraihnya, maka berbondong-bondong masyarakat mengikuti dakwahnya, bagaimana tidak… dakwahnya sesuai dengan selera mereka. Akan tetapi… apakah hal ini berlangsung lama… hanya beberapa tahun … kemudian semuanya menjadi berubah, diapun ditinggalkan oleh para pengikutnya yang dahulunya memujanya.
Sebaliknya betapa banyak dai yang berdakwah diatas sunnah, meskipun di awal dakwahnya selalu ditentang masyarakat, bahkan dibenci dan dimaki-maki, akan tetapi mereka para dai tersebut tetap bersabar dan mengharap keridhoan Allah meskipun harus ditebus dengan cercaan dan makian masyarakat, bahkan tidak jarang harus bersabar menghadapi gangguan secara fisik, akan tetapi setelah beberapa waktu berlalu akhirnya kondisi berbalik dan berbondong-bondong masyarakat yang tadinya membenci berubah menjadi mencintai.
read more “Untian Nasehat Ibnu Taimiyyah, "Carilah Ridho Allah, Bukan Ridho Makhluk"”

Selasa, 08 Maret 2011

SIAPA YANG AKAN MENYOLATKAN JENAZAHMU KELAK??

Monday, February 22nd, 2010 | Author: Abu Zubair Hawaary
 

بسم الله الرحمن الرحيم .

SIAPA YANG AKAN MENYOLATKAN JENAZAHMU KELAK?


Saudaraku
Siapa yang akan menyolatkan jenazahmu kelak?
Apakah engkau sudah memilih orang-orang yang akan berdiri mengisi shaf-shaf di belakang jenazahmu, untuk menyolatkanmu?
Pertanyaan yang mungkin terdengar aneh dan membingungkan.
Apa mungkin kita memilih itu? Apakah kita pantas untuk memilih orang yang akan menyolatkan kita?
Jangan gusar saudaraku, sabar .. buka hatimu sebelum membuka mata dan telingamu!
Sudah menjadi kebiasaan, bahwasanya yang akan menyolatkan jenazahmu adalah orang-orang yang engkau cintai dan teman-temanmu, bukankah begitu?
Sekarang cobalah lihat orang-orang di sekelilingmu, lihatlah teman-teman dekatmu, siapa di antara mereka yang pantas untuk menyolatkanmu apakah si A atau si B, apakah dia memang pantas menyolatkanmu?
Saudaraku,
Janganlah menutup mata dari realita yang ada dan jangan sumbat telingamu dari nasehat yang berharga. Bisa jadi kenyataan yang ada memang pahit dan nasehat yang akan engkau dengar menyakitkan. Lapangkanlah dadamu semoga Allah Ta’ala memberkahimu.
Saudaraku, kita harus menelan pahitnya permasalahan ini. Karena itu lebih baik dari kita menelan akibatnya di hari kiamat, di mana tak mungkin lagi mengulangi kehidupan di dunia.
Saudaraku,
-          Siapa yang akan memandikanmu?
-          Siapa yang akan mengafankanmu?
-          Siapa yang akan mengangkat kerandamu?
-          Siapa yang akan menyolatkanmu?
-          Siapa yang akan meletakkanmu di liang lahad?
-          Siapa yang akan mendo’akanmu?
-          Siapa yang akan berdiri di sisi kuburanmu, berdo’a untukmu agar Allah meneguhkanmu ketika malaikat menanyamu?
Jawablah saudaraku!
Siapa yang akan menangisimu?
-          Apakah perokok itu?
-          Ataukah orang yang tidak mau tunduk dan sholat kepada Robbnya ini?
-          Ataukah orang yang meninggalkan puasa dan zakat ini?
-          Ataukah orang yang membiarkan istri dan anak perempuannya bebas berkeliaran di jalanan dan tempat hiburan dengan penampilan yang buruk dan pakaian yang hampir telanjang? Orang yang rela dirinya menjadi seorang Dayyuts?
-          Ataukah orang yang bergelimang maksiat dan dosa besar?
-          Ataukah orang yang tidak memalingkan pandangannya dari wanita bukan mahrom, memandangnya seakan-akan menelanjanginya dengan matanya?
Saudaraku, siapa orang yang engkau inginkan menangisi kematianmu?
-          Apakah temanmu yang mengajakmu ke tempat-tempat minuman keras, ataukah orang yang mengajakmu ke majlis-majlis ilmu?
-          Atau orang yang kalau berbicara, tema pembicaraannya denganmu adalah berita-berita artis, bintang film, penari dan penyanyi, serta menyampaikan kepadamu berita-berita cabul dan keji, ataukah orang yang kalau berbicara kepadamu mengatakan,; Allah berfirman  .. Rasulullah bersabda?
-          Atau orang yang mengajakmu ke tempat hiburan, pantai, sinema dan menghabiskan waktu dengan menonton televisi serta perlombaan-perlombaan ataukah yang mengajakmu ke taman-taman surga?
-          Apakah orang yang mengajak atau  bersamamu main domino, catur dan tenis ataukah orang yang membukakan untukmu lembaran-lembaran Mushaf Al Qur’an?
Saudaraku
Siapa teman dekat dan sahabat akrabmu? Kami bantu engkau untuk memilih sahabat atau teman yang akan menyolatkan jenazahmu esok.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda,
(( لاتصحب إلا مؤمناً ولا يأكل طعامك إلا تقي))
“Janganlah bersahabat kecuali dengan seorang mukmin dan janganlah memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al Hakim, dihasankan oleh Al Albany, Shohih Al Jami’ no. 7341)
Beliau shollallahu ‘alaihi wasallama juga bersabda,
(( مثل الجليس الصالح والجليس السوء كمثل صاحب المسك وكير الحداد ، لايعدمك من صاحب المسك أن تشتريه أو تجد ريحه ، وكير الحداد يحرق بدنك أو ثوبك أو تجد منه  ريحاً خبيثاً))
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk itu laksana berteman dengan penjual minyak wanig dan pandai besi. Seorang penjual minyak wangi engkau bisa membeli darinya atau setidaknya mendapatkan aromanya. Sedangkan pandai besi akan membakar badanmu atau pakaianmu atau engkau mendapatkan darinya bau yang tidak sedap”. (HR. Bukhari)
Coba engkau renungkan buah dari persahabatan yang baik dengan orang yang baik di dunia sebelum manfaatnya di akhirat!
Rasul kita shollallahu ‘alaihi wasallama mengisahkan,  ada tiga orang dari umat sebelum kalian yang melakukan perjalanan, sehingga mereka terpaksa bermalam di sebuah go’a, tatkala mereka telah memasukinya bebatuan dari atas gunung berjatuhan sehingga menutupi pintu gua. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada yang akan menyelamatkan kalian dari gua ini kecuali setiap kalian berdo’a kepada Allah dengan amal sholehnya’.
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallama menyebutkan di dalam kisah tersebut, bahwasanya orang yang pertama berdo’a dengan amal sholehnya maka terbukalah sedikit pintu gua yang tertutup bebatuan yang longsor itu, akan tetapi mereka belum bisa keluar.
Dan yang kedua berdo’a dengan amal sholehnya, lalu batu yang menutup pintu goa bertambah terbuka namun mereka belum juga bisa keluar darinya.
Dan yang ketiga juga berdo’a dengan amal sholeh maka terbukalah pintu gua tersebut dan merekapun keluar. (kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari)
Perhatikan bagaimana persahabatan ini bermanfaat sehingga Allah Ta’ala mengeluarkan semuanya dengan selamat.
Bayangkan saudaraku,
Kalaulah salah seorang dari mereka tidak memiliki kesalehan, niscaya mereka tidak dapat keluar, bahkan bisa jadi semuanya mati, akibat siapa? Akibat maksiat yang seorang itu.
Rasululllah shollallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
(( مامن رجل مسلم يموت فيقوم على نجازته اربعون رجلاً لايشركون بالله شيئاًإلا شفعهم الله فيه ))
“Tidaklah seorang muslim wafat, lalu berdiri menyolatkan jenazahnya empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun melainkan Allah jadikan mereka sebagai syafa’at baginya”. (HR. Muslim)
Ini mencakup dua perkara :
Pertama : mereka menjadi syafaat baginya maksudnya tulus berdo’a untuknya memohonkan ampuntan untuknya.
Kedua : mereka adalah orang-orang yang beriman; akidah mereka bersih dari syirik kecil apalagi yang besar.
Saudaraku, kesempatan masih terbentang di hadapanmu.
Tidakkah engkau melihat jenazah dan orang-orang yang berjalan mengiringi di belakangnya, keadaan mereka sama seperti keadaan si mayit. Bukan itu kenyataan yang ada?
Bahkan engkau lihat, orang yang mengantar jenazahmu ini bisa jadi tidak ikut menyolatkanmu, akan tetapi ia menunggu di luar mesjid. Apabila orang selesai menyolatkanmu dia ikut mengangkatmu untuk memasukkanmu ke liang lahad. Bukankah ini realita yang memedihkan yang kita saksikan? Bahkan mungkin engkau sendiri tidak menyolatkan jenazah salah seorang temanmu yang engkau antar.
Mungkin engkau akan mengatakan, lantas apa yang harus aku lakukan? Apa jalan yang harus aku tempuh?
Simaklah kisah berikut ini, yang dikisahkan oleh Nabi kita shollallahu ‘alaihi wasallama, “Dahulu pada masa orang-orang sebelum kalian ada seseorang yang telah membunuh Sembilan puluh sembilah jiwa. Lalu ia bertanya siapa orang yang paling berilmu. Maka ditunjukanlah kepadanya seorang rahib. Ia pun pergi mendatanginya. Ia berkata kepada rabib tersebut, ‘Sesungguhnya aku telah membunuh Sembilan puluh Sembilan jiwa, apakah masih ada taubat untukku? Rahib berkata, ‘Tidak’. Maka ia membunuhnya, genaplah seratus orang dibunuhnya. Kemudian ia menanyakan lagi tentang orang yang paling berilmu (tempatnya bertanya). Ditunjukkanlah kepadanya seorang ‘alim (yang berilmu). Ia mendatanginya dan berkata, ‘Aku telah membunuh seratus orang, apakah masih ada taubat untukku? Ahli ilmu itu menjawab, ‘Ya, siapa yang akan menghalangi antara engkau dengan  taubat?! Pergilah ke negeri ini dan ini, sesungguhnya di sana ada orang-orang yang mengibadati Allah, ibadatilah Allah bersama mereka jangan pulang ke kampungmu, sesungguhnya kampungmu itu tempat yang buruk’.
Berangkatlah ia sehingga di pertengahan jalan, Malaikat Maut mendatanginnya, maka malaikat rahmat dan malaikat azab saling berebut untuk membawa ruhnya. Malaikat rahmat berkata, ‘Ia datang kepada kami dengan bertaubat, menghadap Allah dengan hatinya’. Dan malaikat azab berkata, ‘Dia belum melakukan amal kebaikan sama sekalipun’. Maka Allah mengutus seorang malaikat kepada mereka. Dan memerintahkan kedua malaikat itu mengukur jarak antara ke dua tempat tersebut. Ketempat mana jaraknya yang terdekat denganya maka orang itu untuknya. Maka mereka mengukurnya, mereka mendapatkannya lebih dekat ke negeri yang ditujunya, maka malaikat rahmat membawanya”.
Dalam riwayat lain, “Maka Allah mewahyukan kepada bumi yang ditinggalkannya untuk menjauh dan bumi yang akan ditujunya untuk mendekat”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Baihaqy dan  Ibnu Majah)
Saudaraku, inilah berkah keta’atan, berkah bersegera bertaubat.
Dari kisah ini kita petik pelajaran berharga, bahwasanya disukai bagi seorang yang bertaubat meninggalkan tempat-tempat dia dulu melakukan perbuatan dosa, dan teman-teman yang dulu membantunya berbuat maksiat, serta memutus persahabatan dengan mereka selama mereka tidak berobah masih bergelimang lumpur maksiat. Dan hendaklah ia menggantikan mereka dengan berteman dengan orang-orang yang baik dan sholeh, serta ahli ilmu dan ibadah, dan orang-orang yang bisa dijadikan teladan serta berteman dengan mereka mendatangkan manfaat dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala memrintahkan kita bertaubat dan kembali kepadaNya,
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأنهار ﴾ [اتحريم:8].

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nashuhah, mudah-mudahan Robb kamu mengampuni dosa-dosa kamu dan memasukkan kamu ke dalam surge-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.
Dari sekarang saudaraku, jangan tutup halaman ini kecuali engkau telah menutup lembahan-lembaran masa lalumu. Untuk membuka lembaran-lembaran baru yang putih bersih ..awal jalanmu menuju Allah, jalan menuju ridhoNya, jalan menuju Daarus Salam.
﴿ وَاللّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلاَمِ وَيَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴾ [يونس : 25]
Artinya, “Dan Allah menyerumu kepada Daarus Salam dan menunjuki orang-orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus”.
Ya Allah, tunjukilah kami kepada jalanMu yang lurus, dan kumpulkanlah kami kelak di hari kiamat bersama para nabi, orang-orangh yang shiddiq, orang-orang yang mati syahir dan orang-orang yang sholeh, merekalah sebaik-sebaik teman, Allahumma Aamiin.

Sumber: http://abuzubair.net/siapa-yang-akan-menyolatkan-jenazahmu-kelak/
read more “SIAPA YANG AKAN MENYOLATKAN JENAZAHMU KELAK??”

Senin, 07 Maret 2011

Ayah.., Dengarkanlah!



Written by Administrator   
Saturday, 30 May 2009 05:49
Di antara hal yang tidak diragukan lagi karena memang terjadi adalah bahwa setiap ayah mendambakan anak sebagai buah hati bisa sukses dan berhasil dalam pendidikan dan sekolahnya serta kehidupannya. Karenanya, ayah senantiasa berdo'a kepada Allah agar memberikan kemudahan dan keteguhan bagi anak tercinta. Ayah menjanjikan hadiah dan mengabulkan keinginan si buah hati jika lulus dalam ujian dan memberikan ancaman serta marah jika sampai gagal dalam ujian. Perasaan seperti ini memang merupakan fitrah manusia dan memang terjadi di antara kita.

Akan tetapi wahai Ayah yang penyayang, apakah perhatianmu kepada si buah hati berupa perhatian penuh terhadap sekolah, pendidikan, masa depan dan urusan dunianya itu -karena memang engkau sadar itu adalah kewajibanmu- sama seperti perhatianmu terhadap akhirat mereka? Apakah engkau benar-benar memikirkan dan mengkhawatirkan nasib mereka setelah mati seperti halnya perhatianmu akan kenyamanan dan kebahagiaan hidup mereka sewaktu di dunia? Inilah tanggung jawabmu wahai Ayah. Engkau curahkan semuanya untuk dunia yang fana sementara engkau abaikan akhirat yang kekal selamanya. Engkau sibuk memikirkan kehidupan mereka tapi engkau lupakan keadaan setelah matinya. Engkau bangun bagi mereka rumah dari tanah, batu dan bata di dunia tapi engkau haramkan mereka untuk mendapatkan rumah di akhirat yang indah bertatahkan intan permata.

Itulah keinginanmu! Itulah angan-anganmu! Semuanya tidak lebih dari agar anak-anakmu bisa jadi dokter, insinyur, pilot ataupun tentara. Ya Allah! Semuanya itu hanya cita-cita dunia…..! Engkau berusaha, bekerja membanting tulang dan bersungguh-sungguh hanya untuk dunianya… Mana usahamu untuk akhiratnya wahai Ayah……? Fenomena ini bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan mayoritas manusia demikian adanya. Mereka begitu serius berusaha mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendidikan fisik anak-anaknya. Tetapi mereka menelantarkan pendidikan hatinya yang padahal dengannyalah anak-anaknya bisa hidup dan bahagia atau sebaliknya binasa dan sengsara. Inilah kenyataan!

Ayah! Mungkin engkau mengira bahwa ini hanyalah perkataan yang tiada beralasan. Tapi jika engkau ingin bukti maka simaklah wahai Ayah yang penyayang!

Bayangkan atau anggap anakmu terlambat mengikuti ujian di sekolahnya. Apakah yang engkau rasakan wahai Ayah? Bukankah engkau akan berlomba dengan waktu mengantarkan anakmu agar bisa mengikuti ujian meskipun terlambat? Bahkan sebelumnya, bukankah engkau akan rela untuk tidur setengah mata agar bisa membangunkan si buah hati supaya tidak terlambat? Bukankah engkau akan melakukan segalanya agar anak tercinta yang menjadi kebanggaanmu bisa ikut ujian tepat waktu? Saya yakin jawabannya adalah Ya. Bukankah engkau melakukan semua itu wahai Ayah? Akuilah!!

Sekarang, apakah perasaanmu itu sama atau akan muncul juga ketika anakmu terlambat shalat Shubuh? Apakah engkau akan berusaha agar anakmu shalat Shubuh tepat waktu? Saya hanya berprasangka baik bahwa engkau memang shalat Shubuh tepat waktu. Karena jika tidak, bagaimana mungkin engkau akan membangunkan anak-anakmu sementara engkau sendiri terlambat untuk itu?

Kemudian, bukankah engkau setiap hari senantiasa bertanya kepada anakmu tentang sekolahnya? Apa yang dipelajari, apa yang dilakukan, jawaban apa yang diberikan ketika ujian dan berharap jawaban itu benar? Tetapi, apakah setiap hari engkau bertanya juga tentang urusan agamanya? Apakah engkau bertanya sudahkah dia shalat? Dengan siapa dia duduk dan bergaul? Tidakkah engkau bertanya apa yang dia lakukan ketika tidak di rumah, ta'at atau maksiat?

Ayah, bukankah dadamu terasa sesak ketika tahu bahwa si buah hati salah dalam menjawab ujian? Bukankah engkau merasa terhimpit ketika tahu bahwa nilainya jauh di bawah sempurna bahkan rata-rata? Bukankah engkau merasa terpukul ketika tahu bahwa dia gagal dalam ujiannya? Akan tetapi, apakah dadamu juga terasa sesak, dadamu juga terasa terhimpit ketika tahu bahwa anakmu sangat minim dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya terlebih sunah-sunahnya? Tidakkah ini cukup menjadi bukti bahwa engkau lebih dan hanya memperhatikan dunianya dan mengabaikan akhiratnya?

Ayah, engkau mengira apabila anakmu tidak lulus ujian berarti kandas sudah cita-cita dan harapan yang ada. Engkau menyangka bahwa dalam hal itu tidak ada kesempata kedua terlebih ketiga. Ketahuilah wahai Ayah…, bahwa kegagalan yang hakiki…, kegagalan yang memang tidak ada lagi kesempatan kedua atau ketiga untuk memperbaiki, adalah masuknya mereka ke dalam neraka dengan api yang panas menyala-nyala. Tahukah engkau bahwa kegagalan yang hakiki adalah penyesalan dan kerugian yang disertai adzab yang pedih lagi menghinakan? Setelah ini akankah engkau masih beralasan bahwa kita sekarang hidup di dunia sehinga harus fokus memikirkannya? Kalau begitu kapankah engkau akan fokus memikirkan akhirat padahal di akhirat nanti tidak ada lagi amalan yang ada hanyalah pembalasan?

Sungguh wahai Ayah jikalau demikian adanya -kita berlindung kepada Allah darinya- maka tidaklah bermanfaat kesuksesan yang diraih di dunia. Tidaklah bermanfaat ijazah, harta, istana yang megah, kedudukan dan kekuasaan kalau ternyata catatan amal perbuatan diberikan dari arah kirinya. Kemudian mereka akan berteriak:
Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-sekali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaannku dariku. (Al-Haqqah: 25-29)

Ah…sungguh tidak bermanfaat kekuasaanku, ilmu duniaku, serta ijazahku. Semuanya telah hilang, semuanya lenyap…yang ada hanyalah kerugian dan kegagalan.

Tahukah engkau apakah kerugian itu? Tahukah engkau apakah kegagalan itu? Ya, di dunia kerugian dan kegagalan itu adalah jika anakmu tidak bisa menjadi dokter, atau insinyur atau pilot dan guru. Akan tetapi di akherat, yang ada hanyalah kebahagiaan atau kesengsaraan. Yang satu berarti surga yang lainnya berarti neraka. Akankah engkau rela membiarkan mereka mengalami kerugian dan kegagalan dalam arti kesengsaraan di dalam neraka?

Saya tidak katakan tinggalkan anak-anakmu! Saya tidak katakan biarkan mereka jangan diajari masalah dunia! Tidak, demi Allah, saya tidak katakan demikian. Saya hanya katakan bahwa akherat lebih utama dan ditekankan untuk diperhatikan, lebih serius untuk diusahakan dan lebih bersunguh-sungguh untuk beramal meraih kebahagiaannya.

Wahai Ayah…! Siapakah di antaramu yang begitu bersemangat bersungguh-sungguh mendatangkan seorang pendidik untuk mengajarkan kepada anaknya Al-Qur'an dan menerangkan As-Sunnah? Sungguh sedikit sekali yang telah berbuat demikian. Alangkah baik kiranya kalau mereka tidak memfasilitasi anak-anaknya dengan sarana kerusakan. Akan tetapi kita lihat justru mereka dengan jeleknya pemikiran dan kurangnya perhitungan malah mendatangkan kejelekan bagi anak-anaknya dengan memfasilitasi dengan kendaraan-kendaraan, sopir pribadi, pembantu (pelayan) serta memenuhi rumahnya dengan barang-barang dan hal-hal yang diharamkan yang melalaikan dari dzikrullah dan ta'at kepada-Nya.

Siapakah di antara kalian wahai Ayah yang memberikan hadiah pada anaknya apabila hafal satu juz dari Al-Qur'anul Karim atau beberapa hadits dari hadits Nabi saw ? Sungguh sangat sedikit sekali yang demikian ini. Kita mohon kepada Allah agar memberkahi yang sedikit ini. Kita lihat sebagian manusia, mereka menjanjikan pada anaknya apabila lulus ujian akan diajak pesiar menyusuri pantai yang indah atau wisata ke mancanegara, apakah Eropa atau Amerika, serta mereka menjanjikan dibelikan mobil agar bebas mengukur jalan. Namun adakah di antara meraka yang menjanjikannya untuk diajak umrah atau haji dan mengunjungi masjid Nabi saw?

Setelah semua itu, tahukah engkau wahai Ayah apakah buah dari hasil pendidikan seperti itu? Tahukah engkau apakah hasil dari pendidikan yang mengabaikan masalah akhirat tersebut? Hasilnya adalah Al-Qur'an berganti menjadi majalah, siwak berganti menjadi rokok dan lebih parah lagi mereka akan hidup tidak ubahnya binatang ternak. Tahukah engkau apa di antara yang membedakan kita dari binatang ternak? Kita diberikan fasilitas untuk mengerti bahwa dunia hanyalah sementara. Kita mengetahui bahwa ada kehidupan yang kekal selamanya. Maka selayaknyalah kita untuk berusaha menggapai kebahagiaan di sana. Tetapi apabila tidak demikian maka tidaklah beda dengan binatang bahkan lebih sesat karena kita diberi fasilitas sedangkan mereka tidak. Mereka seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A'raf: 179)

Di samping memperhatikan pekembangan fisik anak, kita juga harus memperhatikan pendidikan akal dan hati mereka. Kita harus memikirkan nasib mereka setelah matinya.

Langkah pertama untuk itu adalah kita perbaiki terlebih dahulu diri kita, karena dengan baiknya diri kita maka mereka akan ada di atas keteguhan dan kekokohan serta ada di dalam penjagaan Allah swt. Allah berfirman:Ayah mereka berdua adalah orang yang shalih (Al-Kahfi: 82)

Kedua, kita jadikan bimbingan dan pengajaran Islam sebagai tujuan. Tidak ada halangan untuk belajar dan mempelajari ilmu-ilmu dunia akan tetapi tidak sebesar perhatiannya terhadap akhirat. Allah berfirman:Dan carilah apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan nasib (bagian)mu dari (keni'matan) dunia. (Al-Qashash: 77)

Wahai Ayah! Maka takutlah engkau kepada Allah pada apa yang menjadi tanggunganmu karena engkau akan diminta pertanggujawabannya di hadapan Allah. Takutlah engkau kepada Allah bahwasanya Allah telah memberikan anak sebagai amanat kepadamu tapi engkau justru membukakan pintu-pintu kejelekan bagi mereka. Allah mengamanatimu tapi engkau malah menyibukkan mereka dengan film-film, sinetron-sinetron, perangkat-perangkat kekejian, majalah-majalah porno dan semisal dengan itu. Jika demikian adanya berarti engkau telah mengkhianati amanat yang dipikulkan kepadamu dan engkau telah menipu mereka yang menjadi tanggunganmu. Nabi saw bersabda:Tidaklah seseorang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya (tanggungannya) kemudian dia mati dalam keadaan menipu mereka, melainkan Allah haramkan baginya surga. (Bukhari Muslim)

Ayah….! Jika engkau memang sayang pada buah hatimu, tidak ingin menipu mereka dan juga tidak ingin mengkhianati amanat yang dipikulkan di pundakmu, maka kemarilah! Kemarilah untuk sama-sama menyimak wasiat Luqman kepada anaknya. Wasiat seorang ayah yang yang sangat menyayangi anaknya dan menebusnya dengan sangat mahal dan berharga. Tahukan engkau apakah dia mewasiatinya dengan dunia? Apakah dia mewasiatinya dengan intan permata dan segala perhiasan kemewahan lainnya? Tidak, bahkan dia mewasiati anaknya dengan apa yang akan menjadikannya ada dalam kehidupan yang baik. Kehidupan yang akan menyelamatkannya dari adzab Allah yang pedih. Sungguh Allah telah mengabadikannya dalam Al-Qur'an. Pernahkah engkau mendapatinya? Tahukah engkau apakah wasiatnya itu?

Adalah Luqman Al-Hakim dengan kasih sayang yang begitu besar kepada anaknya, dia berwasiat agar jangan berbuat syirik, yakni menyekutukan Allah swt. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, waktu dia memberikan nasihat kepadanya: 'Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah sebesar-besar kezhaliman. (Luqman: 13)
Ya… adakah kezhaliman yang lebih besar dari syirik? Itulah apa yang dikhawatirkan Luqman pada anaknya sehingga mewasiati agar jangan sampai terjatuh ke dalamnya. Adakah engkau pernah menyampaikan ini pada anakmu?

Kemudian, beliau dengan segenap kasih sayangnya menunjukkan pada anaknya apa yang akan menyelamatkan anaknya dari adzab Allah yaitu dengan menghadap kepada-Nya melalui shalat, memerintahkan yang ma'ruf serta mencegah dari yang munkar. Adakah engkau demikian wahai ayah? Saya berharap engkau sudah memenuhi semuanya sehingga hanya tinggal menyampaikannya kepada anakmu. Karena jika tenyata engkaupun belum demikian…maka ini adalah mushibah dari sebenar-benar mushibah, dan kita berlindung darinya.

Setelah itu, Luqman mewasiati anaknya agar berhias dengan akhlaq yang mulia yang akan mengangkat jiwanya dan akan tinggi derajatnya. Janganlah sombong dan menghina sesama. Sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suara dalam pembicaraan. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman: 19)

Inilah wahai Ayah, sejumlah wasiat dari ayah yang begitu sangat menyayangi dan mendambakan kebahagian bagi si buah hati. Pernahkah engkau menyampaikannya pada anakmu, sebagiannya atau bahkan seluruhnya..?!

Ada fenomena yang sangat kita sesali dan kita keluhkan semuanya kepada Allah, yakni sebagian ayah berusaha mematahkan semangat anaknya dan menghalangi kesungguhannya ketika melihat bahwa Allah telah memberikan hidayah kepadanya untuk mendalami dan mengamalkan ilmu agama. Bahkan di antara mereka ada yang sampai menghasut dan menakut-nakuti serta menebar was-was. Mereka mengatakan bahwa belajar agama hanya akan mengikat kebebasan jiwa. Mereka juga mencela dan juga memperolok-oloknya, sehingga tidak tahu lagi apakah yang dicela itu adalah orangnya atau agama yang dibawanya. Ketika didapati anaknya memanjangkan janggut maka dikatakan seperti kambing. Ketika anaknya berusaha mengenakan pakaian di atas mata kaki maka dikatakan takut cacing dan lain sebagainya. Maka apakah ini perlakuannmu terhadap apa yang menjadi amanatmu? Apakah ini yang engkau nasihatkan kepada mereka?

Takutlah engkau kepada Allah! Takutlah bahwasanya Allah sentiasa mengawasi bagaimana engkau mendidik mereka. Ajarilah mereka apa yang bermanfaat baginya dari urusan agama dan dunianya. Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya!(Al-An'am:32)

Ayah….! Engkau telah menyiapkan anakmu untuk menghadapi ujian dunia. Maka takutlah kepada Allah dan ketahuilah olehmu serta beritahukanlah kepada anak-anakmu bahwa barang dagangan Allah (surga) jauh lebih berharga dan lebih mahal dari perhiasan dunia. Dan ajarkanlah serta beritahukanlah mereka bahwa kesuksesan yang hakiki ada pada membatasi diri pada apa yang Allah ridlai. Beritahukanlah kepada mereka dan ketahui olehmu juga bahwa kebahagiaan yang hakiki ada pada taqwa dan ta'at kepada Allah.

Serta ketahuilah olehmu bahwa kaki seorang hamba tidak akan bergeser sejengkalpun dari posisinya pada hari kiamat dan akan diadukan kezhalimannya oleh orang yang pernah dizhaliminya. Anak akan senang bisa mendapatkan ayahnya untuk mengadukan kezhaliman yang pernah dilakukannya, demikian juga istrinya. Pada hari kiamat nanti anak-anak akan membantah dan menyalahkan ayah-ayah mereka dengan berkata: Wahai Rabb kami, ambil lah hak kami pada ayah kami yang zhalim ini. Dia telah menyebabkan kami tidak melakukan apa yang Engkau ridlai. Dialah yang telah mendidik kami tidak ubahnya binatang ternak. Dialah yang mendatangkan berbagai hal yang membinasakan dan tidaklah ada satu kerusakan melainkan didatangkannya ke hadapan kami. Maka apakah yang nanti akan engkau katakan untuk menjawab semuanya itu wahai Ayah yang penyayang, yang begitu sayangnya sehingga menjerumuskan anaknya pada kebinasaan? Bahkan pada akhirnya nanti sama-sama ada dalam kebinasaan.
Yaitu pada hari dimana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu'araa': 88-89)

Maka di manakah hartamu? Di manakah anak yang engkau banggakan itu? Mereka justru menyalahkanmu dan menyeretmu untuk ikut merasakan panas neraka karena engkaulah yang punya andil besar untuk itu.
Kita berlindung kepada Allah dari semua itu dan memohon agar Allah menunjukkan kita kepada kebaikan dan memberikan kekuatan dan kemudahan untuk menempuhnya serta dimatikan di atasnya, serta kita memohon kepada-Nya agar menyelamatkan kita, keluarga serta anak keturunan kita dari adzab-Nya yang pedih. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Terakhir wahai Ayah! Bertaqwalah engkau kepada Allah. Takutlah Engkau kepada-Nya pada apa yang engkau lakukan untuk anakmu. Perbaikilah pendidikan mereka! Jagalah mereka dari segala kerusakan dan kealpaan dalam segala kebaikan. Lakukanlah sejak sekarang selama mereka masih ada di hadapan kalian. Selama kalian masih bisa bersungguh-sungguh mengusahakan. Lakukanlah segera sebelum kalian hanya bisa melakukan celaan dan penyesalan yaitu pada hari dimana tidak akan bermanfaat lagi celaan dan penyesalan. Dan Allah lah tempat kita meminta perlidungan dan pertolongan.

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah lah pahala yang besar. (At-Thagaabun: 15)

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)


*Ditulis oleh salah seorang ikhwan -semoga Allah membalasnya dengan surga Firdaus-

[Kontributor : Umar Munawwir, 07 Agustus 2002 ], sumber: http://perpustakaan-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=195:ayah-dengarkanlah&catid=42:keluarga
read more “Ayah.., Dengarkanlah!”