Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Do'a dan Dzikir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Do'a dan Dzikir. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 September 2014

Doa Keluar Rumah

Doa Keluar Rumah

بِسْمِ اللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
Dengan nama Allah (aku keluar). Aku bertawakkal kepadaNya, tiada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah.
HR. Abu Dawud 4/325, At-Tirmidzi 5/490, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/151.

::DIVDAK Annajiyah & Sabilunnajah| annajiyah.or.id::
read more “Doa Keluar Rumah”

Senin, 25 November 2013

Waktu, Keadaan dan Tempat Dikabulkannya Do'a

Waktu, keadaan dan tempat dikabulkannya do'a:
1. Malam Lailatul Qadar
2. Pertengahan malam terakhir, ketika tinggal sepertiga malam yang akhir
3. Duburush shalawaatil maktuubah (akhir shalat-shalat wajib)
4. Waktu antara adzan dan iqamah
5. Pada saat setiap kali setelah dikumandangkan adzan
6. Suatu waktu pada setiap malam hari
7. Pada saat turun hujan
8. Pada saat bertemu musuh di medan jihad fii Sabilillaah
9. Suatu waktu pada hari Jum'at. (Pendapat paling kuat berkenaan dengan masalah ini, bahwa suatu waktu yang dimaksudkan adalah ba'da Ashar di hari Jum'at. Tetapi dimungkinkan juga, bahwa yang dimaksudkan adalah waktu antara khutbah dan shalat)
10. Ketika bersujud (dalam shalat).
11. Jika tidur dalam keadaan suci, lalu bangun pada malam hari, kemudian membaca do'a yang ma'tsur (do'a yang datang dari nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam). Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barang siapa bangun di waktu malam lalu membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ, اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Tidak ada  ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya puji. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah dan Mahasuci Allah, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Allah Mahabesar, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah, ampunilah aku. Atau ia berdo'a, (maka) akan dikabulkan do'anya. Apabila ia berwudhu', kemudian melakukan shalat, maka shalatnya akan diterima oleh Allah." (HR. Bukhari no. 1154, Ibnu Majah no. 3878, Abu Dawud no. 5060)

Bersambung....

read more “Waktu, Keadaan dan Tempat Dikabulkannya Do'a”

Selasa, 19 November 2013

Adab dan Sebab Terkabulnya Do'a

Diantara adab berdo'a dan beberapa faktor penyebab dikabulkannya do'a adalah sebagai berikut:
1. Ikhlas karena Allah Subhana wa Ta'ala semata (QS. Al-Mu'min: 14), (QS. Al-Bayyinah: 5).

2. Mengawalinya dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Subhana wa Ta'ala, lalu diikuti dengan bacaan shalawat atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan diakhiri dengan hal yang sama.

3. Bersungguh-sungguh dalam memanjatkan do'a, serta yakin akan dikabulkan.

4. Mendesak dengan penuh kerendahan dalam berdo'a dan tidak terburu-buru.

5. Menghadirkan hati dalam berdo'a.

6. Memanjatkan do'a, baik dalam keadaan lapang maupun susah.

7. Tidak boleh berdo'a dan memohon sesuatu kecuali hanya kepada Allah Subhana wa Ta'ala semata.

8. Tidak boleh mendo'akan keburukan kepada keluarga, harta, anak dan diri sendiri.

9. Merendahkan suara ketika berdo'a, yaitu antara samar dan keras. (QS. Al-A'raaf: 55, 205).

10. Mengakui dosa yang telah diperbuat, lalu memohon ampunan atasnya, serta mengakui nikmat yang telah diterima dan bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut.

11. Tidak membebani diri dengan membuat sajak dalam do'a.

12. Tadharru' (merendahkan diri), khusyu', raghbah (berharap untuk dikabulkan) dan rahbah (rasa takut tidak dikabulkan). (QS. Al-Anbiyaa': 90)

13. Mengembalikan (hak orang lain) yang dizhalimi disertai dengan taubat.

14. Memanjatkan do'a tiga kali.

15. Mengangkat kedua tangan ketika berdo'a.
Cara Mengangkat tangan dalam berdo'a:
 - Ibnu 'Abbas Radhiyallahu'anhuma berpendapat bahwa cara mengangkat tangan dalam berdo'a
adalah dengan mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak dan beristighfa dengan berisyarat satu jari.
Adapun ibtihal yaitu (istighatsah) mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi.
- Imam al-Qasim bin Muhammad berkata: "Aku melihat Ibnu 'Umar berdo'a di al-Qashi, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya dan kedua telapak tangannya dihadapkan kearah wajahnya."
- Adapun do'a Istisqa' (minta hujan) dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengarahkan punggung telapak tangan ke langit. Dari Anas Radhiyallahu'anhu bahwa beliau melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berdo'a saat Istisqa' dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi, mengarahkan punggung telapak tangan  ke langit, dan mengarahkan tangan sebelah dalam ke arah bumi hingga terlihat putih kedua ketiak beliau

Tentang mengusap muka
- Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan setelah berdo'a. Semua hadits-nya sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil). Jadi, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengusap muka.
- Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, maka mengamalkannya adalah bid'ah.
- Begitu juga tidak ada satupun riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan tidak juga para Shahabatnya tentang mengusap muka sesudah qunut Nazilah.
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: "Adapun tentang Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo'a, maka sesungguhnya telah diriwayatkan hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya).
Sedangkan tentang mengusap muka, tidak ada satupun hadits yang shahih. Ada satu atau dua hadits, tapi tidak bisa dijadikan hujja."
- Imam al-'Izz bin 'Abdissalam Rahimahullah berkata: "Tidak ada yang melakukannya (mengusap muka setelah berdo'a) kecuali orang yang bodoh."
- Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata: "Tidak ada Sunnahnya mengusap muka."

17. Jika mungkin berwudhu' terlebih dahulu sebelum berdo'a.

18. Tidak berlebih-lebihan dalam berdo'a.

19. Bertawassul kepada Allah Subhana wa Ta'ala dengan Asmaa-ul Husna dan sifat-sifatNya yang Mahatinggi, atau dengan amal shalih yang pernah dikerjakannya sendiri atau dengan do'a seorang shalih yang masih hidup dan berada dihadapannya.

20. Makanan dan minuman yang dikonsumsi serta pakaian yang dikenakan harus berasal dari usaha yang halal.

21. Tidak berdo'a untuk suatu dosa atau memutuskan silaturahmi.

22. Menjauhi segala bentuk kemaksiatan.

23. Harus menegakan amar ma'ruf nahi munkar.

24. Hendaklah orang yang berdo'a memulai dengan mendo'akan diri sendiri, jika hendak mendo'akan orang lain.

Sumber: Do'a dan Wirid, Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam Asy-Syafi'i

 

read more “Adab dan Sebab Terkabulnya Do'a”

Jumat, 24 Februari 2012

BACAAN SURAH YAASIIN BUKAN UNTUK ORANG MATI

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

HADITS PERTAMA

مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَاقْرَؤُوْهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ.

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari ke-ridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.”
[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]

Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ) LEMAH
Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).

HADITS KEDUA

مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ يَس غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ.

“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.”

Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) PALSU
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/91) dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.

Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).

Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yang BATHIL.”

Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits.”

Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).

Penjelasan Hadits-Hadits di Atas
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika ber-ziarah ke pemakaman kaum Muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan bahwa semua hadits-hadits yang me-nganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang PALSU, se-bagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah ber-buat BID’AH. Dan telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerang-kan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur-an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.

Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)

Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam Ketika Ada Orang Yang Sedang Dalam Keadaan Naza’

Pertama: Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar
ia (orang yang akan mati) mengucapkan “لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (Laa Ilaaha Illallah).”

Dalilnya:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ.

"Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada orang yang hampir mati di an-tara kalian.”

Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117), an-Nasa-i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445), al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

“Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.”

Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.

Kedua: Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepa-
da mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.

Dalilnya:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيْضَ أَوِ الْمَيِّتَ فَقُوْلُوْا: خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَّمِّنُوْنَ عَلَى مَا تَقُوْلُوْنَ.

"Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’”

Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.)

Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ketika Berziarah Ke Pemakaman Kaum Muslimin

Pertama: Mengucapkan salam kepada mereka.

Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” Beliau men-jawab: “Katakanlah:

السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.

‘Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”

Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa-i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim.

Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.

‘Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”

Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah (no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah lafazh Ibnu Majah.

Kedua: Mendo’akan serta memohonkan ampunan bagi mereka.

Dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَدْعُوْ لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنِّيْ أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ.

"‘Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”

Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252).

Baca Al-Qur-an Di Pemakaman Menyalahi Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para Shahabatnya.

‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur-an disyari’atkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.

Menurut ilmu ushul fiqih:

تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ.

“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”

Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur-an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang sah tentang ma-salah itu.

Membaca al-Qur-an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur-an di rumah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ .
رواه مسلم رقم : (780) وأحمد والتّرميذي وصححه

"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena se-sungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.”

Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahih-kannya.

Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur-an, melainkan tempatnya di rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, kita dianjurkan membaca al-Qur-an dan shalat-shalat sunnat di rumah.

Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur-an di pemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:

Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”

Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (II/264), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 241-242).

Pahala Bacaan Al-Qur-an Tidak Akan Sampai Kepada Si Mayyit

Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [QS. An-Najm: 53]

Beliau rahimahullah berkata:

أَيْ: كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأَجْرِ إِلاَّ مَاكَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى، ِلأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَكَسْبِهِمْ وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ، وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إِيْمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ، وَبَابُ الْقُرَبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ، وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بِأَنْوَاعِ اْلأَقْيِسَةِ وَاْلأَرَاءِ.

“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur-an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.

Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”

Periksa Tafsir Ibni Katsir (IV/272), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.

Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).

Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220-221), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.

Allah berfirman tentang al-Qur-an:

“Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]

Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan me-lakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, ber-nadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.

“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena)
mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” [2]

Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.

“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”[3]

Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]

Wallaahu a’lam bish shawab.

MARAJI’
1.Tafsir Ibni Katsir, cet. Daarus Salam, th. 1413 H.
2. Shahih al-Bukhary.
3. Shahih Muslim.
4. Sunan Abi Dawud.
5. Sunan an-Nasaa-i.
6. Sunan Ibni Majah.
7. Musnad Imam Ahmad.
8. Sunanul Kubra’, oleh al-Baihaqy.
9. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim.
10. Syu’abul Iman, oleh Imam al-Baihaqy.
11. Dha’if Jami’ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
12. Misykatul Mashabih, tahqiq: Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
13. Al-Kamil fii Dhu’afaa-ir Rijal, oleh Imam Ibnu ‘Ady.
14. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
15. Lisanul Mizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
16. Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.
17. Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq dan ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muham-mad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H.
18. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid, oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Alu Furayyan.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid hal. 18: “Sebab kekufuran anak Adam dan mereka meninggalkan agama mereka adalah karena ghuluww (berlebihan) kepada orang-orang shalih.” Dan bab 19: “Ancaman keras kepada orang yang beribadah kepada Allah di sisi kubur orang yang shalih, bagaimana jika ia menyembahnya??!” Ditulis oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, wafat th. 1285 H, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Alu Furayyan.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 435, 1330, 1390, 3453, 4441), Muslim (no. 531) Ahmad (I/218, VI/21, 34, 80, 255), dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 1189) dan Muslim (no. 1397 (511)) dari Abu Hu-rairah radhiyallahu ‘anhu dan diriwayatkan juga oleh al-Bukhari (no. 1197, 1864, 1995) dan Muslim (no. 827) dari Abu Sa’id al-Khudri ra-dhiyallahu ‘anhu, derajatnya mutawatir. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/226, no. 773).
[4]. Silahkan merujuk kepada kitab saya Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah hal. 97-99
Sumber: https://www.facebook.com/jole.bambz/posts/337666609607943
read more “BACAAN SURAH YAASIIN BUKAN UNTUK ORANG MATI”

Selasa, 20 September 2011

Adakah Doa Khatam Quran?

Assalamu ‘alaykum. Ustadz, saya mau tanya. Adakah seperti yang ada di mushaf-mushaf Alquran? Jika seseorang sudah menamatkan quran, haruskah membaca doa khatam Quran? Itu saja yang saya mau tanya. Syukran. Wassalamu ‘alaykum. Rosszelly (ross**@***.com)

Jawaban:
Bismillah ….
Tidak terdapat satu pun dalil dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan doa khatam Quran. Demikian pula, tidak diriwayatkan dari para sahabat maupun para ulama besar setelahnya yang mengajarkan doa khatam Quran. Yang paling terkenal, doa khatam Quran yang tertulis di akhir mushaf ini dinisbahkan (dianggap sebagai perkataan) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Anggapan ini tidak memiliki dasar. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, 14:226)
Tentang membaca doa setelah selesai membaca Alquran, ada kemungkinan dilakukan ketika shalat atau di luar shalat. Membaca doa setelah khatam Alquran ketika shalat, sama sekali tidak ada dasarnya. Sementara itu, diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa beliau membaca doa –setelah mengkhatamkan Alquran– di luar shalat. Hanya saja, doanya tidak sebagaimana doa khatam Quran yang umumnya dikenal masyarakat.
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum membaca doa khatam Quran ketika shalat malam di bulan Ramadan. Beliau menjawab, “Saya tidak mengetahui adanya hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan membaca doa khatam Quran ketika shalat malam di bulan Ramadan, tidak pula riwayat dari sahabat. Riwayat yang ada hanyalah riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa apabila beliau mengkhatamkan Alquran, beliau mengumpulkan keluarganya dan berdoa; ini dilakukan di luar shalat.” (Fatwa Arkan Al-Islam, hlm. 354)

Syekh Bakr Abu Zaid memiliki pembahasan yang sangat bagus dalam masalah doa khatam Quran. Kesimpulan yang beliau sampaikan, “Dari semua keterangan pada pembahasan dalam dua bab sebelumnya, kita mendapatkan dua kesimpulan:

Pertama, doa khatam Quran itu secara mutlak (tidak menggunakan redaksi khusus). Dalam hal ini, ada beberapa poin penting :
  1. Semua riwayat tentang doa khatam Quran yang dianggap berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang tidak sahih, baik statusnya palsu atau dhaif yang tidak bisa terangkat. Bahkan, bisa dipastikan, tidak ada dalil yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang doa khatam Quran karena para ulama yang menulis tentang ilmu Alquran dan zikir-zikirnya (seperti: Imam An-Nawawi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan As-Suyuthi) tidak ada satu pun yang menyebutkan teks doa khatam Quran. Andaikan mereka memiliki satu riwayat yang sahih tentang masalah ini, tentu mereka akan menyebutkannya.
  2. Terdapat riwayat yang sahih dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berdoa setelah mengkhatamkan Alquran. Beliau mengumpulkan istri dan anak-anaknya kemudian beliau berdoa. Perbuatan beliau ini diikuti oleh sebagian tabi’in, semacam Mujahid bin Jabr, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat.
  3. Tidak diketahui adanya keterangan tentang disyariatkannya doa setelah dalam kitab-kitab Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i rahimahumallah. Bahkan, diriwayatkan dari Imam Malik, ‘Doa khatam Alquran bukanlah termasuk amal masyarakat (penduduk Madinah). Mengkhatamkan Alquran bukanlah termasuk sunah dalam shalat malam Ramadan.’
  4. Anjuran membaca doa setelah khatam Alquran merupakan salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, sebagaimana keterangan dari beberapa ulama Hanbali. Pendapat ini juga diakui oleh beberapa ulama kontemporer dari tiga mazhab lainnya.
Kedua, doa khatam Quran dalam shalat.”
… Bagian ini tidak kami cantumkan pembahasannya karena telah ditegaskan bahwa hal ini tidak ada riwayatnya sama sekali.

Demikian, ringkasan dari situs www.islamqa.com di bawah bimbingan Syekh Muhammad Munajid.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
read more “Adakah Doa Khatam Quran?”

Sabtu, 17 September 2011

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Takbir Pada Shalat Hari Raya

Sabtu, 13 Agustus 2011

Tanya: Afwan Ustadz, ada beberapa hal yg ingin ana tanyakan sbb:
1.Menurut pendapat yg rajih, takbir pada sholat jenazah dan sholat hari raya (selain takbiratul ihram) apakah dengan mengangkat tangan atau tidak?
2. Apakah yang dibaca diantara takbir pada sholat hari raya menurut pendapat yang rajih? Untuk sementara itu dulu pertanyaan nya Ustadz. (Tony, Pontianak)

Jawab:
Alhamdulillah, washsholaatu wassalaamu 'alaa rosulillah.
1.Sepengetahuan saya tidak ada hadits yang jelas tentang mengangkat tangan pada shalat hari raya. Tetapi saya berpendapat sunnahnya mengangkat tangan ini berdasarkan keumuman hadits;
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ الْحَضْرَمِىِّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ التَّكْبِيرِ.
Dari Wail bin Hujr Al-Hadhromy beliau berkata: Saya melihat Rasululloh shollallohu 'alaihi wasallam mengangkat tangannya bersamaan dengan takbir. (HR.Ahmad, dan dihasankan Syeikh Al-Albany dalam Irwaaul Gholiil no.641)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Saya berpendapat bahwa hadits ini meliputi juga takbir pada shalat hari raya”. (Al-Mughni 3/273)
Al-Firyabi meriwayatkan dalam Ahkaamul ‘Idain (2/136) dengan sanad shahih dari Walid bin Muslim, dia berkata: “Saya bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentangnya (mengangkat tangan pada takbir tambahan), maka beliau menjawab: “Ya, angkat tanganmu pada setiap takbir dan saya tidak mendengar (satu hadistpun) tentangnya”.
Ibnu Qudamah menguatkan pendapat ini seraya mengatakan: “Inilah pendapat 'Atha’, al-Auza’I, Abu Hanifah, dan Syafi’I”. (Al-Mughni 3/272)
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata: “Dan adalah Ibnu Umar salah seorang sahabat yang sangat bersemangat mengikuti sunnah mengangkat tangannya pada setiap takbir”. (Zaadul Ma’ad 1/443)
Pendapat mengangkat tangan ini juga dipilih oleh Syaikh Ibnu Baz dan para ulama lainnya. (Lihat Fataawa Al-Lajnah Ad-Daimah 8/32)
Demikian pula halnya untuk shalat jenazah, tidak ada hadits yang jelas tentang mengangkat tangan pada setiap takbir. Maka penjelasan hukumnya sama seperti untuk shalat hari raya. (Lihat Ahkam al-Janaaiz hal.115-116, dan Shohih Fiqhis Sunnah 1/655-656)
Imam an-Nawawi rahimahullahu ketika menjelaskan tata cara shalat jenazah beliau berkata: “Dan disunnahkan untuk mengangkat tangan pada setiap takbir”. (Minhajut Tholibiin hal.152)

2.Tidak ada dalil khusus dari Nabi shollallohu 'alaihi wasallam tentang bacaan di sela-sela takbir. Namun, telah shahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwa bacaannya adalah pujian kepada Alloh dan shalawat kepada nabi serta do’a. dan ini dibenarkan oleh sahabat Hudzaifah dan Abu Musa al-Asy’ari. (Diriwayatkan Al-Baihaqy (3/291), dan dishahihkan Syeikh Al-Albany dalam tahqiq beliau terhadap kitab Fadhlush sholat 'alaa An-Naby karangan Ismail bin Ishaq Al-Maliky hal. 75).
Imam Baihaqi setelah meriwayatkan atsar ini berkata: "Ucapan Ibnu Mas’ud ini hanya terhenti padanya, dan kami mengikutinya tentang dzikir antara dua takbir, sebab tidak ada pengingkaran dari sahabat lainnya".
Inilah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Syafi’I. (Lihat al-Mughni 3/274).
Allohu A’lam.


Syahrul Fatwa

Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2011/08/hukum-mengangkat-tangan-ketika-takbir.html
read more “Hukum Mengangkat Tangan Ketika Takbir Pada Shalat Hari Raya”