Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Mu'amalat dan Riba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Mu'amalat dan Riba. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 April 2012

Pentingnya Mencari Rizki yang Halal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita tentang pentingnya mencari rizki yang halal. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى الْجَنَّةِ إِلاََّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ،
وَلَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى النَّارِ إِلاَّ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ،
إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِيْ رَوْعِيْ:
إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتُ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا،
فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ،
وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمُ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِيَ اللهَ،
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

“Tidak satupun amal yang mendekatkan kalian ke Surga melainkan telah aku perintahkan kalian kepadanya. Dan tidak satupun amal yang mendekatkan kalian ke Neraka melainkan aku telah melarang kalian darinya. Sesungguhnya malaikat Jibril telah mewahyukan ke dalam hatiku bahwa tidak ada seorang pun meninggal dunia melainkan setelah sempurna rezekinya. Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, carilah rezeki dengan cara yang baik. Jika ada yang merasa rezekinya terhambat maka janganlah ia mencari rezeki dengan cara maksiat, karena karunia Allah tidak dapat diraih dengan cara maksiat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 7/97; al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan, 7/277, dan dinilai shohih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shohiihah, no. 2866)


Sumber: https://www.facebook.com/pages/Mutiara-Hadits-Pilihan/188974287878878
read more “Pentingnya Mencari Rizki yang Halal”

Senin, 09 April 2012

BERHAJI DARI TALANGAN BANK

Oleh ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
http://almanhaj.or.id/content/3167/slash/0


PENDAHULUAN
Alhamdulillah , shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kiblat yang bermuara di Baitullah atau Ka’bah adalah arah-arah Anda setiap kali mendirikan shalat. Tentu arah ini memiliki arti tersendiri dalam hidup Anda. Dan sudah barang tentu hati Anda selalu merindukan untuk memiliki kesempatan beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah. Wajar bila pertama kali Anda berkesempatan untuk beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah, Anda tak kuasa menahan luapan rasa bahagia. Hati Anda berbunga-bunga, dan pikiran Anda terharu dan air matapun mengalir bercucuran. Betapa tidak, arah yang selama ini Anda agungkan ternyata bermuara pada bangunan sederhana, yaitu Ka’bah. Bangunan yang tersusun dari bebatuan hitam, yang sudah barang tentu tidak kuasa memberi Anda apapun.

Kesederhanaan Ka’bah menjadikan Anda menyadari bahwa selama ini ternyata Anda tidaklah menyembah bangunan Ka’bah. Selama ini sejatinya Anda sedang mengagungkan Tuhan Ka’bah, Pencipta dan Penguasa dunia beserta isinya.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِالَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” [Al-Quraisy : 34]

Walau demikian, mata Anda tak akan pernah puas memandang Ka’bah, dan kerinduan akan selalu melekat dalam hati Anda untuk terus berkunjung dan beribadah di dekatnya.

Saudaraku! Fenomena yang Anda rasakan bersama Ka’bah ini sejatinya adalah efek langsung dari kobaran iman Anda kepada Allah Ta’ala. Anda menyadari bahwa Allah-lah yang memerintahkan Anda untuk meghadapkan wajah ke arahnya, karenanya Anda selalu rindu kepadanya.

Begitu kuat kerinduan Anda kepada Ka’bah hingga menjadikan Anda berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengobati kerinduan Anda walau hanya sesaat atau minimal sekali seumur hidup Anda. Sedikit demi sedikit Anda menyisihkan dari hasil kucuran keringat Anda, agar dikemudian hari Anda berkesempatan menikmati kesejukan beribadah di sisi Baitullah Ka’bah. Bahkan mungkin Anda rela menjual berbagai aset Anda, atau bahkan berhutang agar dapat mewujudkan impian Anda ini.

BERHAJI DARI HASIL BERHUTANG
Kerinduan Anda kepada Ka’bah’ menjadikan banyak orang memutar otak dan mencari berbagai terobosan guna mewujudkannya. Dan diantara terobosan yang sekarang banyak ditawarkan ialah dengan mengikuti program arisan atau menggunakan dana talangan haji. Bagi banyak kalangan, program ini terasa bak hembusan angin surga yang mengobati kerinduan hatinya. Akibatnya, banyak dari mereka terbuai dan langsung menerimanya tanpa berpikir lebih dalam tentang hukum dan resikonya.

Andai mereka sedikit meluangkan waktu dan pikiranya guna menimbang-nimbang program ini, nisacaya mereka mewaspadainya, program-program semacam ini, walau pada awalnya terasa empuk, namun pada akhirnya terasa berat dan menyusahkan. Terlebih-lebih bila program dana talangan haji ditinjau dari hukum syar’inya.

Dana talangan haji yang sekarang sedang marak diterapkan di berbagai lembaga keuangan, adalah salah satu bentuk rekayasa melanggar hukum Allah Ta’ala. Praktek yang sekarang sedang menjamur di masyarakat ini sekilas berupa akad qardh (piutang) dan ijarah (sewa menyewa jasa). Dan tidak diragukan bahwa kedua akad ini bila dilakukan secara terpisah adalah halal.

Walau demikian, ketika kedua akad ini dilakukan secara bersamaan dan saling terkait, muncullah masalah besar. Yang demikian itu karena beberapa alasan :

1. Larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli” [HR Abu Dawud hadits no. 3506 dan At-Tirmidzy hadits no. 1234]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :”Pada hadits ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang penggabungan antara piutang dengan jual beli. Dengan demikian bila Anda menggabungkan antara akad piutang dengan akad sewa-menyewa berarti Anda telah menggabungkan antara akad piutang dengan akad jual-beli atau akad yang serupa dengannya. Dengan demikian, setiap akad sosial semisal hibah pinjam-meminjam, hibah buah-buahan yang masih di atas pohonnya, diskon pada akan penggarapan ladang atau sawah, dan lainnya semakna dengan akad hutang piutang, yaitu tidak boleh digabungkan dengan akad jual-beli dan sewa-menyewa” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/62]

2. Riba Terselubung
Secara lahir kreditur tidak memungut tambahan atau riba atau bunga dari piutangnya, namun secara tidak langsung ia telah mendapatkannya, yaitu dari uang sewa yang ia pungut. Anda pasti menyadari bahwa sewa menyewa (jual jasa pengurusan administrasi haji) yang dilakukan oleh lembaga keuangan terkait langsung dengan akad hutang piutang. Biasanya, yang telah memiliki dana sendiri untuk biaya hajinya, tidak akan menggunakan layanan “dana talangan haji” ini. Dengan demikian, adanya talangan dana haji ini, menjadikan lembaga keuangan terkait dapat memasarkan jasanya dan pasti mendapatkan keuntungan dari jual-beli jasa tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dengan berkata : “Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara akad komersial dengan akad sosial. Yang demikian itu karena keduanya menjalin akad sosial disebabkan adanya akad komersial antara mereka. Dengan demikian akad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. Namun akad sosial secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi dalam akad komersial.

Dengan demikian orang yang menghutangkan uang sebesar seribu dirham kepada orang lain, dan pada waktu yang sama kreditur tidak rela memberi piutang kecuali bila debitur membeli barangnya dengan harga mahal. Sebagaimana pembeli tidaklah rela membeli dengan harga mahal melainkan karena ia mendapatkan piutang dari penjual” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/63]

3. Memberatkan Masyarakat
Sistem setoran haji yang diterapkan oleh Departemen Agama dengan online, sehingga dapat dilakukan kapan saja, telah mendatangkan masalah besar. Masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan pembayaran secepat mungkin, guna mendapatkan kepastian jadwal keberangkatan. Akibatnya , banyak dari mereka yang sejatinya belum mampu menempuh segala macam cara, karena khawatir kelak harus menanti lama. Banyak dari mereka yang memaksakan diri dengan cara menggunakan sistem dana talangan haji atau arisan.

Adanya praktek memaksakan diri ini tidak diragukan membebani masyarakat. Terlebih-lebih menjadikan agama Islam yang pada awalnya terasa mudah, sekarang menjadi terasa sulit nan berat. Untuk dapat berhaji harus menanti sekian lama, dan selama penantian banyak dari mereka yang harus tersiksa dengan cicilan piutang. Bahkan sepulang menunaikan ibadah hajipun, sering kali masih menanggung beban cicilan biaya perjalan hajinya.

Sudah barang tentu melaksanakan ibadah dengan cara memaksakan diri semacam ini tentu tidak selaras dengan syariat Islam.


يَاأَيُّهَاالنَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَالأَعْمَالِ مَاتُطِيْقُوْنَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَيَمُلُّ حَتَّى تَمُلُّواوَإِنَّ أَحَبَّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَادُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

“Wahai umat manusia, hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kuasa kalian kerjakan, karena sejatinya Allah tidak pernah merasa bosan (diibadahi) walaupun kalian sudah merasakannya. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah amalan yang dilakukan secara terus menerus, walaupun hanya sedikit” [HR Bukhari hadits no. 1100 dan Muslim hadits no. 785]

Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini ketika mendengar cerita bahwa Khaula’ binti Tuwait senantiasa shalat malam dan tidak pernah tidur.

Dan dalam urusan haji Allah Ta’ala berfirman.

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” [Ali-Imran : 97]

PENUTUP
Semoga paparan singkat ini menjadi pelajaran bagi Anda untuk semakin bertambah yakin bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak rela bila umatnya sengsara atau ditimpa kesusahan. Dengan demikian Anda dapat bersikap proposional dan terhindar dari hal-hal yang kurang selaras dengan syariat Islam, walau sekilas terasa empuk. Wallahu a‘lam bish shawab.


[Ustadz DR Muhammad Arifin Badri, MA, Alumnus Doktoral Universitas Islam Madinah, lulus dengan predikat summa cum laude, Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia. Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim Edisi 21 Volume 2/Oktober 2011]
Sumber  : Almanhaj.or.id
read more “BERHAJI DARI TALANGAN BANK”

Rabu, 28 Maret 2012

PRAKTIK RIBA MERAJALELA

Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA

PENDAHULUAN
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluarga, dan sahabatnya. Amin

Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup umat manusia dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bermaksiat. Karena itu, sudah sepantasnya bila anda mengenali kondisi dan fenomena yang terjadi disekitar anda. Dengan demikian, anda dapat mengambil yang positif dan menghidari yang buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk rayu para penjajanya.

Di antara bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan aplikasinya ialah praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah dimodifikasi sedemikian rupa, sampai-sampai diyakini sebgai “pilar utama” perekonomian umat manusia. System riba yang bertumpu pada pertumbuhan mata uang tanpa dibarengi dengan perputaran barang dan jasa, di zaman sekarang diimani dan ditetapkan di seluruh penjuru dunia. Sebab itu, wajar bila ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam. Yang kuat memakan yang lemah sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.

Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini kami berupaya utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi. Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak terperdaya dengan sebutan dan berbagai propaganda manisnya.

PRAKTIK PERTAMA : KREDIT SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak : pemilik barang, pembeli dan pihak pembiayaan.

Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama.
Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :

• Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
• Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
• Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
• Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama

Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan.

Jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang praktik semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.

قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأ

Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya kedok belaka)”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]

PRAKTIK KEDUA : PERGADAIAN
Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba pegadaian. Telah menjadi budaya di berbagai daerah, pihak kreditur memanfaatkan barang gadai yang diserahkan kepadanya. Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola ladang tersebut dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka kreditur sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik semacam ini tidak diragukan sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” [1]

Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin Musayyib rahimahullah bahwa :

لاَ يَغلِقُ الرَّهْنُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِى رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

Barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang berhutang), miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula kerugiannya” [Riwayat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm : 3/170]

PRAKTEK KETIGA : MENGAITKAN NILAI PIUTANG DENGAN HARGA BARANG
Di antara bentuk riba yang kini telah merajalela di masyarakat ialah mengaitkan nilai piutang dengan nilai emas atau barang lainnya. Bila anda berhutang uang sebesar Rp. 1000.000 lima tahun silam, dan kala itu dengan satu juta anda dapat membeli 5 gram emas, maka ketika melunasi anda diminta membayar sejumlah uang yang dapat digunakan membeli emas seberat 5gram pula. Akibatnya, ketika pelunasan anda harus mengembalikan piutang anda dalam nomnal yang lebih besar. Misalnya bila nilai emas saat pembayaran adalah Rp. 300.000/gram maka anda harus membayar piutang anda sebesar Rp. 1.500.000.

Praktik semacam ini tidak diragukan keharamannya, karena ini nyata-nyata riba, berhutang satu juta kembali satu juta lima ratus ribu rupiah. Hutang piutang adalah salah satu bentuk akad tolong menolong sehingga tidak boleh ada pemikiran untung atau rugi. Yang ada hanyalah itikad baik menolong saudara yang kesusahan atau membutuhkan kepada uluran tangan. Adapun balasan atas uluran tangan ini hanyalah diminta dari Allah Ta’ala semata.

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤ مِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الذُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِىعَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Barangsiapa melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Baragsiapa menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong sudaranya” [Riwayat Muslim hadits no. 7028]

Praktik semacam ini muncul karena doktrin riba telah merasuki jiwa masyarakat. Praktik riba senantiasa memandang suram masa depan, sehinga doktrin inflasi dianggap sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin berubah. Padahal faktanya tidak selalu demikian, karena anda pasti mengetahui bahwa betapa banyak barang yang dahulu memiliki nilai jual dan kini tidak lagi laku dijual.

PRAKTEK KEEMPAT : TUKAR TAMBAH EMAS
Di antara bentuk riba yang banyak ditemukan di masyarakat ialah tukar tambah emas. Emas lama ditukar dengan emas baru, tanpa ada eksekusi fisik terhadap uang hasil penjualan emas lama. Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini terlarang karena ini termasuk riba fadhal yang diharamkan pada hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

Bila anda tidak rela emas baru anda ditukar sama dengan emas lama, maka solusinya ialah belilah dahulu emas lama dengan uang tunai. Dan setelah pembayaran dilakukan dan banar-benar terjadi eksekusi pembayaran, maka dengan uang hasil penjualan itu, penjual bisa membeli emas baru anda. Demikianlah solusi yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari riba pada praktik barter barang sejenis.

اسْتَعْمَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ، فَجَاءَهُ بِتَمْرِجُنَيْبٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ )) فَقَالَ :لاَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ، وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلاَثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((فَلاَ تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جُنَيْبًا))

وَفِي رِوَايَةٍ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((أَوَّهْ عَيْنَ الرِّبَا، لاَ تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ
اشْتَرِ بِهِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai tersebut datang menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik. Spontan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh kurma daerah Khaibar demikian ini?” Ia menjawab, “Tidak, Ya Rasulullah, sungguh demi Allah, kami membeli satu takar dari kurma ini dengan dua takar (kurma lainnya), dan dua takar dengan tiga takar”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan, juallah kurma yang biasa dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham tersebut belilah kurma dengan mutu terbaik tersebut”

“Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aduh (itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan. Akan tetapi, bila engkau hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil penjualannya belilah kurma yang bagus” [Riwayat Bukhari hadits no 2089 dan Muslim hadits no. 1593]

PRAKTIK KELIMA : JUAL BELI EMAS ONLINE
Kemajuan dunia iformatika telah merambah ke segala lini kehidupan manusia, tanpa terkecuali sektor perniagaan. Dengan bantuan teknologi informasi yang begitu canggih, perniagaan semakin mudah dan berkembang pesat. Akibatnya, anda sebagai pengusaha tidak lagi perlu bepergian jauh untuk menemui kolega anda atau lainnya. Semuanya bisa anda lakukan melalui jaringan internet, baik berjumpa dengan kolega, atau meninjau barang atau kegiatan lainnya. Kemajuan ini tentu merupakan kenikmatan yang sepantasnya anda syukuri dan manfaatkan sebaik mungkin, demi terwujudnya kemaslahatan sebesar mungkin untuk anda

Walau demikian halnya, anda tetap saja harus mengindahkan batas-batas syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan haram. Diantara batasan syari’at yang harus anda indahkan dalam perniagaan ialah ketentuan tunai dalam jual beli emas dan perak. Bila anda membeli atau menjual emas, maka harus terjadi serah terima barang dan uang langsung. Eksekusi serah terima barang dan uang ini benar-benar harus dilakukan pada fisik barang, dan bukan hanya surat-menyuratnya. Penjual menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan pembeli menyerahkan uang tunai, tanpa ada yang tertunda atau terhutang sedikitpun dari keduanya.

Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat ini nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

PRAKTIK KEENAM : KARTU KREDIT
Yaitu suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian transaksi ritel[2] dengan system kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman uang yang dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak penerbit kartu kredit. Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu kredit harus membayar tagihan dalam tempo waktu yang ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.

Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena penggunaan kartu kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap keterlambatan adalah riba.

Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila terjadi keterlambatan? Dengan demikian, bila saya tidak telat maka saya tidak berdosa karena tidak membayar riba atau bunga”.

Saudaraku ! Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat –sehingga tidak pernah tekena penalty- anda telah menyetujui persyaratan haram ini. Persetujuan atas persyaratan haram ini sudah termasuk perbuatan dosa yang tidak sepantasnya anda meremehkan.

Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga anda tidak behutang kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada penggunaan kartu debet sejatinya adalah sewa menyewa jasa transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda menggunakan kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah tagihan dari tabungan anda.

PRKATIK KETUJUH : SUKUK
Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi –sehingga banyak umat Islam yang terperdaya- ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud dalam bentuk jual beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten[3] kepada pemegang obligasi syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.

Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, berikut alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual suatu asset (misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT B yang berperan sebagai emiten. Dan pada akad penjualan disepakati pula :

• Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut setelah jangka waktu tertentu (10 tahun –misalnya)
• Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut selawam waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama. Tentunya dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan bagi-hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.

Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa :

Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah, sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan lancar.

Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset yang bersangkutan[4]

Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian sewa-menyewa yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas karena penjualan kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh tempo seharga waktu jual pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai jual sebenarnya yang berlaku di pasar.

Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik ‘inah sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan harga terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya dengan pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Jual beli ‘inah ini dicela pada hadits berikut.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi (peternakan), merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, nisacaya Allah menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian kembali kepada agama kalian” [5]

Karena itu International Islamic Fiqh Academy dari Organisasi Konferensi Islam dalam keputusannya yang bernomor 178 (4/19) tahun 1430H/2009M mensyaratkan agar pembelian kembali sukuk mengikuti harga yang berlaku di pasar pada saat pembelian dan bukan menggunakan harga jual pertama pad saat penerbitan.

PENUTUP
Apa yang dipaparkan di sini hanyalah sebagian dari praktik-praktik riba yang banyak beredar di masyarakat. Masih banyak lagi praktik-praktik riba yang belum saya kemukakan di sini. Semoga apa yang dikemukakan disini dapat menjadi contoh bagi anda sehingga anda semakin waspada terhadap berbagai perangkap riba. Pada akhirnya, saran dan kritik dari anda sangat saya nantikan, semoga Allah Ta’ala senantiasa menambahkan ilmu yang bermanfaat dan memudahkan amal shalih bagi kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam bish-shawab.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 2, Tahun ke-II/Syawal 1432 (Sept-Okt 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi : 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah : 4/211 dan 213, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah : 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumti : 108-109, dan lain-lain
[2]. Ritel atau retail/retail ialah usaha bersama dalam bidang perniagaan dalam jumlah kecil kepada pengguna akhir (lihat Kamus Bahasa Indonesia – BSE http://bse.kemdiknas.go.id/)
[3]. Emiten badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga untuk diperjualbelikan (lihat KBBI Daring – http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ di akses pada 12 Juli 2011)
[4]. Disarikan dari http://www.managementfile.com/coulum.php?sub=bondsmutual&id=1278&page=bondsmutual&awal=20
[5]. Riwayat Ahmad : 2/42, Abu Dawud hadits no. 3464, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani, dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah hadits no. 11

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3236/slash/0
read more “PRAKTIK RIBA MERAJALELA”

Jumat, 23 Maret 2012

Riba = Susah di Dunia dan Akhirat

Oleh: Ust Abdullah Zaen, Lc., M.A.Prolog
Andaikan ada berita yang mengabarkan tentang seorang anak yang memperkosa ibu kandungnya sendiri, penulis yakin gelombang kutukan terhadap pelaku perbuatan keji tersebut akan tak kuasa untuk dibendung! Bisa dipastikan tidak ada satupun orang yang berakal sehat mendukung perilaku munkar tersebut!
Namun, bagaimana halnya jika ada iklan bank yang mempromosikan pinjaman dengan bunga lunak? Akankah ada pengingkaran terhadap praktek ribawi tersebut? Ataukah justru hal itu dianggap sebagai berita yang lazim, atau bahkan akan menuai pujian lantaran lunaknya bunga yang ditawarkan? Lalu sebaliknya, ustadz yang memperingatkan umat dari bahaya berhubungan dengan bank dalam model transaksi seperti itu, akan dicap sebagai orang yang kaku, keras, saklek, dan segudang stigma lainnya?
Begitulah kira-kira sekelumit realita ketidaksadaran banyak umat dengan bahaya riba. Padahal menurut kacamata Islam, berzina dengan ibu kandung dan memakan riba dosanya adalah selevel! Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَاباً، أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
“Riba ada tujuh puluh tiga tingkatan. Yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya”. HR. Al-Hakim dan dinyatakan sahih oleh beliau dan al-Albany.

• Periodisasi Pengharaman Riba1

Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapan yang hampir sama dengan tahapan pengharaman khamar.
Pengetahuan tentang hal ini bukan untuk merubah hukum riba; sebab riba sudah jelas haram berdasarkan al-Qur’an, Sunnah maupun ijma’. Namun untuk mengetahui sejarah turunnya ayat-ayat yang berbicara tentang riba, juga untuk mengenal besarnya hikmah dan kasih sayang Allah yang mempertimbangkan kondisi psikologis para hamba-Nya dan tingkat kesiapan mereka dalam menerima hukum. Tidak kalah pentingnya juga, untuk mempelajari berbagai sisi argumen al-Qur’an dalam mengharamkan riba.

1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta.

Pada tahap pertama ini, Allah ta’ala hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah ta’ala. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak seimbangnya sistem perekonomian yang berujung pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.

Pematahan paradigma ini Allah gambarkan dalam QS. Ar-Rum (30): 39;
Sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.

2. Tahap kedua: Pemberitahuan bahwa riba diharamkan atas umat terdahulu.

Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah ta’ala lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang untuk melakukannya. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah ancam mereka dengan azab yang pedih. Ayat ini juga mengisyaratkan kemungkinan akan diharamkannya riba atas umat Islam, sebagaimana telah diharamkan atas umat sebelumnya.

Allah ta’ala berfirman,
Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih”.QS. An-Nisa’ (4): 160-161.

3. Tahap ketiga: Gambaran bahwa riba akan membuahkan kezaliman yang berlipat ganda.
Pada tahapan yang ketiga, Allah ta’ala menerangkan bahwa riba mengakibat kezaliman yang berlipat ganda. Di antara bentuknya: si pemberi pinjaman akan membebani peminjam dengan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut. Yang itu akan semakin bertambah dengan berjalannya waktu, apalagi manakala tenggat waktu yang telah disepakati tidak bisa dipenuhi oleh peminjam. Sehingga si peminjam akan sangat sengsara karena terbebani dengan hutang yang semakin berlipat ganda.2
Salah satu yang perlu digarisbawahi, sebagaimana dijelaskan antara lain oleh asy-Syaukany dalam Tafsirnya, bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan tidak dimaksudkan dalam ayat ini.3

Allah ta’ala mengingatkan,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”QS. Ali Imran (3):130.

4. Tahap keempat: Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.

Allah ta’ala menegaskan,
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) bila kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan).” QS. Al-Baqarah (2): 278-279.

• Kerugian duniawi pelaku riba
Satu hal yang seharusnya selalu diingat setiap insan, manakala Islam melarang suatu perbuatan, pasti perilaku tersebut memuat kerusakan fatal atau mengakibatkan bahaya besar bagi pelakunya, baik di dunia maupun akhirat. Sekalipun barangkali perbuatan itu mengandung beberapa manfaat. Jika dicermati ulang dengan teliti, ternyata manfaat tadi bila dibandingan dengan keburukan yang ditimbulkannya, jelas tidak ada apa-apanya.

Banyak orang mengira bahwa dengan jual beli sistem riba atau meminjamkan uang yang berbunga akan menguntungkan dirinya, padahal sejatinya tidaklah demikian. Keuntungan yang nampaknya banyak, tidak lain hanyalah fatamorgana belaka. Allah ta’ala berfirman, “Allah melenyapkan riba dan menyuburkan sedekah”. QS. Al-Baqarah (2): 276.

Lenyapnya harta hasil riba, kata Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, bisa jadi lenyap secara total dari tangan pemiliknya, atau keberkahan harta tersebut hilang, sehingga tidak bisa dipetik manfaatnya.

Di antara indikasi ketidakberkahan suatu harta, manakala dimakan, dia akan menumbuhkan berbagai macam penyakit di tubuh, menjadikan hati tidak tentram, membuat anak-anak nakal dan sulit diatur. Manakala digunakan untuk membangun rumah, maka tidak nyaman untuk ditinggali. Bahkan bisa jadi Allah akan memusnahkannya dalam sekejap, dengan mengirim api untuk membakarnya, atau mengutus air untuk menenggelamkannya, atau musibah lainnya.

Itu sekedar contoh dampak buruk riba yang berskala kecil (baca: pribadi). Adapun dampaknya yang lebih luas, kiranya krisis ekonomi di Amerika belum lama ini merupakan contoh paling mudah dan jelasnya.
Banyak orang merasa heran bagaimana Amerika Serikat yang konon memiliki sistem ekonomi dan keuangan yang kuat, bisa mengalami krisis yang begitu parah, hingga total hutang negeri Paman Sam saat ini mencapai 15 triliun dolar, sebagaimana dilansir blog ekonomi, The Economy Collapse (TEC).
Usut punya usut, biang keladi dari krisis tersebut tidak lain adalah lembaga keuangan di Amerika Serikat, terutama perbankan. Bahwa negara Amerika menjalan sistem ekonomi riba tentu kita semua sudah tahu. Tapi bukan hanya itu masalahnya. Ada tindakan negatif yang dilakukan bank-bank di Amerika untuk meraup keuntungan lebih. Tindakan ini berkaitan dengan pemberian kredit rumah.

Permisalan gampangnya seperti ini. Para nasabah seharusnya membayar cicilan bunga kredit sebesar 200 ribu setiap bulan. Ternyata bank memberikan keringanan semu kepada nasabah dengan menarik cicilan bunga kredit sebesar 100 ribu setiap bulan. Tentu 100 ribu sisanya tidak direlakan begitu saja. Lebih kejamnya sisa cicilan bunga tersebut dimasukkan ke dalam hutang kredit pokok. Secara otomatis, pokok kredit yang bertambah akan menyebabkan nominal bunga pinjaman pun bertambah. Intinya bisa dikatakan, bunga pinjaman kemudian berbunga lagi. Tentu hal ini membuat para nasabah tidak mampu membayar cicilan karena nilainya terus membengkak.

Akibatnya, banyak nasabah yang harus kehilangan rumah kredit tersebut. Lebih lanjut hal ini berdampak pada merosotnya bisnis properti yang ada di Amerika. Bak bola salju, krisis ini terus menggelinding sambil menyeret gumpalan-gumpalan krisis yang lain hingga terus menjalar ke benua Eropa. Sungguh benar firman Allah ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 276 tersebut di atas.
Cukup kiranya bagi umat manusia krisis ekonomi di Asia, Amerika, dan Eropa menjadi pelajaran yang berharga. Terutama sekali bagi kita sebagai umat Islam yang diberikan sistem ekonomi terbaik dari sisi Allah. Dan sudah saatnya bagi kita untuk hijrah dari ekonomi kapitalis atau riba kepada ekonomi Islam atau syariah. Ini semua untuk kemaslahatan kita di dunia terutama di akhirat kelak. 4

 • Kerugian ukhrawi pelaku riba
Keterangan di atas baru membahas tentang sebagian kecil dampak buruk riba di dunia, yang ini tidak ada apa-apanya dibanding dengan akibatnya di akhirat.
Sejak awal kebangkitan para pemakan riba dari alam kubur saja, mereka sudah berpenampilan mengenaskan; seperti orang gila yang kesurupan setan!
“Orang-orang yang memakan riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
QS. Al-Baqarah (2): 275.

Kelanjutannya, mereka terancam dengan siksaan yang sangat pedih di neraka.
“Barangsiapa mendapat peringatan dari Rabbnya, lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Namun barang siapa yang kembali (memakan riba), maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya”.
QS. Al-Baqarah (2): 275.
Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendeskripsikan berbagai jenis siksaan yang disiapkan Allah untuk para pemakan riba.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menuturkan ‘kunjungannya’ ke neraka,
Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu, sembari membuka mulutnya dan memakan batu-batu tersebut … Orang tersebut tidak lain adalah pemakan riba”. HR. Bukhari (no. 7047) dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ’anhu.
Dalam hadits lain diceritakan,
أَتَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ بُطُونُهُمْ كَالْبُيُوتِ فِيهَا الْحَيَّاتُ تُرَى مِنْ خَارِجِ بُطُونِهِمْ، فَقُلْتُ: “مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرَائِيلُ؟” قَالَ: “هَؤُلَاءِ أَكَلَةُ الرِّبَا
“Pada malam Isra’ aku mendatangi suatu kaum yang perutnya sebesar rumah, dan dipenuhi dengan ular-ular. Ular tersebut terlihat dari luar. Akupun bertanya, “Siapakah mereka wahai Jibril?”. “Mereka adalah para pemakan riba” jawab beliau”. HR. Ibn Majah (no. 2273) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinilai lemah oleh al-Albany.
Semoga tulisan sederhana ini bisa lebih menyadarkan kaum muslimin bahwa riba hanyalah akan membawa kesusahan di dunia dan akhirat, maka ayo bersegeralah untuk meninggalkan riba!

Ditulis di Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 08 Rabi’ul Awwal 1433 / 31 Januari 2012
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, M.A.

Artikel www.pengusahamuslim.com

Catatan kaki:
1. At-Tadarruj fî Tahrîm ar-Ribâ dalam http://www.hablullah.com/?p=1133 dan Bahaya Riba makalah Rikza Maulan, Lc., M.Ag sebagaimana dalam http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-hadits/bahaya-riba.htm, dengan berbagai tambahan dan perubahan.
2. Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).
3. Bahkan penafsiran seperti itu teranggap sebagai penafsiran yang syâdz (ganjil). Lihat: Al-Aqwâl asy-Syâddzah fî at-Tafsîr karya Dr. Abdurrahman ad-Dahsy (hal. 304-306).
4. http://antonramdan.wordpress.com/2011/12/11/riba-dibalik-krisis-ekonomi-eropa-saat-ini.
read more “Riba = Susah di Dunia dan Akhirat”

Pegawai Dilarang Kerja Sampingan

PengusahaMuslim.com - Akhir-akhir ini muncul aturan untu melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk berwira usaha atau berbisnis, tentunya hal ini sedikit menganggu pikiran bagi sebagian PNS. Apalagi mereka PNS yang berpenghasilan rendah dan sangat timpang dengan kebutuhan keluarga mereka.
Aturan ini sebenarnya telah lama dibekukan, akan tetapi akhir-akhir ini wacana tersebut kembali dimunculkan sebagai respon terhadap pemberantasan korupsi dan produktivitas kerja di kalangan PNS yang dinilai kurang.

Menurut pandangan syariat, bagaimana status penghasilan PNS yang berwira usaha. Apakah halal ataukah haram? Pembahasan selengkapnya sebagai berikut.

Pada dasarnya boleh saja bagi PNS ataupun karyawan swasta untuk memiliki pekerjaan sampingan disamping pekerjaan pokoknya. Majikan tidak boleh melarang karyawannya untuk memiliki pekerjaan sampingan selama karyawan tersebut bisa tetap bekerja dengan baik dalam pekerjaan pokoknya.
Syaikh Abdullah bin Jibrin pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, "Bolehkan seorang pegawai memiliki pekerjaan sampingan yang dijalankan pada hari libur atau di malam hari setelah pekerjaan pokoknya selesai?"

Jawaban beliau, "Seorang pegawai atau karyawan boleh memiliki pekerjaan sampingan yang dijalankan di malam hari, sore hari atau pada hari libur, dengan syarat pekerjaan sampingan tersebut tidak membuat badannya terlalu kecapekan sehingga tidak bisa bekerja sebagaimana semestinya atau pekerjaan sampingan tersebut menyebabkan dia bosan dengan pekerjaan pokoknya sehingga produktivitas kerjanya menurun.
Selama tidak ada hal di atas, boleh bagi karyawan untuk bekerja dan upah yang dia terima karena pekerjaan sampingan tersebut halal baginya. Majikan tidak boleh melarang karyawannya memiliki pekerjaan sampingan.

Demikian pula seorang PNS, tidak boleh dilarang untuk memiliki pekerjaan sampingan yang dia kerjakan di rumah dalam bidang pekerjaan yang dia kuasai dan upah yang dia dapatkan karena pekerjaan sampingan tersebut adalah haknya karena upah tersebut dia dapatkan dengan jerih payahnya." (Fatawa Ulama al Balad al Haram, Hal. 377, terbitan Dar Ibnul Haitsam Mesir).

Artikel www.PengusahaMuslim.com
read more “Pegawai Dilarang Kerja Sampingan”

Sabtu, 26 November 2011

Usaha jual beli ternak landak

ternak landak
Assalamu ‘alaikum warahmatullah. Ustadz, saya mau bertanya. Saya hendak membuka usaha penjualan ternak landak mini, yaitu dengan berjual yang berukuran kecil dan imut. Saya tertarik membuka usaha ini karena sekarang banyak orang mulai suka untuk memelihara hewan imut ini. Bagaimana hukumnya dalam syariat Islam, apakah boleh? Atas jawabannya, saya ucapkan jazakumulloh khairan katsiran. Barakallohu fikum. Mukti Ariwibowo (mukti.**@***.com)


Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Bismillah washshalatu wassalam ‘ala Rasulillah.
Hukum jual beli binatang sama dengan hukum mengonsumsi binatang tersebut. Jika binatang tersebut halal dikonsumsi maka hukum jual beli binatang tersebut adalah halal. Begitu pula sebaliknya. Kaidah ini berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وإن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه
Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan sesuatu maka dia mengharamkan jual beli hal tersebut.” (Hr. Ibnu Hibban; dinilai sahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)
Meskipun demikian, dalam menerapkan kaidah ini terdapat beberapa pengecualian.
Terkait dengan hukum landak, ulama berselisih pendapat. Para ulama Mazhab Hanbali mengharamkannya, dengan alasan bahwa landak adalah binatang yang menjijikkan. Padahal, Allah telah mengharamkan segala sesuatu yang menjijikkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-A’raf:157. Selain itu, diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang hukum memakan landak, kemudian Ibnu Umar membaca firman Allah,
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً…. الآية
Katakanlah, aku tidak menjumpai dalam wahyu yang diturunkan kepadaku tentang hal-hal yang diharamkan kecuali ….” (Qa. Al-An’am:145)
Maksud Ibnu Umar, beliau mengingkari anggapan orang yang mengharamkan landak karena beliau mengetahui bahwa tidak ada dalil yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keharaman landak.
Setelah Ibnu Umar menyampaikan jawaban ini, tiba-tiba ada seorang kakek yang mengatakan, “Saya mendengar Abu Hurairah berkata, ‘Suatu ketika, ada orang yang menyebut tentang landak di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda, ‘Itu termasuk binatang menjijikkan.””
Ibnu Umar berkomentar, “Jika demikian yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hukumnya sebagaimana yang beliau sabdakan.”
Hanya saja, hadis Ibnu Umar di atas adalah hadis yang lemah. Di antara ulama hadis yang menilai sanad hadis ini dhaif adalah Imam Al-Khithabi dan Al-Baihaqi.
Imam Malik pernah ditanya tentang landak; beliau menjawab, “Saya tidak tahu.” Sementara, Imam Abu Hanifah menilainya makruh. Adapun Imam Asy-Syafi’i dan Al-Laits bin Sa’d, beliau berdua membolehkannya, sebagaimana keterangan dari Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 4:248)
Insya Allah, pendapat yang kuat dalam hal ini adalah yang menyatakannya halal. Pendapat ini juga yang dikuatkan Syekh Ibnu Baz dalam fatwa beliau (jilid 23, halaman 35) karena dalil yang mengharamkannya adalah hadis dhaif, sehingga tidak bisa menjadi dalil dalam menetapkan halal-haram. Dengan demikian, kembali kepada hukum asal, bahwa segala sesuatu adalah halal, sampai ada dalil–baik dari Alquran maupun As-Sunnah–yang mengharamkannya.
Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
read more “Usaha jual beli ternak landak”

Rabu, 21 September 2011

Hukum Kerja di Kantor Pajak

Berikut ada fatwa menarik tentang hukum bekerja di kantor pajak yang sering dipertanyakan sebagian orang. Semoga bermanfaat.
حكم العمل في الجمارك والضرائب
أعمل في الجمارك ، وقد سمعت أن هذا العمل غير جائز شرعاً ، فشرعت في البحث في هذه المسألة وقد مرت مدة طويلة وأنا أبحث دون أن أصل إلى نتيجة شافية . أرجو منكم أن تفصلوا لي المسألة قدر المستطاع
Hukum Bekerja di Bidang Bea Cukai dan Perpajakan
Pertanyaan, “Aku bekerja di kantor bea cukai. Aku pernah mendengar bahwa pekerjaan semacam ini itu tidak diperbolehkan oleh syariat. Mendengar hal tersebut aku lantas mengadakan pengkajian tentang permasalahan ini. Setelah sekian lama aku mengkaji, aku tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku berharap agar anda menjelaskan hukum permasalahan ini sejelas-jelasnya”.
الحمد لله
أولاً :
العمل في الجمارك وتحصيل الرسوم على ما يجلبه الناس من بضائع أو أمتعة ، الأصل فيه أنه حرام .
Jawaban pertanyaan, “Alhamdulillah, pada dasarnya hukum bekerja di bidang bea cukai yang memungut pajak atas barang-barang yang didatangkan oleh masyarakat dan dimasukkan ke suatu daerah adalah haram.
لما فيه من الظلم والإعانة عليه ؛ إذ لا يجوز أخذ مال امرئ معصوم إلا بطيب نفس منه ، وقد دلت النصوص على تحريم المَكْس ، والتشديد فيه ، ومن ذلك قوله صلى الله عليه وسلم في المرأة الغامدية التي زنت فرجمت : ( لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ) رواه مسلم (1695)
Alasan diharamkannya hal ini adalah karena pungutan bea cukai adalah kezaliman sehingga bekerja di bea cukai berarti membantu pihak yang hendak melakukan kezaliman. Tidak boleh mengambil harta seorang yang hartanya terjaga (baca: muslim atau kafir dzimmi) kecuali dengan kerelaannya. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan haramnya maks (baca: bea cukai) dan adanya ancaman keras tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang perempuan dari suku Ghamidiyyah yang berzina lantas dihukum rajam. Beliau bersabda, “Perempuan tersebut telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya pemungut bea cukai bertaubat seperti itu tentu dia akan diampuni” (HR Muslim no 1695).
قال النووي رحمه الله : “فيه أن المَكْس من أقبح المعاصي والذنوب الموبقات ، وذلك لكثرة مطالبات الناس له وظلاماتهم عنده ، وتكرر ذلك منه ، وانتهاكه للناس وأخذ أموالهم بغير حقها ، وصرفها في غير وجهها ” اهـ .
Ketika membahas hadits di atas, an Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa memungut bea cukai itu termasuk kemaksiatan yang paling buruk dan termasuk dosa yang membinasakan (baca: dosa besar). Hal ini disebabkan banyaknya tuntutan manusia kepadanya (pada hari Kiamat) dan banyaknya tindakan kezaliman yang dilakukan oleh pemungut bea cukai mengingat pungutan ini dilakukan berulang kali. Dengan memungut bea cukai berarti melanggar hak orang lain dan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan serta membelanjakannya tidak pada sasaran yang tepat”.
وروى أحمد (17333) وأبو داود (2937) عن عقبة بن عامر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ )
قال شعيب الأناؤوط : حسن لغيره. وضعفه الألباني في ضعيف أبي داود
Diriwayatkan oleh Ahmad no 17333 dan Abu Daud no 2937 dari Ubah bin Amir, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemungut bea cukai itu tidak akan masuk surga”. Hadits ini dinilai hasan li ghairihi oleh Syu’aib al Arnauth namun dinilai lemah oleh al Albani dalam Dhaif Abu Daud.
والمَكْس هو الضريبة التي تفرض على الناس ، ويُسمى آخذها (ماكس) أو (مكَّاس) أو (عَشَّار) لأنه كان يأخذ عشر أموال الناس
Pengertian maks yang ada dalam hadits-hadits di atas adalah pajak yang diwajibkan atas masyarakat. Pemungut maks disebut dengan maakis, makkaas atau ‘asysyar (pemungut sepersepuluh), disebut demikian karena pemungut bea cukai – di masa silam – mengambil sepersepuluh dari total harta orang yang dibebani bea cukai.
. وقد ذكر العلماء للمكس عدة صور . منها : ما كان يفعله أهل الجاهلية ، وهي دراهم كانت تؤخذ من البائع في الأسواق .
ومنها : دراهم كان يأخذها عامل الزكاة لنفسه ، بعد أن يأخذ الزكاة .
ومنها : دراهم كانت تؤخذ من التجار إذا مروا ، وكانوا يقدرونها على الأحمال أو الرؤوس ونحو ذلك ، وهذا أقرب ما يكون شبهاً بالجمارك
Para ulama menyebutkan bahwa maks itu memiliki beberapa bentuk.
(1) Maks yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yaitu uang pajak yang diambil dari para penjual di pasar
(2) Uang yang diambil oleh amal zakat dari muzakki untuk kepentingan pribadinya setelah dia mengambil zakat.
(3) Uang yang diambil dari para pedagang yang melewati suatu tempat tertentu. Uang yang diambil tersebut dibebankan kepada barang dagangan yang dibawa, perkepala orang yang lewat atau semisalnya.
Maks dengan pengertian ketiga tersebut sangat mirip dengan bea cukai.
وذكر هذه الصور الثلاثة في “عون المعبود” ، فقال : في القاموس : المكس النقص والظلم ، ودراهم كانت تؤخذ من بائعي السلع في الأسواق في الجاهلية . أو درهم كان يأخذه المُصَدِّق (عامل الزكاة) بعد فراغه من الصدقة
Ketiga bentuk maks ini disebutkan oleh penulis kitab Aunul Ma’bud (Syarh Sunan Abu Daud). Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Dalam al Qamus al Muhith disebutkan bahwa makna asal dari maks adalah mengurangi atau menzalimi. Maks adalah uang yang diambil dari para pedagang di pasar pada masa jahiliyyah atau uang yang diambil oleh amil zakat (untuk dirinya) setelah dia selesai mengambil zakat.
وقال في “النهاية” : هو الضريبة التي يأخذها الماكس ، وهو العشار .
وفي “شرح السنة” : أراد بصاحب المكس : الذي يأخذ من التجار إذا مروا مَكْسًا باسم العشر اهـ
Penulis kitab an Nihayah mengatakan bahwa maks adalah pajak yang diambil oleh maakis atau pemungut maks. Pemungut maks itu disebut juga asysyar. Sedangkan penulis kitab Syarh as Sunah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemungut maks adalah orang yang meminta uang dari para pedagang jika mereka lewat di suatu tempat dengan kedok ‘usyur (yaitu zakat)”.
وقال الشوكاني في “نيل الأوطار” : صاحب المكس هو من يتولى الضرائب التي تؤخذ من الناس بغير حق “اهـ .
Dalam Nailul Author, asy Syaukani mengatakan, “Pemungut maks adalah orang yang mengambil pajak dari masyarakat tanpa adanya alasan yang bisa dibenarkan”.
والمَكْس محرم بالإجماع ، وقد نص بعض أهل العلم على أنه من كبائر الذنوب .
Memungut maks adalah haram dengan sepakat ulama. Bahkan sebagian ulama menegaskan bahwa perbuatan memungut maks adalah dosa besar.
قال في “مطالب أولي النهى” (2/619 )
(يحرم تعشير أموال المسلمين -أي أخذ عشرها- والكُلَف -أي الضرائب- التي ضربها الملوك على الناس بغير طريق شرعي إجماعا . قال القاضي : لا يسوغ فيها اجتهاد ) اهـ .
Dalam Mathalib Ulin Nuha 2/619 disebutkan, “Diharamkan mengambil sepersepuluh dari total harta manusia. Demikian juga diharamkan memungut pajak. Pajak adalah pungutan penguasa dari rakyatnya tanpa cara yang dibenarkan oleh syariat. Diharamkannya hal ini adalah ijma ulama. Al Qadhi mengatakan bahwa tidak ada ijtihad dalam masalah ini”.
وقال ابن حجر المكي في “الزواجر عن اقتراف الكبائر” (1/180(
الكبيرة الثلاثون بعد المائة : جباية المكوس , والدخول في شيء من توابعها كالكتابة عليها ، لا بقصد حفظ حقوق الناس إلى أن ترد إليهم إن تيسر. وهو داخل في قوله تعالى : ( إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ( الشورى/42 .
Ibnu Hajar al Maki dalam al Zawajir ‘an Iqtiraf al Kabair 1/180 mengatakan, “Dosa besar ke-130 adalah memungut maks dan berperan serta di dalamnya dengan menjadi juru tulis bukan dengan tujuan menjaga hak manusia sehingga bisa dikembalikan kepada pemilik harta ketika sudah memungkinkan. Dosa ini termasuk dalam firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS asy Syura:42).
والمكاس بسائر أنواعه : من جابي المكس ، وكاتبه ، وشاهده ، ووازنه ، وكائله ، وغيرهم من أكبر أعوان الظلمة ، بل هم من الظلمة أنفسهم , فإنهم يأخذون ما لا يستحقونه ، ويدفعونه لمن لا يستحقه , ولهذا لا يدخل صاحب مكس الجنة ، لأن لحمه ينبت من حرام .
Para pemungut pajak dengan berbagai tugasnya baik pemungut pajak secara langsung, juru tulisnya, saksi, petugas yang bertugas menimbang ataupun menakar barang yang akan dibebani pajak dll adalah pembantu penting para penguasa yang zalim. Bahkan mereka adalah orang-orang yang zalim karena merekalah yang mengambil harta yang bukan hak mereka dan menyerahkannya kepada orang yang tidak berhak. Oleh karena itu, pemungut pajak itu tidak akan masuk surga karena dagingnya tumbuh dari harta yang haram.
وأيضا : فلأنهم تقلدوا بمظالم العباد , ومن أين للمكاس يوم القيامة أن يؤدي الناس ما أَخَذَ منهم ، إنما يأخذون من حسناته ، إن كان له حسنات , وهو داخل في قوله صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح : ( أتدرون من المفلس ؟ قالوا : يا رسول الله ، المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع . قال : إن المفلس من أمتي من يأتي يوم القيامة بصلاة وزكاة وصيام ، وقد شتم هذا ، وضرب هذا ، وأخذ مال هذا ، فيأخذ هذا من حسناته ، وهذا من حسناته ، فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أخذ من سيئاتهم فطرح عليه ثم طرح في النار)
Sebab yang kedua adalah karena mereka bertugas untuk menzalimi manusia. Dari mana para pemungut zakat tersebut pada hari Kiamat bisa mengembalikan hak orang lain yang telah mereka ambil?? Orang-orang yang dikenai pajak itu akan mengambil kebaikannya jika pemungut pajak tersebut masih memiliki kebaikan. Pemungut pajak itu termasuk dalam hadits yang sahih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Jawaban para sahabat, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah orang yang tidak punya dan tidak punya harta”. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Umatku yang bangkrut adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, zakat dan puasa. Namun dia telah mencaci maki A, memukul B dan mengambil harta C. A akan mengambil amal kebaikannya. Demikian pula B. Jika amal kebajikannya sudah habis sebelum kewajibannya selesai maka amal kejelekan orang-orang yang dizalimi akan diberikan kepadanya kemudian dia dicampakkan ke dalam neraka”.
وعن عقبة بن عامر رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( لا يدخل الجنة صاحب مكس )
Dari Ubah bin Amir, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemungut bea cukai itu tidak akan masuk surga”.
قال البغوي : يريد بصاحب المكس الذي يأخذ من التجار إذا مروا عليه مكسا باسم العشر . أي الزكاة
Al Baghawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemungut maks adalah orang yang meminta uang dari para pedagang jika mereka lewat di suatu tempat dengan kedok ‘usyur (yaitu zakat).
قال الحافظ المنذري : أما الآن فإنهم يأخذون مكسا باسم العشر ، ومكسا آخر ليس له اسم ، بل شيء يأخذونه حراما وسحتا ، ويأكلونه في بطونهم نارا , حجتهم فيه داحضة عند ربهم ، وعليهم غضب ، ولهم عذاب شديد . اهـ
Al Hafiz al Mundziri mengatakan, “Sedangkan sekarang para pemungut pajak mereka memungut pajak dengan kedok zakat dan pajak yang lain tanpa kedok apapun. Itulah uang yang mereka ambil dengan jalan yang haram. Mereka masukkan ke dalam perut mereka api neraka. Alasan mereka di hadapan Allah adalah alasan yang rapuh. Untuk mereka murka Allah dan siksa yang berat”. Sekian kutipan dari Ibnu Hajar al Makki.
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في “السياسة الشرعية”: ص 115 :
“وأما من كان لا يقطع الطريق , ولكنه يأخذ خَفَارة ( أي : يأخذ مالاً مقابل الحماية ) أو ضريبة من أبناء السبيل على الرؤوس والدواب والأحمال ونحو ذلك , فهذا مَكَّاس , عليه عقوبة المكاسين . . . وليس هو من قُطَّاع الطريق , فإن الطريق لا ينقطع به , مع أنه أشد الناس عذابا يوم القيامة , حتى قال النبي صلى الله عليه وسلم في الغامدية : ” لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له” اهـ .
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al Siyasah al Syar’iyyah hal 115 mengatakan, “Sedangkan orang yang profesinya bukanlah merampok akan tetapi mereka meminta khafarah (uang kompensasi jaminan keamanan, sebagaimana yang dilakukan oleh para preman di tempat kita, pent) atau mengambil pajak atas kepala orang, hewan tunggangan atau barang muatan dari orang-orang yang lewat dan semisalnya maka profesi orang ini adalah pemungut pajak. Untuknya hukuman para pemungut pajak… Orang tersebut bukanlah perampok karena dia tidak menghadang di tengah jalan. Meski dia bukan perampok dia adalah orang yang paling berat siksaannya pada hari Kiamat nanti. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang perempuan dari suku Ghamidi, “Perempuan tersebut telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya pemungut bea cukai bertaubat seperti itu tentu dia akan diampuni
وقد سئلت اللجنة الدائمة للإفتاء عن العمل في البنوك الربوية أو العمل بمصلحة الجمارك أو العمل بمصلحة الضرائب ، وأن العمل في الجمارك يقوم على فحص البضائع المباحة والمحرمة كالخمور والتبغ ، وتحديد الرسوم الجمركية عليها
Lajnah Daimah ditanya tentang hukum bekerja di bank ribawi, di kantor bea cukai dan di kantor pajak. Orang yang bertugas di kantor bea cukai itu bertugas untuk mengecek barang yang hendak masuk ke dalam negeri baik barang yang mubah ataupun barang yang haram semisal khamr dan tembakau lalu menetapkan besaran bea cukai atas barang-barang tersebut.
فأجابت : إذا كان العمل بمصلحة الضرائب على الصفة التي ذكرت فهو محرم أيضا ؛ لما فيه من الظلم والاعتساف ، ولما فيه من إقرار المحرمات وجباية الضرائب عليها ) اهـ .
“فتاوى اللجنة الدائمة” (15/64)
Jawaban Lajnah Daimah, “Bekerja di kantor pajak sebagaimana yang anda sampaikan juga haram karena dalam pekerjaan tersebut terdapat unsur kezaliman dan kesewenang-wenangan, membiarkan barang-barang yang haram dan mengambil pajak atasnya” (Fatawa Lajnah Daimah 15/64).
ومن هذا يتبين أن أخذ هذه الرسوم والضرائب ، أو كتابتها والإعانة عليها ، محرم تحريما شديداً .
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa bekerja sebagai pemungut pajak, pencatat pajak dan komponen pendukung yang lain adalah sangat diharamkan.
ثانياً :
نظراً لأن هذا الظلم واقع على المسلمين ، وامتناعك من العمل فيه لن يرفعه ، فالذي ينبغي في مثل هذه الحال – إذا لم نستطع إزالة المنكر بالكلية – أن نسعى إلى تقليله ما أمكن .
Menimbang bahwa kezaliman ini merupakan realita kaum muslimin dan andai anda tidak bekerja di sana kezaliman ini juga tidak hilang maka yang sepatutnya dalam kondisi semacam ini yaitu kondisi kita tidak bisa menghilangkan kemungkaran secara total adalah kita berupaya untuk meminimalisir kezaliman semaksimal mungkin.
فإذا كنت تعمل في هذا العمل بقصد رفع الظلم وتخفيفه عن المسلمين بقدر استطاعتك ، فأنت في ذلك محسن ، أما من دخل في هذا العمل بقصد الراتب ، أو الوظيفة , أو تطبيق القانون ، ونحو ذلك فإنه يكون من الظلمة ، ومن أصحاب المكس ، ولن يأخذ من أحد شيئاً ظلماً إلا أُخِذَ بقدره من حسناته يوم القيامة . نسأل الله السلامة والعافية .
Jika anda bekerja di kantor pajak dengan tujuan menghilangkan kezaliman atas kaum muslimin atau menguranginya semaksimal yang bisa anda lakukan maka apa yang anda lakukan adalah baik. Sedangkan orang yang kerja di tempat ini dengan pamrih gaji, dapat pekerjaan, menerapkan UU perpajakan atau tujuan semisal maka orang tersebut termasuk orang yang melakukan tindakan kezaliman dan pemungut pajak. Siapa saja yang mengambil hak orang lain secara zalim maka amal kebajikannya akan diambil pada hari Kiamat sesuai dengan kadar kezaliman yang dia lakukan.
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في “مجموع الفتاوى” (28/284) :
“وَلا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَكُونَ عَوْنًا عَلَى ظُلْمٍ ; فَإِنَّ التَّعَاوُنَ نَوْعَانِ :
الأَوَّلُ : تَعَاوُنٌ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى مِنْ الْجِهَادِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَإِعْطَاءِ الْمُسْتَحَقِّينَ ; فَهَذَا مِمَّا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ وَرَسُولُهُ . . . .
Dalam Majmu Fatwa 28/284, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Tidak boleh membantu tindakan kezaliman. Tolong menolong itu ada dua macam. Pertama, tolong menolong untuk melakukan kebajikan dan takwa semisal tolong menolong dalam jihad, menegakkan hukuman had, mengambil hak dan memberikannya kepada yang berhak mendapatkannya. Tolong menolong semacam ini diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya.
وَالثَّانِي : تَعَاوُنٌ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ، كَالإِعَانَةِ عَلَى دَمٍ مَعْصُومٍ ، أَوْ أَخْذِ مَالٍ مَعْصُومٍ ، أَوْ ضَرْبِ مَنْ لا يَسْتَحِقُّ الضَّرْبَ ، وَنَحْوَ ذَلِكَ ، فَهَذَا الَّذِي حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ . . .
Kedua, tolong menolong dalam dosa dan tindakan kezaliman semisal tolong menolong untuk membunuh orang, mengambil harta orang lain, memukul orang yang tidak berhak dipukul dan semisalnya. Ini adalah tolong menolong yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya.
ومَدَارَ الشَّرِيعَةِ عَلَى قَوْلِهِ تَعَالَى : ( فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ) ; وَعَلَى قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : (إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ) أَخْرَجَاهُ فِي الصَّحِيحَيْنِ .
Landasan hukum syariat adalah firman Allah yang artinya, “Bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS at Taghabun:16), dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika kuperintahkan kalian untuk melakukan sesuatu maka laksanakanlah semaksimal kemampuan kalian” (HR Bukhari dan Muslim).
وَعَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ تَحْصِيلُ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلُهَا ; وَتَعْطِيلُ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلُهَا . فَإِذَا تَعَارَضَتْ كَانَ تَحْصِيلُ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا ، وَدَفْعُ أَعْظَمِ الْمَفْسَدَتَيْنِ مَعَ احْتِمَالِ أَدْنَاهَا : هُوَ الْمَشْرُوعُ .
Kewajiban kita semua adalah mewujudkan kebaikan secara utuh atau semaksimal mungkin dan menihilkan keburukan atau meminimalisirnya. Jika hanya ada dua pilihan yang keduanya sama-sama kebaikan atau sama-sama keburukan maka yang sesuai dengan syariat adalah memilih yang nilai kebaikannya lebih besar meski dengan kehilangan kebaikan yang lebih rendah dan mencegah keburukan yang lebih besar meski dengan melakukan kuburukan yang lebih rendah.
وَالْمُعِينُ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ مَنْ أَعَانَ الظَّالِمَ عَلَى ظُلْمِهِ ، أَمَّا مَنْ أَعَانَ الْمَظْلُومَ عَلَى تَخْفِيفِ الظُّلْمِ عَنْهُ أَوْ عَلَى أَدَاءِ الْمَظْلِمَةِ : فَهُوَ وَكِيلُ الْمَظْلُومِ ; لا وَكِيلُ الظَّالِمِ ; بِمَنْزِلَةِ الَّذِي يُقْرِضُهُ ، أَوْ الَّذِي يَتَوَكَّلُ فِي حَمْلِ الْمَالِ لَهُ إلَى الظَّالِمِ .
Penolong perbuatan dosa dan kezaliman adalah orang yang menolong orang yang zalim untuk bisa menyukseskan kezaliman yang ingin dia lakukan. Sedangkan orang yang menolong orang yang terzalimi agar kadar kezalimannya berkurang atau agar apa yang menjadi haknya bisa kembali maka status orang tersebut adalah wakil dari orang yang teraniaya, bukan wakil orang yang menganiaya. Orang tersebut berstatus seperti orang yang memberi hutangan kepada orang yang dizalimi atau mewakili orang yang dizalimi untuk menyerahkan hartanya kepada orang yang zalim.
مِثَالُ ذَلِكَ : وَلِيُّ الْيَتِيمِ وَالْوَقْفِ إذَا طَلَبَ ظَالِمٌ مِنْهُ مَالا فَاجْتَهَدَ فِي دَفْعِ ذَلِكَ بِمَالِ أَقَلَّ مِنْهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى غَيْرِهِ بَعْدَ الاجْتِهَادِ التَّامِّ فِي الدَّفْعِ ؛ فَهُوَ مُحْسِنٌ ، وَمَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ . . .
Contoh realnya adalah orang yang memegang harta anak yatim atau pengurus harta wakaf jika ada orang zalim yang meminta sebagian harta amanah tersebut dengan menyerahkan sedikit mungkin dari harta yang diminta setelah dengan penuh kesungguhan berupaya mencegah kezaliman tersebut. Orang semacam ini adalah orang yang melakukan kebaikan dan tidak ada jalan untuk menyudutkan orang yang melakukan kebaikan.
كَذَلِكَ لَوْ وُضِعَتْ مَظْلِمَةٌ عَلَى أَهْلِ قَرْيَةٍ أَوْ دَرْبٍ أَوْ سُوقٍ أَوْ مَدِينَةٍ فَتَوَسَّطَ رَجُلٌ مِنْهُمْ مُحْسِنٌ فِي الدَّفْعِ عَنْهُمْ بِغَايَةِ الإِمْكَانِ ، وَقَسَّطَهَا بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ طَاقَتِهِمْ مِنْ غَيْرِ مُحَابَاةٍ لِنَفْسِهِ ، وَلا لِغَيْرِهِ ، وَلا ارْتِشَاءٍ ، بَلْ تَوَكَّلَ لَهُمْ فِي الدَّفْعِ عَنْهُمْ وَالإِعْطَاءِ : كَانَ مُحْسِنًا ; لَكِنَّ الْغَالِبَ أَنَّ مَنْ يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ يَكُونُ وَكِيلُ الظَّالِمِينَ مُحَابِيًا مُرْتَشِيًا مَخْفَرًا لِمَنْ يُرِيدُ (أي يدافع عنه (وَآخِذًا مِمَّنْ يُرِيدُ . وَهَذَا مِنْ أَكْبَرِ الظَّلَمَةِ الَّذِينَ يُحْشَرُونَ فِي تَوَابِيتَ مِنْ نَارٍ هُمْ وَأَعْوَانُهُمْ وَأَشْبَاهُهُمْ ثُمَّ يُقْذَفُونَ فِيى النَّارِ” اهـ .
والله أعلم
Demikian pula jika kezaliman (baca:pajak) ditetapkan atas penduduk suatu kampung, suatu jalan, pajak atau suatu kota lantas ada orang baik-baik yang menjadi mediator dalam rangka mencegah kezaliman semaksimal mungkin lantas dia bagi kezaliman (baca:pajak) tersebut atas orang-orang yang dikenai pajak sesuai dengan kadar kemampuan ekonomi mereka tanpa mengistimewakan dirinya sendiri atau orang lain dan tanpa meminta suap. Dia hanya berperan sebagai mediator untuk mencegah kezaliman dan mendistribusikan ‘kewajiban’ yang dipaksakan. Orang semisal ini adalah orang yang berbuat baik.
Akan tetapi mayoritas orang yang masuk di kancah ini mereka menjadi wakil orang yang zalim (baca: penguasa yang zalim), pilih kasih pada pihak-pihak tertentu, meminta suap, membela orang yang dia sukai dan mengambil pajak dari orang yang dia sukai. Orang semacam ini termasuk pentolan orang-orang yang berbuat zalim. Mereka, para pembantu mereka dan orang-orang yang serupa dengan mereka akan dimasukkan ke dalam kotak dari api neraka lantas dicampakkan ke dalam neraka”.
Referensi: http://islamqa.com/ar/ref/39461
Catatan:
Yang menjadi pertanyaan, apakah seorang muslim yang sudah terlanjur bekerja di kantor pajak secara real mampu melakukan pembelaan dan meminimalisir beban kezaliman (baca:pajak) yang ditimpakan kepada kaum muslimin?

Sumber: http://ustadzaris.com/hukum-kerja-di-kantor-pajak
read more “Hukum Kerja di Kantor Pajak”

Selasa, 20 September 2011

Asuransi syariah

Assalamu ‘alaikum, Pak Ustadz. Apakah asuransi pendidikan syariah itu sesuai dengan tuntunan Islam, Pak Ustadz? Aku tanya sama kawan, katanya, uang asuransi itu (uang kita) dipakai buat usaha, lalu nanti kalau untung, dikasih ke kita sekian persen. Tapi kalau rugi, uang kita tetap sebanyak itu juga, tapi tidak dikasih persennya. Juga, syariah, apakah itu sudah sesuai dengan hukum Islam? Terima kasih, Pak Ustadz. Assalamu ‘alaikum. Rafdinal (inal**@***.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Transaksi asuransi antara kita dengan bank syariah adalah “titip uang“. Jika nantinya kita butuh, kita akan mengambil uang tersebut. Dari mana kita bisa mendapatkan “bagi-keuntungan”, sementara kita sama sekali tidak menanggung kerugian jika ternyata usaha yang menggunakan modal uang kita itu gagal? Bukankah ini sama dengan riba?

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
read more “Asuransi syariah”

Rabu, 14 September 2011

Dropshipping: Usaha Tanpa Modal dan Alternatif Transaksinya yang Sesuai Syariat

dropshipping_1.jpg


Saya mau jadi pengusaha, tapi untuk buka usaha 'kan butuh modal”, kata Fulan.
Saya yakin, masih banyak di antara kita yang berpendapat demikian. Pada umumnya, alasan yang sering membuat ragu seseorang untuk melangkah menjadi wiraswasta adalah keterbatasan modal atau keterbatasan keterampilan. Ada pula alasan ingin menjadi wiraswasta tetapi status masih menjadi karyawan dan masih berat hati meninggalkan zona nyaman. Di sini, saya akan sedikit menyinggung usaha yang menurut saya hampir tidak memerlukan modal, serta relatif aman dari risiko kerugian. Usaha apa itu?
Dropshipping
Pengertian "dropshipping" adalah penjualan produk yang memungkinkan dropshipper (reseller) menjual barang ke pelanggan dengan bermodalkan foto dari supplier/toko (tanpa harus menyetok barang) dan menjual ke pelanggan dengan harga yang ditentukan oleh dropshipper.
Setelah pelanggan mentransfer uang ke rekening dropshipper, dropshipper membayar kepada supplier sesuai dengan harga beli dropshipper (ditambah dengan ongkos kirim ke pelanggan) serta memberikan data-data pelanggan (nama, alamat, no. ponsel) kepada supplier. Barang yang dipesan akan dikirim oleh supplier ke pelanggan/pembeli. Namun, yang menarik, nama pengirim yang tercantum tetaplah nama si dropshipper.
Jadi, intinya ada 3 komponen yang terlibat di sini, yaitu: dropshipper, supplier, dan pembeli. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada skema di bawah ini:
Dropshipping bisa dilakukan dengan melakukan penawaran secara offline. Namun, pada umumnya, penawaran dilakukan secara online, dengan memasang katalog produk dari supplier. Jika kita memiliki toko-online, kita hanya perlu memasang foto produk dari supplier ke toko-online kita. Jika kita belum punya toko-online, kita masih bisa memanfaatkan situs jual beli online, semacam kaskus.us, tokobagus.com, tokopedia.com, id.ebay.com, atau situs BursaMuslim.com.
Secara umum, model kerjasama antara dropshipper dengan toko/supplier ada 2 macam.
Pertama, supplier memberikan harga ke dropshipper, kemudian dropshipper dapat menjual barang kepada konsumen dengan harga yang ditetapkannya sendiri, dengan memasukkan keuntungan dropshipper.
Kedua, harga sejak awal sudah ditetapkan oleh supplier, termasuk besaran fee untuk dropshipper bagi setiap barang yang terjual.
Selain mendapat keuntungan dari fee yang diberikan supplier, masih banyak hal lain yang menjadi keuntungan dropshipper, di antaranya:
  • Tidak perlu investasi modal yang besar.
  • Tidak membutuhkan kantor dan gudang untuk persediaan.
  • Tidak perlu pendidikan tinggi (minimal bisa ber-SMS/menggunakan internet/mengoperasikan perhitungan matematika penjumlahan).
  • Tidak perlu melakukan packing dan pengantaran produk.
  • Di mana pun Anda berada, Anda masih bisa berjualan.
  • Sangat mudah dijalankan oleh siapa pun.
  • Tidak terikat waktu. Anda dapat menjalankan bisnis ini dengan santai, mau sambil tiduran, sambil jaga anak, sambil sekolah/kuliah/kerja kantoran, atau mengerjakan tugas lainnya.
  • Dan sebagainya.
Tips bagi dropshipper
Menjadi dropshipper--sepintas--memang mudah. Akan tetapi, bagi pemula yang ingin mencoba menjadi dropshipper ada beberapa tips.
1. Pilihlah produk yang memang kita minati. Kita memang perlu cepat mengambil peluang, namun tidak semua peluang perlu kita ambil. Akan lebih menyenangkan jika kita memasarkan barang yang memang kita minati dan kita ketahui manfaatnya.
2. Pastikan reputasi supplier. Prinsip kejujuran tetap harus menjadi landasan utama sebagai pengusaha muslim. Jangan sampai, ternyata kita bekerja sama dengan supplier yang tidak jujur atau memberikan produk yang tidak layak.
3. Pahami sebaik-baiknya produk yang akan dipasarkan. Hal ini penting untuk mengantisipasi jika ada masalah pada pembeli terkait produk yang kita beli. Tidak jarang, calon pembeli menanyakan hal-hal detail dari produk sebelum membeli, sehingga kita dapat menjelaskan dengan baik jika kita paham akan produk kita.
4. Akan lebih baik lagi jika kita pun memiliki sampel produk yang kita pasarkan. Dengan begitu, kita bisa memperkirakan permasalahkan yang mungkin timbul. Selain itu, sampel produk bisa kita manfaatkan untuk promosi offline.
Dropshipping bisa menjadi salah satu alternatif bagi yang ingin berwiraswasta tetapi masih belum memiliki modal, skill, atau pun keberanian untuk mengambil banyak risiko. Paling tidak, dengan usaha kecil-kecilan semacam dropship, kita bisa membangun "mental dagang", melatih sikap berhadapan dengan konsumen, belajar menggali ide marketing secara nyata, serta perlahan-lahan membangun visi sebagai pengusaha sehingga memiliki gambaran jika nantinya akan beralih dari karyawan menjadi pengusaha.
Namun, usaha yang kita lakukan harus sesuai syariat jika ingin mendapat berkah. Karena itu, kita tidak boleh melanggar batasan-batasan syariat Islam.
Penulis: Bagas Baskoro, S.T.
--
Catatan Redaksi (oleh Ustadz Ammi Nur Baits):
Terdapat sebuah hadis dari Hakim bin Hizam, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah kamu menjual barang yang bukan milikmu.”
(H.R. Abu Daud dan Nasa'i; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Hadis di atas secara tegas melarang kita menjual barang yang tidak kita miliki. Imam Al-Baghawi mengatakan, “Larangan dalam hadis ini adalah larangan menjual barang yang tidak dimiliki penjual.” (Syarh Sunnah, 8:140)
Dari keterangan yang diuraikan Penulis tentang dropshipping, bisa ditegaskan bahwa dropshipping termasuk sistem jual beli yang tercakup dalam larangan hadis di atas, karena dropshipper sama sekali tidak memiliki barang yang ada di supplier. Namun, dalam kondisi yang sama, dia menjual barang milik supplier. Ini artinya, dropshipper menjual barang yang bukan miliknya.
Sebagai alternatif lain, jual beli model dropshipping ini bisa dimodifikasi, sehingga diperbolehkan secara syariat.
Alternatif pertama, harga barang tidak ditetapkan sendiri, tetapi ditetapkan oleh supplier (pemilik barang). Dropshipper hanya menjalankan marketing, dan dia mendapat fee (upah) dari setiap barang yang terjual. Transaksi semacam ini, dalam fikih muamalah, disebut transaksi "ju'alah" (jual jasa). Dropshipper menjual jasa pemasaran, dan dia mendapat upah dari jasa pemasarannya.
Alternatif kedua, dropshipper menentukan harga barang sendiri, namun setelah mendapat pesanan barang, dropshipper langsung membeli barang dari supplier. Kemudian, baru dikirim ke pembeli. Namun, dalam transaksi ini, ada satu catatan penting, bahwa pembeli yang sudah membeli barang dari dropshipper diberi hak penuh untuk membatalkan akad sebelum barang dikirim. Transaksi semacam ini disebut "bai' al-murabahah lil amir bisy-syira'".
Alternatif ketiga, pembeli mengirimkan uang tunai kepada dropshipper seharga barang yang hendak dia beli, kemudian dropshipper mencarikan barang pesanan pembeli. Kemudian dropshipper membeli barang, dan selanjutnya barang dikirim ke pembeli oleh dropshipper. Dan semua risiko selama pengiriman barang ditanggung oleh dropshipper. Intinya di sini, dropshipper sudah membeli barang tersebut dari supplier. Sistem semacam ini disebut "bai' salam" (jual beli salam).

Artikel www.PengusahaMuslim.com
read more “Dropshipping: Usaha Tanpa Modal dan Alternatif Transaksinya yang Sesuai Syariat”

Senin, 04 Juli 2011

Peralatan Kantor untuk Kepentingan Pribadi

16 Mei 2011
 

Pertanyaan
“Kami adalah karyawan di sebuah perusahaan. Kami memanfaatkan beberapa peralatan milik kantor untuk mengkopi beberapa artikel keislaman untuk kami bagikan kepada orang lain. Kami juga mendengarkan rekaman pengajian dan lantunan ayat-ayat Alquran melalui komputer kantor. Hal ini kami lakukan di waktu longgar, setelah selesai bekerja. Apakah perbuatan kami ini diperbolehkan? Berkaitan dengan perbuatan yang dahulu telah kami lakukan, apakah cukup hanya dengan bertobat?”

Jawaban
“Menggunakan peralatan kantor adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan, meski dengan tujuan ingin membagikan artikel-artikel keislaman kepada orang lain. Seorang pegawai--alias karyawan--adalah seseorang yang diberi amanah berupa alat-alat kantor yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaannya dan dia diberi amanah berupa rincian pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, seorang karyawan tidak boleh memanfaatkan barang yang diamanahkan kepadanya untuk selain kepentingan pekerjaan dan kantor.
Akan tetapi, jika perusahaan itu adalah perusahaan perseorangan yang jelas pemiliknya, lalu pemilik perusahaan memperbolehkan pemanfaatan barang-barang kantor maka hukum pemanfaatan barang-barang milik kantor adalah diperbolehkan. Izin dari pemilik perusahaan bermakna "pemilik perusahaan memberi sumbangan atau hadiah dari harta miliknya kepada karyawannya".
Namun, jika peralatan tersebut adalah milik kantor atau instansi pemerintah maka memakainya bukan untuk kepentingan kantor adalah suatu hal yang terlarang, meski kepala kantor memperbolehkannya, karena kepala kantor tidaklah memiliki kewenangan untuk memanfaatkan peralatan tersebut untuk kepentingan pribadinya, sehingga bagaimana mungkin dia memberikan izin kepada orang lain?
Semisal dengan hal di atas adalah mempergunakan komputer kantor untuk mendengarkan kajian keislaman atau pun lantunan ayat-ayat Alquran. Terlebih lagi, jika hal tersebut dengan menggunakan jaringan internet atau semisalnya, yang menyebabkan adanya tambahan beban biaya kepada kantor atau perusahaan.
Jika pemanfaatan komputer kantor tersebut tidak menyebabkan adanya biaya tambahan yang terbebankan kepada kantor maka penggunakan komputer kantor--dalam hal ini--kehalalannya belumlah jelas karena komputer kantor--dalam hal ini--tidaklah dipergunakan untuk kepentingan kantor.
Walhasil, hal-hal di atas tidak boleh dilakukan. Anda berkewajiban untuk bertobat kepada Allah dan mengembalikan barang milik kantor yang Anda manfaatkan.
Jika Anda mengambil kertas kantor untuk keperluan foto kopi maka Anda berkewajiban mengembalikan kertas ke kantor sebanyak jumlah kertas yang Anda pergunakan untuk keperluan foto kopi. Demikian pula dengan mesin foto kopi milik kantor yang Anda gunakan; Anda wajib menyerahkan--kepada kantor--uang biaya pemanfaatan mesin foto kopi kantor. Misalnya, untuk mengopi selembar kertas, biayanya adalah seratus rupiah, maka uang yang wajib diserahkan ke kantor adalah seratus rupiah dikalikan jumlah kertas foto kopi.
Jika Anda tidak bisa memastikan nilai yang harus Anda serahkan ke kantor maka serahkan sejumlah uang kepada pihak kantor Anda, yang dengannya Anda yakin bahwa seluruh kewajiban Anda sudah terbayarkan.
Anda tidak harus menyerahkan uang ke kantor. Anda bisa mewujudkannya dalam bentuk kertas atau hal lainnya yang diperlukan oleh kantor.

Memanfaatkan mobil plat merah
Syekh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai hukum memanfaatkan mobil dinas (baca: plat merah) untuk kepentingan pribadi.
Jawaban beliau, “Memanfaatkan mobil dinas milik negara atau pun peralatan lain milik negara, semisal mesin foto kopi, printer, dan lain-lain untuk kepentingan pribadi adalah satu hal yang terlarang karena benda-benda tersebut diperuntukkan untuk kepentingan umum.
Jika ada seorang PNS yang memanfaatkan barang-barang tersebut untuk kepentingan pribadi maka itu adalah kejahatan terhadap masyarakat. Benda atau peralatan itu, yang diperuntukkan bagi kaum muslimin dan merupakan milik seluruh kaum muslimin (baca: seluruh rakyat), terlarang untuk dimanfaatkan oleh siapa pun, untuk keperluan pribadinya.
Dalilnya adalah bahwa Nabi melarang ghulul. Ghulul adalah tindakan seorang yang memanfaatkan, untuk keperluan pribadinya, sebagian harta rampasan perang yang masih menjadi milik umum, seluruh tentara yang ikut perang.
Kewajiban setiap oramg yang melihat adanya PNS yang memanfaatkan peralatan milik negara atau mobil dinas untuk kepentingan pribadinya adalah menasihati PNS tersebut dan menjelaskan kepadanya bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan haram.
Jika Allah memberikan hidayah kepadanya maka itulah yang diharapkan. Jika yang terjadi adalah kemungkinan yang jelek maka hendaknya tindakan PNS tersebut dilaporkan kepada pihak-pihak yang bisa memberikan teguran dan peringatan.
Melaporkan ulah PNS tersebut adalah bagian dari tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.
عَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا ، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ « تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ »
Dari Anas radhiallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat zalim atau dizalimi.” Ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, menolong orang yang dizalimi itu bisa kami lakukan. Lalu, bagaimana cara menolong orang yang berbuat zalim?” Jawaban Nabi, “Cegahlah dia dari melakukan tindakan kezaliman. Itulah bentuk pertolongan terhadap orang yang zalim.” (H.R. Bukhari, no. 6552)

Bagaimana jika kepala kantor sudah mengizinkan?
Ibnu Utsaimin ditanya, “Jika kepala kantor mengizikan, apakah penggunakan peralatan milik negara tetap terlarang?”
Jawaban beliau, “Tetap terlarang, meski kepala kantor mengizinkannya, karena kepala kantor tidak memiliki kewenangan terkait pemanfaatan pribadi atas peralatan milik negara. Oleh karena itu, bagaimana mungkin dia memberi izin kepada orang lain?” (Liqa` Al-Bab Al-Maftuh, pertanyaan no. 238)

Referensi: http://www.islam-qa.com/ar/ref/47067

Artikel www.PengusahaMuslim.com
Oleh: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A.
Beliau adalah pengasuh milis syariah Komunitas Pengusaha Muslim PM-Fatwa dan website PengusahaMuslim.com
read more “Peralatan Kantor untuk Kepentingan Pribadi”

Pemanfatan Barang Milik Kantor untuk Kepentingan Pribadi, Bolehkah?

02 Juli 2011
 

Pemanfaatan alat kantor atau alat kerja untuk kepentingan pribadi itu ada dua macam.
Pertama, pemanfaatan yang tidak menyebabkan rusak dan habisnya barang kantor yang dimanfaatkan. Contohnya, memanfaatkan penggaris, jangka, dan benda-benda semisal yang tidak habis dan tidak rusak jika dipakai. Pemanfaatan semacam ini boleh, selama dalam batas pemakaian yang wajar, dan tentu saja tidak boleh jika pemakaiannya tidak wajar sehingga menyebabkan gangguan dan kerusakan pada alat yang dipakai. Demikian pula, diperbolehkan memanfaatkan koneksi internet kantor untuk kepentingan pribadi, asalkan pemanfaatan tersebut tidak menyebabkan bertambahnya biaya yang harus ditanggung kantor untuk membayar koneksi internet serta tidak menyebabkan lambatnya koneksi internet.
Kedua, pemanfaatan yang menyebabkan habis dan rusaknya peralatan kantor dan kerja, seperti: kertas, tinta, dan pena milik kantor serta barang-barang semisal. Peralatan semacam ini tidak boleh dimanfaatkan oleh pegawai untuk kepentingan pribadinya. Penggunaan barang semisal ini adalah bentuk tidak amanah atau khianat terhadap pekerjaan dan peralatan kerja.
Referensi: http://islamqa.com/ar/ref/106505

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Oleh: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A.
Beliau adalah pengasuh milis syariah Komunitas Pengusaha Muslim PM-Fatwa dan website PengusahaMuslim.com
read more “Pemanfatan Barang Milik Kantor untuk Kepentingan Pribadi, Bolehkah?”

Senin, 30 Mei 2011

Dijual Murah karena Terpaksa

24 Mei 2011
 

Sering kali, kita jumpai tanah atau rumah yang dijual murah, di bawah harga pasar, disebabkan pemilik sedang dalam kondisi kepepet; ada anaknya yang opname di rumah sakit, atau untuk biaya anak yang sedang mendaftar di suatu sekolah, misalnya.
Bolehkah kita membeli tanah atau rumah tersebut dalam kondisi sebagaimana di atas? Apakah kita termasuk orang yang memanfaatkan penderitaan orang lain?
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini:
Pertama, para ulama Mazhab Hanbali, Malikiyyah, dan Syafi'iyyah berpendapat makruhnya membeli barang dari orang yang kepepet karena menimbang beberapa alasan.
Di antaranya, mereka menilai bahwa jual beli yang terjadi tidaklah atas dasar saling rela. Pemilik barang, sebenarnya, merasa berat hati untuk melepas harta miliknya.
عن أَبَي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ ».
Dari Abu Said al Khudri, Rasulullah bersabda, “Jual beli yang sah itu hanyalah jika atas dasar saling rela.” (H.R. Ibnu Majah, no. 2185; dinilai sahih oleh Al-Albani)
عن أَبُي عَامِرٍ الْمُزَنِىُّ حَدَّثَنَا شَيْخٌ مِنْ بَنِى تَمِيمٍ قَالَ خَطَبَنَا عَلِىٌّ أَوْ قَالَ قَالَ عَلِىٌّ يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ عَضُوضٌ يَعَضُّ الْمُوسِرُ عَلَى مَا فِى يَدَيْهِ - قَالَ وَلَمْ يُؤْمَرْ بِذَلِكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَلاَ تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ) وَيَنْهَدُ الأَشْرَارُ وَيُسْتَذَلُّ الأَخْيَارُ وَيُبَايِعُ الْمُضْطَرُّونَ - قَالَ- وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّينَ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ وَعَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ قَبْلَ أَنْ تُدْرِكَ.
Dari Abu ‘Amir Al-Muzani dari seorang Syekh dari Bani Tamim, beliau bercerita bahwa Ali menyampaikan khotbah--atau Ali mengatakan--, “Akan datang masa pelit. Itulah masa ketika orang yang kaya menggigit hartanya (baca: tidak mau berinfak). Padahal, mereka tidaklah diperintahkan demikian. Allah berfirman (yang artinya), ’Janganlah kalian melupakan kebaikan orang lain.’ (Q.S. Al-Baqarah:237). Para penjahat dimuliakan, sedangkan orang-orang saleh dihinakan. Transaksi jual beli diadakan dengan orang-orang yang sedang kepepet. Padahal, Rasulullah melarang melakukan transaksi jual beli dengan orang yang kepepet. Jual beli gharar dilakukan, dan hasil pertanian yang belum layak dikomsumsi (baca: ijon) juga diperdagangkan.” (H.R. Ahmad, no. 937; sanadnya dinilai lemah oleh Syekh Syuaib Al-Arnauth)
Hadis ini adalah riwayat tegas yang menunjukkan terlarangnya jual beli dengan orang yang kepepet. Akan tetapi, karena sanadnya lemah maka riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah ini.
Kedua, sedangkan ulama Mazhab Hanafiyyah dan Imam Ahmad (dalam salah satu pendapatnya) menyatakan haram dan batalnya jual beli dengan orang yang kepepet.
Alasannya adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib di atas. Jika memang jual beli dengan orang kepepet itu dilarang oleh Nabi maka larangan itu menghasilkan hukum haram dan tidak sahnya transaksi yang dilakukan.
Namun, setelah kita mengetahui bahwa hadis di atas adalah hadis yang lemah maka alasan ini merupakan alasan yang tidak bisa diterima.
Ketiga, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bolehnya transaksi jual beli dengan orang kepepet. (Majmu' Fatawa, 29:249)
Alasannya, transaksi dengan orang yang kepepet itu sah karena tidak ada pemaksaan untuk melakukan transaksi; transaksi itu terjadi dengan kerelaan dan keinginan penjual. Hanya saja, orang tersebut melakukan transaksi tersebut karena terpaksa menjual barangnya untuk menghilangkan posisi sulit yang dia alami. Sebenarnya, menjual barang bukanlah pilihan satu-satunya untuk dirinya. Bisa saja, orang tersebut mencari pinjaman uang untuk menghilangkan posisi sulitnya.
Alasan lain yang menunjukkan bolehnya transaksi dengan orang yang kepepet adalah bahwa membeli barang orang yang dalam kondisi kepepet adalah bentuk berbuat baik kepadanya dan menghilangkan kesusahannya.
Jadi, jual beli dalam keadaan kepepet itu ada dua macam:
1. Kepepet untuk mengadakan transaksi karena ada pihak yang memaksanya untuk mengadakan transaksi. Inilah transaksi jual beli yang tidak sah.
2. Kepepet karena penjual terlilit banyak utang atau harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Akhirnya, orang tersebut terpaksa menjual sebagian barangnya dengan harga sangat murah, karena kondisi darurat. Idealnya, kita tidak mengadakan transaksi jual beli dengan orang semacam ini, namun yang hendaknya kita lakukan adalah memberinya pinjaman uang sampai dia mampu melunasinya.
Demikianlah solusi yang ideal, namun jika pada realitanya kita sulit untuk mewujudkan hal ideal tersebut maka menurut pendapat yang paling kuat adalah boleh membeli barang milik orang yang kepepet, sebagaimana pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Disarikan dari Ighatsah Al-Jumu’, hlm. 41--45, karya Muhammad bin Ba’sus Al-’Umari, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, Ramadhan 1427 H.
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.
Beliau adalah pengasuh milis syariah Komunitas Pengusaha Muslim PM-Fatwa dan website PengusahaMuslim.com
read more “Dijual Murah karena Terpaksa”