Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Senin, 30 Mei 2011

Bolehkah Jual Beli Binatang yang Diawetkan?

Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya: Akhir-akhir ini muncul fenomena penjualan binatang-binatang dan burung-burung yang diawetkan. Kami sangat mengharapkan Anda setelah melakukan pemantauan terhadap hal tersebut untuk memberikan fatwa kepada saya mengenai hukum memiliki binatang-binatang dan burung-burung yang diawetkan. Dan apa hukum menjual benda tersebut. Apakah ada perbedaan antara yang haram dimiliki dalam keadaan masih hidup dan apa yang boleh dimiliki dalam keadaan hidup pada saat diawetkan. Dan apa pula yang seharusnya dilakukan oleh Petugas Amar Ma'ruf Nahi Mungkar (polisi di Arab Saudi - ed.) terhadap gejala tersebut ?

Jawaban:

Memiliki burung-burung dan binatang yang diawetkan baik yang diharamkan memilikinya dalam keadaan hidup atau apa yang dibolehkan memilikinya dalam keadaan hidup, sama-sama mengandung unsur penghambur-hamburan uang, berlebih-lebihan, dan mubadzir dalam membiayai pengawetan. Padahal Allah Ta'ala telah melarang perbuatan berlebih-lebihan dan juga mubazir.

Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang penghambur-hamburan uang. Selain itu, karena hal tersebut bisa menjadi jalan dipajangnya gambar-gambar dari makhluk yang bernyawa, diagntung dan ditempelkan. Dan itu jelas sesuatu yang haram. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menjualnya dan tidak juga memilikinya. Dan kewajiban Petugas Amar Ma'ruf Nahi Munkar untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa hal tersebut dilarang serta melarang peredarannya di pasar-pasar.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

[Dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 5350]
Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia: Fatwa-fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun: Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i - almanhaj.or.id
Artikel www.PengusahaMuslim.com
read more “Bolehkah Jual Beli Binatang yang Diawetkan?”

Dijual Murah karena Terpaksa

24 Mei 2011
 

Sering kali, kita jumpai tanah atau rumah yang dijual murah, di bawah harga pasar, disebabkan pemilik sedang dalam kondisi kepepet; ada anaknya yang opname di rumah sakit, atau untuk biaya anak yang sedang mendaftar di suatu sekolah, misalnya.
Bolehkah kita membeli tanah atau rumah tersebut dalam kondisi sebagaimana di atas? Apakah kita termasuk orang yang memanfaatkan penderitaan orang lain?
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini:
Pertama, para ulama Mazhab Hanbali, Malikiyyah, dan Syafi'iyyah berpendapat makruhnya membeli barang dari orang yang kepepet karena menimbang beberapa alasan.
Di antaranya, mereka menilai bahwa jual beli yang terjadi tidaklah atas dasar saling rela. Pemilik barang, sebenarnya, merasa berat hati untuk melepas harta miliknya.
عن أَبَي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ ».
Dari Abu Said al Khudri, Rasulullah bersabda, “Jual beli yang sah itu hanyalah jika atas dasar saling rela.” (H.R. Ibnu Majah, no. 2185; dinilai sahih oleh Al-Albani)
عن أَبُي عَامِرٍ الْمُزَنِىُّ حَدَّثَنَا شَيْخٌ مِنْ بَنِى تَمِيمٍ قَالَ خَطَبَنَا عَلِىٌّ أَوْ قَالَ قَالَ عَلِىٌّ يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ عَضُوضٌ يَعَضُّ الْمُوسِرُ عَلَى مَا فِى يَدَيْهِ - قَالَ وَلَمْ يُؤْمَرْ بِذَلِكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَلاَ تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ) وَيَنْهَدُ الأَشْرَارُ وَيُسْتَذَلُّ الأَخْيَارُ وَيُبَايِعُ الْمُضْطَرُّونَ - قَالَ- وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّينَ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ وَعَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ قَبْلَ أَنْ تُدْرِكَ.
Dari Abu ‘Amir Al-Muzani dari seorang Syekh dari Bani Tamim, beliau bercerita bahwa Ali menyampaikan khotbah--atau Ali mengatakan--, “Akan datang masa pelit. Itulah masa ketika orang yang kaya menggigit hartanya (baca: tidak mau berinfak). Padahal, mereka tidaklah diperintahkan demikian. Allah berfirman (yang artinya), ’Janganlah kalian melupakan kebaikan orang lain.’ (Q.S. Al-Baqarah:237). Para penjahat dimuliakan, sedangkan orang-orang saleh dihinakan. Transaksi jual beli diadakan dengan orang-orang yang sedang kepepet. Padahal, Rasulullah melarang melakukan transaksi jual beli dengan orang yang kepepet. Jual beli gharar dilakukan, dan hasil pertanian yang belum layak dikomsumsi (baca: ijon) juga diperdagangkan.” (H.R. Ahmad, no. 937; sanadnya dinilai lemah oleh Syekh Syuaib Al-Arnauth)
Hadis ini adalah riwayat tegas yang menunjukkan terlarangnya jual beli dengan orang yang kepepet. Akan tetapi, karena sanadnya lemah maka riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah ini.
Kedua, sedangkan ulama Mazhab Hanafiyyah dan Imam Ahmad (dalam salah satu pendapatnya) menyatakan haram dan batalnya jual beli dengan orang yang kepepet.
Alasannya adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib di atas. Jika memang jual beli dengan orang kepepet itu dilarang oleh Nabi maka larangan itu menghasilkan hukum haram dan tidak sahnya transaksi yang dilakukan.
Namun, setelah kita mengetahui bahwa hadis di atas adalah hadis yang lemah maka alasan ini merupakan alasan yang tidak bisa diterima.
Ketiga, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bolehnya transaksi jual beli dengan orang kepepet. (Majmu' Fatawa, 29:249)
Alasannya, transaksi dengan orang yang kepepet itu sah karena tidak ada pemaksaan untuk melakukan transaksi; transaksi itu terjadi dengan kerelaan dan keinginan penjual. Hanya saja, orang tersebut melakukan transaksi tersebut karena terpaksa menjual barangnya untuk menghilangkan posisi sulit yang dia alami. Sebenarnya, menjual barang bukanlah pilihan satu-satunya untuk dirinya. Bisa saja, orang tersebut mencari pinjaman uang untuk menghilangkan posisi sulitnya.
Alasan lain yang menunjukkan bolehnya transaksi dengan orang yang kepepet adalah bahwa membeli barang orang yang dalam kondisi kepepet adalah bentuk berbuat baik kepadanya dan menghilangkan kesusahannya.
Jadi, jual beli dalam keadaan kepepet itu ada dua macam:
1. Kepepet untuk mengadakan transaksi karena ada pihak yang memaksanya untuk mengadakan transaksi. Inilah transaksi jual beli yang tidak sah.
2. Kepepet karena penjual terlilit banyak utang atau harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Akhirnya, orang tersebut terpaksa menjual sebagian barangnya dengan harga sangat murah, karena kondisi darurat. Idealnya, kita tidak mengadakan transaksi jual beli dengan orang semacam ini, namun yang hendaknya kita lakukan adalah memberinya pinjaman uang sampai dia mampu melunasinya.
Demikianlah solusi yang ideal, namun jika pada realitanya kita sulit untuk mewujudkan hal ideal tersebut maka menurut pendapat yang paling kuat adalah boleh membeli barang milik orang yang kepepet, sebagaimana pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Disarikan dari Ighatsah Al-Jumu’, hlm. 41--45, karya Muhammad bin Ba’sus Al-’Umari, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, Ramadhan 1427 H.
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.
Beliau adalah pengasuh milis syariah Komunitas Pengusaha Muslim PM-Fatwa dan website PengusahaMuslim.com
read more “Dijual Murah karena Terpaksa”

Bolehkah Membawa Pulang Makanan Kantor?

31 Mei 2011


Pertanyaan, “Suamiku adalah kepala bagian administrasi di sebuah perusahaan. Di antara tugasnya adalah mengontrol makanan untuk karyawan. Sering kali, setelah semua karyawan makan, masih ada makanan yang tersisa. Saat itu, sering kali, suamiku membawa pulang makanan sisa tersebut. Aku ingin mengetahui hukum perbuatan suamiku tersebut: boleh ataukah tidak?”
Jawaban, “Pada dasarnya, seorang karyawan tidaklah diperbolehkan untuk membawa pulang sisa makanan kantor. Seorang karyawan, tentu saja memiliki tugas yang jelas, dan dia telah mendapatkan gaji atas tugas-tugas tersebut. Tidak boleh bagi seorang karyawan mengambil dari kantor atau perusahaan tempat dia bekerja untuk kepentingan pribadinya, lebih dari gaji atau upah yang telah disepakati di awal. Makanan sisa di kantor adalah hak kantor atau perusahaan.
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Nabi bersabda, 'Tidaklah halal harta milik seseorang melainkan dengan kerelaan hatinya.' (H.R. Ahmad, no. 20172; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, 'Ayahku bekerja di sebuah restoran. Pemilik restoran adalah seorang yang pelit. Oleh karena itu, ayahku bersama beberapa karyawan restoran yang lain mengambil sebagian makanan tanpa sepengetahuan pemilik restoran. Setiap pekan, ayahku membawa pulang daging seberat tiga kilo, tanpa sepengetahuan pemilik restoran. Suatu ketika, kutanyakan kepada Ayah mengapa beliau melakukan hal semacam itu. Jawaban beliau, 'Pemilik restoran itu pelit, tidak pernah bagi-bagi makanan kepada para karyawan.' Aku adalah seorang pelajar. Apakah memakan makanan tersebut hukumnya haram?'
Jawaban Lajnah Daimah, 'Tidak boleh bagi Anda untuk memakan makanan yang diambil oleh ayah Anda secara sembunyi-sembunyi dari restoran tempatnya bekerja, tanpa sepengetahuan pemilik restoran, meski pemilik restoran adalah seorang yang memang pelit. Seorang karyawan tidaklah memilik hak melainkan gaji atau upah, bonus atau pun lainnya, yang telah disepakati di awal kontrak kerja.' (Fatawa Lajnah Daimah, 22:336--337)
Syekh Ibnu Utsaimin mendapat pertanyaan, 'Di akhir penerbangan, tersisa makanan yang lebih dari kebutuhan penumpang. Biasanya, makanan tersebut pada akhirnya dibiarkan membusuk. Bolehkah awak pesawat mengambil makanan yang tersisa di akhir penerbangan? Bolehkah bagiku membawa pulang makanan dan minuman yang memang menjadi jatahku jika makanan tersebut tidak aku makan di pesawat?'
Jawaban Ibnu Utsaimin, 'Menurutku, Anda tidak boleh membawa pulang sedikit pun makanan yang menjadi jatah yang boleh Anda makan di pesawat. Perlu dibedakan antara memberi dengan mempersilakan. Perusahaan penerbangan hanya mempersilakan awak pesawat untuk makan dan minum sesukanya, bukan memberikan makanan tersebut kepada awak pesawat. Oleh karena itu, Allah memperbolehkan musafir yang melewati suatu kebun kurma untuk memakan kurma yang ada di dalam kebun tersebut, selama dia berada di dalam kebun. Akan tetapi, musafir tersebut tidaklah diperkenankan untuk membawa keluar dari kebun. Meski demikian, jika makanan yang tersisa itu hanya dibiarkan membusuk, Anda boleh mengambilnya lalu memakannya atau menyedekahkannya.' (Majmu' Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 13:825)
Ringkasnya, karyawan boleh membawa pulang makanan di kantor yang tersisa dalam dua keadaan:
1. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan milik perseorangan dan pemilik perusahaan mengetahui tindakan karyawan yang mengambil makanan yang tersisa dan tidak menegurnya.
2. Jika makanan di kantor yang tersisa itu akan dibuang ke kontak sampah jika tidak ada yang memanfaatkannya. Dalam kondisi demikian, boleh bagi karyawan itu membawa pulang makanan tersebut."
Sumber: http://islamqa.com/ar/ref/148638
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.
Beliau adalah pengasuh milis syariah Komunitas Pengusaha Muslim PM-Fatwa dan website PengusahaMuslim.com
read more “Bolehkah Membawa Pulang Makanan Kantor?”

Jumat, 27 Mei 2011

MEMBERI FATWA TANPA BERDASARKAN ILMU

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian guru ada yang memberi fatwa kepada murid-muridnya mengenai masalah syari'at tanpa berdasarkan ilmu. Bagaimana hukumnya?

Jawaban
Kami tujukan jawaban ini kepada para peminta dan pemberi fatwa. Untuk para peminta fatwa; Tidak boleh meminta fatwa, baik kepada perempuan maupun laki-laki, kecuali yang diduga berkompeten untuk memberi fatwa, yaitu yang dikenal keilmuan-nya, karena ini adalah perkara agama, dan agama itu harus dijaga. Jika seseorang ingin bepergian ke suatu negara, hendaknya tidak menanyakan jalannya kepada sembarang orang, tapi mencari orang yang bisa menunjukkan, yaitu yang mengetahuinya. Demikian juga jalan menuju Allah, yaitu syari'atNya, hendaknya tidak meminta fatwa dalam perkara syari'at kecuali kepada orang yang diketahuinya atau diduganya berkompeten untuk memberikan fatwa.

Kemudian untuk para pemberi fatwa ; Tidak boleh memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

"Artinya : Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap llah apa saja yang tidak kamu ketahu”[Al-A'raf : 33]

Allah menyebutkan perbuatan mempersekutukan Allah pada pembicaraan dalam hal ini yang tidak didasari ilmu. Dalam ayat lain disebutkan,

"Artinya : Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim "[Al-An'am : 144]
.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda

"Artinya : Barangsiapa yang berdusta dengan mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka."[2]

Maka hendaklah orang yang ditanya tidak begitu saja memberikan jawabannya kecuali berdasarkan ilmu, yaitu mengetahui masalahnya, baik itu dari dirinya sendiri, jika ia memang mampu mengkaji dan menimbang dalil-dalilnya, atau dari orang alim yang dipercayainya. Karena ini adalah perkara agama. Pemberi fatwa itu adalah yang memberi tahu tentang agama Allah dan tentang hukum Allah serta syari'at-syari'atNya, maka hendaknya ia sangat berhati-hati.

[Dalilut Thaubah Al-Mu'minah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hat. 38]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] HR. Ad-Darimi dalam AI-Muqaddimah (157).
[2]. HR. AI-Bukhari dalam Al-'Ilm (110), Muslim dalam AI-Muqaddimah (3) dari hadits Abu Hurairah. Diriwayatkan pula selain ini lebih dari seorang sahabat.


Sumber:http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1083
read more “MEMBERI FATWA TANPA BERDASARKAN ILMU”

Kamis, 26 Mei 2011

IJTIHAD DAN PEMBERIAN FATWA

Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah pintu ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum Islam masih terbuka untuk setiap orang, ataukah ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid (yang melakukan ijtihad)? Apakah boleh seseorang memberi fatwa berdasarkan pandangannya tanpa mengetahui dalilnya dengan pasti. Dan apa derajat hadits “Yang paling berani di antara kalian dalam memberi fatwa, berarti ia yang paling berani di antara kalian masuk ke dalam neraka." dan apa maksudnya?

Jawaban:
Pintu ijtihad untuk mengetahui hukum-hukum syari' at masih tetap terbuka bagi yang berkompeten melakukannya, yaitu hendaknya ia mengetahui hujjah-hujjah dalam masalah yang diijtihadkannya yang berupa ayat-ayat dan hadits-hadits, mampu memahami dalil-dalil tersebut dan menggunakannya sebagai dalih perkaranya, mengetahui derajat hadits-hadits yang digunakan sebagai dalilnya, mengetahui ijma' (konsesus para imam kaum muslimin) dalam masalah yang sedang dibahasnya sehingga tidak keluar dari ijma' kaum muslimin dalam masalah tersebut, menguasai bahasa Arab yang memungkinkannya memahami nash-nash sehingga bisa menggunakannya sebagai dalilnya dan mengambil kesimpulan darinya. Hendaknya seseorang tidak mengungkapkan pendapat dalam perkara agama hanya berdasarkan pandangannya belaka, atau memberi fatwa kepada orang lain tanpa berdasarkan ilmu, bahkan seharusnya ia mencari petunjuk dengan dalil-dalil syari'at, lalu dengan pendapat-pendapat para ulama dan pandangan mereka terhadap dalil-dalilnya serta metode mereka dalam menggunakan dalil-dalil tersebut dan dalam mengambil kesimpulan, kemudian barulah berbicara atau memberi fatwa dengan apa yang diyakini dan diridhai untuk dirinya sebagai bagian dari agama.

Adapun hadits.

“Yang paling berani di antara kalian dalam memberi fatwa, berarti ia yang paling berani di antara kalian masuk ke dalam neraka."[1]

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi dalam kitab Sunannya dari Abdullah bin Abi Ja'far Al-Mishri secara mursal. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad serta keluarganya.

[Fatwa Hai'ah Kibaril Ulama, Syaikh Ibnu Baz]


Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1083
read more “IJTIHAD DAN PEMBERIAN FATWA”

Rabu, 25 Mei 2011

HUKUM KHITAN BAGI WANITA

Kamis, 10 Juni 2004 10:11:08 WIB

HUKUM KHITAN BAGI WANITA


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Apakah khitan (sunat) bagi wanita itu hukumnya wajib ataukah sunnah yang disukai saja ?"

Jawaban.
Telah shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan hanya dalam satu hadits, anjuran beliau untuk menyunat wanita. Beliau juga memerintahkan wanita yang menyunat untuk tidak berlebihan dalam menyunat. Tapi dalam masalah ini berbeda antara suatu negeri dengan negeri-negeri lainnya.

Kadang-kadang dipotong banyak dan kadang-kadang hanya dipotong sedikit saja (ini biasanya terjadi di negeri-negeri yang berhawa dingin). Jadi sekiranya perlu dikhitan dan dipotong, lebih baik di potong. Jika tidak, maka tidak usah di potong.

[Disalin dari Kitab Majmuah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, hal 162-163, Pustaka At-Tauhid]


HUKUM KHITAN BAGI ANAK PEREMPUAN

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta'


Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' ditanya : "Apa hukum khitan bagi anak perempuan, apakah termasuk sunnah atau makruh?".

Jawaban.
Khitan bagi wanita disunnahkan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallalalhu 'alaihi wa sallam bahwa sunnah fitrah itu ada lima, di antaranya khitan. Juga berdasarkan riwayat Khalal dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Khitan itu merupakan sunnah bagi para lelaki dan kehormatan bagi para wanita"

[Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta' 5/119]

SALAHKAH TIDAK MELAKUKAN KHITAN ?


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta'


Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' : "Saya mendengar khatib di masjid kami berkata di atas mimbar bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghalalkan khitan bagi para wanita. Kami berkata kepadanya bahwa wanita-wanita di daerah kami tidak dikhitan. Bolehkan seorang wanita tidak melakukan khitan ?"

Jawaban.
Khitan bagi wanita merupakan kehormatan bagi mereka tapi hendaknya tidak berlebihan dalam memotong bagian yang dikhitan, berdasarkan larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Sunnah-sunnah fitrah itu ada lima ; khitan, mencukur bulu kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak" [Muttafaq Alaih]

Hadits ini umum, mencakup lelaki dan perempuan.

[Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta' 5/119,120]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
read more “HUKUM KHITAN BAGI WANITA”

Selasa, 24 Mei 2011

Berkebun Emas Menurut Tinjauan Syariat

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

Ustadz, and pengasuh milis yang kami cintai,

Mohon penjelasan tentang hukum berkebun emas, yang akhir-akhir ini marak di indonesia, sebagai gambaran investasinya sbb:

Contoh asumsinya sebagai berikut: Melakukan investasi emas secara rutin sebesar 25 gram

- Harga asumsi emas 25 gram = Rp 9.000.000
- Pada saat ini Anda punya tambahan uang Rp 3.750.000
- Nilai gadai sebesar 80% dari harga taksir emas
- Harga Taksir Bank Rp.300.000 pergram
- Biaya penitipan emas Rp 2500/gram/bulan

Perlu Anda ketahui, taksiran nilai taksir dan kondisi sebenarnya di bank mungkin berbeda-beda, tapi yang terbaik Anda memilih bank yang memberikan: Nilai gadai tinggi, Biaya rendah dan Waktu singkat.

Mari kita mulai saja perhitungannya:

Misalkan Anda Beli emas batangan Antam 25 gram, lalu Anda gadaikan dan Anda akan mendapatkan dana segar sebesar Rp 6.000.000

Perhitungannya sebagai berikut:

Rp 300.000 x 80% = Rp 240.000 x 25gram = Rp 6.000.000

Anda setor biaya penitipan emas 1 tahun sebesar Rp 2500×25×12 bulan = Rp 750.000

Lakukan Investasi emas Anda dengan cara:

Beli emas 25 gram lalu Gadaikan emasnya, dapat dana segar Rp 6jt, lalu tambah Rp 3 jt dana dari uang Anda = Rp 9jt lalu beli emas lagi dengan biaya titip Rp 750.000 setahun.

Setiap Anda memiliki dana tambahan Rp.3.75 jt lalu ulangi langkah diatas lagi, begitu seterusnya sesuai kebutuhan. Kalau sudah lima kali maka posisi akan menjadi seperti ini:

1. Beli Emas 25 gram -> Rp.6jt, tambah Rp.3 jt dana segar jadi total = 9jt -> beli emas lagi | Rp.750rb -> biaya titip
2. Beli Emas 25 gram -> Rp.6jt, tambah Rp.3 jt dana segar jadi total = 9jt -> beli emas lagi | Rp.750rb -> biaya titip
3. Beli Emas 25 gram -> Rp.6jt, tambah Rp.3 jt dana segar jadi total = 9jt -> beli emas lagi | Rp.750rb -> biaya titip
4. Beli Emas 25 gram -> Rp.6jt, tambah Rp.3 jt dana segar jadi total = 9jt -> beli emas lagi | Rp.750rb -> biaya titip
5. Beli Emas 25 gram (Emas disimpan)

Anda Perhatikan perhitungan di atas bahwa biaya pembelian emas kedua dan seterusnya, 2/3 modal beli emas adalah dari uang bank. Dan setelah waktu berlalu, misalkan harga emas naik sebesar 30 persen, jadi emas batangan 25 gram yang Anda miliki sekarang nilainya Rp 12jt. Dan ini saatnya Anda panen.

Langkah memanennya cukup dibalik saja yaitu: Juallah emas nomor 5, maka anda mendapatkan dana segar 12 jt, dana segar ini kita pakai untuk menebus 2 emas lainnya. Ulangi sampai semua emas ditebus, dan jual semuanya.

Maka posisinya sebagai berikut:

Hasil penjualan emas 5 buah x Rp 12 jt = Rp 60 jt
Tebus gadai 4 x Rp 6 jt = Rp 24 jt
sisa = 36 jt ——> sub total 1

Berapa modal anda?

1. Beli emas pertama = Rp 9 jt
2. Beli emas ke 2 sampai ke 5 = Rp 3jt x 4 = Rp 12 jt
3. Biaya titip Rp 750rb x 4 buah emas = Rp 3 jt
Ttotal modal = Rp 24 jt ——> sub total 2

Keuntungan Panen Emas Anda adalah: sub total 1 – sub total 2 = Rp 36 jt – Rp 24 jt = 12 jt

Berikut ini Perbandingan keuntungan metode investasi emas biasa vs metode cerdas kebun emas dengan modal awal Rp.24 jt:

Modal 24jt belikan emas sewaktu harga batangan 25 gram = 9jt, maka per gram berarti 360rb. Rp.24 jt : 360 rb dapat emas 66.66 gram

Ketika harga naik 30% kita jual menjadi Rp 468 ribu/gram: 66.66 * 468 ribu = Rp.31.196.880 dikurangi modal 24 jt = untung Rp 7.196.880

Sumber: http://www.berkebunemas.net/

Waryanto

Tanggapan dari rekan milis PM-Fatwa

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Afwan, mencoba sharing saja...

"berkebun emas" kebunnya dimana ya?

Gambaran secara sederhana transaksi investasi emas tersebut adalah sistem beli gadai.
kita beli emas ditoko emas kemudian kita gadaikan ke bank, setelah terima uang dari bank kita belikan emas lagi trus kita gadaikan lagi. Kemudian pada saat harga emas tinggi kita tebus emas tersebut dari bank kemudian kita jual.

Dari sistem tersebut jelas bahwa kita menggadaikan emas. Ini berarti kita utang ke bank dengan jaminan emas, adakah bunganya....?

Tentu saja ada meskipun dengan istilah yang berbeda, namanya bisa biaya sewa, biaya bulanan, biaya pemeliharaan, biaya jasa penitipan dan lain-lain (terserah sebutan mereka), bukankah mengambil keuntungan dari pinjam-meminjam disebut riba?

Dari sistem tersebut kita tahu juga bahwa ada sifat spekulasi dalam transaksi tersebut, kalau harga emas naik berarti untung, kalau harga emas turun berarti rugi, meskipun kecenderungan harga emas naik, tetapi tidak ada yang dapat memastikan akan selalu naik.

Apakah islam membolehkan spekulasi?

Yang pasti diuntungkan adalah bank, karena bank mendapatkan bunga dari transaksi tersebut. Dan pemilik emas hanya bisa menanti dari tahun ke tahun mengharap harga emas naik sambil menanggung biaya bulanan (bunga) yang harus dibayar.

Menurut saya kalau mau simpan emas, simpan saja dalam bentuk dinar.

Wallahu a'lam.

Wassalamu'alaikum

Indra

Jawaban ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri (Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia)

Assalamu'alaikum

Apa yang diutarakan, saudara Indra benar adanya, sejatinya yang terjadi pada bekebun emas hanyalah menghutangkan sejumlah emas, atau mengutangkan sejumlah uang dengan memberikan sejumlah bunga. Tidak diragukan itu adalah riba.

Terlebih lagi bila diingat bahwa sejatinya emas dan uang adalah alat tolok ukur nilai barang, dan sebagai alat transaksi, dengan demikian bila uang dan emas digadaikan dengan mengambil keuntungan maka tidak diragukan itu adalah riba.

Ditambah lagi "GADAI" hanya ada bila ada piutang, tidak mungkin ada gadai bila tidak ada piutang. Karenanya, setiap keuntungan yang didapat dari gadai adalah bunga dan itu HARAM.

Adapun menggadaikan hewan ternak yang membutuhkan perawatan, maka bila pemilik hewan ternak tidak memberi pakan kepada ternaknya, maka pemberi piutang/penerima gadai hewan berkewajiban memberi pakan. Dan sebagai gantinya ia dibolehkan mengambil susu, atau menunggangi hewan tersebut seharga pakan yang ia berkan, tidak lebih dan tidak kurang. Dengan demikian tidak ada keuntungan.

Kasus berkebun uang ini semakin mengingatkan kita bahwa umat kita benar-benar telah mengekor umat Yahudi yang melanggar aturan dan syari'at Allah dengan sedikit tipu daya dan akal-akalan.

Hasbunallahu wa ni'mal wakil

***

Artikel www.PengusahaMuslim.com
Sumber: Catatan al-Akh Moslem Preneur As-salafy
read more “Berkebun Emas Menurut Tinjauan Syariat”

SEPOTONG KUE TART DAN SECUIL PAHALA (KISAH MENGHARUKAN)

Bayangkanlah … Anda ditawari sepotong kue tart, yang terdiri dari kue bolu coklat yang dilapisi whipping cream yang lembut, ditambah dengan serutan coklat di atasnya, plus stroberi yang rasa asam-manisnya semakin melengkapi kenikmatan kue tart tersebut.

Lalu, Anda ditanya, “Ingin pilih yang mana? Kertas alas kuenya, secuil whipping cream-nya, kue bolunya saja, atau ingin kue tart yang utuh?”

Sepertinya, nyaris tak mungkin jika Anda menjawab, “Kertas alas kuenya saja.” Benar begitu, bukan?

Jika itu berlaku dalam permisalan perkara dunia, maka bagaimana lagi dengan perkara pahala akhirat? Tentunya jauh lebih mulia! Terdapat berbagai jenis tawaran pahala yang menanti Anda dalam ibadah sunah. Anda boleh mengambil separuh, seujung jari, atau mungkin seluruhnya. Semuanya adalah pilihan yang Anda ambil sendiri.

Maka, apakah jawaban Anda, jika ada yang bertanya, “Anda lebih suka yang mana: mengucap salam atau menjawab salam secara lengkap lalu beroleh pahala secara sempurna, atau mengucap atau menjawab salam dengan singkat sesingkat-singkatnya lalu hanya beroleh sepotong pahala atau bahkan tak beroleh secuil pun pahala?”

Sebagai manusia yang fitrahnya berharap surga, tentunya Anda ingin pahala yang sempurna, bukan?

Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ada fenomena menarik di masa serba instan ini. Yaitu, betapa meluasnya bentuk “salam instan”: Ass, Askm, Ass. Wr. Wb., Askum, Aslm, dan berbagai “kreativitas” yang tersalurkan tidak pada tempatnya ini. Apa makna rentetan huruf-huruf tersebut? Apakah ada yang bermaksud melafalkan “assalamu ‘alaikum” dengan sebatas mewakilkannya pada tiga huruf: “Ass”, atau mungkin ada yang menambah sedikit huruf, menjadi: Askm, Ass. Wr. Wb, Askum, atau Aslm?

Bagaimana kita membaca huruf-huruf ini: Askm? Tentunya, cara membacanya adalah: a-es-ka-em, bukannya “assalamu ‘alaikum“. Demikian pula dengan model penyingkatan salam semisal itu.

Sahabatku, jika kita tanya kepada diri kita sendiri, maka pastinya tak mungkin ada perintah yang lebih mulia untuk segera dikerjakan selain perintah dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتاً غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya ….” (QS. An-Nur:27)

وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيب

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sebuah penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa`:86)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang lelaki telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Amalan) seperti apakah dalam Islam yang paling baik?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Memberi makan orang lain serta mengucap salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (Muttafaq ‘alaih)

Demikian itu adalah keutamaan mengucap salam, lalu bagaimana cara mengucap dan menjawab salam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Seorang lelaki telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Assalamu ‘alaikum.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punbersabda, ‘Sepuluh.’ Selanjutnya, seorang lelaki yang lain datang, lalu dia berujar, ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punbersabda, ‘Dua puluh.’ Selanjutnya, seorang lelaki yang lain pun datang, lalu dia berkata, ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tiga puluh.’ (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi; At-Tirmidzi berkata, “Hadits yang berderajat hasan.”) [1]

Jazakillahu khairan [2]

Sebagaimana keutamaan pengucapan salam tanpa disingkat-singkat, maka pengucapan doa “jazakillahu khairan” pun sepatutnya disampaikan secara sempurna, tanpa disingkat-singkat.

Dalam pembahasan tentang perkataan seseorang kepada saudaranya, “Jazakallahu khairan,” pada kitab karya Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, yang berjudul Ahaditsul Ahkam, di juz 6, 188:3664, terdapat dua riwayat hadits yang menjadi dalil bagi sunah ini:

عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا قال الرجل لأخيه : جزاك الله خيرا ، فقد أبلغ في الثناء .

1. Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya, ‘Jazakallahu khairan,’ maka sesungguhnya dia telah sempurna dalam mengungkapan rasa terima kasih.’”

عن طلحة بن عبيد الله بن كريز قال : قال عمر : لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه : جزاك الله خيرا ، لأكثر منها بعضكم لبعض

2. Dari Thalhah bin Ubaidillah, dia berkata, “Umar telah menuturkan, ‘Seandainya salah seorang di antara kalian mengetahui balasan yang dia peroleh jika dia mengucapkan kepada saudaranya, ‘Jazakallahu khairan,’ tentunya dia benar-benar akan memperbanyak ucapan tersebut di antara mereka satu sama lain.’” [3]

Dalam kitab Faidhul Qadir, 6:172, disebutkan, “Penggalan kalimat ‘maka sesungguhnya dia telah sempurna dalam mengungkapan rasa terima kasih‘ karena dirinya mengakui kekurangannya dan ketidak mampuannya dalam memberikan balasan. Karena itu, dia pasrahkan balasannya kepada Allah, agar Dia yang memberikan balasan yang setimpal.”

Al-’Allamah Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam Syarah Riyadhush Shalihin, “Hal tersebut terjadi, karena sesungguhnya, jika Allah ta’ala membalasnya dengan kebaikan maka hal itu menjadi kebahagiaan baginya, di dunia dan di akhirat.” [4]

Juga, terdapat satu catatan penting dalam pengucapan doa ini, yaitu penghilangan kata “khairan“. Contoh yang sering kita temui adalah ungkapan “jazakillah“, bukan “jazakillahu khairan” atau “jazakallah khairan“. Hal yang perlu kita perhatikan, jika kita hanya mengucapkan “jazakillah” maka kalimat doa ini masih ambigu: “Semoga Allah membalasmu (dengan) ….” Yang menjadi pertanyaan kita adalah: membalas dengan kebaikan atau keburukan? Tentu saja, yang kita maksudkan adalah “jazakillahu khairan” (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan), bukan “jazakillahu syarran” (semoga Allah membalas Anda dengan keburukan). Oleh karena itu, ucapkanlah “jazakillahu khairan“, agar tersampaikan maksud dari doa tersebut secara sempurna. [5]

Mari mengamalkannya

Hingga di sinilah pemaparan sederhana ini, yang kami hadiahkan untuk Anda, sahabat kami. Memiliki ilmu yang berbuah amal dalam kehidupan nyata merupakan tanda keberkahan pada ilmu tersebut.

Semoga, setelah membaca tulisan ini, kita akan senantiasa mengucap dan menjawab salam, serta mengucap “jazakillahu khairan” dengan lafal yang sempurna, tanpa disingkat-singkat; tak ada lagi: Ass, Ass. Wr. Wb., Aslm, Askm, Askum, Jzk, dan bentuk penyingkatan lainnya. Sebarkanlah sunah ini, maka pahala pun akan Anda tuai dengan sempurna, insya Allah.

***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Asiyah (Athirah)
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits

Catatan kaki:

[1] Dalil-dalil tersebut disadur dari kitab Riyadhush Shalihin (diunduh melalui tautan http://ia600204.us.archive.org/20/items/waq107340/107340.pdf)

[2] Atas banyak faidah dari tulisan di http://ummushofi.wordpress.com/2010/06/19/ucapan-ini-merupakan-amal-sholeh-dan-amal-sholeh-pun-akan-mengucapkannya/, Penulis tuturkan, “Fa jazahallahu khairan.”

[3] Dikutip dari http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3664&idto=3664&bk_no=10&ID=3464, dengan redaksi naskah:

في قول الرجل لأخيه : جزاك الله خيرا 3664 ( 188 )
( 1 ) حدثنا أبو بكر قال حدثنا وكيع عن موسى بن عبيدة عن محمد بن ثابت عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا قال الرجل لأخيه : جزاك الله خيرا ، فقد أبلغ في الثناء .
( 2 ) حدثنا وكيع عن عن طلحة بن عبيد الله بن كريز قال : قال عمر : لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه : جزاك الله خيرا ، لأكثر منها بعضكم لبعض

[4] Dikutip dari blog salah seorang putri Syekh Nashiruddin Al-Albani, yaitu Sukainah binti Muhammad Nashiruddin Al-Albaniyyah, http://tamammennah.blogspot.com/2010/04/blog-post_25.html

جاء في “فيض القدير” (6 / 172): “(فقد أبلغ في الثناء) لاعترافه بالتقصير، ولعجزه عن جزائه؛ فوّض جزاءه إلى الله ليجزيه الجزاء الأوفى” ا.هـ

وقال العلامة العثيمين رحمه الله في “شرح رياض الصالحين”: “وذلك لأن الله تعالى إذا جزاه خيرًا؛ كان ذلك سعادة له في الدنيا والآخرة” ا.هـ

[5] Artikel lain yang mengupas masalah ini bisa disimak di http://badaronline.com/artikel/penulisan-lafazh-jazakallah-khairan.html

Sumber: Catatan FB al-Akh Abu Muhammad Zaid Efendy
read more “SEPOTONG KUE TART DAN SECUIL PAHALA (KISAH MENGHARUKAN)”

Jaminan Masuk Surga yang Mengikuti Paham Salafus Shalih

jaminan-mengikuti-paham-salaf
Pertanyaan:
Jika mengikuti paham salafush shalih, apakah ada jaminan bahwa jika mati, masuk surga? Jika benar, dalinya dari Alquran pada surat apa dan nomor berapa? Jika ada dalam hadis maka hadis apa, bab apa, dan nomor hadisnya berapa? Jika tidak ada jaminannya, apa alasan untuk memercayai paham tersebut?

Jawaban:
Seseorang, yang mengikuti paham salafush shalih dengan benar dan sempurna, dijanjikan oleh Allah untuk masuk surga, berdasarkan firman Allah ta’ala,
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam), di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya, selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah:100)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan surga bagi para sahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan benar dan baik. Tentunya, hal ini menunjukkan bahwa mereka selamat dari neraka. Allah tidak pernah menyelisihi janji-Nya.
Perlu ditegaskan kembali tentang pengertian pemahaman salafush shalih. Maksudnya adalah pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kata “salaf” dalam istilah para ulama dipakai untuk ‘para sahabat dan dua generasi setelahnya yang mengikuti pemahaman sahabat dengan benar dan baik’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِ يْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنهُمْ ثُمَّ يَجِيْءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi. Kemudian, sebuah kaum datang; syahadat salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului syahadatnya.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Mengikuti pemahaman mereka ini menjadi kunci keselamatan dan terhindar dari neraka, sebagaimana dinyatakan langsung oleh Rasulullah dalam sabdanya,
وَإِنَّ بَنِي أسْرَائِيلَ تَفَرَّقَ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةَّ وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ الله قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya, Bani Israil berpecah-belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali satu.” Mereka bertanya, “Siapa ia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Orang yang mengikuti) jalan yang ditempuh olehku dan sahabatku (ajaranku dan sahabatku).”
Hal ini pun ditegaskan dalam hadis Irbadh bin Sariyah; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصيْكُمْ بتقْوَى اللهِ والسَمْع والطَاعَةِ وَإنْ عَبْدًا حَبَشيًا فَإنهَّ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِشُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَة
Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun yang memimpin adalah budak Habsyi, karena barang siapa di antara kalian yang masih hidup maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang memberi petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Waspadalah pula terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan), karena hal-hal yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafi, karya Syekh Salim bin Id Al-Hilali, yang telah diterjemahkan dengan judul “Mengapa Memilih Manjah Salaf?“, diterbitkan oleh Pustaka Imam Bukhari. Semoga bermanfaat.
Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 5, tahun IX, 1426 H/2005 M. Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
read more “Jaminan Masuk Surga yang Mengikuti Paham Salafus Shalih”

Senin, 23 Mei 2011

Mengenal JAMA’AH TABLIGH

Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

JAMA’AH TABLIGH
Jama’ah Tabligh termasuk ahlul bid’ah dan firqah sesat yang menyesatkan dari firqah shufiyyah. Firqah tabligh ini terbit dari India yang dilahirkan oleh seorang shufi tulen bernama Muhammad Ilyas. Kemudian firqah sesat ini mulai mengembangkan ajarannya dan masuk ke negeri-negeri Islam seperti Indonesia dan Malaysia dan lain-lain.

Firqah tabligh ini dibina atas dasar kejahilan di atas kejahilan yang dalam dan merata yang diawali oleh pendirinya, pengganti-penggantinya,Amir-amirnya, tokoh-tokohnya, syaikh (guru)-syaikhnya, murid-muridnya, istimewa pengikut-pengikutnya dari orang-oang awam. Kejahilan mereka terhadap Islam, mereka hanya melihat Islam dari satu bagian dan tidak secara keseluruhan sebagimana yang Allah perintahkan, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam (ajaran) Islam scara kaffah (keseluruhan).” (Al-Baqarah: 208).

Kerusakan aqidah mereka yang dipenuhi dengan kesyirikan yang berdiri di atas manhaj shufiyyah. Ibadah mereka yang dipenuhi dengan bid’ah yang sangat jauh dari Sunnah. Akhlak dan adab mereka yang dibuat-buat sangat jauh dari akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Mereka sangat fakir dan miskin dari ilmu karena mereka sangat menjauhi ilmu. Kebencian dan kedengkian mereka yang sangat dalam kepada imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab dan lain-lain.

Bahkan salah seorang amir dari firqah tabligh ini pernah berkata dengan sangat marah sekali, “Kalau seandaiya aku mempunyai kekuatan sedikit saja, pasti akan aku bakar kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dan Ibnu Abdul Wahab. Dan aku tidak akan tinggalkan sedikitpun juga dari kitab-kitab mereka yang ada di permukaan bumi ini.” (Dari kitab al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh hal. 44-45 oleh Syaikh Hamud bin Abdulah bin Hamud at-Tuwaijiriy).

Alangkah besarnya kebencian dan permusuhan mereka terhadap pembela-pembela Sunnah.

BID’AH-BID’AH JAMA’AH TABLIGH
Di antara bid’ah-bi’ah Jama’ah Tabligh ialah “ushul sittah” (dasar yang enam) yaitu:

Pertama: Kalimat Thayyibah.
Yaitu dua kalimat syahadat: Asyhadu alla ilaaha illallah wa asy hadu ana muhammadar-rasulullah. Yang mereka maksudkan hanya terbatas pada tauhid rububiyyah, yaitu mengesakan Allah di dalam penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, pengaturan-Nya dan lain-lain yang masuk ke dalam tauhid rububiyyah.

Tauhid inilah yang mereka amalkan dan menjadi dasar di dalam dakwah mereka. Adapun tauhid uluhiyyah atau tauhid ubudiyyah (yaitu mengesakan Allah di dalam beribadah kepada-Nya) dan tauhid asma’ wassifat (mengesakan Allah di dalam nama dan sifat-Nya tanpa ta’wil) tidak ada pada mereka baik secara ilmu maupun amal dan dakwah. Oleh karena itu, mereka mmembatasi berhala, istimewa pada zaman ini, hanya lima macam berhala:
1. Berusaha mencari rezeki dengan menjalani sebab-sebabnya seperti berdagang atau membuka toko dan lain-lain dari jalan yang halal.
Inilah yang dikatakan berhala oleh Jama’ah Tabligh! Karena dia akan melalaikan manusia dari kewajiban agama kecuali kalau mereka khuruj (keluar di jalan Allah menurut istilah firqah Jama’ah Tabligh) bersama Jama’ah Tabligh!?

2. Berhala yang kedua yaitu: Keluarga dan teman.
Karena mereka ini pun melalaikan manusia dari mengakkan kewajiban kecuali kalau mereka khuruj bersama Jama’ah Tabligh!?

3. Berhala yang ketiga yaitu: Nafsu Ammaarah Bissuu’ (nafsu yang mmerintahkan berbuat kejahatan).
Karena menurut mereka nafsu ammaarah ini menghalangi menusia dari
berbuat kebaikan dan dari jalan Allah seperti khuruj bersama Jama’ah Tabligh.

Jama’ah Tabligh adalah ahlul bid’ah, jahil dan sesat bersama khuruj bid’ah mereka, maka merekalah yang lebih berhak mengkuti nafsu ammaarah. Adapun orang yang menyalahi Jama’ah Tabligh dan berpaling dari mereka serta memperingati manusia dari bid’ahnya firqah tabligh, maka diharapkan orang tersebut jiwanya thayyibah (baik) marena ia mengajak manusia kepada kebaikan dan melarang dari kejahatan dan pelakunya.

4. Berhala yang keempat: Hawa Nafsu.
Karena menurut Jama’ah Tabligh hawa nafsu ini akan menghalangi manusia dari kebaikan seperti khuruj bersama mereka.

Sesungguhnya Jama’ah Tabligh yang lebih berhak dikatakan sebagai pengikut-pengikut hawa nafsu kaena mereka termasuk ahlul bid’ah. Sedangkan ahlul bid’ah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu oleh karena itu ulama kita menamakannya ahlul ahwaa’. Di antara bukti bahwa Jama’ah Tabligh pengikut hawa nafsu mereka membai’at manusia atas dasar beberapa tarekat shufiyyah sebagaimana akan datang penjelasannya.

5. Berhala yang kelima yaitu: Syaithon
Yang terakhir ini menurut firqoh tabligh sangat besar menghalangi manusia dari kebaikan seperti khuruj bersama Jama’ah Tabligh.
Pada hakikatnya Jama’ah Tablighlah yang dihalangi oleh syaithan dari kebenaran yang sangat besar yaitu mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dan diperintah untuk mengerjakan kejahatan yang besar yaitu bid’ah. Karena bid’ah lebih dicintai iblis dari maksiat dan sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Jama’ah Tabligh tergolong ahlul bid’ah yang mengikuti sunnahnya shufiyyah.

Kedua: Shalat Lima Waktu, shalat Jum’at, shalat jama’ah di masjid, shalat yang khusyu’, shalat pada shaf yang pertama, memperbanyak shalat-shalat sunnah dan lain-lain.

Yang pada hakikatnya amal-amal di atas diwajibkan dan sangat disukai di dalam agama. Akan tetapi Jama’ah Tabligh telah melalaikan beberapa kewajiban untuk menegakkan amal-amal di atas di antaranya:  

1. Ilmu
Mereka beramal dengan kebodohan tanpa ilmu kecuali ilmu fadhaa-il (keutamaan keutamaan amal) sebagaimana akan datang keterangannya pada dasar yang ketiga.

2. Mengikuti Sunnah
Mereka meninggalkan mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan berpegang kepada bid’ah, taqlid dan ta’ashshub madzhabiyyah.

3. Melalaikan mempelajari rukun-rukun, kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum dari amal-amal di atas
Oleh karena itu, kita lihat mereka tidak mengerti cara shalat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Adapun masjid, maka mereka mangajak ke masjid-masjid tempat mereka berkumpul.

Ketiga: Ilmu.
Yang mereka maksudkan dengan ilmu ialah:

1. Ilmu fadhaa-il yaitu tentang mempelajari keutamaan-keutamaan amal menurut mereka. Adapun ilmu tauhid dan ahkaam (hukum-hukum) dan masalah-masalah fiqhiyyah (fikih) dan ilmu berdasarkan dalil-dalil al-Kitab dan Sunnah, mereka sangat jauh sekali dan melarangnya bakhan memeranginya.
2. Ilmu tentang rukun iman dan Islam. Akan tetapi mereka memelajarinya atas dasar tarekat-tarekat shufiyyah, khurafat-khurafat, hikayat-hikayat yang batil dan ta’ashshub madzhabiyyah.

Keempat: Memuliakan atau menghormati kaum Muslimin.
Menurut firqoh tabligh, setiap orang yang mengucapkan dua kalimat ”Laa ilaaha illallah muhammadar-rasulullah”, maka wajib bagi kita memuliakan dan menghormatinya meskipun orang tersebut telah mengerjakan sebesar-besar dosa besar seperti syirik. Menurut mereka: ”Kami tidak membenci pelaku maksiat akan tetapi yang kami benci adalah maksiatnya!!”
Di dalam dasar yang keempat ini, mereka sangat berlebihan menghormati atau memuliakan kaum muslimin dengan meninggalkan nahi munkar dan nasihat dan dengan cara yang dibuat-buat.

Kalima: Mengikhlaskan niat agar jauh dari riya’ dan sum’ah (memperdengarkan amal kebaikan).
Akan tetapi, mereka meninggalkan Sunnah dan mengikuti-mengikuti cara-cara ikhlas di dalam tashawwuf.

Keenam: Khuruj.
Menurut Jama’ah Tabligh makna khuruj keluar di jalan Allah berdakwah yang merupakan jihad yang paling besar. Mereka membatasi dakwah hanya dengan khuruj berjama’ah bersama mereka selama tiga hari dan seterusnya. Khuruj ini mempunyai kedudukan dan keutamaan yang besar di dalam bid’ah mereka melebihi shalat, sedekah, puasa, dan haji dan lain-lain.

Keutamaan khuruj ini pernah saya dengar langsung dari salah seorang amir mereka di Pekanbaru pada tahun 1995 di Masjid Agung An-Nur selepas shalat maghrib. Ketika amir itu telah selesai dari ceramah bid’ahnya dan mengajak kaum muslimin mengerjakan bid’ah yang lain yaitu khuruj, saya tanyakan mana dalilnya dari Al-Kitab dan Sunnah tentang keutamaan khuruj yang saudara katakan tadi?

Amir itu sangat terkejut dan mengingkari apa yang telah dia katakan di atas. Kemudian saya meminta kepada Jama’ah Tabligh yang hadir di masjid itu untuk menjadi saksi bahwa amir mereka betul-betul telah mengucapkannya.

Besar harapan saya bahwa mereka akan membenarkan apa yang saya katakan dan menjadi saksi di dalam kebenaran bukan menjadi saksi palsu. Akan tetapi harapan saya hilang ketika mereka semuanya mengingkari saya dan membenarkan amir mereka. Tidak ada saksi bagi saya kecuali Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat kemudian seorang ikhwan kita yang duduk di samping saya. Lalu saya pun meninggalkan masjid sambil berkata bahwa mereka ini semuanya pembohong!

Aqidah dan amalan khuruj mereka berasal dari mimpinya pendiri Jama’ah Tabligh yaitu Muhammad Ilyas. Dia bermimpi menafsirkan ayat Al-Qur’an surat Ali Imaran ayat 110 yang artinya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”

Berkata Muhammad Ilyas di dalam mimpinya itu ada yang mengatakan kepadanya tentang ayat di atas: ”Sesungguhnya engkau (diperintah) untuk keluar kepada manusia seperti para Nabi.”
Tidak syak lagi bagi ahli ilmu bahwa tafsir Muhammad Ilyas atas jalan mimpi mengikuti cara-cara shufiyyah adalah tafsir yang sangat batil dan rusak. Tafsir syaithaniyyah yang mewahyukan kepada Muhammad Ilyas yang akibatnya timbulnya bid’ah khuruj yang menyelisihi manhaj para Shahabat. Terang-terangan atau tersembunyi tafsir Muhammad Ilyas ini menujukkan bahwa dia mendapat wahyu dan diperintah oleh Allah seperti perintah Allah kepada Nabi dan Rasul. Yang pada hakikatnya, syaithanlah yang mewahyukan kepada dia dan kaum shufi yang lainnya demi membuat bid’ah besar.

Bid’ahnya Jama’ah Tabligh adalah mereka bermanhaj dengan manhaj shufi di dalam aqidah, dakwah, ibadah, akhlaq dan adab dan lain-lain. Baik orang-perorangnya, amir-amirnya dan guru-gurunya.
Bid’ahnya Jama’ah Tabligh, amir dan sebagian dari guru-guru mereka dibai’at atas empat macam tarekat shufiyyah yaitu:
  1. Naqsyabandiyyah
  2. Qaadiriyyah
  3. Jisytiyyah
  4. Sahruwiyyah
Demikianlan amir tertinggi mereka membai’at pengikut-pengikutnya atas dasar empat tarekat di atas.
Mereka sangat berpegang dan memuliakan kitab mereka: Tablighi Nishaab (Kitab Tablighi Nishaab dinamakan juga kitab Fadlaa-il a’maal) oleh Muahmmad Zakaria Kandahlawiy secara manhaj maupun dakwah. Kitab Tablighi Nishaab ini dipenuhi dengan berbagai macam bid’ah, syirik, tashawwuf, khurafat, hadits-hadits dha’if dan maudlu’. Di antara bid’ah syirkiyyat (syirik-ed) yang terdapat di dalam kitab ini ialah memohon syafa’at kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Dan beliau pernah mengeluarkan tangannya dari kubur beliau untuk menyalami Ahmad Ar-Rifaa’iy (ketua shufi dari tarekat Ar-Rifaa’iyyah).

Demikian juga dengan kitab Hayaatush Shahabah oleh Muhammad Yusuf Kandahlawiy. Kitab ini pun dipenuhi dengan khurafat-khurafat dan cerita-cerita bohong serta hadits-hadits dla’if dan maudlu’. Kedua kitab di atas yang sangat diagungkan dan dimuliakan oleh Jama’ah Tabligh adalah masuk ke dalam kitab-kitab bid’ah dan syirik serta sesat.

Bid’ahnya Jama’ah Tabligh, bahwa mereka telah membatasi Islam pada sebagian ibadah. Yang sebagian ini pun mereka penuhi dan mencampur-adukkan dengan berbagai macam bid’ah dan syirkiyyat. Mereka berpaling dari syari’at-syari’at Islam yang lain seperti tauhid, hukum, dan jihad dan lain-lain.

Mereka meninggalkan ilmu dan ahli ilmu. Mereka memperingati pengikut-pengikut mereka dari menuntut ilmu dan duduk di majelis para Ulama kecuali orang yang mendukung mereka. Dengan demikian meratalah dan tersebarlah kejahilan-kejahilan yang dalam di antara mereka dan hilangnya ilmu dari mereka. Oleh karena itu yang menjadi timbangan mereka di dalam memutuskan segala urusan ialah dengan jalan: Istihsan (menganggap baik sesuatu perbuatan tanpa dalil), perasaan, mimpi-mimpi dan karamah-karamah (yang pada hakikatnya wahyu dan bantuan dari syaithan).

Mereka mengajak manusia ke jalan Allah dan masuk ke dalam agama Allah tanpa ilmu sama sekali dan tanpa bashirah (hujjah dan dalil). Inilah dari sebesar-besar sebab yang membawa mereka menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus ke dalam lembah kesasatan bid’ah dan syirik.

Bagaimana mungkin mereka mengajak manusia kepada sesuatu yang mereka tidak paham dan tidak mengetahuinya!? Lihatlah!  

Mereka mengajak kepada Islam dan mengikuti perintah Allah dan Sunnah rasul-Nya padahal mereka tidak mengetahui dan memahaminya!? Sebenarnya merekalah yang lebih berhak dan sangat berhajat kepada Islam dan seluruh ajarannya dengan cara belajar dan mehaminya dari Ulama bukan mengajar atau berdakwah kepada manusia!

Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa mereka selalu berdalil dengan hadits-hadits dha’if, sangat dha’if, maudlu’/ palsu dan hadits-hadits yang tidak ada asal-usulnya sama sekali (laa ashlaa lahu).

Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa mereka telah membuat kelompok (firqah) yang menyendiri dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Mereka tidak mengajak kaum muslimin kecuali kepada firqah-nya baik secara manhaj, ilmu dan dakwah. Adanya imam tertinggi dan amir-amir dan bai’at yang ditegakkan di dalam firqah tabligh ini. Mereka mengajak kaum muslimin ke masjid-masjid dan markas-markas mereka untuk ijtima’ (berkumpul) umumnya sepekan sekali.

Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah berkumpulnya ratusan ribu jama’ah di Bangladesh pada setiap tahunnya. Di antara ijtima’ bid’iyyah ini keluarlah berbagai macam bid’ah i’tiqad dan amaliyyah yang begitu banyak dikerjakan oleh jama’ah tabligh. Sehingga sebagian dari mereka mengatakan berkumpulnya mereka di Dakka ibu kota Bangladesh pada setiap tahunnya lebih utama dari berkumpulnya jama’ah haji di Makkah. Mereka meyakini bahwa bahwa berdo’a pada akhir ijtima’ di atas mustajab. Mereka meyakini bahwa akad nikah pada hari itu diberkati. Oleh karena itu sebagian dari mereka mengundurkan akad nikahnya sampai hari ijtima’ tahunan di Bangladesh untuk memperolah barakahnya. sampai hari ijtima’ tahunan di Bangladesh untuk memperolah barakahnya.

Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah bahwa mereka mewajibkan taqlid dan bermanhaj dengan manhaj tashawwuf sebagaimana telah ditegaskan oleh salah seorang imam mereka yaitu Muhammad Zakaria pengarang kitab Tablighi Nishaab atau kitab Fadlaa-illul a’maal, ”…kami menganggap pada zaman ini taqlid itu wajib sebagaimana kami menganggap tashawwuf syar’i itu sedekat-sedekat jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Maka orang yang menyalahi kami dalam dua perkara di atas (taqlid dan tashawwuf) maka dia telah berlepas diri dari jama’ah kami…” (Jamaa’atut Tablligh, Aqaa-iduha, Ta’ri-fuha hal. 69 dan 70 oleh ustad Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman). Ini menunjukkan bahwa jama’ah tabligh dibina atas dasar taqlid dan tashawwuf.

Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah berdusta atas nama Allah salah seorang ima mereka yang bernama Muhammad Zakaria pengarang kitab Fadlaa-ilul a’maal dengan tegas mengatakan: Bahwa Allah telah menguatkan madzhab hanafi dan Jama’ah Tabligh!!! (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, ta’rifuha hal. 91 oleh ustadz Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman).

Subhanallah! Sungguh ini satu dusta besar yang telah dibuat oleh Muhammad Zakaria atas nama Allah. Apakah Allah telah mewahyukan kepadanya setelah terputusnya wahyu bahwa Allah yang telah menguatkan madzhab Hanafi dan Jama’ah tabligh!? Tidak syak lagi bagi ornag yang beriman bahwa Muhammad Zakaria telah mendapat wahyu dari syaithan.

Di antara bid’ah besar Jama’ah tabligh ialah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Berkata Muhammad Zakaria, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah membagi waktu menjadi tiga bagian: Sepertiga di dalam rumahnya bersama keluarganya, sepertiga mengirim jama’ah untuk tabligh dan sepertiga beliau menyendiri.” (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, Ta’rifuha hal. 92 dan 93 oleh Ustadz Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman).

Subhanallah! Orang ini tidak punya rasa malu berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk menguatkan Jama’ah tablighnya yang sesat dan menyesatkan.

Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa ketentuan dan ketetapan berdirinya Jama’ah Tabligh berdasarkan wahyu dari Allah yang Allah masukkan ke dalam hati pendiri jama’ah tabligh yaitu Muhammad Ilyas. (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, ta’rifuha hal 98 dan 99 oleh Ustadz Abi Usamah sayyid Thaaliburrahman). Oleh karena itu tidak boleh ada perubahan sedikitpun juga meskipun Ulama Ahlus Sunnah telah memperingatkan mereka akan kesesatan mereka.

((Disalin dari buku Sudahkah Anda Mengenal Jama’ah Tabligh? Karya Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hal. 28-55, cetakan Darul Qalam-Jakarta))
sumber: salafiyunpad.wordpress.com
Sumber: Catatan al-akh fakta Salafi
read more “Mengenal JAMA’AH TABLIGH”

FATWA PARA ULAMA SUNNAH TENTANG JAMA'AH TABLIGH

Jumat, 10 Desember 2004 14:08:37 WIB

FATWA PARA ULAMA SUNNAH TENTANG JAMA'AH TABLIGH-4/5-


Disusun oleh.
Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali.




FATWA SYAIKH 'ALAAMAH MUHAMMAD BIN IBRAHIM ALI SYAIKH
Fatwa Syeikh 'Alaamah Muhammad bin Ibrahim Ali Syeikh tentang tahdzir peringantan) dari jamaah tabligh.

"Dari Muhammad bin Ibrahim kepada hadapan pangeran Khalid bin Su'ud, pimpinan kantor kerajaan yang terhormat, assalamu'alikum warahmatullah wabarakatu dan selanjutnya :

Sungguh saya telah menerima surat Pangeran (no : 36/4/5-d, tertanggal 21/1/1382 H) beserta lampirannya, hal itu adalah harapan yang diangkat kepada hadapan dipetuan agung Raja yang terhotmat, dari Muhammad Abdul Majid Al Qadiri, Syah Ahmad Nurani, Abdus Salam Al Qadiri dan Su'ud Ahmad Ad Dahlawi, sekitar permohonan mereka minta bantuan untuk proyek organisasi mereka yang mereka namakan (Kuliah Da'wah Tabligh Al Islamiyah) dan begitu juga buku-buku kecil yang dilampirkan bersama surat mereka. Saya mengemukakan kepada hadapan Pangeran, bahwasanya organisasi ini tidak ada kebaikan di dalamnya, karena sesungguhnya ia adalah organisasi bid'ah dan sesat. Dan dengan membaca buku-buku kecil yang dilampirkan dengan surat mereka, maka kami telah menemukan buku-buku itu mengandung kesesatan, bid'ah dan dakwah (ajakan) kepada mengibadati kubur dan syirik. Hal itu adalah perkara yang tidak mungkin didiamkan. Oleh karena itu kami insya Allah akan membalas surat mereka dengan apa yang mungkin menyingkap kesesatan mereka dan membantah kebatilan mereka. Dan kita mohon kepada Allah semoga Dia menolong agama-Nya, dan mengangkat kalimat-Nya, wassalamu'alikum warahmatullah". [S-M-405 pada tanggal 29/1/1382H].

[Rujuklah ke Kitab : Alqaulul Baligh fit Tahdzir Min Jamaatit Tabligh, oleh Syeikh Hamud At Tuwaijiri halaman : 289]

FATWA SYAIKH ALAAMAH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI
Fatwa Syeikh Alaamah Muhammad Nashiruddin Al Albani tentang Jamaah Tabligh.

Beliau pernah ditanya :

"Apakah pendapat Syeikh tentang Jamaah Tabligh, apakah boleh bagi pelajar penuntut ilmu) atau lainnya untuk khuruj (keluar) bersama mereka dengan dalih berdakwah kepada Allah ?

Maka beliau menjawab :

Jamaah Tabligh tidak berdiri (berdasarkan) atas manhaj kitabullah dan sunnah rasul-Nya 'alaihi salawat wa salam, dan apa yang dipegang oleh salafuu sholeh.

Kalau seandainya perkaranya seperti itu, maka tidaklah boleh khuruj bersama mereka, karena hal itu bertentangan dengan manhaj kita dalam menyampaikan manhaj salafus sholeh.

Maka dalam medan dakwah kepada Allah, yang keluar itu adalah orang yang berilmu, adapun orang-orang yang keluar bersama mereka, yang wajib mereka lakukan adalah untuk tetap tinggal di negeri mereka dan memperlajari ilmu di mesjid-mesjid mereka, sampai-sampai mesjid-mesjid itu mengeluarkan ulama yang melaksanakan tugas dalam dakwah kepada Allah.

Dan selama kenyataanya masih seperti itu, maka wajiblah atas penuntut ilmu (pelajar) untuk mendakwahi mereka-mereka itu (Jamaah Tabligh-pent) di dalam rumah mereka sendiri, agar mempelajari kitab dan sunnah dan mengajak manusia kepadanya.

Sedang mereka -yakni Jamaah Tabligh- tidak menjadikan dakwah kepada kitab dan sunnah sebagai dasar umum, akan tetapi mereka mengatagorikan dakwah ini sebagai pemecah. Oleh karena itu, maka mereka itu lebih cocok seperti Jamaah Ikhwan Muslimin.

Mereka mengatakan bahwa dakwah kami berdiri atas kitab dan sunnah, akan tetapi ini hanya semata-mata ucapan, sedangkan mereka tidak ada akidah yang menyatukan mereka, yang ini Maturidi dan yang itu Asy'ari, yang ini sufi dan yang itu tidak punya mazhab.

Itu, karena dakwah mereka berdiri atas dasar : bersatu, berkumpul, kemudian pengetahuan. Pada hakikatnya mereka tidak mempunyai pengetahuan sama sekali, sungguh telah berjalan bersama mereka waktu lebih dari setengah abad, tidak pernah seorang alim pun yang lahir di tengah-tengah mereka.

Adapun kita, maka kita mengatakan : Berpengetahuan (dulu), kemudian berkumpul, sehingga perkumpulan itu berada di atas pondasi yang tidak ada perbedaan di dalamnya.

Dakwah Jamaah Tabligh adalah sufi moderen, yang mengajak kepada akhlak. Adapun memperbaiki akidah masyarakat, maka mereka itu tidak bergeming, karena dakwah ini (memperbaiki akidah) -sesuai dengan prasangka mereka- memecah belah.

Dan sungguh telah terjadi koresponden antara akh Sa'ad Al Hushain dan pemimpin Jamaah Tabligh di India atau Pakistan, maka jelaslah darinya bahwa sesungguhnya mereka itu menyetujui tawasul, dan istighatsah dan banyak hal-hal lain yang sejenis ini. Dan mereka meminta kepada anggota mereka untuk membai'at di atas emapat macam terikat (ajaran), diantaranya adalah : An Naqsyabandiyah, maka setiap orang tabligh seyogyanya untuk membai'at di atas dasar ini.

Dan mungkin seorang akan bertanya : Sesungguhnya Jamaah ini, disebabkan usaha anggota-anggotnya telah kembali (insaf dan sadar) kebanyakan manusia kepada Allah, bahkan mungkin melalui tangan-tangan mereka kebanyakan orang non muslim telah masuk Islam. Apakah ini sudah cukup sebagai dalih bolehnya untuk keluar dan bergabung bersama mereka pada apa yang mereka dakwahkan?

Maka kita katakan : "Sesungguhnya ucapan-ucapan ini sering kami ketahui dan kami dengar dan kami dengar (juga) dari orang-orang sufi!!. Ini bagaikan : Ada seorang syeikh akidahnya rusak, dan tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang sunnah, bahkan ia memakan harta orang dengan cara batil (tidak sah).... Disamping itu banyak orang yang fasik (yang berdosa) bertaubat lewat tangannya....!

Maka setiap jamaah yang mengajak kepada kebajikan pasti mempunyai pengikut, akan tetapi kita harus melihat kepada intisari permasalahan, kepada apakah yang mereka mengajak / berdakwah? Apakah kepada mengikuti kitabullah dan hadits Rasul, kepada akidah salafus sholeh, tidak ta'ashub (fanatik) mazhab, dan mengikuti sunnah, dimanapun dan sama siapapun?

Maka Jamaah Tabligh, mereka tidak memiliki manhaj ilmu, akan tetapi manhaj mereka sesuai dengan tempat dimana mereka berada, mereka berubah warna dengan setiap warna.

[Rujuklah Fatwa Imaratiyah, karangan Al Albani soal no : 73 hal : 38]

[Diterjemahkan oleh : Muhammad Elvi Syam, Dai dan Penerjemah di Islamic Dawa & Guidance Center di Hail. K.S.A, Dari kitab Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad Da'wah]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1221/slash/0
read more “FATWA PARA ULAMA SUNNAH TENTANG JAMA'AH TABLIGH”

Jumat, 20 Mei 2011

20 Kaidah Memahami Riba 1

oleh: Syaikh Kholid bin Ali Al Musyaiqih

Sebelum membahas tentang kaidah-kaidah dalam riba, kita perlu memahami terlebih dahulu sebuah masalah penting, yakni apa sebenarnya yang dimaksud barang-barang ribawi itu?

Kita katakan, bahwasanya sebagian dari barang-barang ribawi telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain telah ditambahkan oleh para ulama’ karena kesamaan ilat/sebab dengan barang-barang riba yang nabi sebutkan, seperti Emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, garam dan anggur.

Dalam hadits Ma’mar dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa nabi bersabda, “Makanan ditukar dengan makanan harus sama.” Apakah barang-barang ribawiyah itu hanya terdiri dari nama-nama yang nabi sebutkan atau setiap barang yang memiliki sifat seperti barang yang nabi sebutkan?

Pendapat pertama: Kaum Dzahiriyah mengatakan bahwasanya barang ribawiyah itu hanya nama-nama yang Nabi sudah sebutkan saja. Adapun selainnya maka tidak termasuk barang ribawiyah. Ini adalah pendapat Ibnu Uqail dari madzhab Hambali.

Pendapat kedua: Bahwasanya barang-barang ribawiyah itu tidak hanya terbatas pada barang-barang yang disebutkan oleh nabi saja, namun juga tercakup setiap barang yang memiliki kesamaan sifat dengan barang-barang yang disebutkan nabi itu. Dari pendapat ini, para ulama kemudian berbeda pendapat tentang ilat (sebab/alasan) barang-barang yang disebutkan nabi sehingga disebut sebagai barang-barang ribawi. Sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya bahwa nabi menyebutkan barang-barang ribawiyah berupa emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma dan garam.

Perbedaan pendapat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

- Pendapat pertama: Bahwa ilat dari emas dan perak adalah ukuran timbangan. Adapun barang-barang selainnya yang empat (yang tersebut dalam nash) adalah ukuran takaran. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Atas dasar pendapat inilah maka hukum riba berlaku pada setiap barang-barang yang dapat ditimbang-baik itu makanan atau selainnya- dan setiap barang-barang yang dapat di takar- baik itu makanan atau selainnya-. Atas dasar pendapat ini pula hukum riba berlaku untuk besi. Barangsiapa yang menukar besi dengan besi haruslah seukuran dan tunai, karena memiliki jenis yang sama (nanti akan dijelaskan dalam kaidah bahwa apabila barang yang ditukar itu adalah barang yang sejenis, maka haruslah seukuran dan tunai). Menurut pendapat ini maka hukum riba berlaku pada emas, besi, tembaga, kuningan, timah dll. Begitu pula berlaku pada barang-barang lain yang dapat ditimbang seperti kain, sutera, wol, kapas dan semua barang yang dapat ditimbang. Begitu pula hukum ini berlaku untuk barang-barang yang dapat ditakar seperti gandum halus, gandum kasar, kurma, beras dan semua benda cair, seperti minyak dan susu.Inilah pendapat pertama yaitu timbangan dan takaran. Dengan ilat ini berlakulah hukum riba untuk setiap barang yang dapat ditimbang dan ditakar baik berupa makanan atau selainnya.

- Pendapat kedua: Imam Syafii rahimahullah berpendapat bahwa ilat (alasan) dari emas dan perak adalah karena keduanya merupakan standard harga untuk barang-barang lainnya (alat tukar). Adapun ke empat barang yang lainnya, maka ilatnya adalah jenis makanan.

Atas dasar pendapat ini maka hukum riba berlaku untuk:

* Emas dan perak saja. Adapun timah, besi, tembaga dsb, tidak berlaku hukum ribawi.
* Jenis makanan. Maka setiap makanan termasuk barang ribawi, tidak terkait dengan kondisinya yang biasa ditimbang atau ditakar.

- Pendapat ke tiga: Imam Malik berpendapat bahwa ilat dari emas dan perak adalah alat tukar. Adapun empat barang lainnya maka ilatnya karena barang-barang tersebut merupakan makanan pokok dan makanan simpanan. Yaitu makanan sehari-hari dan makanan yang dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Seperti gandum, maka ia adalah makanan pokok dan biasa disimpan dalam waktu lama. Begitu pula gandum, syair, jagung dan jewawut.

- Pendapat keempat: Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa ilat dari emas dan perak adalah alat tukar yaitu barang yang bisa digunakaan untuk pembayaran bagi barang selainnya. Adapun empat barang lainnya ilatnya adalah makanan yang biasa ditakar atau ditimbang.

Sebagai contoh:

1. Pertukaran antara satu Apel dengan dua Apel. Apakah berlaku hukum riba?

Menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali: Tidak berlaku hukum riba. Karena keduanya bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran atau timbangan, namun dengan jumlah atau bilangan. Menurut Madzhab Syafii: Berlaku hukum riba, karena apel adalah makanan. Menurut Madzhab Imam Malik: Tidak berlaku hukum riba, karena apel bukanlah emas, perak maupun makanan pokok yang biasa disimpan.

2. Satu sho’ gandum halus ditukar dengan dua sho’ gandum halus. Apakah berlaku hukum riba?

Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali: Berlaku hukum riba, karena pertukaran terjadi pada barang yang biasa diukur dengan takaran. Menurut madzhab Syafii: Berlaku juga, karena pertukaran terjadi pada makanan.Menurut madzhab Maliki: Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan pokok yang biasa disimpan. Menurut Syaikhul Islam: Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan yang biasa diukur dengan takaran.

3. Satu kilogram besi ditukar dengan dua kilogram besi.

Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali: Berlaku karena besi termasuk barang yang biasa diukur dengan timbangan. Menurut madzhab Syafii: tidak berlaku, karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan pokok yang disimpan. Menurut syaikhul Islam: tidak belaku, karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang ditakar atau ditimbang.

4. Satu pena ditukar dengan dua pena

Menurut madzhab Hanafi dan Hambali: Tidak berlaku. Karena bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran maupun timbangan akan tetapi bilangan. Menurut Madzhab Syafii: Tidak berlaku. Karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan. ilat yang digunakan pada madzhab ini adalah statusnya sebagai makanan atau alat tukar. Menurut Syaikul Islam: Tidak berlaku. Karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang dapat ditimbang atau ditakar.

Kita mengetahui barang ribawiyah menurut Syaikul Islam adalah:

* Barang yang menjadi alat tukar seperti Riyal, Dinar dan Pounds, serta apa saja yang menjadi alat tukar manusia.
* Barang-barang yang menjadi makanan yang ditakar atau makanan yang ditimbang dan inilah pendapat yang rojih dalam masalah ini.

Inilah kaidah-kaidah yang harus dipahami dalam permasalahan riba:

KAIDAH PERTAMA

أن كل ربويين اتحدا في الجنس والعلة ( علة ربا الفضل ) ، فإنه يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرطان : التماثل ، والحلول والتقابض

Setiap barang yang jenis dan ilatnya sama maka boleh ditukarkan dengan berdasar pada dua syarat; yaitu sama banyaknya dan tunai.

Berdasarkan perkataan Syaikhul Islam, uang riyal termasuk barang Ribawi. Apabila riyal ditukar dengan riyal (keduanya sama jenis dan ilatnya) maka harus terpenuhi dua syarat: Sama banyak dan tunai.

Contoh:

* 10 riyal ditukar dengan 10 riyal, 50 riyal ditukar dengan 50 riyal, dan harus tunai dan barangnya ada ditempat (serah terima barang ditempat transaksi). Karena terkadang transaksi secara tunai akan tetapi barangnya tidak ada di tempat. Hal ini terjadi dengan kesepakatan antara keduanya bahwa transaksi tunai tetapi tidak boleh langsung diambil. Seperti perkataan, “Kamu datang 2 jam lagi baru kamu ambil barangnya.” Terkadang juga ada yang penyerahanya ditunda atau tunai akan tetapi barang tidak langsung diambil. Yang benar adalah tunai dan barang langsung diambil.
* Tukar menukar daging. Berdasarkan pendapat Syaikul Islam Ibn Taimiyah maka daging termasuk barang ribawi, karena daging adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tatkala saling menukar daging onta harus terpenuhi dua syarat; sama banyaknya dan langsung diserah terimakan.
* Gula termasuk barang ribawi karena termasuk makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Tatkala hendak tukar menukar gula maka wajib terpenuhi kedua syarat di atas.

KAIDAH KEDUA


كل ربويين اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، فيشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرط واحد ، وهو : الحلول والتقابض

Setiap barang ribawi yang ilatnya sama namun berbeda jenis barangnya apabila hendak ditukar maka disyaratkan harus tunai atau langsung diserah terimakan.

Contoh:

* Riyal ditukar dengan Pounds. ilatnya sama yaitu alat tukar. Maka syarat pertukarannya adalah tunai atau serah terima secara langsung. Adapun kesamaan jumlah maka ini bukan syarat.
* Daging onta dengan daging kambing. ilat dari kedua barang ini adalah makanan yang lazimnya diukur dengan timbangan. Jenis dari kedua barang ini berbeda. Maka disyaratkan tunai dan diperbolehkan untuk melebihkan salah satu barang. Karena nabi bersabda, “Apabila jenis barang berbeda, maka juallah sekehendak kalian asalkan tunai.”
* Gandum kasar (Sya’ir) dengan gandum halus (Birr). ilatnya sama yaitu makanan yang lazim diukur dengan takaran. Apabila keduanya hendak ditukar maka disyaratkan untuk tunai. Adapun harus sama banyaknya, maka ini bukanlah syarat. Kita diperbolehkan menjualnya sekehendak kita.

bersambung Insya Allah..
read more “20 Kaidah Memahami Riba 1”

Kamis, 19 Mei 2011

JIKA BELUM BISA MENYELENGGARAKAN AQIQAH BAGI BAYINYA

Pertanyaan.Ustadz, setiap bayi yang lahir diaqiqahi, lalu disunnahkan memotong kambing. Bagaimana jika ia tidak mampu? Apakah diharuskan atau diganti dengan yang lain? Syukran katsiran.
08138051xxxx

Jawaban.
Aqîqah untuk bayi yang baru lahir hukumnya sunnah muakkad menurut pendapat jumhur ulama. Hal ini dirâjihkan Lajnah Dâ-imah dalam fatwa no. 1776, 3116, 4861, 8052, 9029, 12591. Kesimpulan dari fatwa tersebut, bahwa hukum menyembelih hewan aqîqah bagi orang tua yang mendapatkan anugerah berupa kelahiran anak adalah sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Yaitu dengan menyembelih dua ekor kambing untuk anak lelaki, dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi.

Penundaan pelaksanaan aqiqah dari hari tersebut tidak menyebabkan dosa, meskipun tanpa udzur. Akan tetapi, bila memiliki kemampuan maka lebih baik dilaksanakan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الْعَقِيقَةُ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌٌ

"Aqiqah untuk anak lelaki dua kambing yang serupa. Dan aqiqah bagi anak perempuan seekor kambing". [HR Ahmad dan at-Tirmidzi].

Merujuk nash di atas, maka tidak ada yang mencukupi untuk aqiqah kecuali menyembelih kambing. Tidak bisa digantikan, misalnya dengan membeli daging kiloan, pembagian uang atau yang lainnya.

Sembelihan aqiqah ini diadakan untuk fid-yah (tebusan) atas bayi [1], optimis akan keselamatannya dan untuk menolak setan darinya, sebagaimana dijelaskan Ibnul-Qayyim dalam kitab Tuhfat al-Wadûd fi Ahkâm al-Maulûd.[2]

Adapun pelaksanaannya, yang utama diadakan pada hari ketujuh, dan apabila diakhirkan dari hari tersebut juga diperbolehkan. Tidak ada batasan waktu penyembelihan aqîqah ini. Memang sebagian ulama menyatakan, apabila bayi tersebut telah besar maka telah kehilangan waktunya, sehingga tidak memandang adanya pensyariatan aqîqah bagi orang dewasa. Namun jumhur ulama memandang tidak mengapa, walaupun sudah dewasa.

Ibadah aqîqah ini diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu. Oleh karena itu, bagi orang tua yang penghasilan bulanannya tidak mencukupi kecuali untuk kebutuhan keluarga saja, atau dari keluarga tidak mampu, maka tidak masalah bila tidak melaksanakan aqîqah ini untuk anak-anaknya. Allah berfirman :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya". [al-Baqarah/2:286].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Apa yang aku larang untuk kalian maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian". [HR Muslim].

Perintah penyembelihan kambing ini longgar. Maksudnya, apabila suatu keluarga memiliki ketidakmampuan, dan di kemudian hari mendapatkan rezeki yang berkecukupan, maka tetap disunnahkan untuk melakukannya. Meskipun sudah lewat setahun atau lebih.

Syaikh Shâlih bin 'Abdillah al-Fauzân menjelaskan, tidak mengapa mengakhirkan sembelihan aqîqah sampai waktu yang tepat, dan ada pada kedua orang tuanya, atau salah satunya. Penyembelihan pada hari ketujuh atau keduapuluh satu hanyalah keutamaan apabila memungkinkan dan ada. Jika tidak ada maka tidak mengapa mengakhirkannya pada waktu lainnya sesuai memiliki kemampuan. Perlu diketahui, sembelihan aqiqah dilakukan oleh orang tua anak tersebut, karena itu merupakan hak anak atas orang tuanya.[3]

Syaikh Shalih bin 'Abdillah al-Fauzan juga berpendapat, apabila orang tua tidak melakukannya maka ia telah meninggalkan Sunnah. Bila orang tuanya tidak menyembelih aqiqah untuknya maka sang anak juga dibolehkan menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri [4].


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa bayi itu tergadai dengan aqîqahnya. Maka dengan diaqîqahi, berarti si bayi sudah terlepas dari gadai.
[2]. Al-Muntaqa min Fatâwa Syaikh Shâlih al-Fauzân (5/194).
[3]. Al-Muntaqa min Fatâwa Syaikh Shâlih al-Fauzân (5/195)
[4]. Al-Muntaqa min Fatâwa Syaikh Shâlih al-Fauzân (5/196)

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1844/slash/0
read more “JIKA BELUM BISA MENYELENGGARAKAN AQIQAH BAGI BAYINYA”

POTRET SALAF DALAM BERBAKTI KEPADA ORANG TUA....!!!

Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Diambil dari kitab al-Kabair karya adz-Dzahabi)
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang terkenal sangat berbakti kepada ibunya, sampai-sampai ada orang yang berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu.” Beliau menajawab, “Aku takut kalau-kalau tanganku mengambil makanan yang sudah dilirik oleh ibuku. Sehingga aku berarti mendurhakainya.” (Diambil dari kitab Uyunul Akhyar karya Ibnu Qutaibah)

Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain. Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka beliau berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “Dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “Dan semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah.” (Diambil dari kitab Adab al-Mufrad, karya Imam Bukhari)

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari shahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi.” (Diambil dari kitab Birrul walidain karya Ibnu Jauzi)

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Ada seorang yang pulang dari bepergian, dia sampai di rumahnya bertepatan dengan ibunya berdiri mengerjakan shalat. Orang tersebut enggan duduk padahal ibunya berdiri. Mengetahui hal tersebut sang ibu lantas memanjangkan shalatnya, agar makin besar pahala yang di dapatkan anaknya. (Diambil dari Birrul walidain karya Ibnu Jauzi)

Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (Diambil dari al-Birr wasilah karya Ibnu Jauzi)

Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi melihat seekor kala jengking berada dalam rumahnya, beliau lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam liang untuk menangkap kala jengking tersebut. Beliaupun tersengat kala jengking. Melihat tindakan seperti itu ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan seperti itu.” Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kala jengking tersebut keluar dari liangnya lalu menyengat ibuku.” (Diambil dari kitab Nuhzatul Fudhala’)

Muhammad bin Sirrin mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma). Jamar tersebut lantas beliau suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat demikian, padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma, dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa ku berikan pasti ku berikan.” (Diambil dari sifatush shafwah).

Hafshah binti Sirrin mengatakan, “Ibu dari Muhammad bin Sirin sangat suka celupan warna untuk kain. Jika Muhammad bin Sirrin memberikan kain untuk ibunya, maka beliau belikan kain yang paling halus. Jika hari raya tiba, Muhammad bin Sirrin mencelupkan pewarna kain untuk ibunya. Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirrin bersuara keras di hadapan ibunya. Apabila beliau berkata-kata dengan ibunya, maka beliau seperti seorang yang berbisik-bisik. (Diambil dari Siyar A’lam an-Nubala’ karya ad-Dzahabi).

Ibnu Aun mengatakan, “Suatu ketika ada seorang menemui Muhammad bin Sirrin pada saat beliau sedang berada di dekat ibunya. Setelah keluar rumah beliau bertanya kepada para shahabat Muhammad bin Sirrin, “Ada apa dengan Muhammad, apakah dia mengadukan suatu hal? Para shahabat Muhammad bin Sirrin mengatakan, “Tidak. Akan tetapi memang demikianlah keadaannya jika berada di dekat ibunya.” (Diambil dari Siyar A’lamin Nubala’ karya ad-Dzahabi)

Humaid mengatakan tatkala Ibu dari Iyas bin Muawiyah meninggal dunia, Iyas menangis, ada yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau menangis?” Beliau menjawab, “Aku memiliki dua buah pintu yang terbuka untuk menuju surga dan sekarang salah satu pintu tersebut sudah tertutup.” (Dari kitab Bir wasilah karya Ibnul Jauzi)

Kisah Uwais al-Qorni

Dari Asir bin Jabir beliau mengatakan, “Jika para gubernur Yaman menemui khalifah Umar Ibnul Khatthab, maka khalifah selalu bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir, sampai suatu hari beliau bertemu dengan Uwais, beliau bertanya engkau Uwais bin Amir? “Betul.” Jawabnya. Khalifah Umar bertanya, “Engkau dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qorn? “Betul,” sahutnya. Beliau bertanya, “Dulu engkau pernah terkena penyakit belang lalu sembuh akan tetapi masih ada belang di tubuhmu sebesar uang dirham? “Betul.” Beliau bertanya, “Engkau memiliki seorang ibu. Khalifah Umar mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Uwais bin Amir akan datang bersama rombongan orang dari Yaman dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qorn. Dahulu dia pernah terkena penyakit belang, lalu sembuh, akan tetapi masih ada belang di tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya dia berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Jika engkau bisa meminta kepadanya agar memohonkan ampun untukmu kepada Allah maka usahakanlah.” Maka mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, Uwais al-Qarni lantas berdoa memohonkan ampun untuk Umar Ibnul Khaththab. Setelah itu Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana? “Kuffah,” jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Maukah ku tuliskan surat untukmu kepada gubernur Kuffah agar melayanimu? Uwais al-Qorni mengatakan, “Berada di tengah-tengah banyak orang sehinngga tidak dikenal itu lebih ku sukai. (HR Muslim)

Artikel www.ustadzaris.com
read more “POTRET SALAF DALAM BERBAKTI KEPADA ORANG TUA....!!!”

Jumat, 13 Mei 2011

Wahai Anakku …, Kutitipkan Surat Ini Untukmu...

(Disadur dari kajian Ustadz Armen -Rohimahulloh-, oleh ustadz Abu Abdillah Ad-Daariny, Lc Hafidzohulloh)Original Message From: Maratua Parlagutan <maratua.parlagutan@yahoo.co.id>
From: aep.saepuloh@icbp.indofood.co.id




بسم الله الرحمن الرحيم


Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Allah ta’ala Segala puji ku panjatkan ke hadirat Allah ta’ala, yang telah memudahkan ibu  untuk beribadah kepada-Nya. Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada  Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, keluarga, dan para  sahabatnya.

Wahai anakku … Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah   berpikir  panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,   sekalipun  keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.Setiap kali  menulis,  setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh  tangis. Dan setiap  kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini  terluka.

Wahai anakku … Sepanjang  masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi  laki-laki  dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau   pantas membaca  tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu  engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah   remas hati ibu,  dan telah engkau robek pula perasaannya.

Wahai anakku … 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan  dalam kehidupanku. Suatu  ketika dokter datang menyampaikan tentang  kehamilanku, dan semua  ibu  sangat mengerti arti kalimat tersebut.  Bercampur rasa gembira dan   bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia  adalah awal mula dari perubahan   fisik dan emosi ibu. Semenjak kabar  gembira tersebut, aku membawamu  sembilan bulan. Tidur,  berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan.  Akan tetapi, itu semua  tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku  kepadamu, bahkan ia tumbuh  bersama  berjalannya waktu. Aku  mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah.  Bersamaan  dengan itu, aku begitu gembira tatkala  merasakan dan melihat  terjalan  kakimu, atau balikan badanmu di  perutku. Aku merasa puas, setiap aku  menimbang diriku, karena bila  semakin hari  semakin berat perutku,  berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di  dalam rahimku.

Anakku … Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam  itu, yang  aku  tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang  tidak   tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit  itu  berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis.  Sebanyak  itu  pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah  waktunya   engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata    kebahagiaanku dengan air mata tangismu. Ketika engkau lahir, menetes   air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna  semua keletihan dan kesedihan,   hilang semua sakit dan penderitaan,  bahkan kasihku kepadamu semakin   bertambah, dengan bertambah kuatnya  sakit. Aku raih dirimu, sebelum ku  raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.  

 Wahai anakku … Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku  membawamu dengan hatiku,   memandikanmu dengan kedua tangan kasih  sayangku. Sari pati hidupku,   kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi  tidurmu, berletih demi   kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya,  agar aku selalu melihat   senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah  setiap permintaanmu agar  aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah  kebahagiaanku. Lalu berlalulah  waktu, hari berganti hari, bulan  berganti bulan, tahun  berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi  pelayanmu yang tidak  pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah  berhenti… menjadi  pekerjamu yang  tidak pernah lelah… dan mendoakan  selalu kebaikan dan  taufiq untukmu.  Aku selau memperhatikan dirimu,  hari demi hari, hingga engkau menjadi   dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu  yang kekar, kumis dan jambang tipis  telah menghiasi wajahmu, telah  menambah ketampananmu, wahai anakku…   Tatkala itu, aku mulai melirik  ke kiri dan ke kanan, demi mencari  pasangan  hidupmu, semakin dekat hari  perkawinanmu anakku, semakin dekat  pula  hari kepergianmu. Tatkala  itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku  mengalir, entah apa  rasanya  hati ini. Bahagia telah bercampur dengan  duka. Tangis telah  bercampur  pula dengan tawa. Bahagia karena engkau  mendapatkan pasangan… karena  engkau telah  mendapatkan jodoh… karena  engkau telah mendapatkan  pendamping hidup…  Sedangkan sedih karena  engkau adalah pelipur hatiku,  yang akan berpisah  sebentar lagi dari  diriku.   Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah  perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu. Senyummu  yang selama  ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang  telah  sirna  bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam.  Tawamu yang   selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah  tenggelam, seperti   batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening,  dengan dedaunan yang   berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi,  karena engkau telah  melupakanku dan melupakan hakku.   Terasa lama hari-hari yang ku  lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik  demi detik ku hitung demi  mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku   seakan sangat panjang. Aku  selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti  kedatanganmu. Setiap kali  berderit pintu, aku menyangka bahwa  engkaulah  orang yang datang itu.  Setiap kali telepon berdering, aku  merasa bahwa  engkau yang akan  menelponku. Setiap suara kendaraan yang  lewat, aku  merasa bahwa  engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku  sia-sia, dan harapanku   hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan…  Yang tersisa hanya   kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku  rasakan, sambil   menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan  oleh-Nya.

Anakku… Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.  Yang ibu pinta kepadamu: Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam  kehidupanmu. Jadikanlah  ibumu yang malang ini sebagai pembantu di  rumahmu, agar bisa  juga aku  menatap wajahmu, agar ibu teringat pula  dengan hari-hari  bahagia masa  kecilmu.   Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan  dengan ibumu. Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu. Yang ibu tagih kepadamu: Jadikanlah  rumah ibumu, salah satu  tempat persinggahanmu, agar engkau  dapat  sekali-kali singgah ke sana,  sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan  ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau  kunjungi. Atau   sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan   engkaupun berlalu pergi.

Anakku… Telah bungkuk  pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku  telah  dimakan oleh  usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya   seharusnya telah  dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…Akan tetapi,  yang tidak  pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku  kepadamu… masih  seperti dulu…  masih seperti lautan yang tidak pernah  kering… masih  seperti angin yang  tidak pernah berhenti… Sekiranya engkau dimuliakan  satu hari saja  oleh seseorang, niscaya  engkau akan balas kebaikan  dengan kebaikan,  sedangkan ibumu, mana balas  budimu, mana balasan  baikmu?! bukankah air  susu seharusnya dibalas  dengan air serupa?!  bukan sebaliknya air susu  dibalas dengan air tuba?!  Dan bukankah Alloh ta’ala, telah berfirman:  

هل جزاء الإحسان إلا الإحسان

Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?! Sampai  begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah  berlalunya hari dan berselangnya waktu.

Wahai anakku… Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap  itu  pula  bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau  adalah  buah  dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku…   Engkaulah  laba dari semua usahaku… Dosa apakah yang telah ku perbuat,  sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah suatu hari  aku salah dalam bergaul denganmu?! Atau pernahkah aku berbuat lalai  dalam melayanimu?! Tidak  dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang  terhina dari sekian  banyak  pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah?! Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan  kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?! Dapatkah engkau sekarang  menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua  yang malang ini?!  

إن الله يحب المحسنين


Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik.

Wahai anakku…
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.   Wahai anakku…Hatiku  terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau  sehat wal  afiat.  Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah  laki-laki  yang supel,  dermawan dan berbudi.

Wahai anakku… Apakah hatimu tidak  tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa dimakan oleh  rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian   kedukaan?! Mengapa?  Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil  mengalirkan  air  matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka  di hatinya…  Karena  engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati  durhakamu  tepat  menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil  pula  memutuskan tali  silaturrahim.

Wahai anakku…
Ibumu inilah sebenarnya pintu surga,  maka titilah jembatan itu  menujunya…  Lewatilah jalannya dengan senyuman  yang manis, kemaafan, dan  balas  budi yang baik… Semoga aku bertemu  denganmu di sana, dengan  kasih  sayang Alloh ta’ala sebagaimana di dalam  hadits:
 

الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه

  Orang tua adalah pintu surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau,    sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi,    dishohihkan oleh Albani)

Anakku… Aku mengenalmu  sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku   tahu engkau  sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang   keuatamaan  berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang   keutamaan shof  pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan tentang  keutamaan infak, dan bersedekah…Akan tetapi satu hadits yang  telah  engkau lupakan… satu keutamaan besar  yang telah engkau lalaikan… yaitu  bahwa Nabi -shollallohu alaihi  wasallam- telah bersabda,  sebagaimana  diriwayatkan oleh Abdulloh bin  Mas’ud, ia mengatakan:  

سألت رسول الله  صلى الله عليه وسلم، قلت: يا رسول الله أي العمل أفضل؟   قال: الصلاة على  ميقاتها. قلت: ثم أيُّ؟ قال: ثم بر الوالدين. قلت: ثم   أيُّ؟ قال: الجهاد في  سبيل الله. فسكت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم   ولو استزدته لزادني.  (متفق عليه)

Aku  bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi  wasallam-: Wahai   Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau  menjawab: sholat pada   waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai  Rosululloh? Beliau   menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.  Aku bertanya lagi:  Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab:  Kemudian jihad di  jalan  Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada  Rosululloh   -shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku  bertanya lagi,   niscaya beliau akan menjawabnya.
Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…

Wahai anakku… Inilah aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak atau    banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…   Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga  dan   anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah    berantah untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia   salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia    mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri    yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang    reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah…   Berangkatlah  suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk   mendapatkan emas,  guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana mengganti rumah  reotnya. Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga  puluh tahun dalam   perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan  kegagalan. Dia gagal   dalam usahanya. Pulanglah ia kembali ke  kampungnya. Dan sampailah ia ke   tempat dusun yang selama ini ia  tinggal.   Apa  lagi yang terjadi di  tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya,  matanya terbelalak. Ia  melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati  oleh  anak-anak dan  keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah  perusahaan  besar, tambang  emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di  negeri  orang, kiranya  orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku… Engkau  berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi   engkau telah  lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di   sampingmu ada  orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu   masuk surga…
Ibumu  adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga, atau   mempercepat amalmu masuk surga… Bukankah ridloku adalah keridloan   Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!

Anakku…
Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- di dalam haditsnya:
 

رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة (رواه مسلم)

  Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada  yang   bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah  orang  yang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau   keduanya,  akan tetapi tidak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)
Celakalah  seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup  bersamanya,  berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak   memasukkan dia  ke surga.

Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan  ini ke langit, aku tidak akan adukan  duka  ini kepada Alloh, karena jika  seandainya keluhan ini telah  membumbung  menembus awan, melewati  pintu-pintu langit, maka akan  menimpamu  kebinasaan dan kesengsaraan,  yang tidak ada obatnya dan  tidak ada tabib  yang dapat menyembuhkannya… Aku  tidak akan  melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan   melakukannya,  sedangkan engkau adalah jantung hatiku… bagaimana ibu ini   kuat  menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adalah pelipur    lara hatiku… bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab,   padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku…
Bangunlah nak…  bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban sudah  mulai merambat di  kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan   menjadi tua pula.
 

الجزاء من جنس العمل

Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu.
 

الجزاء من جنس العمل


Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.
Aku tidak ingin engkau menulis surat ini… aku tidak ingin engkau  menulis  surat yang sama, dengan air matamu kepada anak-anakmu,  sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.

Wahai anakku… Bertakwalah kepada Allah… takutlah engkau kepada Allah… berbaktilah  kepada ibumu… peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya…  basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang  ringkihnya… dan   kokohkan badannya yang telah lapuk…

 Anakku… Setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.
Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Dari Ibumu yang merana.
(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh- oleh ustadz Abu Abdillah Ad-Daariny, Lc) Tambahan: Kajian ini sering diputar di radio RODJA AM 756Khz, juga tersedia dalam format Vcd / Mp3 dan tersedia di toko2 buku Islam, mungkin juga bisa di download di www.radiorodja.com
read more “Wahai Anakku …, Kutitipkan Surat Ini Untukmu...”