Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Kamis, 25 September 2014

Mulia Dengan Manhaj Salaf

Jalan menuju kepada Allah hanya satu dan tidak bercabang, jalan itu lurus, jelas, terang, putih bersih dan tidak ada bercak-bercak syirik, bid’ah, khurafat, hizb, kelompok, golongan dan lainnya.
Siapa yang menempuh jalan yang satu ini dia akan mendapat jaminan dari Allah Yang Mahamulia dan Rasul-Nya yang mulia, yaitu dia akan MULIA di dunia dan akan SELAMAT di akhirat.

Oleh karena itu, wajib atas umat Islam untuk kembali kepada agama Islam yang mulia menurut pemahaman Salafush Shalih. Umat Islam wajib mengikuti ‘aqidah, keyakinan, manhaj, akhlak, mu’amalah, dan cara beragama para Shahabat Ridhwaanullahi ‘alaihim ajma’in. Kita semua ingin mulia dan mencari kemenangan dan kejayaan. Dan paling penting kita semua ingin masuk SURGA. Mudah-mudahan kita diberikan taufik oleh Allah untuk menempuh jalan yang mulia ini dan istiqomah di atas Sunnah dan dimasukan ke Surga-Nya.

(dari kitab Mulia dengan Manhaj Salaf karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
read more “Mulia Dengan Manhaj Salaf”

Hebatnya Hafalan Mereka

Hebatnya hafalan Syaikhul Islam seperti dijelaskan ustadz Abdullah Taslim pada kajian Untukmu Perindu Syurga....Dalam suatu perjalanannya di suatu daerah - yg Syaikhul Islam tidak mengerti bahasa orang-orang daerah tersebut - mendapatkan dua orang sedang bertengkar dan akhirnya pertengkaran tersebut berakhir ke pengadilan, ketika diminta untuk didatangkan saksi maka tidak ada saksi selain Syaikhul Islam, maka diminta dia untuk menceritakan apa yg dikatakan kedua orang yg bertengkar tersebut maka Syaikhul Islam menceritakan apa yang dikatakan kedua orang tersebut tanpa kurang sedikitpun.....Subhanallah

Imam adz-Dzahabi membandingkan hafalan para ulama pada zaman periwayatan hadist (zaman imam Bukhari) dengan hafalan para ulama pada zamannya (disini ada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, imam al-Midzi) mengatakan, "Orang yang paling lemah hafalannya pada zaman periwayatan hadist sebanding dengan orang yang paling kuat hafalannya dizamannya kita)."....Masya Allah

http://kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Taslim/Bingkisan%20Bagi%20Perindu%20Surga%20%28Kajian%20di%20Dompu%29
read more “Hebatnya Hafalan Mereka”

Rabu, 24 September 2014

Satu Ekor Domba/Kambing Mencukupi untuk Satu Keluarga, Maksud Satu Keluarga?

Bagaimana bila seekor hewan kurban diniatkan untuk satu keluarga?

Syaikh Abdulmuhsin al-'Abbad kemarin malam menjelaskan bahwa hal itu boleh dilakukan. Misal seekor kambing atau sapi dikurbankan dengan niat untuk satu kekuarga. Akan tetapi dengan catatan, keluarga tersebut satu dapur; artinya kebutuhan makannya berasal dari dapur yang sama, tidak sendiri-sendiri. Adapun bila sudah punya dapur sendiri-sendiri, maka masing-masing dibebani untuk berkurban sendiri-sendiri.

Allahu ta'ala a'lam.

Sumber status FB ustadz Ahmad Anshori Hafizhahullah (https://www.facebook.com/achmed.anshorie?fref=nf)
read more “Satu Ekor Domba/Kambing Mencukupi untuk Satu Keluarga, Maksud Satu Keluarga?”

Selasa, 23 September 2014

Bila Hasil Ru'yah Berbeda Lalu Kapan Kita Puasa Arafah?

Semalam saya menanyakan 1 permasalahan pada 2 muhaddits Masjid Nabawi. Dan Hasilnya adalah 2 jawaban yang berbeda.

Pertanyaan:
Wahai syaikh bila hasil rukyat di negara kami berbeda dengan hasil rukyat di kerajaan saudi, tentunya penanggalan puasa Arafah juga akan berbeda, maka kapan kaum muslimin di negara kami melakukan puasa Arafah..?

Prof. DR. Anis Thohir al-Indunisy menjawab:
"Ikuti penanggalan yang ada di negeri kalian jika ternyata dipastikan berbeda. Karena perbedaan mathla' itu mu'tabar. Namun bila ragu berpuasalah pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. Wallahu a'lam"

Prof.DR. Dhiyaurrahman Al A'dzamy menjawab:
"Ada perbedaan pendapat dalam masaalah ini, Hanya saja saya lebih condong untuk mengikuti jadwal wuquf para jamaah haji di Arafah. Karena nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan, "صوم يوم عرفة (Puasa di hari Arafah)" bukan " صوم يوم التاسع من ذى الحجة" (puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah). Itu artinya kita berpuasa pada hari dimana kaum muslimin berada di Arafah. Ini pendapat yang saya anggap rojih, inilah fatwa saya dalam masaalah ini. Wallahu a'lam."

Jadi...?

Saya pribadi lebih condong pada pendapat Prof. Dhiyaurrahman bila penanggalan. Dan setuju dengan saran Prof. Anis untuk berpuasa pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah bila penanggalan ditanah air lebih lambat dari penanggalan KSA sebagai bentuk kehati-hatian. Lagipula masaalah ini fleksibel.
Wallahu a'lam.

Sumber:
Status FB ustadz Aan Chandra Thalib Hafizhahullah

Catatan:
Tambahan dari statusnya ustadz Ahmad Anshori
Fatwa Syaikh Abdulmuhsin al-'Abbad Hafizhahullahu Ta'ala,
Adapaun fatwa Syekh Abdulmuhsin Al-'Abbad, sama dengan fatwa Syekh Dhiyaurrahman Al-A'dhomi. Yaitu puasa arofah mengikuti jadwal wukuf jamaah haji di arofah.
Wallahu ta'ala a'lam. (Selesai tambahan dari ustadz Ahamad Anshori Hafizhahullah)

Demikian juga yang disampaikan ustadz Abdul Hakim Abdat Hafizhahullahu Ta'ala, sama dengan yang difatwakan Syaikh Dhiyaurrahman dan Syaikh Abdulmuhsin al-'Abbad Hafizhahumullah. Untuk penjelasan selengkapnya bisa dilihat di http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/11/14/kapankah-waktu-puasa-arafah-oleh-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir-abdat/
read more “Bila Hasil Ru'yah Berbeda Lalu Kapan Kita Puasa Arafah?”

Minggu, 21 September 2014

Doa Keluar Rumah

Doa Keluar Rumah

بِسْمِ اللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
Dengan nama Allah (aku keluar). Aku bertawakkal kepadaNya, tiada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah.
HR. Abu Dawud 4/325, At-Tirmidzi 5/490, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/151.

::DIVDAK Annajiyah & Sabilunnajah| annajiyah.or.id::
read more “Doa Keluar Rumah”

Sabtu, 20 September 2014

Larangan Memotong Kuku dan Rambut Menjelang dan Pada Saat Kurban


Soal:
Unstuk siapakah larangan memotong kuku dan rambut menjelang dan pada saat kuurban?

Jawab:
Larangan ini berdasarkan hadits Ummu Salamah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda (artinya), "Jika salah seorang kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan bermaksud hendak berkurban maka tahanlah dari (mencabut) rambutnya atau (memotong) kukunya." Dalam satu lafazh, "Maka janganlah sekali-kali mengambil sedikitpun dari rambutnya, tidak juga kukunya hingga ia berkurban (1)." (2)

Dari hadits di atas difahami bahwa larangan tersebut adalah bagi orang yang hendak berkurban, yaitu kepala keluarga, bukan untuk orang untuk orang yang diikut sertakan dalam kurbannya yakni keluarganya. Maka bagi keluarganya tidak ada larangan untuk memotong kuku dan rambutnya. Syaikh al-'Utsaimin Rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti' (3) mengemukakan dua alasan:

Pertama: Zhahir hadits mengkhususkan larangan atas orang yang hendak berkurban yakni kepala keluarga. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengaitkan hukum kepadanya, tidak kepada yang lainnya.

Kedua: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah berkurban untuk keluarganya, namun tidak diriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka, "Janganlah kalian mengambil rambut, kuku atau bagian dari kulit kalian..." Seandainya hal itu diharamkan pula bagi mereka, niscaya beliau akan melarang mereka. Inilah pendapat yang kuat.

Jika ada yang bertanya, Apakah alasan orang yang berpendapat bahwa larangan tersebut mencakup orang yang hendak berkurban, yaitu kepala keluarga, termasuk juga bagi oorang yang diikut sertakan dalam kurbannya?

Kita katakan bahwa mereka mengkiaskan orang yang diikut sertakan dalam kurbannya kepada orang yang hendak berkurban dikarenakan mereka bersekutu dalam pahalanya. Ketika mereka sama-sama memperoleh pahala, maka merekapun harus bersama-sama pula dalam hukum larangan memotong kuku dan rambut. Namun ternyata kias seperti itu tidak shahih (tidak benar dan tidak memenuhi syarat kias yang benar), karena kias tersebut bertentangan dengan nash (dalil yang shahih). Setiap kias yang bertentangan dengan nash, maka kias tersebut tidak dibenarkan.

Disamping itu, penyamaan mereka dalam pahala adalah tidak benar, karena pahala orang yang hendak berkurban, tentu lebih besar daripada pahala orang yang diikut sertakan dalam kurbannya.
-----------------------------------------
Soal:
Sampai kapan larangan memotong kuku dan rambut ini berlangsung?

Jawab:
Syaikh al-'Utsaimin Rahimahullah berkata, "Larangan tersebut berlangsung hingga pelaksanaan kurban. Jika ia berkurban pada hari raya, maka larangan tersebut sampai hari raya. Jika pelaksanaan kurban ditangguhkan hingga hari pertama, kedua atau hari ketiga (dari hari tasyrik), maka larangan tersebut mengikuti pelaksanaan kurban, yakni hingga hari  pertama, kedua atau ketiga (dari hari Tasyrik). (4)
-------------------------------------------
Soal:
Jika larangan tersebut dilanggar, maka apakah kurbannya diterima?

Jawab:
Syaikh al-'Utsaimin Rahimahullah berkata, "Ya, diterima, akan tetapi ia dihukumi bermaksiat. Adapun perkataan orang awam bahwa kurbannya tidak diterima, maka perkataan tersebut tidak benar. Hal ini karena tidak ada keterkaitan antara pelanggaran terhadap larangan tersebut dengan keabsahan kurban yang ia lakukan." (5)
--------------------------------------------
Soal:
Jika seseorang baru berniat untuk melaksanakan kurban di pertengahan sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah, sedangkan sebelumnya ia telah memotong kuku atau rambutnya, maka sahkah kurbannya?

Jawab:
Kurbannya sah, dan ia tidak berdosa, sebab larangan memotong rambut dan kuku tersebut belum berlaku kepadanya, kecuali setelah ia berniat untuk kurban.

Syaikh al-'Utsaimin Rahimahullah berkata, "Jika seseorang tidak berniat kurban kecuali di tengah-tengah sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah, sementara ia telah memotong rambut, kulit atau kukunya sebelumnya, maka kurbannya tetap sah. Dan setelah ia niat, keharaman memotong rambut, kulit, atau kukunya mulai berlaku terhadapnya." (6)

Catatan:
(1) [Maksud rambutnya dan kukunya adalah rambut dan kuku orang yang akan berkurban, bukan rambut dan kuku hewan]
(2) HR. Muslim (no. 1977)
(3) Asy-Syarhul Mumti' (VII/486-487, asy-Syaamilah).
(4) Asy-Syarhul Mumti' (VII/487, asy-Syaamilah).
(5) Asy-Syarhul Mumti' (VII/489, asy-Syaamilah).
(6) Asy-Syarhul Mumti' (VII/489, asy-Syaamilah).

Sumber:
Tuntunan Praktis & Syar'i  Berkurban, Abu Muhammad Ibnu shalih Bin Hasbullah, Pustaka Ibnu 'Umar

Toko buku an-Naajiyah, Perumnas 3 Bekasi
20 September 2014
read more “Larangan Memotong Kuku dan Rambut Menjelang dan Pada Saat Kurban”

Hukum Berkurban Secara Khusus Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Soal:
Terjadi pula di masyarakat bahwa mereka berkurban secara khusus untuk orang yang sudah meninggal. Bolehkah hal ini dilakukan?

Jawab:
Dalam asy-Syarhul Mumti' disebutkan:
Kurban itu hanya disyariatkan untuk yang hidup, karena tidak terdapat riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam maupun dari para shahabat -sejauh yang saya ketahui- bahwa mereka secara khusus berkurban untuk yang telah mati diantara mereka.

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam masih hidup, beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam memiliki anak-anak yang sudah meninggal, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada pula istri beliau  dan kaum kerabatnya yang dicintainya  yang sudah meninggal. Akan tetapi beliau tidak berkurban untuk salah seorang dari mereka yang telah meninggal tersebut. Seandainya hal ini disyari'atkan, niscaya beliau telah menjelaskannya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.

Adapun jika tidak secara khusus, [yakni keluarga yang telah meninggal tersebut hanya diikut sertakan pahalanya dengan kurban seorangkepala keluarga], maka hal ini dibolehkan. Dan ini ditunjukan oleh riwayat bahwa, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkurban untuk dirinya dan sekaligus untuk keluarganya." (1)

Maka perkataan ahlul bait (keluarga) Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mencakup istri-istri beliau, yang diantara mereka ada yang telah meninggal dunia, [seperti Khadijah]. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pun pernah berkurban untuk umatnya, sedangkan di antara mereka  ada yang telah meninggal, dan bahkan termasuk belum lahir ke dunia di saat itu.

Adapun berkurban untuk orang yang telah meninggal secara khusus, yakni tersendiri untuk mereka, maka saya tidak mengetahui dasarnya dalam as-sunnah. Oleh karena itulah maka sebagian ulama mengatakan bahwa hal itu bid'ah. (2)

Catatan:
(1) HR. Ahmad (VI/291-292) al-Hakim (II/391). Dihasankan oleh al-Haitsami dalam al-Majma' (IV/24). Lihat asy-Syarhul Mumti' (VII/423, asy-Syaamilah).
(2) Lihat asy-Syarhul Mumti' (VII/423, asy-Syaamilah).

Sumber:
Tuntunan Praktis & Syar'i  Berkurban, Abu Muhammad Ibnu shalih Bin Hasbullah, Pustaka Ibnu 'Umar

Toko buku an-Naajiyah, Perumnas 3 Bekasi
20 September 2014 
read more “Hukum Berkurban Secara Khusus Untuk Orang Yang Sudah Meninggal”

Hukum Menyembelih Hingga Putus Leher Sembelihannya

Soal:
Bagaimana hukum seseorang yang menyembelih hingga leher sembelihannya putus?

Jawab:
Dalam kitab al-Muhallaa disebutkan: Dari jalan 'Abdurrazzaq dari Ma'mar dari az-Zuhri, diriway
atkan bahwa ia ditanya tentang seseorang yang menyembelih dengan pedangnya hingga kepala hewan yang disembelih putus. Maka az-Zuhri menjawab, "Buruk sekali perbuatannya."
Lalu penanya bertanya lagi, "Bolehkah kami memakannya?" Maka az-Zuhri menjawab, "Ya (boleh)."

Abu Muhammad berkomentar, "Seandainya si penyembelih itu tidak disengaja, maka az-Zuhri tidak akan mengatakan (Buruk sekali perbuatannya). Jadi kasus tersebut manakala  seseorang sengaja memutuskan memutuskan leher hewan sembelihannya.

Diriwayatkan pula dari jalan 'Abdurrazzaq dari Ma'mar, dari 'Abdullah bin Thawus, dari ayahnya, ia berkata, "Seandainya ada seseorang yang menyembelih anak kambing hingga putus lehernya, maka tidak mengapa memakan daging anak kambing tersebut." (1)

Catatan:
(1) Al-Muhallaa (VII/444, asy-Syaamilah)

Sumber:
Tuntunan Praktis & Syar'i Berkurban, Abu Muhammad Ibnu Shalih Bin Hasbullah, Pustaka Ibnu Umar

Disalin pada tanggal 20 September 2014 di toko buku an-Naajiyah, Perumnas 3 Bekasi
Disalin
read more “Hukum Menyembelih Hingga Putus Leher Sembelihannya”

Jumat, 19 September 2014

Hukum Arisan Kurban

Soal:
Bagaimana hukum mengadakan arisan kurban?

Jawab:
Mengadakan arisan dalam rangka berkurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk kurban. Karena hakikat arisan adalah hutang. Sekelompok orang mengumpulkan sejumlah uang, kemudian diserahkan kepada yang berhak dengan cara diundi. Orang yang mendapatkan jatah giliran uang ini, hakikatnya dia telah berhutang kepada seluruh teman-temannya yang ikut arisan.

Mengenai hukum berkurban dengan berhutang, sebagian ulama ada yang menganjurkankannya meskipun harus berhutang. Diantaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dari Sufyan ats-Tsauri (Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Hajj: 36). Sufyan ats-Tsauri mengatakan, "Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta kurban. Beliau ditanya, "Apakah kamu berhutang untuk membeli unta kurban?" Beliau menjawab,"Saya mendengar Allah berfirman (artinya), "Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya (unta-unta kurban tersebut).""
(QS. al-Hajj: 36)

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada berkurban. Diantaranya adalah Syaikh Ibnu 'Utsaimin dan ulama-ulama tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah al-Faqih (Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 dan 28826). Syaikh Ibnu 'Utsaimin mengatakan, "Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutangnya daripada berkurban." (Syarhul Mumti' VII/455)

Sejatinya, pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika kurban adalah untuk orang yang keadaannya mudah dalam melunasi hutang atau untuk hutang yang jatuh temponya masih panjang.

Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada kurban adalah untuk orang yang kesulitan melunasi hutang atau pemiliknya meminta agar segera dilunasi.

Dengan demikian, jika arisan kurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berkurban dengan arisan adalah salah satu hal yang baik. Wallahu a'lam. (1)

Catatan:
(1) Diringkas dari www. konsultasisyariah.com/arisan-kurban/

Sumber:
Tuntunan Praktis & Syar'i Berkurban, Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah, Pustaka Ibnu 'Umar

Disalin pada tanggal 20 September 2014 di toko buku an-Naajiyah, Perumnas 3 Bekasi
read more “Hukum Arisan Kurban”

Hukum Bergantian Berkurban dalam Satu Keluarga

Soal:
Yang terjadi di masyarakat adalah seseorang berkurban dengan seekor kambing khusus untuk kepala keluarga, kemudian tahun depan untuk isterinya, kemudian tahun depan berikutnya untuk anaknya dan seterusnya. Apakah hal tersebut dibenarkan?

Jawab:
Hal tersebut termasuk bermegah-megahan, dan tidak sesuai dengan praktek di zaman salafush-shalih. Ketika Abu Musa al-Anshari Radhiyallahu 'anhu ditanya tentang kurban di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, ia berkata, "Seseorang berkurban dengan seekor domba (kambing) untuk diri dan keluarganya. Mereka makan darinya dan meberi makan orang lain. Kemudian setelah berlalu, orang-orang bermegah-megah seperti yang engkau lihat." (1)

Satu ekor kambing sudah cukup untuk seorang kepala keluarga, dan pahalanya mencakup pula keluarganya. Hal ini karena diriwayatkan bahwa, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkurban untuk dirinya dan sekaligus untuk keluarganya." (2)

Catatan:
(1) HR. at-Tirmidzi (no. 1505), Ibnu Majah (no. 3147). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1142)
(2) HR. Ahmad (VI/291-292), al-Hakim (II/391). Dihasankan oleh al-Haitsami dalam al-Majma' (IV/24). Lihat asy-Syarhul Mumti' (VII/423, Asy-Syaamilah)

Sumber:
Tuntunan Praktis dan Syar'i Berkurban, Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah, Pustaka Ibnu Umar

Disalin pada tanggal 20 September 2014 di toko buku an-Naajiyah, Perumnas 3 Bekasi
read more “Hukum Bergantian Berkurban dalam Satu Keluarga”