Teringat kejadian selepas tabligh akbar ustadz Yazid di masjid walikota Depok.
Saya lihat ada seorang kakek tua dengan jenggot sudah kebanyakan putihnya. Perkiraan saya sudah lebih 60 tahun umurnya.
Sambil menunggu peserta kajian sepi, kami mengobrol, lantas sang kakek bercerita bahwa dia sangat bersyukur dia bisa hadhir di tabligh akbar ustadz Yazid Jawas, yang sebelumnya hanya dia dengar namanya saja.
Dia menceritakan bahwa dia tinggal di Cikarang. Dia sangat bersyukur di usianya yang sudah tua, dia diberi hidayah Sunnah demikian juga kondisi keluarganya, yang Alhamdulillah sudah mengenal dakwah Salaf semua. Walau tantangan di daerahnya tinggal tidaklah mudah. Anak-anaknya, salah satunya bekerja sebagai kuli bangunan disalah satu proyek di Depok.
Dia datang dari Cikarang ke Depok untuk ziarah ke anaknya tersebut. Tapi, Qaddarallah anaknya tidak ada di tempat. Dalam perjalanannya dia melihat ada spanduk tabligh akbar ustadz Yazid Jawas Hafizhahullah, maka dia dengan semangat menghadhiri majelis tersebut sambil berharap putranya juga akan hadhir disana.
Qaddarallah, dia tidak berjumpa dengan anaknya. Dia memutuskan untuk pulang ke Cikarang.
Setelah saya tanya, baru dia menjaskan bahwa dia pulang ke Cikarang dengan berjalan kaki.
Saya kaget karena jarak Depok - Cikarang, bukanlah jarak yang dekat. Dia menjawab paling satu hari sampai. Dia katakan dia biasa menghadhiri majelis ta'lim di Amar Ma'ruf atau yang lainnya dengan berjalan kaki.
Bergetar rasanya hati ini, sungguh luar biasa semangat mereka, kecil rasanya jiwa ini.
Saya mau mengajak ikut ke mobil yang saya sewa, rasanya sudah tidak mungkin karena sudah penuh dengan istri dan anak-anak saya.
Saya kontak teman-teman dari Rawa Semut, mereka sudah jauh dari masjid tersebut.
Teringat akan teman dari Perumnas 3, dia bawa mobil juga. Saya kontak ternyata beliau belum terlalu jauh dan masih ada bangku yang kosong, beliau memutar kembali kendaraannya.
Alhamdulillah, sang kakek akhirnya bisa ikut serta pulang ke Cikarang.
#Cerita seorang ikhwan
Diceritakan kembali oleh
Abu Muhammad Gusti
Rawaroko,
Jum'at, 17 Oktober 2014
read more “Sisi Kajian - Kakek, Depok dan Cikarang”
Ahlan Wa Sahlan
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.
Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri
Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.
Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.
Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri
Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.
Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu
Banner
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Kisah. Tampilkan semua postingan
Minggu, 28 Februari 2016
Sisi Kajian - Kakek, Depok dan Cikarang
Senin, 20 Oktober 2014
Sisi Kajian - Tumpangan Gratis
![]() |
Sumber foto http://yvcibc.wordpress.com |
Saya lihat tidak ada ojek, berangkat tadi memang naik angkot dilanjut naik ojek dari pasar Tambun. Jalan kaki saja, pikir saya, jaraknya juga tidak terlalu jauh dari jalan yang dilalui angkot.
Terlihat beberapa peserta kajian yang pulang berkendara motor, ada yang sendirian ada yang berboncengan, demikian juga yang menggunakan mobil dan yang berjalan kaki juga banyak, termasuk saya.
Ada yang mengklakson ketika mereka melewati saya, baik yang bermotor atau bermobil, lebih banyak yang lewat saja tanpa menyapa.
Belum terlalu jauh berjalan, tiba-tiba ada motor yang menghampiri dan pengendaranya mengucapkan salam dan berhenti. Dia bukan orang asing bagi saya, karena mungkin hampir sebagian besar ikhwah Salafi khususnya daerah Bekasi mengenal beliau dan sebagian ikhwah menyebutnya sebagai "icon" kajian Salaf. Dimana ada tabligh akbar, pasti beliau berperan serta, terkadang menjadi pembawa acara atau yang lainnya. Wajahnya juga terkadang dengan kesibukannya sebagai panitia sering melintas di VCD-VCD kajian, baik kajian ustadz-ustadz ataupun ulama dari Timur Tengah. Tapi beberapa waktu kemudian, beliau jarang terlihat, dan baru terlihat lagi saat ini. (Alhamdulillah di masa-masa akhir kajian di Amar Ma'ruf berapa bulan lewat, beliau terlihat aktif lagi).
Setelah bertegur sapa, saling menanyakan khabar dan lain-lain, beliau menawarkan tumpangan untuk sampai ke jalan yang dituju, sayapun mengiyakan dan ikut dengan beliau. Dalam perjalanan tersebut, beliau Hafizhahullah menyesalkan bagaimana muamalah para ikhwah yang sangat berat untuk menawarkan tumpangan baik yang menggunakan roda dua atau roda empat sekalipun, padahal mereka sendiri di motor atau mobil mereka dan hal tersebut bukan hal yang susah untuk dilakukan.
Saya yang sebelumnya, tidak memeperhatikan hal tersebut sebelumnya, menjadi memikirkan juga kata-katanya, dan membenarkan hal tersebut karena selama perjalanan itu saja banyak sekali ikhwah yang bermotor sendiri atau yang bermobil dengan kursi kosong di mobilnya masih ada, lewat baik dengan cepat atau lambat. Sementara yang berjalan kaki juga sangat banyak.
Saya tanyakan juga apakah beliau sendirian, beliau bilang bahwa beliau hadhir dengan keluarganya. Setelah sampai di jalan yang dituju, beliau menunjuk ke sebuah tenda warung, seorang ummahat dan berapa orang anak kecil sedang menunggu disana. Ternyata disitu istri dan anak beliau menunggu.
Setelah sampai, beliau izin untuk kembali lagi ke tempat kajian untuk menawarkan tumpangan kepada ikhwah yang berjalan kaki seperti saya. Masya Allah, ternyata itu dilakukankannya berulang-ulang. (teringat dulu perkataannya kepada saya, bahwa beliau bukanlah orang yang berilmu, bukan juga orang kaya, tapi beliau berkeinginan untuk dapat memberikan sumbangsihnya untuk dakwah, beliau katakan bahwa beliau hanya memiliki tenaga, maka tenaga itulah yang bisa beliau sumbangkan untuk kemajuan dakwah barokah ini).
#Cerita Seorang Ikhwan
Toko Buku an-Naajiyah, Perumnas 3 Bekasi, 20 Oktober 2014 (Hari pelantikan pak Jokowi sebagai presiden baru Indonesia menggantikan pak SBY)
Diceritakan kembali oleh Abu Muhammad Gusti
Kamis, 25 September 2014
Hebatnya Hafalan Mereka
Imam adz-Dzahabi membandingkan hafalan para ulama pada zaman periwayatan hadist (zaman imam Bukhari) dengan hafalan para ulama pada zamannya (disini ada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, imam al-Midzi) mengatakan, "Orang yang paling lemah hafalannya pada zaman periwayatan hadist sebanding dengan orang yang paling kuat hafalannya dizamannya kita)."....Masya Allah
http://kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Taslim/Bingkisan%20Bagi%20Perindu%20Surga%20%28Kajian%20di%20Dompu%29
Selasa, 13 September 2011
IPAR ITU MAUT
oleh Penerbit Shafa Publika pada 03 Agustus 2011 jam 11:43

“Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau dan bersedih…”
Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:
“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh...Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya…”
Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh. Kemudian ia berkata lagi:
“Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas di sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya. Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka takut nanti dia terseret mengikuti kawan-kawannya!
Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah melewati masa remaja seperti itu. Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari rumah, sementara ia akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku pergi untuk beberapa hari untuk urusan pekerjaan…dan banyak lagi…
Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah seorang Syekh terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski itu saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau mengingatkanku tentang sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Ipar itu adalah maut.”
Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat dekat sang suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka biasanya dengan mudah masuk ke dalam rumah. Dan tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya dapat terjadi di sini.
Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua saja dengan istri di rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah…”
Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan kembali ucapannya:
“Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. Namun mereka justru marah kepadaku, mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku sudah durhaka, bahkan menyebutku berprasangka buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti kakaknya sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak menghendaki ia melanjutkan pendidikan tingginya…”
“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah mengancamku dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan aib besar di tengah keluarga, karena bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan: ‘Demi Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah padamu hingga kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini, dan kami akan berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat…”
Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:
“Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin menyenangkan hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan keluargaku. Nah, sekarang bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang sangat berat ini?”
Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:
“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam masalah ini, bukan? Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau benar-benar seorang peragu dan bimbang. Sebab jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah ini terjadi bersama kedua orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula jika adikmu tinggal serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan urusan rumah. Dan ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan menjaga rumahmu selama engkau pergi.
Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Shaleh terhadap apa yang diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:
“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu sendiri? Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka kepada orang lain? Coba katakan padaku: bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah engkau percaya kepada adikmu?”
Khalid segera memotongnya:
“Aku percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”
“Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…,” potong Shaleh. “Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi penjaga yang amanah untuk rumahmu, baik ketika engkau ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya karena ia sudah menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu sendiri, wahai Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat berpikir untuk mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?
Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”
Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka kemudian meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd akan menempati bagian depannya. Dan seperti itulah yang terjadi selanjutnya…
Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dan kini kita telah berada di empat tahun setelah perisitiwa itu…
Kini Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang anak. Sementara Hamd kini telah memasuki tahun terakhir perkuliahannya. Ia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan pekerjaan yang layak untuk adiknya di universitas itu, dan membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga ia menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.
Pada suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan mengendarai mobilnya…Ia melintas di jalan yang bertepian dengan rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat seperti dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang ibu tua it uterus berteriak meminta tolong:
“Tolong!! Toloooong kami!”
Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka berdiri di pinggir jalan seperti itu.
Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di sini, dan bahwa gadis itu adalah anaknya, suaminya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si anak itu mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya. Anaknya hampir mati karena rasa sakit yang luar biasa itu, sementara mereka tidak menemukan seorang pun yang dapat mengantar mereka ke rumah sakit.
Ibu tua itu meminta tolong dan memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata: “Tolonglah, aku akan mencium kedua kakimu….bantulah aku dan anakku ke rumah sakita terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan anak-anakmu dari semua musibah.”
Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.
Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan meninggalkan ibu tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa yakin betul akan keberhasilan operasi itu dan bayi yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu bahwa ia akan menunggunya di ruang tunggu pria. Ia meminta pada ibu itu untuk mengabarinya jika operasi itu selesai dan proses melahirkan itu berhasil dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya dan menyampaikan bahwa ia akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.
Khalid pun duduk di ruang menunggu khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok, dan kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu berapa lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun yang ia ingat betul adalah pemandangan yang tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya…Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara dokter jaga dan dua petugas keamanan yang mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriak-teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu dia!!”
Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya dan segera mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses kelahirannya berhasil, Bu?”
Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya dan bertanya: “Anda Khalid?”
“Iya, benar,” jawabnya.
“Kami ingin Anda datang sekarang juga ke ruang kepala keamanan!” ujar petugas itu.
Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah, ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat keji itu!! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu, wahai putriku!”
Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali setelah polisi itu mengatakan:
“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk melaporkan ini pada polisi, engkau berjanji akan menikahinya. Namun setelah melahirkan, kalian akan meletakkan anak bayi itu di pintu salah satu mesjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk membawanya ke panti sosial!”
Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia tidak lagi bisa melihat apa yang ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di kerongkongannya. Hingga tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang petugas keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di situ segera mengajukan pertanyaan untuknya:
“Khalid, coba sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu, nampaknya engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau bukanlah pelaku yang melakukan kejahatan seperti ini.”
Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:
“Tuan-tuan, apakah seperti balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah seperti ini kebaikan itu dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga orang anak: Sami, Su’ud dan Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik…”
Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya dengan ibu tua dan putrinya itu secara lengkap.
Dan ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata padanya:
“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya adalah semuanya harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam masalah ini. Perkaranya sangat mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat sebenarnya.”
“Hakikat apa?” potong Khalid. “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan seorang yang terhormat? Apakah kalian tidak mempercayaiku?”
Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah ruangan lain. Ia tak putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa yang sebenarnya telah terjadi!
Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan dusta. Khalid tak kuasa menahan rasa gembiranya. Ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Ia telah menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus itu. Petugas polisi itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si ibu tua dan putrinya itupun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada dokter spesialis yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena telah menjadi sebab kebebasannya dari tuduhan keji itu. Ia pun pergi menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan berterima kasih. Namun dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:
“Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus beberapa menit…”
Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:
“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya bisa memastikannya dengan yakin…”
Dengan perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:
“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita…aku rela menerima semua takdir Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap mengorbankan apa saja untuk mereka…”
Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan berkata:
“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya benar-benar yakin dengan hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke sini untuk pemeriksaan.”
Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke rumah sakit itu. Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-sampelnya yang dibutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium. Setelah itu, ia membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke rumah sakit untuk menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, tiba-tiba telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan berbicara kepada orang yang menelponnya beberapa menit.
Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter yang mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau sampaikan untuk tidak membongkar pintu apartemen itu?”
“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah menghilangkan kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat membuka kunci pintu yang tertutup itu,” jawab Khalid.
“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.
“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di universitas.”
“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya dokter.
“Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.
Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Dan akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap sang adik. Dokter kemudian meminta Khalid untuk menemuinya satu pekan dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya…
Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat. Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi musibah, dan memang demikianlah dunia itu!
Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:
“Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku sudah siap untuk menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi takdir Allah untukku. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Dokter?”
Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:
“Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan pahit! Tapi harus diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak akan menyelesaikannya dan tidak akan mengubah keadaan.
Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:
“Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya anak…, Ketiga anak itu bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, Hamd.”
Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak sadarkan diri.
Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.
Khalid mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat berita yang menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang tersisa.
Adapun istrinya, maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk membenarkan pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.
Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan hukum yang sesuai dengan kejahatannya.
Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti sosial untuk akhirnya hidup bersama anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari jalanan. Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu adalah maut.”
‘Dan engkau tak akan menemukan perubahan pada ketentuan Allah.”
sumber : Chicken Shoup for muslim penerbit sukses publishing Halaman 105-122
Jumat, 17 Juni 2011
[Renungan Motivasi Diri] Sebuah Kisah Nyata Tentang Perjalanan Menuntut Ilmu Seorang Pemuda di Zaman Ini.
Sebuah renungan agar kita semangat menuntut ilmu
Bismillaahirrahmaanirrahiim……. .
Cerita ini saya (penulis) tulis adalah untuk memberikan ibrah kepada kita semua khususnya saya sendiri, bahwa penderitaan dan kesusahahpayahan kita dalam menempuh jalan yang haq ini tidaklah seberapa, bahkan jika kita bandingkan dengan para salafush shalih.
Cerita yang saya ambil ini adalah kisah manusia di masa ini, di mana sangat langka dan sulit ditemui orang-orang yang memiliki ghirah yang sama sepertinya dalam menuntut ilmu agama.
Saya menuliskan cerita ini adalah berdasarkan sebuah kisah nyata, di mana kisah tersebut saya dengar sendiri oleh salah satu sumber terpercaya yang mengetahui kisah tersebut… Wallahu a’lam.
Semoga kisah ini dapat memotivasi dan menginspirasi kita untuk lebih dapat bersemangat dalam menuntut ilmu syar’i…Barakallahu fikum.
Di suatu daerah terpencil, terdapat sepasang suami istri yang sangat zuhud….
Mereka belum dikaruniai seorang putra, karena masih dikategorikan pengantin yang masih baru. Perlu diketahui, sang suami adalah seorang yang sangat rajin menuntut ilmu, ia adalah seseorang yang memiliki semangat yang sangat luar biasa untuk memperoleh ilmu. Bahkan, dahulu ketika ia ingin menikah, ia tidak mempunyai sepeser uang yang cukup untuk meminang seorang akhawat, dan akhirnya ia menghadap kepada salah seorang ustadz di ma’had yang saat itu ia belajar di sana, hanya untuk meminta nasihat bagaimana ia dapat menikah. Ia sangat sadar bahwa dirinya tak tampan dan tidak mapan dalam pekerjaan, karena hampir masa mudanya dihabiskan di ma’had. Sang ustadz pun menghargai tekadnya dan pada akhirnya membiayai pernikahan lelaki tersebut.
Sang suami di masa mudanya adalah salah seorang murid yang diakui kepandaiannya di ma’hadnya. Beberapa rekan dan ustadz memujinya dalam hal keilmuannya.
Suatu hari sang suami berniat ingin mendatangi suatu daurah di luar kota. Karena ia belum memiliki pekerjaan yang tetap (masih serabutan -pen.), maka ia dan istrinya memikirkan bagaimana caranya agar sang suami dapat pergi untuk mendatangi daurah tersebut walau ekonomi mereka sangat pas-pasan. Jarak yang harus ditempuh sangatlah jauh, sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan penghasilan mereka untuk makan sehari-hari saja masih belum cukup. Sang suami bukanlah seorang yang malas dalam mencari nafkah, namun qadarallah…. Allah telah menetapkan rezekinya hanya sedemikian. Walau demikian, ia tetap bersemangat dalam menjalani hidupnya. Suatu hari, istrinya yang walhamdulillah sangat qana’ah dan juga zuhud, berinisiatif membongkar tabungan yang beberapa bulan ia kumpulkan di kotak penyimpanannya. Qaddarallah…..uang yang terkumpul hanya Rp 10.000,-. Bayangkan wahai pembaca -bahkan, mata ini ingin menangis ketika saya mengetik kisah ini- dalam sehari, kita bisa memegang uang puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan mungkin hingga ada yang mencapai nominal jutaan. Dengan keistiqamahan dan kezuhudan, sang istri tidak pernah mengeluh untuk mengumpulkan 100 perak (Rp 100,-) setiap keuntungan yang diperoleh suaminya yang tidak setiap hari ia dapatkan.
Sang istri segera mengumpulkan uang tersebut dan berinisiatif untuk membuatkan bekal arem-arem (bahasa Jawa), yaitu sejenis nasi kepal yang dibungkus daun pisang untuk bekal perjalanan suaminya. Hanya itu yang dapat sang istri berikan kepada suaminya sebagai wujud cinta dan kasih sayangnya.
Sang suami pun kemudian berangkat dengan membawa bekal dan doa dari istrinya untuk menuntut ilmu. Ia pergi dengan berjalan kaki!! Yah, hanya berjalan kaki untuk menepuh jarak puluhan kilometer!!! (Wallahua’lam). Karena, ia tak membawa uang sepeserpun untuk bepergian, hanya beberapa buah arem-arem dan pakaian yang melekat di badannya yang ia bawa ke luar kota. Subhanallah….. Perjalanan ia tempuh tiga hari tiga malam dengan kedua kakinya tanpa kendaraan satupun.
Akhirnya, ia pun sampai di tempat daurah dilaksanakan, hanya dengan berjalan kaki dan berteduh di tempat seadanya selama perjalanan. Dauroh akhirnya dimulai. Selama daurah, ia sangat antusias untuk mengambil ilmu yang diterimanya, ia mengambil shaf paling depan dan dekat dengan ustadz pemateri. Namun beberapa saat kemudian, ia mendapat teguran oleh seseorang di sampingnya, karena setiap beberapa menit ia selalu meluruskan kakinya ketika materi berlangsung. Hal itu tidak ia lakukan sekali-dua kali, namun hingga beberapa kali, hingga akhirnya orang di sampingnya pun menegurnya karena menganggapnya tidak sopan. Hal itu ia lakukan (meluruskan kaki ke depan -ed.), karena kakinya terasa pegal (sebab -ed.) selama tiga hari tiga malam berjalan kaki. Masya Allah!
Saat istirahat pun tiba. Ia berkumpul dengan ikhwan-ikhwan lain di dapur untuk membantu berbenah. Ia pun akhirnya menceritakan kisah tiga hari tiga malamnya itu kepada salah seorang ikhwan di tempat tersebut dan seketika membuat tercengang orang-orang yang mendengarnya. Akhirnya, cerita itu sampai ke telinga ustadz pemateri daurah…Ustadz pun tercengang dengan kisah itu!
Akhirnya, ustadz beserta ikhwan-ikhwan mengumpulkan dana sukarela untuk memberikan sumbangan kepadanya dan terkumpulah uang Rp 300.000,- sebagai dana bantuan untuk kepulangannya.
Subhanallah, sebuah kisah yang mungkin sempat kita ragukan kebenarannya, tapi Insya Allah ini kisah nyata. Semoga kita dapat mengambil ibrah (pelajaran -ed.) dari kisah ini. Terakhir, mari kita simak hadits berikut ini, “Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu agama, pasti Allah membuat mudah baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim).
Yahya bin Abi Katsir rahimahullahu ta’ala berkata, “Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan santai/tidak bersungguh-sungguh).” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi I/385, no. 554)
Semoga cerita ini dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua terkhususnya saya sebagai penulis. Wallahu a’lam bishawab….
NB: Jika ada kekurangan penulisan maupun kekurangtepatan alur cerita dalam kisah ini, semua kesalahan dari penulis semata dan mohon untuk dimaklumi karena keterbatasan ingatan dan lain sebagaianya, karena kebenaran semuanya dari Allah ‘Azza wa Jalla semata. Barakallahu fikum (Menuntut Ilmu Dien (Syar’ie)’s blog)
Yogyakarta, 9 Juni 2011 Sumber: Sebuah kisah nyata yang dikirimkan kepada redaksi.
Artikel www.salafiyunpad.wordpress.com dengan sedikit penyuntingan bahasa oleh redaksi melalui:www.situs.assunah.com
Oleh: Abu Muhammad Zaid Efendy
Jumat, 15 April 2011
Orang yang dirubah kepalanya menjadi kepala keledai karena mendahului imam
Pada suatu hari seorang laki-laki pergi ke Dimasyq untuk belajar hadist dari seorang syaikh yang terkenal di sana. Syaikh itupun membacakan beberapa hadist padanya, akan tetapi syaikh tersebut membuat tabir dengan muridnya sehingga sang murid pun tidak bisa melihat wajah beliau.
Setelah sekian lama belajar dan syaikh tersebut melihat semangatnya yang tinggi dalam mempelajari hadist, maka syaikh tersebut menyingkapkan tabir sehingga sang murid pun dapat melihat wajah baliau, ternyata wajah syaikh terebut seperti wajah keledai.
Lalu syaikh tersebut berkata kapadanya, “Hati-hatilah wahai anakku, jangan sampai kamu mendahului imam! Sesungguhnya aku tatkala mendapatkan sebuah hadist (tentang ancaman bagi orang yang mendahului imam akan diubah kepala/wajahnya menjadi kepala/wajah keledai), aku mnganggap hal ini tidak mungkin terjadi, kemudian aku mendahului imam, maka jadilah wajahku seperti yang kau lihat ini!”
Sumber : Al Qoulul Mufid fi Adillatit Tauhid karya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobiy menukil dari Al-Qoulul Mubin fi Akhthoo’il Mushollin hal 252
Dari foto FB al-akh Insani Masdi
read more “Orang yang dirubah kepalanya menjadi kepala keledai karena mendahului imam”
Setelah sekian lama belajar dan syaikh tersebut melihat semangatnya yang tinggi dalam mempelajari hadist, maka syaikh tersebut menyingkapkan tabir sehingga sang murid pun dapat melihat wajah baliau, ternyata wajah syaikh terebut seperti wajah keledai.
Lalu syaikh tersebut berkata kapadanya, “Hati-hatilah wahai anakku, jangan sampai kamu mendahului imam! Sesungguhnya aku tatkala mendapatkan sebuah hadist (tentang ancaman bagi orang yang mendahului imam akan diubah kepala/wajahnya menjadi kepala/wajah keledai), aku mnganggap hal ini tidak mungkin terjadi, kemudian aku mendahului imam, maka jadilah wajahku seperti yang kau lihat ini!”
Sumber : Al Qoulul Mufid fi Adillatit Tauhid karya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobiy menukil dari Al-Qoulul Mubin fi Akhthoo’il Mushollin hal 252
Dari foto FB al-akh Insani Masdi
Selasa, 29 Maret 2011
MEMBALAS KEBURUKAN DENGAN KEBAIKAN
Oleh: Ust. Abuz Zubair Hawaary
Membaca kehidupan orang-orang sholeh sungguh menakjubkan. Terlebih lagi jika mereka adalah generasi terbaik umat ini. Kehidupan mereka bertabur mutiara hikmah dan pelajaran berharga bagi kehidupan generasi sesudahnya.
Kitab-kitab sejarah dan sunnah telah menorehkan lembaran-lembaran emas kehidupan mereka. Beruntunglah orang-orang yang meneladani mereka dengan baik.
( وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ) (التوبة:100)
Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.
Pertemuan kali ini, kita bersama sebuah kisah menakjubkan yang dinukilkan kepada kita oleh “kutubussunnah”. Kisah yang terjadi antara dua orang sahabat mulia; Abu Bakr Ash-Shiddiq rodhiyallahu ‘anhu. Manusia paling afdhol setelah para rasul dan nabi. Kholifah Ar-Rosyid yang pertama semoga Allah meridhoinya. Dan khodim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Yang pernah memintanya untuk menemaninya di surga. Lantas Nabi berkata kepadanya, “Kalau begitu aku akan mendo’akanmu, tetapi bantulah aku atas dirimu dengan memperbanyak sujud”. Dialah Robi’ah bin Ka’ab Al-Aslamy rodhiyallahu ‘anhu.
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim di Mustadroknya, ia berkata, “Ini adalah hadits shohih menurut syarat Muslim dan keduanya tidak mengeluarkannya”. Dari Robi’ah bin Ka’ab Al-Aslamy rodhiyallahu ‘anhu ia menuturkan, Rasulullah shollahu ‘alaihi wasallama memberiku sebidang tanah, dan ia juga memberi Abu Bakar sebidang tanah. Lalu kami berselisih pada sepokok kurma. Ia (Robi’ah) berkata, “Maka datanglah dunia”.
Maka Abu Bakar berkata, “Ini termasuk dalam batas tanahku”. Aku pun menyanggah, “Tidak .. akan tetapi ini termasuk dalam batas tanahku”. Lantas Abu Bakar melontarkan kepadaku kata-kata yang tidak aku sukai. Dan dia menyesali kata-katanya itu. Maka ia berkata kepadaku, “Hai Robi’ah, ucapkanlah kepadaku seperti apa yang telah aku katakana kepadamu sehingga menjadi qishosh”. Aku menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali yang baik”. Abu Bakar kembali berkata, “Demi Allah, engkau harus mengucapkan kepadaku seperti ucapanku kepadamu sehingga menjadi qishosh atau aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama”.
Aku berkata, “Tidak, aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali yang baik”.
Maka Abu Bakar tidak menerima pembagian tanah tersebut, dan ia mendatangi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Sementara aku (Robi’ah) mengikuti di belakangnya.
Sekelompok orang dari suku Aslam (suku Robi’ah) berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Dia yang telah melontarkan kata-kata itu kepadamu, kenapa dia yang mengadukanmu kepada Rasulullah?”.
Aku berkata, “Tahukah kalian siapa ini? Ini adalah Abu Bakar .. teman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama di dalam gua. Orang yang dituakan oleh kaum muslimin. Jangan sampai ia menoleh dan melihat kalian membelaku, sehingga dia marah lantas Rasulullah ikut marah karena kemarahanya, maka Allah akan marah pula karena kemarahan keduanya. Jika sampai itu terjadi celakalah Robi’ah. Pulanglah kalian!!”.
Robi’ah bergegas menyusul Abu Bakar..
Sesampai Abu Bakar di hadapan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama, ia menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Robi’ah.
Rasulullah berkata kepada Robi’ah, “Hai Robi’ah, ada apa antara kamu dengan Ash-Shiddiq?”.
Robi’ah menceritakan apa yang terjadi dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar kepadanya. Dan keengganannya membalas Abu Bakar dengan ucapan yang sama.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata kepadanya, “Baiklah, jangan katakan kepadanya seperti yang dikatakannya kepadamu, akan tetapi katakanlah ‘Semoga Allah mengampunimu hai Abu Bakar”.
Maka Abu Bakar pergi meninggalkan majelis tersebut sambil menangis …[1]
Subhanallah!
Kisah menakjubkan yang dinukilkah oleh kutubussunah kepada kita. Di dalamnya terkandung butir-butir pelajaran berharga bagi setiap muslim yang ingin meneladani generasi emas umat ini.
Entah dari mana kita mulai memetik pelajaran kisah ini. Apakah dari Rasulullah shollallahu yang adil dan bijaksana; bagaimana beliau mendengarkan masalah ini dari kedua belah pihak. Dan bagaimana beliau akhirnya membuat keduanya melewati polemik ini dengan baik.
Ataukah kita mulai dari jiwa besar Ash-Shiddiq rodhiyallahu ‘anhu. Ataukah kita akan membicarakan akhlak Robi’ah dan penghormatannya terhadap Ash-Shiddiq??
Akar kisah ini adalah apa yang terjadi di antara dua orang sahabat yang mulia ini, dan pandangan mereka yang berbeda tentang sebatang korma yang menjadi pemicu perselisihan kecil antara keduanya.
Dalam kisah ini, Robi’ah menuturkan penyebab terjadinya perselisihan ini, ia mengatakan (Dan datanglah dunia …) maksudnya sebab utama adalah karena perhatian kepada dunia dan perhiasannya. Seolah-olah Robi’ah rodhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada kita bahwa dunia dan perhiasaannya adalah penyebab banyak perselisihan di antara sesama muslim. Seolah-olah ia mengatakan kepada kita, kenapa harus berselisih, bertengkar, dan saling memutus hubungan persaudaraan hanya karena harta, tanah atau warisan dan urusan dunia lainnya?? Sampai kapan dunia ini menyibukkan kita dari tujuan dan cita-cita yang mulia?
Dengarkan firman Robb kita Subhanahu wa Ta’ala,
(وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِراً)
Artinya, “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al-Kahfi : 45)
kemudian cobalah ulang lagi membaca dan merenungi penuturan Robi’ah (Lantas Abu Bakar melontarkan kepadaku kata-kata yang tidak aku sukai. Dan dia menyesali kata-katanya itu). Tidak diceritakan apa kalimat yang telah dilontarkan Abu Bakar kepada Robi’ah. Kita yakin tentu kalimat tersebut tak lebih dari sekedar ketidak sengajaan yang segara di sadari Abu Bakar dengan penyesalannya atas apa yang telah ia ucapkan. Ini merupakan ‘ibroh yang luar biasa. Seorang yang berjiwa besar sekalipun ia dihormati jika keliru segera kembali kepada yang benar. Kemudian tidak adanya nukilan ucapan Abu Bakar tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwasanya Robi’ah sama sekali tidak memendam dendam. Ia ingin ucapan Abu Bakar tersebut dilupakan dan tidak diingat …
Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu meminta Robi’ah rodhiyallahu ‘anhu membalas ucapannya sebagai qishosh atas perbuatannya. Kedudukannya di sisi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama tidak membuatnya menghinakan dan merendahkan seseorangpun dari kaum muslimin bahkan dia tidak ingin menyakiti seseorangpun sekalipun itu hanya dengan ucapan sepele.
Dengan sikap yang mulia ini Ash-Shiddiq mengajarkan kepada kita sifat adil, tawadhu dan tidak sombong.
Di sisi lain juga tergambar jiwa besar Robi’ah. Ia tidak ingin membalas kalimat yang tidak disukainya dengan kalimat yang semisal. Bahkan ia menegaskan (Tidak ..demi Allah aku tidak akan katakan kepadamu kecuali yang baik). Ini peringatan bagi kita agar kita tidak membalas keburukan dengan kebaikan. Jangan biarkan syetan mendapatkan celah untuk merusak mu’amalahmu bersama saudara-saudara dan sahabat-sahabatmu. Jangan ucapkan dengan lisanmu kecuali yang ucapan yang baik.
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan”. (Al-Mukminun : 96)
Ini juga menjadi ‘ibroh yang berharga bagi orang-orang yang menjadikan lisannya laksana pedang untuk mencaci-maki, mencela, mengolok-olok, memakan bangkai saudaranya (ghibah), atau berdusta.
Jangan .. jangan lakukan itu saudaraku!!
Kemudian ia memberikan kepada kita pelajaran lain yaitu ’sabar’. Ia tidak membalas ucapan Abu Bakar .. sama sekali tidak.
Bukankah ini pelajaran bagi kita semua, agar kita mengendalikan nafsu dan emosi kita. Sangat disayangkan sebagian orang membalas satu kata dengan dua kali lipat atau bahkan berlebih-lebihan. Masalah sepele saja memantik emosinya, sehingga menggelegak lalu mencela, memaki dan melaknat. Lupakah ia wasiat Qudwah-nya shollallahu ‘alaihi wa sallama ketika mewasiatkan salah seorang sahabatnya, “Jangan marah”.[2]
Kemudian Abu Bakar yang menyesali perkataannya, ketika Robi’ah tidak mau membalasnya ia pergi menemui Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama untuk meminta petunjuk dalam masalahnya itu. Ini mengandung faedah yang agung yaitu meminta bantuan orang yang lain yang bisa dipercaya dan amanah untuk menjadi penengah dan membantu mendamaikan.
Ketika Robi’ah mengikutinya. Di jalan beberapa orang kaum Robi’ah berusaha menghalanginya mengikuti Abu Bakar. Seolah-olah mereka mengatakan kepadanya (bukankah Abu Bakar yang salah kepadamu, dan engkau yang benar? Kenapa engkau mengikutinya?) dengarkan jawaban yang sangat dalam maknanya dari Robi’ah (Tahukah kalian siapa ini? Ini adalah Abu Bakar, ini adalah teman (Rasulullah) di dalam gua .. orang yang dituakan oleh kaum muslimin!! Jangan sampai ia melihat kalian membelaku, lalu dia marah, lantas Rasulullah marah karena kemarahannya maka Allah pun marah karena kemarahan keduanya sehingga binasalah Robi’ah).
Sungguh akhlak yang tinggi baik perkataan maupun perbuatannya. Budi pekerti nan luhur dalam bermu’amalah, menghormati dan memuliakan.
Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua bagaimana memposisikan orang lain sesuai dengan kedudukannya. Semoga Allah meridhoimu hai Robi’ah ketika engkau mengetahui keutamaan orang yang memiliki kedudukan.. Semoga Allah meridhoimu ketika engkau menghormati Abu Bakar dan memuliakannya. Semoga Allah meridoimu ketika engkau menimbang permasalahaan dengan timbangan syara’.
Lihatlah …Robi’ah mengetahui kedudukan Abu Bakar di sisi Rasulullah, maka dia takut kemarahannya karena dia khawatir itu akan menyebabkan Rasulullah marah lalu menyebabkan Allah juga marah. Ini yang tidak terpikirkan oleh kaumnya yang menimbang masalah itu dengan emosi mereka semata. Dalam masalah ini pelajaran berharga bagi umat, bahwasanya emosi dan perasaan yang tidak dikontrol dengan batasan-batasan syara’ menyebabkan hasil-hasil yang tidak terpuji.
Lihatlah wahai saudaraku ..apa yang terjadi ditengah umat islam. Munculnya pemikiran-pemikiran dan perbuatan-perbuatan yang digerakkan oleh emosi dan semangat yang tidak mengikuti rambu-rambu syara’ ..sehingga menimbulkan kerusakan di muka bumi ..meledakkan, menghancurkan dan mengkafirkan.
Saudaraku kaum muslimin … ilmu syar’I yang dibangun di atas pondasi yang shohih adalah satu-satunya jalan menggapai keselamatan umat dan kemenangannya. Kita adalah umat yang memiliki manhaj dan azas yang jelas. Pilar-pilarnya jelas ...takkan ada yang menggoyahkan baik hawa yang diikuti atau emosi yg tak terkendali atau semangat yg kosong dari ilmu syar’I, selama kita berpegang teguh dengan dasar-dasar yang shohih tadi.
Inilah yang terjadi di antara dua orang sahabat sebelum keduanya sampai kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Adapun yang terjadi dihadapan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Keduanya bertemu dihadapan Rasulullah. Dan beliau mendengarkan dari keduanya dengan seksama. Beginilah Rasulullah dengan para sahabatnya rodhiyallahu anhum; mendengarkan mereka, duduk bersama mereka. Mereka meminta pendapatnya lalu beliau memberikan petunjuk dan saran. Mereka bertanya beliau menjawab.
Dalam kisah ini, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama mendengarkan penuturan keduanya. Dia tidak hanya mendengarkan sepihak. Ini bentuk keadilan beliau. Setelah beliau mendengar keduanya dan setelah jelas semua permasalahan, ia menunjukkan kepada Robi’ah yang lebih baik dari membalas ucapan Abu Bakar, dan beliau mendukungnya untuk tidak membalas bahkan beliau berkata kepadanya, “Katakan kepadanya (semoga Allah mengampunimu hai Abu Bakar)”.
Robi’ah pun mengucapkannya ..namun jiwa besar Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu yang takut kepada Allah tidak sanggup menerimanya sehingga air matanya mendahului kata-katanya. Dan ia pun pergi dengan menangis semoga Allah meridhoinya.
Ya Allah .. Alangkah indah dan mengagumkannya kisah ini, penuh dengan akhlak yang mulia, budi pekerti nan tinggi, saling memaafkan dan berlapang dada. Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ (الشورى: من الآية40(
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”.
Semoga Allah memberikan kekuatan dan keteguhan kepada kita untuk meneladani Salafush Sholeh .. Amin.
[1] Kisah ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (4/58-59) dan Ath-Thobroni di Al-Mu’jamul Kabir (5/52-530 dan Ibnu Asakir di At-Tarikh (9/583) dan isnadnya dihasankan oleh Syeikh Al-Albanydi As-Silsilah Ash-Shohihah (no. 3145).
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu.
Oleh: Ustad Abu Zubair
Selasa, 01 Maret 2011
Aku Cinta Rasul (Ciri Fisik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)

- Tinggi badannya sedang. Tidak jangkung dan tidak pula pendek.
- Warna kulitnya tidak putih bule, tidak pula coklat sawo matang.
- Rambutnya ikal, tidak terlalu keriting dan tidak terlalu lurus kaku.
- Pada kepala dan janggutnya ada rambut putih (uban). Jumlah ubannya sedikit, tidak sampai 20 helai.
- Wajahnya sangat tampan.
- Perawakannya sedang, dadanya bidang.
- Panjang rambutnya mencapai daun telinga.
- Bentuk wajahnya seperti rembulan, tidak lancip seperti pedang.
- Telapak tangannya lebih lembut dari sutra.
- Aroma badannya sangat harum.
***
artikel muslimah.or.id
Disadur dari buku “Aku Cinta Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam”, cetakan pertama (Juni 2006/Februari 2007), Abu Usamah Masykur, Penerbit: Darul Ilmi, Yogyakarta.
Kamis, 10 Februari 2011
Lelaki Penggoda
Published: 6 November 2010
وعمر بن الخطاب رضي الله عنه لما كان يعس بالمدينة فسمع امرأة تتغنى بأبيات تقول فيها :Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Khalifah Umar bin al Khattab ketika beronda di kota Madinah mendengar seorang perempuan yang menyanyikan beberapa bai syair diantaranya adalah:
( هل من سبيل إلى خمر فأشربها … هل من سبيل إلى نصر بن حجاج )
Adakah jalan untuk meminum khamar#
Adakah jalan untuk bersua dengan Nasr bin Hajaj
فدعى به فوجده شابا حسنا فحلق رأسه فازداد جمالا فنفاه إلى البصره لئلا تفتتن به النساء
Mendengar hal tersebut, beliau lantas memanggil lelaki yang disebut-sebut dalam bait di atas. Ternyata dia adalah seorang pemuda yang ganteng (sehingga menggoda banyak wanita). Akhirnya beliau gundul pemuda tersebut (agar tidak terlihat ganteng). Ternyata setelah digundul pemuda tersebut malah semakin tambah ganteng. Akhirnya beliau buang pemuda tersebut ke Basrah agar tidak banyak wanita yang tergoda dengan kegantengannya”.
Muhaqqiq ٍSyarh Siyasah Syar’iyyah mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ibnu Saad 3/285 dengan sanad yang sahih”.
Sumber: Syarh Siyasah Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin taqdim Syaikh Muhammad Hassan tahqiqi Shalah al Said hal 387, Maktbah Fayyadh Manshurah Mesir, cetakan pertama 1426 H.
Redaksi yang ada dalam al Thabaqat al Kubro karya Ibnu Saad adalah sebagai berikut:
قال أخبرنا عمرو بن عاصم الكلابي قال أخبرنا داود بن أبي الفرات قال أخبرنا عبد الله بن بريدة الأسلمي قال بينما عمر بن الخطاب يعس ذات ليلة إذا امرأة تقول:
هل من سبيل إلى خمر فأشربها أم هل سبيل إلى نصر بن حجاج
فلما أصبح سأل عنه فإذا هو من بني سليم
Dari Abdullah bin Buraidah al Aslami, beliau mengatakan, “Saat Umar bin al Khattab beronda pada suatu malam tiba-tiba beliau mendengar seorang perempuan yang mengatakan:
Adakah jalan untuk meminum khamar#
Adakah jalan untuk bersua dengan Nasr bin Hajaj
Ketika pagi tiba beliau bertanya-tanya tentang siapakah laki-laki yang bernam Nasr bin Hajja. Ternyata dia adalah seorang dari Bani Sulaim.
فأرسل إليه فأتاه فإذا هو من أحسن الناس شعرا وأصبحهم وجها فأمره عمر أن يطم شعره ففعل فخرجت جبهته فازداد حسنا فأمره عمر أن يعتم ففعل فازداد حسنا
Beliau lantas mengutus seseorang untuk memanggil orang tersebut. Ternyata dia adalah seorang laki-laki yang sangat menawan rambutnya dan wajahnya pun nampak sangat bercahaya. Khalifah Umar lantas memerintahkan untuk mencukur habis rambut kepalanya. Setelah rambutnya dipangkas habis, dahinya nampak menonjol keluar. Jadilah lelaki tersebut semakin ganteng. Umar pun memerintahkan orang tersebut agar mengenakan sorban. Setelah memakai sorban orang malah tambah ganteng.
فقال عمر لا والذي نفسي بيده لا تجامعني بأرض أنا بها فأمر له بما يصلحه وسيره إلى البصرة
Akhirnya Khalifah Umar mengatakan, “Demi Allah, zat yang jiwaku ada di tangan-Nya aku tidak mau satu daerah dengan orang tersebut”. Beliau lantas memerintahkan orang tersebut agar memperbaiki diri dan memerintahkannya agar pergi ke Basrah.
قال أخبرنا عمرو بن عاصم الكلابي قال أخبرنا داود بن أبي الفرات قال أخبرنا عبد الله بن بريدة الأسلمي قال خرج عمر بن الخطاب يعس ذات ليلة فإذا هو بنسوة يتحدثن فإذا هن يقلن أي أهل المدينة أصبح؟ فقالت امرأة منهن أبو ذئب
Dari Abdulah bin Buraidah al Aslami, beliau bercerita, “Suatu malam Umar bin al Khattab keluar dari rumahnya. Di jalan beliau menjumpai beberapa wanita yang sedang ngobrol. Ternyata beberapa diantara mereka ada yang bertanya, ‘Siapakah penduduk Madinah yang paling ganteng?”. Salah satu wanita diantara mereka mengatakan, “Abu Dzi’b-lah orangnya”.
فلما أصبح سأل عنه فإذا هو من بني سليم فلما نظر إليه عمر إذا هو من أجمل الناس فقال له عمر أنت والله ذئبهن مرتين أو ثلاثا والذي نفسي بيده لا تجامعني بأرض أنا بها
Ketika pagi tiba Umar bertanya-tanya tentang siapakah gerangan lelaki yang bernama Abu Dzi’b, ternyata dia adalah seorang lelaki dari Bani Sulaim. Ketika Khalifah Umar melihat tampangnya ternyata dia adalah laki-laki yang sangat ganteng. Umar pun berkata kepadanya, “Demi Allah, kamulah yang menggoda mereka para perempuan”. Demikian beliau katakan dua atau tiga kali. Lantas beliau mengatakan, “Demi Allah, zat yang jiwaku ada di tangan-Nya aku tidak mau satu daerah dengan orang tersebut”.
قال فإن كنت لا بد مسيرني فسيرني حيث سيرت بن عمي يعني نصر بن حجاج السلمي فأمر له بما يصلحه وسيره إلى البصرة
Orang tersebut mengatakan kepada Khalifah Umar, “Jika engkau hendak membuangku maka buanglah aku ke tempat engkau membuang anak pamanku yaitu Nasr bin Hajaj al Sulami”. Khalifah Umar lantas memerintahkannya agar memperbaiki diri lalu membuangnya ke Basrah”.
Sumber: Al Thabaqat al Kubro Ibnu Saad 3/285, terbitan Dar Shadir Beirut.
Petikan Pelajaran:
Kisah di atas menunjukkan boleh menjadikan gundul kepala sebagai hukuman sehingga apa yang dilakukan di banyak pesantren yaitu menghukum santri yang melanggar aturan yang ada dengan menggundul kepalanya adalah tindakan yang berdasarkan sunnah Umar.
Diantara bentuk hukuman yang dibenarkan adalah hukuman dengan cara pengasingan. Agak semisal dengan hukuman pengasingan adalah hukuman penjara yang punya efek jera. Itulah penjara yang menyebabkan orang yang dihukum berada dalam keterasingan, bukan penjara yang menyebabkan seorang penjahat mendapatkan tambahan kolega dan guru dalam dunia kejahatan.
Di antara kewajiban penguasa adalah memikirkan dan menelurkan berbagai kebijakan dalam rangka melindungi akhlak dan moral rakyat, bukan malah membuat kebijakan yang pro pengrusakan moral. Lihatlah bagaimana Umar di pagi harinya langsung melakukan tindakan terhadap laki-laki yang menyebabkan banyak wanita yang tergila-gila kepadanya.
Di antara keteladan yang diberikan oleh Khalifah Umar yang patut dicontoh oleh para penguasa adalah melihat sendiri kondisi real di bawah dan tidak merasa cukup dengan laporan yang diberikan oleh pejabat di bawahnya. Adalah kebiasan Umar, ronda malam seorang diri untuk mengecek kondisi rakyat, apa yang sedang terjadi di akar rumput. Dengan cara ini, politik ‘pencitraan’ bisa dihilangkan. Itulah upaya pejabat bawahan yang ingin memberikan citra bahwa kondisi masyarakat itu baik, sejahtera, terlayani dst padahal itu sekedar sandiwara.
Di antara buah ditegakkannya aturan-aturan semaksimal mungkin adalah terwujudnya rasa aman. Dalam kisah di atas, Umar berjalan sendirian melintasi lorong-lorong kota Madinah tanpa merasa khawatir adanya para pelaku kejahatan. Umar berkeliling untuk ronda seorang diri tanpa perlu kawalan paspamres. Kondisi semisal di atas sangatlah sulit untuk kita temukan di zaman ini.
Wanita itu bisa tergoda mati-matian dengan seorang laki-laki sebagaimana laki-laki yang gila-gilaan mencintai seorang wanita. Sungguh manusia itu sangat lemah dengan godaan lawan jenis.
Sungguh benar firman Allah,
وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah” (QS an Nisa:28).
عن ابن طاوس، عن أبيه: { خُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا } أي: في أمر النساء،
Ketika menjelaskan potongan ayat di atas, Thawus mengatakan, “Manusia (baca:laki-laki) itu lemah jika terlibat urusan dengan wanita”.
وقال وكيع: يذهب عقله عندهن
Sedangkan Waki’ mengatakan, “Akal sehat seorang laki-laki itu tiba-tiba hilang ketika dia tergoda wanita” [Tafsir Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas].
Lihatlah seorang laki-laki yang sangat gagah perkasa tiba-tiba berubah menjadi lemah tidak berdaya bagaikan anak kecil ketika dia berada di hadapan wanita sangat-sangat dia cintai. Sungguh sering kita saksikan laki-laki yang melakukan berbagai hal yang tidak sejalan dengan akal sehat gara-gara sedang terjangkit virus merah jambu.
Demikian pula wanita yang sedang tergoda seorang pria sebagaimana bisa kita simak dalam kisah di atas.
Kisah di atas adalah dalil yang cukup jelas menunjukkan tidak ada aturan bercadar bagi laki-laki. Seandainya laki-laki itu dituntukan untuk bercadar dalam kondisi tertentu tentu kita yakin bahwa Umar akan memilih hukuman bercadar untuk laki-laki yang ada dalam kisah di atas. Ternyata yang dipilih oleh Khalifah Umar adalah hukuman gundul dan pengasingan. Ini menunjukkan tidak adanya tuntunan bercadar bagi laki-laki.
حدثني الأزهري أنه يحضر مجلسه ( 7)رجال ونساء فكان يجعل على وجهه برقعا خوفا أن يفتتن به الناس من حسن وجهه .
Adz Dzahabi bercerita bahwa yang menghadiri majelis pengajian Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin al Hasan al Mishri adalah laki-laki dan wanita. Ketika mengisi pengajian beliau mengenakan burqo (kain penutup seluruh wajah, termasuk mata). Hal ini beliau lakukan karena khawatir adanya orang baik laki-laki maupun wanita yang tergoda dengan beliau karena demikian indah paras wajah beliau [Siyar A’lam al Nubala jilid 15 hal 381].
Apa yang dilakukan oleh Abul Hasan al Mishri ini tidaklah tepat berdasarkan kisah di atas.
Artikel www.ustadzaris.com
Rabu, 09 Februari 2011
Kisah Menakjubkan Tentang Sabar dan Syukur Kepada Allah
Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu
Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia
disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang
perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang
merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan
sering diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban dalam kitabnya
Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya
yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para
ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau
meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin
Al-Huwairits –radhiallahu 'anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada
tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.
Abdullah bin Muhammad berkata, "Aku keluar menuju tepi pantai dalam
rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan
musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai tiba-tiba aku telah berada di
sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran
tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang
yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya
telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun
yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, "Ya
Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa
menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau
anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas
kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan""
Abdullah bin Muhammad berkata, "Demi Allah aku akan mendatangi orang
ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan
perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya
itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan
kepadanya??.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu
kukatakan kepadanya, "Aku mendengar engkau berkata "Ya Allah,
tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan
rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan
kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan
makhluk yang telah Engkau ciptakan", maka nikmat manakah yang telah
Allah anugrahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat
tersebut??, dan kelebihan apakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu
hingga engkau menysukurinya??"
Orang itu berkata, "Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan
oleh Robku kepadaku?, demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar
kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung
untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut
untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan
tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur
kepadaNya karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah
(lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku
maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak
mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari
gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra
yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku,
jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan
aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka
tolonglah engkau mencari kabar tentangya –semoga Allah merahmati
engkau-". Aku berkata, "Demi Allah tidaklah seseorang berjalan
menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang
sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari
seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang
yang seperti engkau". Maka akupun berjalan mencari putra orang
tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gudukan
pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan
di makan oleh binatang buas, akupun mengucapkan inna lillah wa inna
ilaihi roji'uun. Aku berkata, "Bagaimana aku mengabarkan hal ini
kepada orang tersebut??". Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang
tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam.
Tatkala aku menemui orang tersbut maka akupun mengucapkan salam
kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, "Bukankah engkau
adalah orang yang tadi menemuiku?", aku berkata, "Benar". Ia berkata,
"Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?". Akupun
berkata kepadanya, "Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi
Ayyub ‘alaihissalam?", ia berkata, "Tentu Nabi Ayyub ‘alaihissalam ",
aku berkata, "Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada
Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya,
keluarganya, serta anaknya?", orang itu berkata, "Tentu aku tahu". Aku
berkata, "Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?", ia
berkata, "Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah". Aku
berkata, "Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan
sahabat-sahabatnya", ia berkata, "Benar". Aku berkata, "Bagaimanakah
sikapnya?", ia berkata, "Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah". Aku
berkata, "Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan
dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal
itu?", ia berkata, "Iya", aku berkata, "Bagaimanakah sikap nabi
Ayyub?", ia berkata, "Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah,
lagsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!". Aku
berkata, "Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan
pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas,
semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau".
Orang itu berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan
bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan
api neraka", kemudian ia berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi
roji'uun", lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Aku berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi roji'uun", besar musibahku,
orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh
binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan
apa-apa[1]. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di
tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis. Tiba-tiba
datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku "Wahai Abdullah, ada
apa denganmu?, apa yang telah terjadi?". Maka akupun menceritakan
kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, "Bukalah
wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!", maka akupun membuka
wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua
tangannya, lalu mereka berkata, "Demi Allah, matanya selalu tunduk
dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya
selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!". Aku bertanya
kepada mereka, "Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?",
mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu 'Abbas, ia sangat
cinta kepada Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai,
lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling
dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan. Tatkala
tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada
di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga
sambil membaca firman Allah
}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ{ (الرعد:24)
"Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena
kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." (QS.
13:24)
Lalu aku berkata kepadanya, "Bukankah engkau adalah orang yang aku
temui?", ia berkata, "Benar", aku berkata, "Bagaimana engkau bisa
memperoleh ini semua", ia berkata, "Sesungguhnya Allah menyediakan
derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa
syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa
takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam
kaeadaan di depan khalayak ramai"
---------------------
[1] Hal ini karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian
manusia, dan kemungkinan Abdullah tidak membawa peralatan untuk
menguburkan orang tersebut, sehingga jika ia hendak pergi mencari alat
untuk menguburkan orang tersebut maka bisa saja datang binatang buas
memakannya, Wallahu a'lam
http://www.firanda.com/index. php/artikel/6-sirah/15-kisah- menakjubkan-tentang-sabar-dan- syukur-kepada-allah
read more “Kisah Menakjubkan Tentang Sabar dan Syukur Kepada Allah”
Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia
disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang
perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang
merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan
sering diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban dalam kitabnya
Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya
yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para
ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau
meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin
Al-Huwairits –radhiallahu 'anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada
tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.
Abdullah bin Muhammad berkata, "Aku keluar menuju tepi pantai dalam
rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan
musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai tiba-tiba aku telah berada di
sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran
tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang
yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya
telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun
yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, "Ya
Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa
menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau
anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas
kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan""
Abdullah bin Muhammad berkata, "Demi Allah aku akan mendatangi orang
ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan
perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya
itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan
kepadanya??.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu
kukatakan kepadanya, "Aku mendengar engkau berkata "Ya Allah,
tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan
rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan
kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan
makhluk yang telah Engkau ciptakan", maka nikmat manakah yang telah
Allah anugrahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat
tersebut??, dan kelebihan apakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu
hingga engkau menysukurinya??"
Orang itu berkata, "Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan
oleh Robku kepadaku?, demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar
kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung
untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut
untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan
tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur
kepadaNya karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah
(lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku
maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak
mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari
gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra
yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku,
jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan
aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka
tolonglah engkau mencari kabar tentangya –semoga Allah merahmati
engkau-". Aku berkata, "Demi Allah tidaklah seseorang berjalan
menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang
sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari
seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang
yang seperti engkau". Maka akupun berjalan mencari putra orang
tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gudukan
pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan
di makan oleh binatang buas, akupun mengucapkan inna lillah wa inna
ilaihi roji'uun. Aku berkata, "Bagaimana aku mengabarkan hal ini
kepada orang tersebut??". Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang
tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam.
Tatkala aku menemui orang tersbut maka akupun mengucapkan salam
kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, "Bukankah engkau
adalah orang yang tadi menemuiku?", aku berkata, "Benar". Ia berkata,
"Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?". Akupun
berkata kepadanya, "Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi
Ayyub ‘alaihissalam?", ia berkata, "Tentu Nabi Ayyub ‘alaihissalam ",
aku berkata, "Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada
Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya,
keluarganya, serta anaknya?", orang itu berkata, "Tentu aku tahu". Aku
berkata, "Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?", ia
berkata, "Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah". Aku
berkata, "Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan
sahabat-sahabatnya", ia berkata, "Benar". Aku berkata, "Bagaimanakah
sikapnya?", ia berkata, "Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah". Aku
berkata, "Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan
dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal
itu?", ia berkata, "Iya", aku berkata, "Bagaimanakah sikap nabi
Ayyub?", ia berkata, "Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah,
lagsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!". Aku
berkata, "Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan
pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas,
semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau".
Orang itu berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan
bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan
api neraka", kemudian ia berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi
roji'uun", lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Aku berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi roji'uun", besar musibahku,
orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh
binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan
apa-apa[1]. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di
tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis. Tiba-tiba
datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku "Wahai Abdullah, ada
apa denganmu?, apa yang telah terjadi?". Maka akupun menceritakan
kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, "Bukalah
wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!", maka akupun membuka
wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua
tangannya, lalu mereka berkata, "Demi Allah, matanya selalu tunduk
dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya
selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!". Aku bertanya
kepada mereka, "Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?",
mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu 'Abbas, ia sangat
cinta kepada Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai,
lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling
dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan. Tatkala
tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada
di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga
sambil membaca firman Allah
}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ{ (الرعد:24)
"Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena
kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." (QS.
13:24)
Lalu aku berkata kepadanya, "Bukankah engkau adalah orang yang aku
temui?", ia berkata, "Benar", aku berkata, "Bagaimana engkau bisa
memperoleh ini semua", ia berkata, "Sesungguhnya Allah menyediakan
derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa
syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa
takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam
kaeadaan di depan khalayak ramai"
---------------------
[1] Hal ini karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian
manusia, dan kemungkinan Abdullah tidak membawa peralatan untuk
menguburkan orang tersebut, sehingga jika ia hendak pergi mencari alat
untuk menguburkan orang tersebut maka bisa saja datang binatang buas
memakannya, Wallahu a'lam
http://www.firanda.com/index.
Senin, 31 Januari 2011
KISAH PERJUMPAAN IMAM IBNUL MUBARAK DENGAN SEORANG YANG MEMILIKI RAHASIA
oleh Abu Fahd NegaraTauhid pada 31 Januari 2011 jam 15:34
Abdullah ibn al Mubarak menuturkan, "Aku berada di Mekkah ketika orang2 ditimpa paceklik dan kemarau panjang. Mereka pun keluar ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat istisqa'. Akan tetapi, hujan tidak segera turun. Disampingku ada seseorang laki2 berkulit hitam yang kurus. Kudengar dia berdoa, 'Ya Allah, sesungguhnya mereka sudah berdoa kepada-Mu, namun Engkau tidak memenuhinya. Sesungguhnya aku bersumpah kepada-Mu agar Engkau menurunkan hujan kepada mereka.' Demi Allah, tak berapa lama kemudian turun hujan kepada kami."
"Orang itu beranjak pergi," lanjut Ibnul Mubarak. "Aku mengikutinya hingga dia masuk sebuah rumah milik seorang penjahit. Keesokan paginya, aku mendatangi rumah itu sambil membawa beberapa dinar. Di depan rumah ada seorang laki2. Aku berkata kepadanya, 'Aku ingin bertemu pemilik rumah ini.'
'Akulah orang yang engkau maksudkan,' jawabnya.
Aku berkata, 'Aku ingin membeli seorang budak darimu.'
'Aku mempunyai empat belas orang budak. Aku akan mengeluarkan mereka semua agar engkau dapat melihat mereka,' katanya.
Pemilik rumah itu pun mengeluarkan keempat belas budaknya. Namun, tak seorang pun diantara mereka yang aku inginkan. Aku bertanya, 'Apakah masih ada yang lain?'
Dia menjawab, 'Aku mempunyai seorang budak lagi yang kini sedang sakit.' Dia lalu mengeluarkan budak yang dimaksud, seorang budak kulit hitam.
'Juallah budak ini kepadaku,' pintaku.
'Dia menjadi milikmu, wahai Abu Abdirrahman,' katanya.
Aku lantas menyerahkan empat belas dinar kepadanya dan membawa budak itu. Di tengah perjalanan, dia bertanya kepadaku, 'Wahai tuanku, apa yang akan engkau perbuat kepadaku sementara aku sedang sakit?'
Aku menjawab, 'Aku mengetahui apa yang engkau lakukan kemarin sore.'
Budak itu bersandar ke dinding sambil berkata, 'Ya Allah, kalau Engkau membuatku terkenal, maka cabutlah nyawaku.'
Seketika itu juga, budak itu jatuh dan meninggal dunia. Penduduk Mekkah mengiringi jenazahnya."
(Shifatush Shafwah, jilid 2, hal. 177)
Ada versi lain dari kejadian ini. Setelah Ibnul Mubarak membelinya, budak itu berkata, "Sesungguhnya aku sakit dan tidak dapat melakukan apa-apa."
Ibnul Mubarak menyahut, "Allah tidak memberiku pilihan untuk mempekerjakanmu. Namun, aku membelimu karena aku sudah menyediakan rumah khusus bagimu dan aku juga akan menikahkanmu, bahkan aku sendiri yang akan membiayaimu."
Budak itu menangis. Ibnul Mubarak pun bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?"
Budak menjawab, "Engkau tidak berbuat seperti ini melainkan karena engkau telah melihat hubunganku dengan Allah. Jika tidak, mengapa engkau justru memilih diriku di antara para budak itu?"
"Engkau tidak perlu bicara seperti itu," tukas Ibnul Mubarak.
"Aku memohon kepadamu, Demi Allah, mengapa engkau memilih diriku?" tanya budak.
"Karena doamu yang dikabulkan," jawab Ibnul Mubarak.
"Aku yakin, Insya Allah, engkau adalah orang yang shalih," kata budak, "Sesungguhnya Allah mempunyai makhluk-makhluk pilihan yang keadaan mereka tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang disukai dan yang diridhai-Nya."
Budak itu lalu berkata lagi, "Bagaimana kalau engkau memberiku kesempatan barang sejenak. Sebab, aku merasa masih ada waktu bagiku untuk mengerjakan beberapa rakaat malam ini?"
Ibnul Mubarak berkata, "Itu ada rumah bagus dekat dari sini."
"Tidak. Aku lebih suka di sini, karena ketetapan Allah sudah tidak dapat ditunda-tunda," sahut budak itu.
Budak itu masuk ke dalam masjid, lalu melaksanakan shalat di sana. Usai shalat, dia bertanya, "Wahai Abu Abdirrahman, apakah engkau punya keperluan denganku?"
"Ada apa?" ibnul Mubarak balik bertanya.
"Aku ingin kembali," jawab budak.
"Kemana?" tanya Ibnul Mubarak lagi.
"Ke akhirat," jawab budak.
"Jangan lakukan itu. Biarkan aku menghiburmu," Ibnul Mubarak memohon.
"Kehidupan ini menjadi menyenangkan ketika aku menjalin hubungan dengan Allah. Jika engkau dapat melihatnya, maka orang lain akan melihatnya pula, sehingga aku pun tidak membutuhkannya lagi," kata budak. Setelah itu, dia bersujud sambil berdoa, "Ya Allah, cabutlah nyawaku sekarang juga."
Ibnul Mubarak mendekat. Namun, pada saat yang bersamaan, budak itu juga meninggal dunia. Demi Allah, Ibnul Mubarak tidak mengingat budak itu kecuali hanya akan membuatnya bersedih, dan menjadika dunia terlihat kecil di matanya.
(Shifatush Shafwah, jilid 2 hal. 178. Al Akhfiya, Walid bin Sa'id Bahakam)

"Orang itu beranjak pergi," lanjut Ibnul Mubarak. "Aku mengikutinya hingga dia masuk sebuah rumah milik seorang penjahit. Keesokan paginya, aku mendatangi rumah itu sambil membawa beberapa dinar. Di depan rumah ada seorang laki2. Aku berkata kepadanya, 'Aku ingin bertemu pemilik rumah ini.'
'Akulah orang yang engkau maksudkan,' jawabnya.
Aku berkata, 'Aku ingin membeli seorang budak darimu.'
'Aku mempunyai empat belas orang budak. Aku akan mengeluarkan mereka semua agar engkau dapat melihat mereka,' katanya.
Pemilik rumah itu pun mengeluarkan keempat belas budaknya. Namun, tak seorang pun diantara mereka yang aku inginkan. Aku bertanya, 'Apakah masih ada yang lain?'
Dia menjawab, 'Aku mempunyai seorang budak lagi yang kini sedang sakit.' Dia lalu mengeluarkan budak yang dimaksud, seorang budak kulit hitam.
'Juallah budak ini kepadaku,' pintaku.
'Dia menjadi milikmu, wahai Abu Abdirrahman,' katanya.
Aku lantas menyerahkan empat belas dinar kepadanya dan membawa budak itu. Di tengah perjalanan, dia bertanya kepadaku, 'Wahai tuanku, apa yang akan engkau perbuat kepadaku sementara aku sedang sakit?'
Aku menjawab, 'Aku mengetahui apa yang engkau lakukan kemarin sore.'
Budak itu bersandar ke dinding sambil berkata, 'Ya Allah, kalau Engkau membuatku terkenal, maka cabutlah nyawaku.'
Seketika itu juga, budak itu jatuh dan meninggal dunia. Penduduk Mekkah mengiringi jenazahnya."
(Shifatush Shafwah, jilid 2, hal. 177)
Ada versi lain dari kejadian ini. Setelah Ibnul Mubarak membelinya, budak itu berkata, "Sesungguhnya aku sakit dan tidak dapat melakukan apa-apa."
Ibnul Mubarak menyahut, "Allah tidak memberiku pilihan untuk mempekerjakanmu. Namun, aku membelimu karena aku sudah menyediakan rumah khusus bagimu dan aku juga akan menikahkanmu, bahkan aku sendiri yang akan membiayaimu."
Budak itu menangis. Ibnul Mubarak pun bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?"
Budak menjawab, "Engkau tidak berbuat seperti ini melainkan karena engkau telah melihat hubunganku dengan Allah. Jika tidak, mengapa engkau justru memilih diriku di antara para budak itu?"
"Engkau tidak perlu bicara seperti itu," tukas Ibnul Mubarak.
"Aku memohon kepadamu, Demi Allah, mengapa engkau memilih diriku?" tanya budak.
"Karena doamu yang dikabulkan," jawab Ibnul Mubarak.
"Aku yakin, Insya Allah, engkau adalah orang yang shalih," kata budak, "Sesungguhnya Allah mempunyai makhluk-makhluk pilihan yang keadaan mereka tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang disukai dan yang diridhai-Nya."
Budak itu lalu berkata lagi, "Bagaimana kalau engkau memberiku kesempatan barang sejenak. Sebab, aku merasa masih ada waktu bagiku untuk mengerjakan beberapa rakaat malam ini?"
Ibnul Mubarak berkata, "Itu ada rumah bagus dekat dari sini."
"Tidak. Aku lebih suka di sini, karena ketetapan Allah sudah tidak dapat ditunda-tunda," sahut budak itu.
Budak itu masuk ke dalam masjid, lalu melaksanakan shalat di sana. Usai shalat, dia bertanya, "Wahai Abu Abdirrahman, apakah engkau punya keperluan denganku?"
"Ada apa?" ibnul Mubarak balik bertanya.
"Aku ingin kembali," jawab budak.
"Kemana?" tanya Ibnul Mubarak lagi.
"Ke akhirat," jawab budak.
"Jangan lakukan itu. Biarkan aku menghiburmu," Ibnul Mubarak memohon.
"Kehidupan ini menjadi menyenangkan ketika aku menjalin hubungan dengan Allah. Jika engkau dapat melihatnya, maka orang lain akan melihatnya pula, sehingga aku pun tidak membutuhkannya lagi," kata budak. Setelah itu, dia bersujud sambil berdoa, "Ya Allah, cabutlah nyawaku sekarang juga."
Ibnul Mubarak mendekat. Namun, pada saat yang bersamaan, budak itu juga meninggal dunia. Demi Allah, Ibnul Mubarak tidak mengingat budak itu kecuali hanya akan membuatnya bersedih, dan menjadika dunia terlihat kecil di matanya.
(Shifatush Shafwah, jilid 2 hal. 178. Al Akhfiya, Walid bin Sa'id Bahakam)

Langganan:
Postingan (Atom)