Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Haji dan Umrah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Haji dan Umrah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 September 2014

Hukum Bergantian Berkurban dalam Satu Keluarga

Soal:
Yang terjadi di masyarakat adalah seseorang berkurban dengan seekor kambing khusus untuk kepala keluarga, kemudian tahun depan untuk isterinya, kemudian tahun depan berikutnya untuk anaknya dan seterusnya. Apakah hal tersebut dibenarkan?

Jawab:
Hal tersebut termasuk bermegah-megahan, dan tidak sesuai dengan praktek di zaman salafush-shalih. Ketika Abu Musa al-Anshari Radhiyallahu 'anhu ditanya tentang kurban di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, ia berkata, "Seseorang berkurban dengan seekor domba (kambing) untuk diri dan keluarganya. Mereka makan darinya dan meberi makan orang lain. Kemudian setelah berlalu, orang-orang bermegah-megah seperti yang engkau lihat." (1)

Satu ekor kambing sudah cukup untuk seorang kepala keluarga, dan pahalanya mencakup pula keluarganya. Hal ini karena diriwayatkan bahwa, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkurban untuk dirinya dan sekaligus untuk keluarganya." (2)

Catatan:
(1) HR. at-Tirmidzi (no. 1505), Ibnu Majah (no. 3147). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1142)
(2) HR. Ahmad (VI/291-292), al-Hakim (II/391). Dihasankan oleh al-Haitsami dalam al-Majma' (IV/24). Lihat asy-Syarhul Mumti' (VII/423, Asy-Syaamilah)

Sumber:
Tuntunan Praktis dan Syar'i Berkurban, Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah, Pustaka Ibnu Umar

Disalin pada tanggal 20 September 2014 di toko buku an-Naajiyah, Perumnas 3 Bekasi
read more “Hukum Bergantian Berkurban dalam Satu Keluarga”

Rabu, 02 Mei 2012

MEMBERIKAN SUAP UNTUK MENCIUM HAJAR ASWAD

Oleh: Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta ditanya : Seseorang datang dengan ibunya agar ibunya mencium hajar aswad dikala keduanya haji. Tapi ibunya tidak dapat mencium hajar aswad karena banyaknya manusia yang sedang thawaf. Lalu ia memberikan uang sepuluh riyal kepada polisi yang disamping hajar aswad. Maka polisi itu menjauhkan manusia dari hajar aswad untuk orang tersebut dan ibunya, sehingga keduanya dapat mencium hajar aswad. Apakah demikian itu boleh atau tidak ? Dan apakah dia mendapatkan haji atau tidak ?

Jawaban
Jika permasalahannya seperti yang disebutkan, maka uang yang diberikan orang tersebut kepada polisi adalah suap yang tidak boleh dilakukan. Sebab mencium hajar aswad hukumnya sunnah dan tidak termasuk rukun atau wajib dalam haji. Maka siapa yang dapat mengusap dan mencium hajar aswad tanpa menggangu siapapun, dia disunnahkan untuk itu. Jika dia tidak memungkinkan untuk mengusap dan mencium hajar aswad, maka dia mengusap dengan tangan maupun tongkatnya, dan jika tidak mampu mengusap dengan tangan maupun dengan tongkatnya, dia mengisyaratkan kepadanya dengan tangan kanan ketika berada pada poisisi searah hajar aswad lalu bertakbir. Ini adalah yang sunnah. Adapun dengan memberikan suap untuk itu, maka tidak boleh bagi orang yang thawaf dan tidak boleh menerima bagi polisi, Maka keduanya wajib taubat kepada Allah dari hal tersebut. Kepada Allah kita mohon pertolongan kebaikan. Dan shalawat serta salam kepada Nabi Muahammad, keluarga dan sahabatnya.

Sumber: [Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 170-176, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1720/slash/0
read more “MEMBERIKAN SUAP UNTUK MENCIUM HAJAR ASWAD”

Selasa, 01 Mei 2012

NIAT THAWAF ORANG YANG MEMBAWA DAN DIGENDONG

Oleh: Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Jika orang yang sa'i atau thawaf membawa anak kecil atau membawa orang sakit, apakah sa'i atau thawaf cukup bagi masing-masing orang yang membawa dan orang yang dibawa, ataukah tidak ?

Jawaban
Cukup mewakili keduanya dengan niat orang yang membawa dan orang yang dibawa yang telah berakal, menurut salah satu dari dua pendapat ulama.

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 148-153, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1302/slash/0
read more “NIAT THAWAF ORANG YANG MEMBAWA DAN DIGENDONG”

THAWAF DI LANTAI ATAS MASJIDIL HARAM

Oleh: Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya menunaikan haji pada tahun 1400H. Dan ketika saya kembali pada hari kedua dari hari thasyriq setelah matahari condong ke barat saya langsung thawaf wada', kemudian saya pergi itu dari perkemahan yang terletak di akhir Mina ke tempat melontar adalah dengan jalan kaki. Maka ketika kami sampai di Masjidil Haram, kami dapatkan masjid telah penuh sesak dengan manusia dan orang-orang yang thawaf sampai ke serambi masjid, dan waktu itu adalah dzuhur sedangkan kami dalam keadaan letih karena berjalan, maka kawan saya berkata, mari kita thawaf di lantai atas untuk menghindari berdesak-desakan dan terik matahari. Setelah thawaf kami pulang. Maka ketika kami pergi haji pada tahun ini saya bertanya kepada sebagian Syaikh di Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta wa Da'wah wal Irsyad (Lembaga Kajian Ilmiah, Fatwa, Da'wah dan Bimbingan) di Mina, maka diantara mereka mengatakan, bahwa karena padatnya manusia dalam thawaf di bawah teras maka tidak mengapa bila mereka thawaf di lantai atas. Tapi di antara mereka ada yang mengatakan tidak boleh karena tingkat atas lebih tinggi dari Ka'bah. Bagaimana penjelasan dalam hal ini ?

Jawaban
Jika kondisinya sebagaimana disebutkan, maka tiada dosa atas kamu, dan thawaf kamu shahih

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 148-153, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc] 

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1302/slash/0
read more “THAWAF DI LANTAI ATAS MASJIDIL HARAM”

HUKUM WANITA MENCIUM HAJAR ASWAD KETIKA BERDESAK-DESAKAN

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang yang thawaf mendorong istrinya untuk mencium Hajar Aswad. Manakah yang utama, mencium Hajar Aswad ataukah menjauhi berdesak-desakan dengan laki-laki ?

Jawaban
Jika penanya melihat hal yang aneh tersebut maka saya melihat sesuatu yang lebih aneh lagi. Saya melihat orang yang berdiri sebelum salam dari shalat wajib karena ingin berjalan cepat untuk mencium Hajar Aswad. Maka batallah shalat wajib yang merupakan salah satu rukun Islam hanya karena ingin melakukan sesuatu yang tidak wajib dan juga tidak disyari'atkan kecuali jika dilakukan bersama thawaf. Demikian itu adalah karena kebodohan manusia yang sangat disayangkan ! Sebab mencium Hajar Aswad tidak sunnah kecuali dengan thawaf. Saya tidak mengetahui dalil yang mejelaskan bahwa mencium Hajar Aswad disunnahkan tanpa melakukan thawaf. Saya tidak tahu dan berharap kepada orang yang mempunyai ilmu yang berbeda dengan apa yang saya ketahui untuk menyampaikan kepada saya tentang itu, semoga Allah membalas kebaikan kepadanya. Sebab mencium Hajar Aswad adalah salah satu dari beberapa yang disunnahkan dalam thawaf. Kemudian di sunnahkan mencium Hajar Aswad adalah bila tidak mendatangkan mudharat bagi orang yang thawaf atau orang lain. Jika dalam mencium Hajar Aswad ada unsur bahaya bagi orang yang thawaf atau kepada lainnya maka kita pindah kepada tingkat kedua yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita, yaitu agar seseorang mengusap Hajar Aswad dengan tangan lalu mencium tangannya.

JIka tingkatan ini juga tidak mungkin dilakukan melainkan mengganggu orang lain atau sulit, maka kita pindah pada tingkatan ketiga yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita, yaitu dengan melambaikan tangan kepadanya dengan satu tangan, bukan dua tangan, yaitu dengan tangan kanan seraya mengisyaratkan kepadanya dan tidak mencium tangan setelah mengisyaratkan. Demikian itulah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jika dalam mencium Hajar Aswad sangat menyusahkan sebagaimana disebutkan penanya, di mana seseorang harus mendorong istrinya, sedangkan istrinya itu sedang hamil atau berusia lanjut atau wanita yang tidak kuat. Maka semua itu termasuk kemungkaran yang harus ditinggalkan karena mendatangkan mudharat kepada wanita dan berdesak-desakan dengan laki-laki. Semua itu berkisar antara haram atau makruh. Maka seharusnya seseorang tidak melakukan demikian itu selama ada keleluasaan dengan melakukan cara lain. Maka permudahlan untuk dirimu, karena Allah tidak mempererat kepada hamba-hamba-Nya.

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 148-153, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1302/slash/0
read more “HUKUM WANITA MENCIUM HAJAR ASWAD KETIKA BERDESAK-DESAKAN”

Rabu, 19 Oktober 2011

Airport Jeddah Bukan Miqat Untuk Berihram

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Miqat terbagi menjadi dua:
1. Miqat Zamani
Yaitu bulan-bulan yang telah ditentukan untuk melakukan amalan ibadah haji yang apabila dilakukan diluar waktu tersebut tidak sah. Bulan-bulan itu ialah: Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.

{الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ}

Artinya: " (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. QS. Al Baqrah: 197.

وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَشْهُرُ الْحَجِّ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ وَعَشْرٌ مِنْ ذِى الْحَجَّةِ .

Artinya: "Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: "Bulan-bulan haji Syawwal, Dzul Qo'dah, dan Sepuluh hari (pertama) dari Dzulhijjah. HR. Bukhari.

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلاَّ فِى أَشْهُرِ الْحَجِّ .

Artinya: "Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Termasuk Sunnah, tidak boleh berihram (untuk haji) kecuali pada bulan-bulan haji". HR. Bukhari.

2. Miqat Makani
Yaitu tempat-tempat yang telah ditentukan untuk memulai ihram bagi yang ingin melakukan haji maupun umrah.

Tempat-tempat itu ialah:
1.Dzulhulaifah (yang sekarang disebut oleh orang awam Bir Ali), bagi penduduk Madinah.
2.Al Juhfah (Rabigh), bagi penduduk Syam, Mesir, dan Maroko. Al Juhfah dekat dengan Rabigh yang sekarang dijadikan miqat sebagai gantinya.
3.Qarnul Manazil (As-Sail Al-Kabir), bagi penduduk Najd, dikenal dengan As Sail Al Kabir (di daerah Taif).
4.Yalamlam (As Sa'diyyah), bagi penduduk Yaman.
5.Dzatu ‘Irqin, bagi penduduk Irak dan yang datang dari daerah timur.

Wajib bagi yang melewati miqat-miqat ini untuk berihram darinya dan diharamkan melewatinya tanpa berihram, jika menuju mekkah bermaksud menunaikan haji atau umrah, baik dari jalan darat, laut atau udara.
Sedangkan bagi penduduk Mekkah dan yang berada diantara miqat dengan Mekkah memulai ihram dari rumah masing-masing. Sedang yang melewati selain miqat hendaklah disejajarkan dengan miqat terdekat. Ini berdasarkan hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau meriwayatkan:

وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ. قَالَ « فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ دُونَهُنَّ فَمِنْ أَهْلِهِ وَكَذَا فَكَذَلِكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّونَ مِنْهَا ».

Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menentukan miqat untuk penduduk Madinah Dzul Hulaifah, untuk penduduk Syam Al-Juhfah, untuk penduduk Najd Qarnul Manazil, untuk penduduk Yaman Yalamlam, beliau bersabda: "Miqat-miqat itu bagi penduduknya dan bagi yang melewatinya yang bukan dari penduduknya, siapa yang ingin melaksanakan haji atau umrah, dan barangsiapa yang berada di dalam miqat-miqat itu dari penduduknya maka berihram dari tempatnya, begitupula penduduk kota Mekkah berihram dari Mekkah".  HR. Bukhari dan Muslim.
Sedang penduduk Irak maka miqatnya adalah Dzatu 'Irq, berdasarkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau bercerita:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ.

Artinya: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menentukan miqat penduduk Irak Dzatu 'Irq". HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Abu Daud, no. 1744.

Hal-hal Penting yang berkaitan dengan Miqat:
1)    Tidak disyaratkan harus berihram di tempat miqat yang sudah ditentukan, tetapi boleh disana atau boleh dengan sejajar dengannya. Lihat kitab Al Ijaz yang dikarang oleh An Nawawi, hal. 09.
2)    Tidak diperbolehkan bagi yang melewati miqat melalui udara dan dia menginginkan untuk menunaikan haji atau umrah, untuk mengakhirkan berihram sesampainya di airpot Jeddah, karena beberapa sebab:
-         Karena airport Jeddah bukan miqat yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
-         Karena airport Jeddah berada di dalam miqat.
-         Karena berarti yang berihram di airport Jeddah sudah meninggalkan salah satu kewajiban manasik haji atau umrah yaitu berihram di miqat.
3)    Siapa yang di dalam perjalanannya dtidak mendapati miqat yang sudah ditentukan maka, dia berihram jika sejajar dengan awal miqat yang dia dapati. Dan jika tidak ada yang sejajar maka berihram ketika berada di tempat yang jaraknya antara dia dan Mekkah sekitar 1 hari 1 malam perjalanan. Lihat kitab Mansak , karya An Nawawi, hal. 09 dan Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 17/41.
4)    Barangsiapa yang datang dari negaranya menuju kota Madinah dan singgah di airport Jeddah, kemudian baru ke kota Madinah, maka dia berihram dari kota Madinah dan tidak ada kewajiban apa-apa atasnya, karena dia berihram dari kota madinah. Lihat Fatawa Ibnu Utsaimin, 21/313,337.
5)    Barangsiapa yang ingin menunaikan haji atau umrah dan melewati miqat tanpa berihram di miqat, mak dia harus kembali ke miqat yang dia lewatiu dan berihram di sana, jika dia tidak kembali dan berihram setelah miqat maka wajib atasnya membayar fidyah yaitu dengan menyembelih 1 kambing”. Hal ini berdasarkan fatwa dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ نَسِىَ مِنْ نُسُكِهِ شَيْئًا أَوْ تَرَكَهُ فَلْيُهْرِقْ دَمًا.
Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang lupa dari sesuatu ibadah haji/umrahnya atau telah meninggalkannya maka hendaklah dia menumpahkan darah (yaitu menyembelih hewan yang sah dikurbankan)”. HR. Malik di dalam Al Muwaththa’, Al Baihaqi dan dishahihkan sanadnya sampai ke Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma oleh Al Albani di dalam kitab Irwa Al Ghalil, 4/299.

Nasehat untuk calon jama’ah haji Indonesia yang langsung pergi ke Mekkah dan otomatis harus berihram di miqat yang dia lewati ketika di dalam pesawat.
  1. Pakailah kain ihram dari mulai menaiki pesawat ketika mau terbang menuju Mekkah jika di perakirakan sulit untuk mengganti pakaian dengan dua kain ihram di pesawat, dan ini untuk para lelaki yang ingin berihram.
  2. Berihramlah di pesawat ketika sejajar dengan miqat yang dilewati.
  3. Jika anda belum berihram di miqat di lewati maka anda harus kembali ke miqat yang dilewati tadi.
  4. Jika anda berihram di airport Jeddah maka wajib bagi anda membayar fidyah yaitu, menyembelih 1 ekor kambing.
  5. Tidak benar keyakinan bahwa berihram harus atau wajib dalam keadaan suci dari hadats besar atau kecil, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan bagi Asma’ binti Umais radhiyallahu ‘anha yang sedang nifas untuk berihram sebagaimana dalam riwayat Muslim di dalam kitab Shahihnya.

Ditulis oleh Ahmad Zainuddin 
Selasa 20 Dzulqa’dah 1432H Dammam KSA.
read more “Airport Jeddah Bukan Miqat Untuk Berihram”

Minggu, 02 Oktober 2011

Hukum Berhutang untuk Menunaikan Haji

Pertanyaan: Apa hukumnya berhutang untuk menunaikan haji?
Jawaban:

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Sudah kita ketahui bahwa salah satu syarat wajibnya haji adalah mampu, baik mampu harta sebagai bekal menunaikan ibadah haji dan mampu badan untuk menunaikan haji. Hal ini berdasarkan dalil di bawah ini:


{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ}


Artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". QS. Ali Imran: 97.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ تَسْتَفْتِيهِ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الآخَرِ. قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِى شَيْخًا كَبِيرًا لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَثْبُتَ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ « نَعَمْ ». وَذَلِكَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ.

Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita: “Pernah Al Fadhl bin Abbas radhiyallahu ‘anhu menjadi teman boncengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah seorang wanita dari Khats’am, meminta fatwa kepada beliau, (pada saat itu) Al Fadhl melihat kepada wanita tersebut dan wanita tersebut juga melihat kepadanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menolehkan wajah Al Fadhl ke arah lain, wanita tersebut bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hambanya dalam perkara haji telah didapati oleh bapakku dalam keadaan sangat tua, tidak sanggup untuk duduk di atas hewan kendaraan, bolehkah aku menghajikannya?”, beliau menjawab: “iya (boleh)”, dan hal itu terjadi pada saat haji Wada’. HR. Bukhari dan Muslim.
Lalu bolehkah orang berhutang untuk menunaikan ibadah haji? Mari lihat jawaban para ulama tentang hal ini:
Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
" الذي أراه أنه لا يفعل ؛ لأن الإنسان لا يجب عليه الحج إذا كان عليه دَيْن ، فكيف إذا استدان ليحج ؟! فلا أرى أن يستدين للحج ؛ لأن الحج في هذه الحال ليس واجباً عليه ، ولذا ينبغي له أن يقبل رخصة الله وسعة رحمته ، ولا يكلف نفسه دَيْناً لا يدري هل يقضيه أو لا ؟ ربما يموت ولا يقضيه ويبقى في ذمته.
Artinya: “Saya berpendapat bahwa orang tersebut tidak melakukannya (yaitu berhutang untuk menunaikan haji), karena seorang tidak diwajibkan untuk berhaji jika dia mempunyai tanggungan hutang, maka bagaimana jika dia berhutang?! (lebih-lebih lagi), maka saya tidak sependapat jika dia berhutang untuk berhaji, karena haji dalam keadaan ini tidak diwajibkan atasnya, oleh sebab ini semestinya dia menerima keringanan Allah dan keluasan rahmat-Nya, dan tidak membebani dirinya dengan hutang yang dia tidak tahu apakah dia bisa membayarnya atau tidak? Mungkin dia meninggal dan belum membayarnya akhirnya masih tersisa hitang tersebut dalam tanggungannya”. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21/93.
Beliau juga berkata:
أشير عليه أن لا يفعل، لأن في الاستدانة إشغال لذمته، ولا يدري هل يتمكن من الوفاء فيما بعد أو لا يتمكن، وإذا كان الحج لا يجب على من كان عليه دين فكيف يستدين الإنسان ليحج؟ وعلى كل حال فإذا كان الرجل ليمس عنده مال يمكن منه الحج فإنه لا حج عليه أصلاً، وإذا مات في هذه الحال لا يعد عاصياً، لأنه لا يجب عليه الحج.
Artinya: “Saya berpendapat agar dia tidak mengerjakannya, karena di dalam berhutang akan menyibukkan jaminan dirinya, dan dia tidak mengetahui apakah mungkin baginya untuk melunasi pada waktu yang akan datang atau tidak mungkin, dan jika haji tidak diwajibkan atas seorang yang masih mempunyai tanggungan hutang, maka bagaimana seseorang berhutang untuk menunaikan haji (lebih lagi)?!, yang jelas, jika seseorang tidak mempunyai harta untuk berhaji, maka pada asal hukumnya tidak wajib baginya (menunaikan haji), dan jika dia meninggal dalam keadaan ini tidak dianggap berdosa, karena tidak wajib atasnya untuk menunaikan haji”. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 21/129.
Berkata Syeikh Al Allamah Shalih Al Fauzan hafizhahullah:
الفقير ليس عليه حج إذا كان لا يستطيع نفقة الحج؛ لقوله تعالى : { وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً } [ سورة آل عمران : آية 97 ] ، ولا يجوز له أن يستدين من أجل أن يحج؛ لأن هذا تكلف لم يأمر الله به، ولأنه يشغل ذمته بالدين من غير داع إلى ذلك؛ فعليه أن ينتظر حتى يغنيه الله من فضله، ويستطيع الحج، ثم يحج .

Artinya: “Seorang miskin tidak wajib atasnya haji, jika tidak mampu dalam bekal haji, berdasarkan Firman Allah Ta’ala:
{ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً }
Artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". QS. Ali Imran: 97.
Dan tidak boleh baginya berhutang (untuk berhaji), karena ini adalah pembebanan (diri) yang tidak diperintahkan Allah dengannya dan karena dia sudah menyibukkan dirinya dengan hutang yang tidak ada keperluan kepada hal itu. Maka, wajib atasnya untuk menunggu sampai Allah mengayakan dia dan mampu untuk berhaji lalu baru dia berhaji. Lihat kitab Al Muntaqa Min fatawa Al Fauzan, no. 257.

Beliau juga berkata:
قال الله سبحانه وتعالى : { وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً } [ سورة آل عمران : آية 97 ] ، والسبيل هو الزاد والراحلة، يعني : أن يتوافر له النفقة الكافية في حجه، والنفقة الكافية أيضًا لأولاده ومن يعوله إلى أن يرجع، ولا يجب على من ليس له القدرة المالية حج، ولا يستدين لأجل ذلك؛ لأنه لم يوجب عليه الله سبحانه وتعالى شيئًا وهو مثقل نفسه بالدين ويتكلف لشيء لم يلزمه، والله سبحانه وتعالى يقول : { يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ } [ سورة البقرة : آية 185 ] ، فليس من الشرع أن يستدين الإنسان ليحج، ولكن مادام أنه فعل هذا واستدان وحج، فإن حجته صحيحة ويجب عليه سداد الدين، والله سبحانه وتعالى يوفق الجميع لما فيه الخير والصلاح .
Allah Ta’ala berfirman:
{ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً }
Artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". QS. Ali Imran: 97.
Dan mampu adalah bekal dan kendaraan, maksudnya yaitu; terkumpul baginya bekal yang cukup di dalam hajinya, dan bekal yang cukup juga untuk anak-anaknya dan orang yang di bawah tanggungannya sampai dia kembali (dari hajinya). Dan tidak wajib haji atas seorang yang tidak memiliki kemampuan harta, dan tidak boleh dia berhutang untuk itu, karena Allah Ta’ala tidak mewajibkan atasnya sesuatu apapun (dari ibadah haji), dan dia telah memberatkan dirinya dengan hutang dan membebani dirinya dengan sesuatu yang tidak wajib atasnya. Padahal Allah Ta’ala berfirman:
 { يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ }
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. QS. Al Baqarah: 185.
Maka bukan dari perkara yang sesuai syari’at jika seseorang berhutang untuk berhaji, akan tetapi jika ia berhutang dan telah selesai menunaikan haji, maka hajinya sah dan wajibnya atasnya untuk bayar hutang. Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada seluruh (kita) kepada kebaikan dan keshalihan. Lihat kitab Al Muntaqa Min Fatawa Al Fauzan, no. 223.

Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Sabtu, 3 Dzulqa’dah 1432H Dammam KSA.
read more “Hukum Berhutang untuk Menunaikan Haji”