Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Shalat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Shalat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Oktober 2014

Tata Cara Shalat Gerhana*

Sumber foto www.sidomi.com
Pertama, Shalat gerhana disyariatkan bagi kaum muslimin yang melihat peristiwa gerhana matahari atau bulan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda terkait peristiwa gerhana:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat. (HR. Bukhari)
Karena itu, bagi umat islam di daerah lain yang tidak melihat peristiwa gerhana, tidak disyariatkan melaksanakannya.

Kedua, dianjurkan untuk mengundang kaum muslimin dengan panggilan: As-shalaatu jaami’ah
Dari Abdullah bin Umar, beliau mengatakan:
لمّا كسَفَت الشمس على عهد رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نودي: الصلاة جامعة
Ketika terjadi gerhana matahari di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diserukan: As-shalaatu jaami’ah. (HR. Bukhari & Muslim)
Makna kalimat ini adalah: Hadirilah shalat yang dilaksanakan secara berjamaah ini. (Fathul Bari, 2/533, dinukil dari Mausu’ah Fiqhiyah Muyassarah, Husain Al-Awayisyah, 2/173).

Ketiga, bacaan shalat gerhana matahari dikeraskan, meskipun dilakukan di siang hari
Imam Bukhari membuat judul bab dalam shahihnya:
باب الجهر بالقراءة في الكسوف
Bab mengeraskan bacaan ketika shalat kusuf (gerhana).
Kemudian beliau membawakan beberapa dalil yang menunjukkan anjuran itu.

Keempat, Dianjurkan bacaannya panjang
A’isyah mengatakan:
ما سجدْت سجوداً قطّ كان أطول منه
Saya belum pernah melakukan sujud yang lebih panjang dari pada sujud shalat gerhana. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat yang lain, beliau mengatakan:
ما ركعتُ ركوعاً قطّ، ولا سجدت سجوداً قطّ؛ كان أطول منه
Saya belum rukuk maupun sujud sekalipun yang lebih panjang dari pada rukuk dan sujud ketika shalat gerhana. (HR. Muslim)

Kelima, shalat gerhana dikerjakan secara berjamaah di masjid
Imam Bukhari membuat judul bab:
باب صلاة الكسوف جماعة
Bab shalat kusuf secara berjamaah.
Al-Hafidz menjelaskan:
وإن لم يحضروا الإِمام الراتب، فيؤمّ لهم بعضهم وبه قال الجمهور
Meskipun imam tetap tidak datang. Maka salah satu diantara masyarakat menjadi imam bagi jamaah yang lain. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. (Fathul Bari, 2/540, dinukil dari Mausu’ah Fiqhiyah Muyassarah, Husain Al-Awayisyah, 2/174)

Keenam, wanita dianjurkan untuk ikut shalat gerhana di masjid
Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah testimoni A’isyah tentang shalat gerhana yang beliau lakukan. Hadis tersebut menunjukkan bahwa beliau mengikuti shalat gerhana ini bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Bukhari membuat judul bab:
باب صلاة النساء مع الرجال في الكسوف
Bab, wanita ikut shalat kusuuf bersama laki-laki ketika gerhana

Ketujuh, tata caranya:
Aisyah menceritakan :
Gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami sahabat dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), dan matahari mulai kelihatan kembali. (HR. Bukhari)

Sumber http://www.konsultasisyariah.com/tata-cara-shalat-gerhana/

*Untuk melihat video Tata Cara Shalat Gerhana bisa masuk ke link sumber
read more “Tata Cara Shalat Gerhana*”

Minggu, 20 Mei 2012

Hukum Membuat Papan Khusus untuk Sutroh di Masjid dan Berjalan Ketika Sholat untuk Mencari Sutroh

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Ada sebuah fenomena pada sebagian pemuda yang mau menerapkan sunnah namun dianggap aneh oleh masyarakatnya, bahkan tidak jarang terjadi perselisihan karena permasalahan tersebut, yaitu ketika pemuda ini kehilangan sutroh (pembatas dalam sholat) akibat (sering) datang terlambat sehingga selalu masbuq, maka pemuda inipun dengan semangat menjalankan sunnah berjalan dua atau tiga langkah ke depan untuk mencari sutroh.
Bahkan pada sebagian masjid yang jama’ahnya bersemangat untuk mengamalkan sunnah, telah dibuat papan khusus digunakan sebagai sutroh, baik untuk imam, maupun untuk diberikan kepada makmum yang masbuk yang kehilangan sutroh apabila jama’ah sholat di depannya telah pergi meninggalkan shofnya.
Alhamdulillah, semangatnya mengamalkan sunnah patut disyukuri, namun apakah hal itu benar-benar sebuah sunnah ataukah justru lebih baik meninggalkannya. Agar menjadi jelas permasalahan ini, berikut akan kami sebutkan fatwa-fatwa para ulama besar berkaitan dengan tiga perkara:
Pertama: Hukum sutroh.
Kedua: Hukum membuat papan khusus untuk sutroh di masjid.
Ketiga: Hukum berjalan dalam sholat untuk mencari sutroh.
Berikut fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah,
س: بعض المرشدين ينصبون كل منهم أمامه في المسجد سترة لوحا من الخشب طوله نصف متر تقريبا، ويقولون: من لم يفعل ذلك عليه إثم، فقلت لهم: وإذا لم أجد هذه السترة التي تنصبونها أمامكم، قالوا: لازم لازم؟
ج: الصلاة إلى سترة سنة في الحضر والسفر، في الفريضة والنافلة، وفي المسجد وغيره؛ لعموم حديث « إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها » رواه أبو داود بسند جيد ولما روى البخاري ومسلم من حديث أبي جحيفة رضي الله عنه « أن النبي صلى الله عليه وسلم ركزت له العنزة فتقدم وصلى الظهر ركعتين يمر بين يديه الحمار والكلب لا يمنع » وروى مسلم من حديث طلحة بن عبيد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم « إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل فليصل ولا يبال من مر وراء ذلك »
ويسن له دنوه من سترته لما في الحديث المذكور، وقد كان الصحابة رضي الله عنهم يبتدرون سواري المسجد ليصلوا إليها النافلة، وذلك في الحضر في المسجد، لكن لم يعرف عنهم أنهم كانوا ينصبون أمامهم ألواحا من الخشب لتكون سترة في الصلاة بالمسجد، بل كانوا يصلون إلى جدار المسجد وسواريه، فينبغي عدم التكلف في ذلك، فالشريعة سمحة، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه، ولأن الأمر بالسترة للاستحباب لا للوجوب، لما ثبت من « أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بالناس بمنى إلى غير جدار » ولم يذكر في الحديث اتخاذه سترة، ولما روى الإمام أحمد وأبو داود والنسائي من حديث ابن عباس رضي الله عنهما قال: « صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في فضاء وليس بين يديه شيء »
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
 اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو عضو نائب الرئيس الرئيس
عبد الله بن قعود عبد الله بن غديان عبد الرزاق عفيفي عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Pertanyaan: Sungguh aku menyaksikan sebagian pembimbing meletakkan di depan masing-masing mereka di masjid sebuah sutroh berupa papan yang terbuat dari kayu yang panjangnya sekitar setengah meter, dan mereka mengatakan, “Barangsiapa yang tidak menggunakan sutroh maka dia berdosa,” maka aku katakan kepada mereka, “Bagaimana jika aku tidak mendapatkan sutroh seperti yang kalian gunakan?” mereka mengatakan, “Harus, harus”?
Jawaban: Sholat menghadap sutroh hukumnya sunnah ketika mukim maupun safar, pada sholat wajib maupun sunnah, di masjid maupun di tempat lain. Berdasarkan keumumun hadits,
إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها
“Jika salah seorang dari kalian hendak melakukan sholat maka sholatlah dengan menghadap sutroh dan mendekatlah ke sutroh itu.”[1] [HR. Abu Daud dengan sanad jayid]
Dan juga berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Juhaifah radhiyallahu’anhu,
أن النبي صلى الله عليه وسلم ركزت له العنزة فتقدم وصلى الظهر ركعتين يمر بين يديه الحمار والكلب لا يمنع
“Bawasannya telah ditancapkan tongkat untuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, lalu beliau maju dan melakukan shalat zhuhur dua raka’at (yakni dalam safar, pen), lewat keledai dan anjing di depan beliau, tidak ditahan.”[2]
Dan hadits riwayat Muslim dari Tholhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل فليصل ولا يبال من مر وراء ذلك
“Apabila seseorang dari kalian meletakkan di depannya (sutroh yang tingginya) seperti belakang tunggangan maka hendaklah ia melakukan shalat dan tidak usah peduli siapa yang lewat di belakang sutroh itu.”[3]
Dan disunnahkan untuk mendekat kepada sutroh tersebut berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas. Dan sungguh para sahabat dahulu berlomba-lomba mencari tiang-tiang masjid untuk melakukan sholat sunnah dengan menghadap kepadanya, hal itu mereka lakukan di masjid ketika mukim bukan ketika safar. Akan tetapi tidak diketahui dari para sahabat bahwa mereka meletakkan di depan mereka; papan-papan yang terbuat dari kayu sebagai sutroh dalam sholat di masjid, tetapi mereka melakukan sholat dengan menghadap dinding masjid dan tiang-tiangnya. Maka hendaklah tidak takalluf (berlebih-lebihan) dalam hal ini, sebab syari’at itu mudah, tidak ada yang mempersulit agama ini kecuali dia akan dikalahkan.
Dan juga karena perintah sholat dengan menggunakan sutroh hukumnya istihbab (sunnah), tidak wajib. Karena terdapat hadits (yang memalingkan dari hukum asal wajib, pen),
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بالناس بمنى إلى غير جدار
“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sholat mengimami manusia di Mina tanpa menghadap ke dinding (sutroh).[4]
Dan tidak disebutkan dalam hadits ini beliau menggunakan sutroh. Dan juga berdasarkan hadits riwayat Al-Imam Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,
صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في فضاء وليس بين يديه شيء
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sholat di tanah lapang, dan tidak ada apapun di depan beliau (sebagai sutroh).”[5]
Hanya Allah ta’ala yang memberikan taufiq, serta shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa [Ketua: Asy-Syaikh Abdulm Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdur Rozzaq ‘Afifi. Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayan. Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud]
Hukum Berjalan dalam Sholat untuk Mencari Sutroh
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah ditanya,
أرى البعض من الشباب إذا سلم الإمام من الصلاة وبقي على هذا الشاب بعض الركعات فإنه يتقدم بعض الخطوات إلى الأمام؛ لكي يمنع المارين عن المصلين الآخرين، فهل فعله هذا صحيح، وهل خطواته تلك تبطل الصلاة؟
لا يضره إن شاء الله، خطوات يسيرة حتى يمر الناس من وراءه لا يضره ذلك إن شاء الله إن كان بقي عليه صلاة قضى، لكن كونه يبقى في مكانه ويصلي في مكانه الحمد لله، أولى من التقدم
Pertanyaan: Aku melihat sebagian pemuda apabila imam telah salam dari sholat, sedang pemuda ini masih harus melakukan beberapa raka’at (karena masbuk) lalu ia maju beberapa langkah ke depan, ke arah imam; agar dapat menahan orang-orang yang lewat di depan orang-orang yang sedang melakukan sholat, maka apakah perbuatannya ini benar, dan apakah langkah-langkah majunya itu membatalkan sholat?
Jawaban: Perbuatan yang dia lakukan tidak membahayakannya (yakni tidak membatalkan sholatnya, pen) insya Allah. Sekedar langkah-langkah ringan hingga manusia dapat lewat di belakangnya tidaklah membahayakannya insya Allah apabila memang masih tersisa beberapa raka’at yang harus ia tunaikan. Akan tetapi keadaannya tetap di tempatnya dan terus melakukan sholat di tempatnya –alhamdulillah- lebih utama dibanding maju ke depan.
[Fatawa Nurun ‘alad Darbi, dapat diunduh pada link http://www.binbaz.org.sa/mat/14420]
Download Kajian: Hukum Sutroh lebih detail pada Pelajaran Fiqh di Ma’had An-Nur Al-Atsari Banjarsari Ciamis, Jawa Barat Indonesia.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

[1] HR. Malik, 1/154, Al-Bukhari, 1/480-481 pada Sutroh Al-Musholli, Bab Yaruddul Musholli man Marro bayna Yadaihi, Muslim, no. 505, Abu Daud, no. 697 dan An-Nasai, 2/66.
[2] HR. Al-Bukhari, 1/475, Muslim, no. 503, Abu Daud, no. 688 dan An-Nasai, 1/87.
[3]  HR. Muslim, no. 499, Abu Daud, no. 687 dan At-Tirmidzi, no. 335.
[4] HR. Al-Bukhari, 1/27, 126, 209, Muslim 1/361 no. 504 (dan tidak ada dalam riwayat muslim lafaz, “Tanpa menghadap ke dinding”) dan Al-Baihaqi, 2/273.
[5] HR. Ahmad, 1/224, Abu Daud, 1/459 no. 718 dan Al-Baihaqi, 2/273, 278.

Sumber: http://nasihatonline.wordpress.com/2012/05/20/download-kajian-artikel-hukum-membuat-papan-khusus-untuk-sutroh-di-masjid-dan-berjalan-ketika-sholat-untuk-mencari-sutroh/#comment-2372
read more “Hukum Membuat Papan Khusus untuk Sutroh di Masjid dan Berjalan Ketika Sholat untuk Mencari Sutroh”

Minggu, 26 Februari 2012

JADWAL SHALAT SUBUH DIPERMASALAHKAN

Senin, 2 Nopember 2009 23:03:51 WIB

Oleh Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah


MUQODDIMAH
Salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut. Apabila shalat dilakukan sebelum waktunya atau sesudah waktunya berlalu maka tidak sah. Allah Subha ahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [an-Nisa 4 : 103]

Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi waktu-waktu shalat secara global dalam al-Qur’an (seperti dalam al-Isra 127 : 78) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam beberapa hadits beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1]. Tanda-tanda masuknya waktu shalat dapat dilihat dan diketahui oleh siapapun dengan penglihatan masing-masing. Hanya saja sebagian tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat kemudahan dalam melihatnya. Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas karena dalam hadits-hadits disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada terbenamnya matahari. Hal ini berbeda dengan waktu Subuh, di mana tanda masuknya (terbit fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda masuknya waktu shalat yang lain.

Zaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu shalat sangatlah mudah. Akan tetapi ketika zaman mulai berubah, dengan banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi dengan banyaknya penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang tebal cukup mempengaruhi kondisi langit. Hal tersebut mempengaruhi tingat kesulitan melihat tanda-tanda awal waktu masuk shalat terutama waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum muslimin berijtihad (mencari jalan) untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi samar, di antaranya yaitu dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan atas penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal yang ada di negara-negara Islam.

Di Saudi Arabia misalnya, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini. [2]

AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH[3]
Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah ada. Mereka menuduh bahwa jadwal waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu sebenarnya sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk menyaksikan secara langsung terbitnya fajar, sebagian orang mengambil pendapatnya dan sebagian yang lain eggan mengikutinya.

Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA). Setelah diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah. Dengan demikian hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.

Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah selaku Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia sepeninggal Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah apa yang dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]

WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ
Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya saat terbit fajar shodiq, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. Oleh karena itu shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar kadzib, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يُحَرَّمُ فِيْهِ الطَّعَامُ وَ تَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَفَجْرٌ تُحَرَّمُ فِيهِ الصَّلاَةُ وَ يَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ

“Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat (subuh) dan halal makanan” [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah 2/314]

PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :

1. Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.

2. Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi, sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi

3. Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin].

AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ
Bila kita cermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan beberapa kalangan ketika mendefinisikan terbitnya fajar shodiq itu sendiri.

Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan terbit kecuali jika benar-benar tampak jelas cahaya berwarna merah, yang diketahui semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah pendapat yang dipegang oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat Subuh akhir-akhir ini.

Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa fajar shodiq dikatakan telah terbit jika terlihat sinar putih (permulaan cahaya fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi tidak sampai mempengaruhi (tidak merubah) keadaan langit (yang gelap) [8]

DEFENISI FAJAR SHODIQ
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa jelasnya benang putih dengan benang hitam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]

Ibnu Faris rahimahullah berkata الْفَجْرِ (fajar) adalah terbelahnya kegelapan malam oleh (datangnya) Subuh (awal siang).

Ibnu Mandhur rahimahullah berkata : “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu sinar merahnya matahari di kegelapan malam. Dan fajar itu ada dua macam : Pertama, Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib yang biasa disebut Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar mustathir (menyebar). Ini adalah fajar shodiq yang menyebar di ufuk, yang dengannya haram makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan waktu subuh tidak dikatakan masuk kecuali dengan (terbitnya) fajar shodiq”

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala مِنَ الْفَجْرِ sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar, bukan keseluruhan fajar”[9]

Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Dinamai fajar (shodiq) itu benang, karena yang muncul berupa warna putih terlihat memanjang seperti benang” [10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dinamai putihnya siang dengan nama benang putih dan hitamnya malam dengan nama benang hitam, menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna putih yang berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan samarnya, karena benang itu adalah tipis” [Syarhul Umdah, Kitab As-Shiyam : 1/530]

Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : “Yang dimaksud الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ adalah awal permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk seperti benang yang dibentang” [Al-Kasysyaf : 1/339]

Abu As-Su’ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dan hurup من (dalam ayat مِنَ الْفَجْرِ ), juga boleh bermakna التبعيض (sebagian), karena sesungguhnya yang muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar (bukan keseluruhannya)” [Tafsir Abul Su’ud : 1/318]

Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

فَكُلُوْاوَاشْرَبُوْا حَتَّى يَعْتَرِضُ لَكُمُ الأَحْمَرُ

“Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah” [HR Abu Daud : 1/69-370, At-Tirmidzi : 705, Ibnu Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm 231, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 2031].

Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; “Makna merah di sini adalah warna putih yang menyebar masuk kepada awal-awal warna merah (bukan benar-benar merah).

Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis kitab Aunul Ma’bud mengatakan : “Makna hadits ‘Makan dan minumlah sampai tampak kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya siang dari hitamnya malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)” [Aunul Ma’bud : 6/339]

Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang dipakai untuk menyebutkan warna putih, sebagaimana orang Arab biasa mengatakan seorang wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit merah. [An-Nihayah 1/437]

Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : “Kalau dikatakan mengapa gelapnya malam diserupakan dengan benang hitam, padahal gelapnya meliputi alam (tidak mirip benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar itu diserupakan dengan benang, karena dia memanjang terbentang di ufuk, sedangkan gelapnya malam (yang mendominasi ufuk) tidak ada kemiripan (dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang hitam adalah (gelapnya) malam yang ada pada posisi benang putih sebelum muncul pada tempat tersebut, (benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih yang muncul setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.

Kemudian beliau menambahkan : “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (terbitnya) fajar putih yang membentang di ufuk sebelum munculnya merah itulah yang mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah waktu Subuh dimulai)”.

Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أُنْزِلَتْ (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمالْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ) وَلَمْ يَنْزِلُ (مِنْ الْفَجْرِ) فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الْخَيْطَ اْلأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ اْلأَسْوَدَ وَلَمْ يَزَلْ يأَكُلُ حَتَّى يَتَبَتَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ (مِنْ الْفَجْرِ) فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Dari Shal bin Sa’d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam sebelum turun ayat (akhirnya) مِنَ الْفَجْرِ yaitu fajar” dahulu orang-orang jika hendak berpuasa, di antara mereka mengikat kakinya dengan benang putih dan benang hitam, lalu dia terus makan (sahur) sampai benar-benar jelas melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah menurunkan مِنَ الْفَجْرِ yaitu fajar, lalu mereka tahu bahwa yang dimaksud (benang putih dan hitam itu) adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang” [HR al-Bukhari : 4241 dan Muslim 1091]

Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya fajar harus benar-benar jelas cahaya Subuh itu dengan sempurna, diketahui semua orang dan menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung, karena dua benang putih dan hitam yang diletakkan berdekatan tidak akan jelas perbedaannya kecuali ketika langit sudah sangat terang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkannya, dan menerangkan bahwa yang dimaksud bukan demikian, tetapi sekedar terbit fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan, maka itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan dan minum” [12]

Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu adalah menyebar dan meluas di langit, cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat beliau. Lihatlah awal ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau mengatakan : “Para penafsir firman Allah berkata ….” Dan Ibnu Jarir menutup dengan perkataan : “Demikian para penafsir menyebutkan pendapat ini”. Dan sebagai bukti, ternyata beliau berpendapat sebagaiaman jumhur berpendapat dengan mengatakan : “(terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar semisal benang putih, bukan keseluruhan fajar” [13]

TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih, oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar. Oleh karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.

Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya terang yang menerangi jalan-jalan atau harus terlihat warna merah di ufuk, maka ini adalah pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara bahasa, dan makna ini kurang tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya fajar dengan terbitnya fajar secara sempurna (bukan permulaannya). Hal ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyerupakan fajar dengan benang putih bersama adanya gelap malam yang lebih dominan.

Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Subuh ketika baru terbit fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara sempurna, sebagaimana dalam haditsnya.

ثُمَ صَلَّى الْفَجْرَ حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ

“Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar” [HR At-Tirmidzi 1/149, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih dalam Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi 1/149]

KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]
Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta haram makan dan minum bagi orang yang berpuasa, adalah jika tampak permulaan terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya sinar yang berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan ayat al-Qur’an, yaitu masuknya waktu Subuh adalah “Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan benang karena sama tipisnya dan bentuknya yang kecil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan benang ini di ufuk, karena benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa pendek.

Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda fajar terbit walaupun sangat kecil selagi dapat dilihat mata manusia. Dan bukanlah termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan langit, akan tetapi fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam tetap mendominasi, fajar itu dikatakan terbit dengan adanya cahaya sebatas benang di bawah ufuk tepat di atas bumi, dan sebelum menyebarnya cahaya Subuh.

Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat ketajamannya, maka tidak semua manusia melihatnya. Yang dapat melihat adalah orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan ketika langit menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya fajar shodiq itu tidak dapat dilihat oleh mata [15]

AWAL MULA PEMBUATAN JADWAL WAKTU SHALAT
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mengetahui waktu shalat dengan melihat tanda-tanda yang tampak bagi mereka. Lalu ketika zaman semakin berubah, mereka memikirkan cara-cara yang mudah untuk mengetahui waktu-waktu shalat dan lainnya. Dahulu mereka hanya berpegang dengan pergantian hari yang terus berputar berbeda-beda menurut musim yang berbeda. Setelah ditemukan alat penunjuk waktu berupa alat yang dipancangkan dan mempunyai bayangan, maka mereka beralih kepada alat ini selama ribuan tahuan, lalu terus berkembang, sehingga ditemukan jam mekanik sekitar abad 13M dan tersebarlah pemakaian jam ini pada abad 15M

Dengan alat ini kaum muslimin mengetahui waktu-waktu dengan sangat tepat, bahkan dapat mengetahui perbedaan waktu permenitnya, kemudian ditemukan jam yang menggunakan bandul pada abad 18. Penemuan ini semakin membuat manusia mengetahui waktu lebih teliti sampai perdetiknya, dan terus berkembang bentuk-bentuk jam ini sampai sekarang. [16]

Ketika manusia telah membutuhkan jam-jam waktu ini, maka mereka juga membutuhkannya untuk mudahnya mengetahui waktu shalat. Karena jika tidak demikian maka mereka harus berulang kali melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat yang setiap harinya terulang 5 kali waktu, belum lagi keadaan langit sudah berubah. Bersamaan dengan itulah menjadi dikenal perhitungan waktu-waktu bagi kaum muslimin. Dan cara-cara hisab/perhitungannya ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya alat-alat perhitungan waktu yang digunakan oleh kaum muslimin. Lalu ketika ditemukan mesin cetak mulailah dicetak jadwal waktu shalat dan puasa yang kemudian disebarkan sehingga memudahkan kaum muslimin dalam menjalankan ibadah mereka. [17]

Pembuatan jadwal-jadwal ini berdasarkan perhitungan yang sangat teliti para ahli dibidangnya, yaitu menjadikan gerakan matahari sebagai patokannya. Mereka membedakan penentuan waktu ini sesuai dengan perbedaan hari dan tempatnya, bahkan dengan perhitungan menggunakan alat-alat yang lebih canggih dapat diketahui waktu shalat lima waktu sampai beberapa tahun kedepannya [18]. Demikianlah kaum muslimin terus menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat dari dahulu hingga sekarang.

HUKUM MENGGUNAKAN JADWAL WAKTU SHALAT
Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]

Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.

1. Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.

2. Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.

3. Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]

FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H. Beliau mengatakan :

“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.

Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.

Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.

Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.

Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [21]

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro. Beliau mengatakan : “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum muslimin”.

Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang” [22]

FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”. Beliau berkata :

“Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka. Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat, mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya” [23]

TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan : “Suatu permasalahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]

AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الذِّينُ النَّصِيحَةُ قُلنَالِمَن؟ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab : Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74]

Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.

Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]

KESIMPULAN
1. Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya fajar.

2. Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada yang berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya memenuhi jalanan dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti benang tipis pertanda terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakannya dengan benang putih yang tipis dan samara.

3. Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, sangat mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang putih, oleh karena itu, jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat gelap, lalu tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih pertanda awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera, biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar yersebut.

4. Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.

5. Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
6). Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah 1430/2009. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Dinukil secara ringkas dari Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin rahimahullah hlm.7-11
[2]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara langsung kepada penulis, bahkan hamper di setiap majelis ta’lim saat itu mempertanyakan masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah Al-Furqon, al-Ustadz Ahamad Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk membahasnya, karena permasalahannya semakin dirasa rumit serta membuat banyak orang bingung dan ragu akan keabasahan shalat Subuh mereka. Akhirnya kami putuskan untuk membahasnya demi kemaslahatan bersama. Kami sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-Ustadz Abu Ubaidah hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam masalah ini. Dan kami sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari kitab Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dan Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah. Cetakan pertama tahun 1428H. Demikian juga kami tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh, Saudi Arabia. (Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh hlm.7)
[5]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu Abbas, Tholq bin Ali, Atho’ bin Abi Robbah, al-A’masy, dan Masruq. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini adalah pendapat jumhur para ulama, dikuatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobari, Ibnu Zaid, dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur’an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni 2/94. Demikian juga Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus pengganti Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya, beliau menafikan terlihatnya fajar shodiq pada zaman sekarang kecuali dengan penelitian yang mendalam. (informasi dari al-Akh Abdul Wahhab dari kota Unaizah, KSA)
[16]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[17]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[18]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[19]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141
[20]. Lantas timbul pertanyaan penting : Kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam penentuan shalat?!! Imam Al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya : “Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dhuhur, demikain juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara : Pertama, Melihat hilal. Kedua : Menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[21]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30
[22]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli dibidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[23]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22
[24]. Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya mengatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan “ Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar”. (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam
[25]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2562/slash/0
read more “JADWAL SHALAT SUBUH DIPERMASALAHKAN”

Kamis, 08 Desember 2011

Tata Cara Shalat Gerhana

Januari 24, 2009 pukul 6:00 am
Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.
Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud.
Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Ringkasnya, agar tidak terlalu berpanjang lebar, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4]Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5]Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6]Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7]Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8]Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9]Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10]Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
[11]Salam.
[12]Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)

Nasehat Terakhir
Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat.
Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».
Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Lihat Syarh Muslim, 3/322)

Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.
*******

Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga kaum muslimin yang lain juga dapat mengetahui hal ini.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dapat beramal sholih dan semoga kita selalu diberkahi rizki yang thoyib.

Pangukan, Sleman, 25 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, ST


Sumber: http://rumaysho.wordpress.com/2009/01/24/tata-cara-shalat-gerhana/
read more “Tata Cara Shalat Gerhana”

Rabu, 02 November 2011

MEMBACA AL-FATIHAH DI BELAKANG IMAM [SHALAT JAHRIYAH]

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashidruddin Al-Albani ditanya : Anda menyebutkan dalam kitab Shalat Nabi, dari hadits Abu Hurairah, tentang di nasahkkannya (dihapuskannya) bacaan Al-Fatihah dibelakang Imam yang sedang shalat jahar. Kemudian anda mengeluarkan hadits ini, dan anda sebutkan bahwa hadits tersebut mempunyai penguat dan hadits Umar. Akan tetapi dalam kitab Al-I’tibar Fi An-Nasikh wa Al-Mansukh yang dikarang oleh Al-Hazimii disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang yang tidak dikenal (majhul), dimana tidak ada yang meriwayatkan dari si majhul ini kecuali hadits tersebut, dan seandainya hadits ini tsabit, yang berisi larangan untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam yang sedang membaca ayat, maka bagaimana pendapat anda tentang perkataan Al-Hazimi ?

Jawaban
Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama dengan perselisihan yang banyak. Dan perkataan Al-Hazimi ini mewakili para ulama yang berpendapat wajibnya membaca Al-Ftihah di belakang imam yang menjaharkan bacaannya.

Di dalam perkataannya ada dua sisi ; yang pertama, dari sisi hadits, yang kedua dari sisi fiqih

Adapun dari sisi hadits, ialah tuduhan cacat terhadap ke shahihan hadits tersebut dengan anggapan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat seorang yang majhul (tidak dikenal). Akan tetapi kemajhulan yang di maksud ternyata adalah seorang perawi yang riwayatnya diterima oleh Imam Az-Zuhri. Tentang perawi ini, memang terdapat banyak komentar mengenai dirinya, akan tetapi mereka menganggap tsiqah (terpercaya), disebabkan pentsiqohan Imam Az-Zuhri, bahkan beliau telah meriwayatkan hadits darinya.

Dan hadits ini ternyata mempunyai penguat-penguat lain yang mewajibkan kita untuk menguatkan pendapat para ulama yang tidak membolehkan membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca dengan jahar.

Yang paling pokok dalam hal ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah, dan diamlah, agar kalian mendapat rakhmat” [Al-A’raaf : 204]

Pendapat seperti ini merupakan pendapat Imam Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Setelah mengkompromikan semua dalil yang ada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa makmum wajib diam ketika imam menjaharkan bacaan, dan (makmum) wajib membaca ketika imam membaca perlahan.

Masalah sepelik ini tidak boleh disimpulkan hanya berdasarkan satu dua hadits saja. Tapi harus dilihat dari semua hadits yang berkaitan dengan masalah ini.

Maka seandainya kita berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah dii belakang imam ketika jahar, ini jelas-jelas bertentangan dengan berbagaii masalah dan dalil, dimana tidak mungkin bagi kita menentang dalil-dalill tersebut.

Dalil yang pertama kali kita tentang adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah dan diamlah”, darii perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Bahwasanya dijadikan imam itu untuk diikuti, jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan jika ia membaca, maka diamlah”

Termasuk juga satu pertanyaan bahwa jika seorang (makmum) mendapati imam dalah keadaan rukuk, maka ia telah mendapat satu rakaat, padahal dia ini belum membaca Al-Fatihah. Oleh karena itu hadits.

“Artinya : Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”

Dan hadits-hadits lain yang semakna adalah merupakan dalil khusus, bukan dalil secara umum. Dan satu hadits (dalil) jika telah bersifat khusus, maka keumumannya menjadi lemah, dan iapun siap dimasuki pengkhususan yang lain, atau dimasuki oleh dalil yang lebih kuat tingkat keumumannya dari hadits tadi.

Maka disini, hadits : “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah”. Menurut kami menjadi hadits umum yang terkhususkan, dan pada saat itu juga hadits-hadits lain yang mengandung arti umum tentang wajibnya diam dibelakang imam dalam shalat jahar menjadi lebih kuat (tingkat keumumannya) dari hadits di atas.

Adapun hadits Al-Alaa’.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak membaca Al-Fatihah maka shalatnya tidak sempurna”.

Maka hadits ini tidak marfu [1] kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia merupakan pendapat Abu Hurairah, ketika ia menjawab dengan jawaban.

”Artinya : Bacalah dalam hatimu”

Dan kalimat : “Bacalah dalam hatimu”, tidak bisa kita artikan membaca sebagaimana lazimnya, yaitu membaca dengan memperdengarkan untuk dirinya, dengan mengeluarkan huruf-huruf dari makhraj-makhraj (tempat-tempaty) huruf.

Dan kalaupun kita dianggap bahwa maksudnya adalah membaca dalam hatii sebagaimana bacaan imam dalam shalat sirriyah atau bacaan ketika shalat sendiri. Maka pendapat seperti ini yang merupakan pendapat Abu Hurairah, bertentangan dengan pendapat sebagian besar shahabat, dimana mereka telah berselisih pendapat masalah ini.

Perselisihan ini bukan hanya terjadi setelah zaman para shahabat, tapii perselisihan ini justru dimulai dari zaman mereka. Pendapat Abu Hurairah inii harus dihadapkan dengan seluruh dalil yang terdapat dalam masalah ini, tidak boleh hanya berdalil dengan pendapat beliau saja, karena bertentangan dengan sebagian atsar para shahabat yang justru melarang membaca Al-Fatihah di belakang imam yang shalat jahar.

Adapun hadits.

“Artinya : Janganlah kalian membaca di belakang imam kecuali dengan Al-Fatihah”.

Kami berpendapat bahwa pengecualian ini ia merupakan suatu tahapan, darii tahapan-tahapan syari’at.

Barangsiapa yang hanya berdalil dengan hadits ini, maka terdapat perkara-perkara yang harus dia ketahui bagaimana ia bersikap terhadap hadits-hadits tersebut. Diantaranya ialah perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian membaca”, adalah suatu larangan. Dan perkataan beliau : “Melainkan Al-Fatihah” adalah pengecualian dari larangan tersebut. Apakah ini secara bahasa pengecualian ini menjelaskan adanya kewajiban yang dikecualikan (dalam hal membaca Al-Fatihah), atau hanya sekedar bolehnya ? Masalah ini harus diteliti lebih dalam lagi. Pendapat yang kuat, bahwa boleh membaca Al-Fatihah, bukan wajib.

Disamping itu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri adalah bahwa orang yang mendapatkan ruku’nya imam berarti ia mendapatkan rakaat tersebut.

Bagaimanapun juga, dalam masalah ini kami mempunyai suatu pendapat, yang memperkuat pendapat jumhur, dan pendapat ini sama dengan pendapat Imam Malik dan Ahmad. Dan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling adil. Dan dalam hal ini kami tidak ta’ashub (fanatik).

[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
__________
Foote Note
[1]. Hadist Marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,-pent


Sumber: Komentar Facebook akhi Asmawi Abu Muhammad di Grup FB Ahlus Sunnah Baturaja OKU (Ashabu)
read more “MEMBACA AL-FATIHAH DI BELAKANG IMAM [SHALAT JAHRIYAH]”

Minggu, 16 Oktober 2011

Qunut Shubuh Dalam Pandangan Empat Madz-hab

qunut shubuh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya: Bagaimana pendapat empat Imam Madzhab mengenai qunut?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut.
Pertama: Ulama Malikiyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafi’iyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah).
Ketiga: Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.
Inilah pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah diini fiiman hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits ini[1]. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash Sholih Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398)[2]
Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir shalat shubuh?”
Beliau rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.”
Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan:
“Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Adapun jika timbul permusuhan dan kebencian dalam perselisihan semacam ini padahal di sini masih ada ruang berijtihad bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini selayaknya tidaklah terjadi. Bahkan wajib bagi kaum muslimin –khususnya para penuntut ilmu syar’i- untuk berlapang dada dalam masalah yang masih boleh ada perselisihan antara satu dan lainnya. ” [3]
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya. Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar sesama muslim).”[4]
Hanya Allah yang memberi taufik.
Disusun di Batu Merah, kota Ambon, 5 Syawal 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com


[1] Hadits ini diriwayakan oleh At Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ad Darimiy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalm Misykatul Mashobih 1273 [20].
[2] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/97-98, Asy Syamilah
[3] idem, 14/78
[4] idem, 14/80
read more “Qunut Shubuh Dalam Pandangan Empat Madz-hab”

MAKMUM QUNUT SHUBUH DAN AQIQAH ANAK

Minggu, 25 Juli 2004 00:00:53 WIB

Pertanyaan
As-salamu’alaikum warahmatullah wabarakatuhu
Saya termasuk di antara pelanggan As-Sunnah. Melalui surat ini ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada As-Sunnah, yaitu:

1. Di dalam shalat subuh manakah yang benar? Memakai qunut atau tidak. Kalau yang benar tidak memakai qunut, bagaimana sikap saya yang hampir tiap pagi shalat subuh berjama’ah di masjid yang imamnya menggunakan doa qunut?
2. Bagaimana tata-cara aqiqah kelahiran anak? Dan aqiqah itu dalilnya dari mana?

Demikian pertanyaan saya, atas jawaban As-Sunnah saya sampaikan terima kasih. Hadanallah waiyakum ajma’in.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuhu
Mugiyono, Jl. Latuharhary No. 4B Menteng Jakarta Pusat 10310


Jawaban
1. QUNUT SUBUH.
Pertanyaan tentang qunut subuh telah kami jawab agak panjang lebar pada Rubrik Soal-Jawab Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th.IV/1421-2000, hal:5-9. Ringkasnya, para ulama berbeda pendapat tentang qunut subuh terus-menerus. Syafi’iyah menyatakan qunut tersebut disyari’atkan, sedangkan mayoritas ulama yang lain menyatakan tidak disyari’atkan. Pendapat yang kuat dan benar adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits-hadits tentang qunut subuh terus-menerus semuanya dha’if. Demikian juga hal itu telah dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah oleh para ulama semenjak zaman sahabat.

Adapun tentang sikap seseorang yang shalat di belakang imam yang berqunut, para ulama juga berbeda pendapat.

Al-Imam Al-Wazir Ibnu Hubairah rahimahullah menyatakan: “(Imam) Abu Hanifah dan (imam) Ahmad berbeda pendapat tentang orang yang shalat di belakang imam yang berqunut waktu subuh: Apakah makmum tersebut mengikuti imam atau tidak? (Imam) Abu Hanifah berkata: “Dia tidak mengikuti imam”, (imam) Ahmad berkata: “Dia mengikuti imam”. [1]

DR. Muhammad Ya’qub Thalib ‘Ubaidi menjelaskan alasan masing-masing pendapat di atas dengan menyatakan: “Abu Hanifah menjelaskan alasan makmum tidak mengikuti imam, yaitu bahwa qunut subuh itu adalah hukum mansukh (yang telah dihapuskan), sebagaimana takbir ke lima pada shalat jenazah. Walaupun Abu Yusuf berpendapat: makmum mengikuti imam, sebagaimana pendapat imam Ahmad, tetapi pendapat yang dipilih pada madzhab Hanafiyah adalah makmum berdiri diam saja. Dan imam Ahmad menjelaskan alasan makmum mengikuti imam, yaitu agar makmum tidak menyelisihi imamnya, dan karena para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka terus-menerus bermakmum kepada sebagian yang lain, padahal ada perselsihan di antara mereka dalam masalah furu’ (cabang). [2]

Pendapat yang rajih –wallahu a’lam- adalah pendapat Hanafiyah, yaitu makmum tidak mengikuti imam, karena qunut tersebut tidak disyari’atkan di dalam shalat. Hal itu sebagaimana ketika para sahabat mengikuti perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melepaskan sandal ketika shalat, yang kemudian beliau menanyakan hal itu kepada para sahabatnya. Sebagaimana riwayat di bawah ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

"Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: “Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat dengan para sahabat beliau, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandal beliau lalu meletakkan kedua sandal tersebut pada sebelah kiri beliau. Ketika para sahabat melihat hal itu, mereka melepaskan sandal mereka. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bertanya: “Apa yang menyebabkan kamu melepaskan sandal kamu? Mereka menjawab: “Kami melihat anda melepaskan kedua sandal anda, maka kamipun melepaskan sandal kami”. Maka Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya Jibril n mendatangiku dan memberitahukan kepadaku bahwa pada kedua sandal (ku) itu ada kotoran”. [HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Abi Dawud no:650]

Tetapi walaupun demikian, perbedaan pendapat dalam sikap makmum ini tidak boleh menjadikan kaum muslimin berpecah belah dan saling membenci karenanya.

2. AQIQAH ANAK
Tentang dalil aqiqah kelahiran anak sebenarnya sangat masyhur di kalangan para ulama, anda dapat menjumpainya hampir di dalam kitab-kitab hadits dan fiqih. Di bawah ini kami paparkan secara ringkas dalil dan tata-caranya:

1. Jumhur (mayoritas) ulama Ahlus Sunnah berpendapat aqiqah hukumnya mustahab (disukai). Hal itu dengan cara: disembelihkan kambing pada hari tujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama. Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

"Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari tujuh, dicukur, dan diberi nama." [3].

2. Untuk bayi laki-laki disembelihkan dua ekor kambing, sedangkan bayi perempuan satu kambing, boleh kambing jantan atau betina. Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ أَذُكْرَانًا كُنَّ أَمْ إِنَاثًا

"Untuk bayi laki-laki disembelihkan dua ekor kambing, sedangkan bayi perempuan satu kambing, tidak mengapa kambing jantan atau betina". [4]

3. Jika orang tua tidak melakukan aqiqah untuk anaknya, apakah anak tersebut mengaqiqahi dirinya sendiri ketika dewasa? Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, tetapi yang rajih (lebih kuat) tidak melakukannya, karena tidak ada satupun hadits shahih tentang hal itu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi Nabi, tetapi hadits ini mungkar, sebagaimana dikatakan oleh imam Ahmad. Wallahu a’lam. [5]

Tambahan:
Kebiasaan sebagian orang Jawa merayakan kelahiran anak itu pada hari ke 5, yang disebut dengan istilah “sepasaran bayi”, tentaulah hal ini menyelisihi ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana diatas.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VI/1422H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Kitab Al-Ifshah Libni Hubairah 1/324
[2]. Footnote Kitab Al-Ifshah Libni Hubairah 1/324
[3]. HSR. Abu Dawud no:2838; Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Samurah bin Jundub. Dishahihkan oleh Al-Hakim, disetujui oleh Adz-Dzahabi, dan oleh Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini. Lihat Al-Insyirah Fii Adabin Nikah, hal:970
[4]. HSR. Abu Dawud no:2835; Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Ummu Kurz. Dishahihkan oleh Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini. Lihat Al-Insyirah Fii Adabin Nikah, hal:97
[5]. Lihat Al-Insyirah Fii Adabin Nikah, hal:99, oleh Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/937/slash/0
read more “MAKMUM QUNUT SHUBUH DAN AQIQAH ANAK”

Selasa, 27 September 2011

Apakah Ada Bacaan Tertentu Dalam Shalat Dhuhah?

al_quranTanya:
Alhamdulillah, saya sudah rutin melaksanakan shalat Dhuha. Dalam melaksanakan shalat tersebut, saya biasa membaca surat “Hal ataa ‘alal insaani” (surat Al Insan) pada rakaat pertama dan kedua karena dalam surat tersebut menyebutkan keadaan-keadaan penduduk surga, dan saya berharap menjadi penghuninya. Adapun di raka’at ketiga, saya biasa membaca surat Adh Dhuha karena shalat tersebut adalah shalat Dhuha. Sedangkan pada raka’at keempat, saya biasa membaca surat Al Ikhlas karena di dalamnya terdapat sifat Allah yang mulia yang tidak ada yang setara dengan-Nya dalam sifat-sifat tersebut. Apakah boleh saya merutinkan membaca seperti tadi ataukah hal tersebut termasuk amalan yang jauh dari tuntunan Islam yang mesti ditinggalkan?
Jawab:
Alhamdulillah. Yang afdhol, hendaklah engkau tidak rutin membaca surat semacam itu. Karena amalan semacam itu tidak ada dasarnya, tidak ada dalilnya. Bahkan seakan-akan membaca semacam itu dapat dianggap seperti sesuatu yang wajib. Hendaknya engkau membaca surat yang satu kadang-kadang, begitu pula dengan surat lainnya dan janganlah membaca surat-surat itu saja.
Perlu diketahui bahwa surat Dhuha tidaklah menjadi tuntunan dibaca ketika itu karena Allah bersumpah dengan waktu Dhuha dalam surat tersebut adalah sesuatu yang lain yang berbeda dengan shalat Dhuha. Dan ingatlah bahwa Allah bersumpah sesuai dengan apa yang Allah kehendaki dari makhluk-makhluk-Nya.
Boleh saja bagi seorang mukmin memilih sebagian surat atau sebagian ayat yang nanti ia baca, akan tetapi ia patut ia yakini bahwa hal tersebut bukanlah suatu yang harus ketika itu. Jadi ia pun masih membolehkan ketika itu untuk membaca surat lainnya, maka keyakinan seperti ini tidak masalah. Akan tetapi, yang utama baginya adalah tidak merutinkan membaca surat tersebut. Yang patut ia lakukan adalah membaca surat tersebut kadang-kadang dan membaca surat lainnya juga sehingga tidak sampai dianggap sebagai sesuatu yang diperintahkan. Perlu diketahui pula bahwa jika seorang muslim sudah terbiasa melakukan sesuatu maka ia akan sulit meninggalkannya.
Adapun surat Al Ikhlas (Qul huwallahu ahad) memang memiliki keistimewaan. Jika seseorang membaca surat tersebut karena mencintai surat tersebut karena di dalamnya terdapat sifat-sifat Allah, maka ia diharapkan mendapatkan kebaikan yang banyak. Terdapat hadits shahih yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat biasa membaca surat tersebut ketika mengimami orang lain. Lalu sebagian sahabat heran dan menanyakan padanya, “Mengapa engkau biasa dan mencukupkan dengan surat Al Ikhlas?” Ia pun menjawab, “Karena surat Al Ikhlas adalah sifat Ar Rahman (yaitu Allah) dan aku suka untuk membacanya.” Akhirnya berita orang tadi sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun bersabda, “Kabarkan pada orang tadi bahwa Allah betul mencintainya.” Atau dalam lafadz lain dikatakan, “Kecintaanmu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk dalam surga.”
Jika seseorang membaca surat Al Ikhlas dengan maksud demikian atau membaca ayat-ayat yang membicarakan surga untuk memohon kebahagiaan di surga atau membaca ayat-ayat tentang neraka untukk berlindung darinya, maka ini adalah suatu kebaikan. Akan tetapi, lebih baik seperti ini tidak dijadikan kebiasaan. Yang tepat, bacalah surat tersebut kadang-kadang, janganlah merutinkan membaca suatu surat yang seharusnya tidak dijadikan rutinitas.
Satu lagi yang perlu ditambahkan. Ingatlah bahwa shalat Dhuha paling sedikit dikerjakan dua raka’at. Jika ingin ditambah, maka kerjakanlah dua raka’at salam, dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Janganlah dikerjakan empat raka’at sekaligus kemudian salam. Yang paling afdhol adalah mengerjakan shalat Dhuha dua raka’at salam, dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat (sunnah) di malam dan siang hari adalah dua raka’at (salam), dua raka’at (salam).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa mengerjakan shalat sunnah di malam dan di siang hari dengan dua raka’at salam. Oleh karenanya, yang paling afdhol adalah engkau mengerjakan shalat tersebut dua raka’at salam sebagaimana mengikuti perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga mengamalkan sabda beliau, “Shalat (sunnah) di malam dan siang hari adalah dua raka’at (salam), dua raka’at (salam)”. Mengenai tambahan “siang hari” dalam hadits tersebut adalah tambahan yang dinilai tidak masalah menurut kebanyakan pakar hadits.
[Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Fatawa Nur ‘alad Darb 2/875]

Artikel www.rumaysho.com
Panggang-GK, 24 Jumadil Awwal 1431 H
read more “Apakah Ada Bacaan Tertentu Dalam Shalat Dhuhah?”

Minggu, 18 September 2011

Menggendong Anak Yang Memakai Diapers Ketika Shalat

Sabtu, 06 Februari 2010

Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz,apa hukum menggendong bayi yang memakai diapers saat shalat? Mohon penjelasan beserta dalilnya, jazakumullahu khairan. (Ummu Fathimah)


Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Apabila diapers tersebut suci maka tidak ada masalah menggendong bayi tersebut ketika shalat. Namun apabila di dalamnya ada najis, maka para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah orang shalat membawa najis yang tertutup tidak di tempat asalnya (perut), misalnya orang shalat membawa botol yang berisi najis. Sebagian ulama berpendapat shalatnya sah karena najisnya tidak keluar, adapun yang lain mengatakan tidak sah karena dia membawa najis yang tidak dimaafkan di luar tempat asalnya (yaitu perut).(Lihat Al-Bahr Ar-Raa'iq 1/240, Al-Majmu' 3/157, Al-Mughny 2/467-468)
Yang serupa dengan permasalahan ini adalah orang shalat menggendong anak yang memakai diapers yang berisi najis. Diantara yang mengatakan sah adalah Syeikh Abdul Muhsin Al-'Abbaad hafizhahullah, dengan syarat najis tersebut tidak nampak dan tidak merembes keluar, beliau berkata:
فإذا كان الولد أو الجارية التي يحملها الشخص في الصلاة عليها حفاظة، وفيها شيء من النجاسة، فإن كانت النجاسة ظاهرة، ويمكن أن تؤثر، فلا يجوز له أن يحملها، وأما إذا كان هناك نجاسة ولكنها ليست ظاهرة ولا تصل إليه فليس هناك بأس. والطواف بالأطفال من جنسه، فإذا دعت الحاجة إلى حمل الأطفال فالأصل هو طهارة ثيابهم وأبدانهم، إلا إذا وجدت النجاسة وظهرت، وغالباً أن النجاسات إذا وجدت في الحفائظ من الداخل فإنها تتشربها؛ لأن فيها مانعاً يمنعها من أن تظهر، فما دام أن النجاسة لم تظهر وأمنت ناحية تنجيسها لما حولها فلا بأس
"Apabila anak atau anak wanita yang digendong tersebut memakai diapers yang di dalamnya ada najis yang nampak dan mungkin mempengaruhi maka tidak boleh menggendongnya, adapun apabila najis tersebut tidak nampak dan tidak sampai kepadanya maka tidak mengapa. Dan hukum thawaf dengan menggendong anak sama dengan masalah ini. Bila diperlukan menggendong anak maka pada asalnya pakaian dan badan mereka suci kecuali jika ditemukan najis dan nampak. Dan kebanyakan najis-najis yang terdapat di dalam diapers diserap oleh diapers tersebut, karena di dalamnya ada yang mencegah najis tersebut nampak, oleh karena itu selama najis tersebut tidak nampak dan tidak menajisi apa yang ada di sekitarnya maka tidak mengapa" (Syarh Sunan Abi Dawud, ketika beliau mensyarh hadist Abu Qatadah Al-Anshary radhiyallahu 'anhu yang berisi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggendong Umamah bintu Abu Al-'Ash ketika shalat)
Namun yang lebih kuat –wallahu a'lam- adalah pendapat yang mengatakan tidak sah shalatnya apabila tahu di dalamnya ada najis, karena termasuk syarat sahnya shalat adalah bersihnya orang yang shalat dari najis baik najis di badan, pakaian, maupun tempat shalat. Apabila dia mengetahui di dalamnya ada najis, atau mengetahui tapi lupa melepasnya maka tidak mengapa. Sedangkan apabila dia mengetahui akan tetapi tetap menggendongnya maka shalatnya tidak sah.
Dalilnya adalah hadist Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu:
عن أبي سعيد الخدري قال : بينما رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي بأصحابه إذ خلع نعليه فوضعهما عن يساره فلما رأى ذلك القوم ألقوا نعالهم فلما قضى رسول الله صلى الله عليه و سلم صلاته قال " ما حملكم على إلقائكم نعالكم " ؟ قالوا رأيناك ألقيت نعليك فألقينا نعالنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم " إن جبريل صلى الله عليه و سلم أتاني فأخبرني أن فيهما قذرا " أو قال أذى وقال " إذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر فإن رأى في نعليه قذرا أو أذى فليمسحه وليصل فيهما "
"Dari Abu Sa'id Al-Khudry berkata: Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mengimami para sahabat dalam shalat tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya, kemudian langsung meletakkannya di sebelah kiri beliau. Ketika para sahabat melihat yang demikian maka mereka melempar sandal-sandal mereka. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat beliau bertanya: Apa yang membuat kalian melempar sandal-sandal kalian? Mereka menjawab: Kami melihatmu melempar sandal, maka kamipun melempar sandal. Beliau berkata: Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan bahwa di dalam kedua sandalku ada kotoran (najis), apabila salah seorang dari kalian mendatangi masjid maka hendaklah melihat sandalnya, apabila melihat kotoran (najis) maka hendaklah mengusapnya dan shalat dengan kedua sandal tersebut" (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Dalam hadist ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melepas sandal yang yang ada najisnya setelah diberitahu oleh Jibril, ini menunjukkan tidak sahnya shalat setelah mengetahui ada najis di sandalnya, dan beliau tidak mengulangi shalatnya, ini menunjukkan sahnya shalat orang yang membawa najis tetapi tidak mengetahuinya. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (Lihat Al-Majmu' 3/163)
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu:
فإن صلى وبدنه نجس أي قد أصابته نجاسة لم يغسلها أو ثوبه نجس ، أو بقعته نجسة فصلاته غير صحيحة عند جمهور العلماء ، لكن لو لم يعلم بهذه النجاسة ، أو علم بها ثم نسي أن يغسلها حتى تمت صلاته ، فإن صلاته صحيحة ولا يلزمه أن يعيد
"Apabila shalat dengan badan yang najis yaitu sudah terkena najis dan tidak mencucinya atau bajunya najis atau tempat dia shalat najis maka shalatnya tidak sah menurut jumhur ulama, akan tetapi apabila tidak mengetahui keberadaan najis ini atau mengetahuinya tapi lupa mencucinya sampai selesai shalat maka shalatnya shahih dan dia tidak wajib mengulangi shalatnya" (Majmu' Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Al'Utsaimin 12/471 )

Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Ruhaily sebagaimana ketika saya ajukan pertanyaan penanya di atas kepada beliau malam Kamis, 19 Shafar 1431, di Kuliah Dakwah wa Ushuuluddin , Al-Jami'ah Al-Islamiyyah.
Wallahu a'lam.


Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2010/02/menggendong-anak-yang-memakai-diapers.html
read more “Menggendong Anak Yang Memakai Diapers Ketika Shalat”

Rabu, 20 Juli 2011

Berdoa dengan Selain Bahasa Arab Ketika Shalat

shalat
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Barakallahu fik, Ustadz.
Ada pertanyaan yang saya ingin tanyakan. Apakah boleh, jika dalam keadaan sujud dalam shalat dan setelah tasyahud akhir sebelum salam, saya berdoa memakai bahasa Indonesia? Karena saya tidak bisa berbahasa Arab. Apakah bisa membatalkan shalat saya, jika saya berdoa memakai bahasa Indonesia? Jazakallahu khairan atas jawabannya, Ustadz.
Fakhri Noerand (fakhri**@yahoo.***)

Jawaban:
Ulama berselisih pendapat tentang hukum berdoa ketika sujud dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Mazhab Hanafiyah menganggap bahwa berdoa dengan selain bahasa Arab, baik ketika shalat maupun di luar shalat, adalah makruh, karena Umar bin Khattab melarang “rathanatal a’ajim” (berbicara dengan selain bahasa arab).
Sementara, dalam Mazhab Malikiyah diharamkan untuk berdoa dengan selain bahasa Arab yang maknanya jelas. Allah berfirman, yang artinya, “Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun kecuali (mereka berdakwah) dengan bahasa kaumnya.” (Q.S. Ibrahim:4)
Dalam Mazhab Syafi’iyah, masalah ini dirinci. Mereka menjelaskan bahwa berdoa dalam shalat ada dua: doa yang ma’tsur (terdapat dalam Alquran dan hadis) dan doa yang tidak ma’tsur (tidak ada dalam Alquran dan hadis). Doa yang ma’tsur tidak boleh diucapkan dengan bahasa lain, selain bahasa Arab.
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah diperbolehkan berdoa dengan menggunanakan bahasa selain bahasa Arab. Pendapat ini dikuatkan oleh Komite Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa Arab Saudi. Dalam suatu kesempatan, mereka ditanya, “Bolehkah seseorang berdoa dalam shalatnya dengan bahasa apa pun? Apakah ini membatalkan shalat?
Mereka menjawab, “… Seseorang diperbolehkan berdoa kepada Allah di dalam shalatnya dan di luar shalatnya dengan menggunakan bahasa Arab atau selain bahasa Arab, sesuai dengan keadaan yang paling mudah menurut dia. Ini tidaklah membatalkan shalatnya, ketika dia berdoa dengan selain bahasa Arab. Namun, ketika dia hendak berdoa dalam shalat, selayaknya dia memilih doa yang terdapat dalam hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ….” (Fatwa Lajnah Daimah, volume 24, nomor 5782)
Sementara itu, Syekh Abdul Karim Al-Hudhair menyatakan bahwa seseorang boleh berdoa dengan selain bahasa Arab jika dia tidak mampu berbicara dengan bahasa Arab. Setiap muslim dituntut untuk mempelajari bahasa Arab, sekadar sebagai bekal untuk beribadah dengan sempurna. (Fatwa Syekh Abdul Karim Al-Hudhair, no. 4337)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.
read more “Berdoa dengan Selain Bahasa Arab Ketika Shalat”