Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Ahkam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Ilmiyyah: Ahkam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 April 2012

Hukum Pijat

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apa pendapat Syaikh yang mulia tentang pijat yang dilakukan oleh sebagian wanita terhadap sesama wanita, atau laki-laki terhadap sesama laki-laki? Yaitu misalnya seseorang tidur tengkurap dan yang lain memijat punggungnya, kedua bagian sampingnya, lehernya, bahunya, betisnya dan terkadang pahanya. Kadang-kadang hal itu dilakukan dari balik bajunya, dan kadang-kadang pijatnya langsung menyentuh kulit, dan terkadang pemijat mengoleskan minyak untuk memijat. Khususnya, yang seperti ini banyak dilakukan di asrama-asrama kampus, baik asrama putra maupun putri. Mohon beri kami fatwa, semoga Alloh memberikan pahala kepada anda.

Jawaban:

Jika pijat dilakukan oleh suami terhadap istrinya, atau istri terhadap suaminya maka ini tidak mengapa. Karena bagaimanapun, hal tersebut mubah bagi mereka, bahkan seandainya syahwatnya tergerak dalam kondisi ini, maka silahkan ia menunaikan syahwatnya itu karena ia bersama istrinya sendiri. Adapun kalau bersama selain pasangannya, maka pada yang demikian terdapat fitnah.

Seandainya seorang pemuda melakukan hal tersebut bersama pemuda lainnya, apakah tidak dikhawatirkan akan timbul syahwatnya? Ya (dikhawatirkan). Begitu pula seandainya seorang wanita melakukan hal tersebut dengan wanita lainnya, juga dikhawatirkan timbul syahwatnya, karena wanita juga memiliki syahwat sebagaimana laki-laki. Maka menurutku hal ini tidak diperbolehkan kecuali antara suami istri.

Demikian pula, jika ada seorang lelaki tua yang memiliki anak-anak perempuan, lalu ia minta kepada mereka untuk memijat punggungnya, ini tidak mengapa. Karena syahwat dalam kondisi ini sangatlah jauh dan lelaki yang sudah tua butuh untuk dipijat. Maka dengan adanya hajat (keperluan) dan jauhnya syahwat, kita katakan: hal tersebut tidak mengapa insyaAlloh.


Diterjemahkan dari: Silsilah al-Liqo’ asy-Syahri kaset no. 68b menit ke 12:45
Download transkrip Arab-nya dari al-Maktabah asy-Syamilah.
http://www.binothaimeen.com/sound/snd/a0015/a0015-66b.rm


Dan Oleh Syaikh Kholid bin Abdillah al-Mushlih hafidzohulloh (murid & menantu Syaikh Utsaimin)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarohatuh,

Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah hukum pijat?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh,

Amma ba’du..

Pijat terbagi menjadi 2 jenis:

Jenis yang pertama: Pijat untuk pengobatan yang direkomendasikan dokter untuk mengobati kelemahan otot atau tujuan lainnya. Pijat jenis ini boleh, karena ia merupakan bentuk pengobatan yang pada asalnya boleh. Akan tetapi wajib menjaga aurat dari pandangan dan sentuhan kecuali bagian yang dibutuhkan dan wajib membatasi sesuai kebutuhan bagian aurat yang dilihat & disentuh serta berapa lama aurat tersebut dibuka. Berdasarkan perintah Alloh ta’ala untuk menjaga aurat, Alloh ta’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

“Dan katakanlah kepada kaum mukminin untuk menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka” [QS an-Nur: 31]

Alloh ta’ala berfirman tentang sifat kaum mukminin:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ* إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa” [QS al-Mukminun: 5-6]

Dalam riwayat Imam Ahmad (19530), Abu Dawud (4017), at-Tirmidzi (2769), dan yang selain mereka dengan sanad yang jayyid dari hadits Bahz bin Hukaim, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam ketika ditanya tentang aurat, beliau bersabda:

احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك. فقيل له: الرجل يكون مع الرجل ؟ فقال صلى الله عليه وسلم : إن استطعت ألا يرينها أحد فافعل

“Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak yang engkau miliki” beliau lalu ditanya: “bagaimana laki-laki dengan laki-laki?” beliau shollallohu alaihi wa sallam menjawab: “jika engkau mampu untuk tidak melihatnya (auratmu) seorangpun, maka lakukanlah.”

Dan hadits ini sebagiannya diriwayatkan al-Bukhori secara mu’allaq.

Dalam shohih Muslim (338) dari Abu Sa’id al-Khudri rodhiyallohu anhu, bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:

لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل،ولا المرأة إلى عورة المرأة،ولا يفضي الرجل إلى الرجل في ثوب واحد،ولا تفضي المرأة إلى المرأة في الثوب الواحد

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lainnya, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lainnya. Janganlah seorang laki-laki berselimut dengan laki-laki lain dalam satu selimut dan jangan pula seorang wanita berselimut dengan wanita lain dalam satu selimut.”

Ini menunjukkan haramnya menyentuh aurat orang lain dengan anggota tubuh manapun.

Jenis yang kedua: Pijat penyegaran, yaitu yang dilakukan sebagian orang untuk menyegarkan badan, atau sekedar menikmati pijatan tanpa ada keperluan. Maka jenis yang ini jika tidak dengan membuka aurat dan tidak menyentuhnya serta mempengaruhi perasaan atau tidak membangkitkan syahwat, maka hukumnya boleh dan boleh mengambil upah dari hal tersebut.

Akan tetapi, yang aku nasehatkan adalah mencukupkan dari pijat menggunakan tangan dengan pijat menggunakan alat, karena lebih jauh dari syubhat yang berkaitan dengan menyingkap aurat ataupun menyentuhnya, begitu pula lebih jauh dari menimbulkan syahwat. Wallohu a’lam.

Saudaramu,

Kholid bin Abdillah al-Mushlih

16/9/1424H

***

Diterjemahkan dari: http://www.almosleh.com/almosleh/article_1099.shtml
Sumber: https://www.facebook.com/dzulkifli.alfarizi/posts/132038530254520 
read more “Hukum Pijat”

Minggu, 12 Februari 2012

HUKUM MERAYAKAN VALENTINE'S DAY

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Akhir-akhir ini telah merebak perayaan valentin's day -terutama di kalangan para pelajar putri-, padahal ini merupakan hari raya kaum Nashrani. Mereka mengenakan pakaian berwarna merah dan saling bertukar bunga berwarna merah.. Kami mohon perkenan Syaikh untuk menerangkan hukum perayaan semacam ini, dan apa saran Syaikh untuk kaum muslimin sehubungan dengan masalah-masalah seperti ini. Semoga Allah menjaga dan memelihara Syaikh.

Jawaban
Tidak boleh merayakan valentin's day karena sebab-sebab berikut:
Pertama: Bahwa itu adalah hari raya bid'ah, tidak ada dasarnya dalam syari'at.
Kedua: Bahwa itu akan menimbulkan kecengengen dan kecemburuan.
Ketiga: Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf.

Karena itu, pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah, ataupun lainnya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamanya dan tidak merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, dan semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan bimbingan dan petunjukNya.


Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, tanggal 5/11/1420 H yanq beliau tandatangani.

HUKUM MERAYAKAN VELAENTINE'S DAY

Oleh: Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta'

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta' ditanya : Setiap tahunnya, pada tanggal 14 Februari, sebagian orang merayakan valentin's day. Mereka saling betukar hadiah berupa bunga merah, mengenakan pakaian berwarna merah, saling mengucapkan selamat dan sebagian toko atau produsen permen membuat atau menyediakan permen-permen yang berwarna merah lengkap dengan gambar hati, bahkan sebagian toko mengiklankan produk-produknya yang dibuat khusus untuk hari tersebut. Bagaimana pendapat Syaikh tentang:

Pertama: Merayakan hari tersebut?
Kedua: Membeli produk-produk khusus tersebut pada hari itu?
Ketiga: Transaksi jual beli di toko (yang tidak ikut merayakan) yang menjual barang yang bisa dihadiahkan pada hari tersebut, kepada orang yang hendak merayakannya?
Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.

Jawaban.
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu, semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid'ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya, karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah bertasyabbuh (menyerupai) mereka di samping merupakan keloyalan terhadap mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kaum mukminin ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam KitabNya yang mulia, dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

"Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka" [1]

Valentin's day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan hari raya Nashrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan selamat, bahkan seharusnya me-ninggalkannya dan menjauhinya sebagai sikap taat terhadap Allah dan RasulNya serta untuk menjauhi sebab-sebab yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah dan siksaNya. Lain dari itu, diharamkan atas setiap muslim untuk membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan, baik itu berupa makanan, minuman, penjualan, pembelian, produk, hadiah, surat, iklan dan sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan RasulNya, sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

"Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya" [Al-Ma'idah : 2]

Dari itu, hendaknya setiap muslim berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dalam semua kondisi, lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada agar tidak terjerumus ke dalam kese-satan orang-orang yang dimurkai, orang-orang yang sesat dan orang-orang fasik yang tidak mengharapkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Dan hendaknya seorang muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjukNya dan keteguhan didalam petunjukNya. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjukNya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjuk.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta' (21203) tanggal 22/11/1420H.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjmah Musthofa Aini Lc. Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. Abu Dawud dalam Al-Libas (4031), Ahmad (5093, 5094, 5634)

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/843/slash/0
read more “HUKUM MERAYAKAN VALENTINE'S DAY”

Senin, 17 Oktober 2011

UCAPAN SELAMAT NATAL

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir. Dan bagaimana kita menjawab orang yang mengucapkan natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah satu hal tadi tanpa disengaja? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal ini?

Jawaban
"Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram, hukum ini telah disepakati. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, yang mana beliau menyebutkan, Adapun ucapan selamat terhadap simbol-simbol kekufuran secara khusus, disepakati hukumnya haram. misalnya, mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan, 'Hari yang diberkahi bagimu' atau 'Selamat merayakan hari raya ini' dan sebagainya. Yang demikian ini, kendati si pengucapnya terlepas dari kekufuran, tapi perbuatan ini termasuk yang diharamkan, yaitu setara dengan ucapan selamat atas sujudnya terhadap salib, bahkan dosanya lebih besar di sisi Allah dan kemurkaan Allah lebih besar daripada ucapan selamat terhadap peminum khamr, pembunuh, pezina atau lainnya, karena banyak orang yang tidak mantap agamanya terjerumus dalam hal ini dan tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Barangsiapa mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena kemaksiatan, bid'ah atau kekufuran, berarti ia telah mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah.' Demikian ungkapan beliau.

Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar sehubungan dengan hari raya agama mereka, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena dalam hal ini terkandung pengakuan terhadap simbol-simbol kekufuran dan rela terhadap hal itu pada mereka walaupun tidak rela hal itu pada dirinya sendiri. Kendati demikian, seorang muslim diharamkan untuk rela terhadap simbol-simbol kekufuran atau mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol tersebut atau lainnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meridhainya, sebagaimana firmanNya.

"Artinya : Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu." [Az-Zumar: 7]

Dalam ayat lain disebutkan,
“Artinya : Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu " [Al-Ma'idah : 3]
.
Maka, mengucapkan selamat kepada mereka hukumnya haram, baik itu ikut serta dalam pelaksanaannya maupun tidak.

Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, bahkan hari raya itu tidak diridhai Allah Swt, baik itu merupakan bid'ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam, yaitu ketika Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk semua makhluk, Allah telah berfirman,

"Artinya : Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi. " [Ali Imran : 85)]

Haram hukumnya seorang muslim membalas ucapan selamat dari mereka, karena ini lebih besar dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena berarti ikut serta dalam perayaan mereka.

Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan mengadakan pesta-pesta dalam perayaan tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan gula-gula, piring berisi makanan, meliburkan kerja dan sebagainya, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bukunya Iqtidha' ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, "Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya mereka menyebabkan kesenangan pada hati mereka, padahal yang sebenarnya mereka dalam kebatilan, bahkan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan kaum lemah." Demikian ucapan beliau.

Barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya, karena ini merupakan penyepelean terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan kuatnya jiwa kaum kuffar dan berbangganya mereka dengan agama mereka.

Hanya kepada Allah-lah kita memohon agar memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, menganugerahi mereka keteguhan dan memenangkan mereka terhadap para musuh. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

[Al-Majmu' Ats-Tsamin, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Disusun oleh Khalid Al-Juraisy,Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq]
sumber : http://almanhaj.or.id/content/1452/slash/0.
read more “UCAPAN SELAMAT NATAL”

Minggu, 06 Maret 2011

Hukum Wanita Mengenakan Parfum

oleh Abu Farras Haidar pada 07 Maret 2011 jam 12:32
Posted: 23 Feb 2011 04:00 PM PST
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya oleh seorang wanita:
Bolehkah aku shalat dalam keadaan memakai parfum? Jazakumullah khoiron.
Jawaban Syaikh rahimahullah:Na’am
. Shalat dalam keadaan memakai parfum itu dibolehkan, bahkan dibolehkan bagi laki-laki dan perempuan yang beriman. Akan tetapi wanita hanya boleh menggunakan parfum ketika berada di rumah di sisi suaminya. Dan tidak boleh seorang wanita menggunakan parfum ketika ia keluar ke pasar atau ke masjid. Adapun bagi laki-laki, ia dibolehkan untuk mengenakan parfum ketika berada di rumah, ketika ke pasar, atau ke masjid. Bahkan mengenakan parfum bagi pria termasuk sunnah para Rasul.
Apabila seorang wanita shalat di rumahnya dalam keadaan memakai berbagai wangian …. , maka itu baik. Seperti itu tidaklah mengapa bahkan dianjurkan mengenakannya. Akan tetapi, ketika wanita tersebut keluar rumah, maka ia tidak boleh keluar dalam keadaan mengenakan parfum yang orang-orang dapat mencium baunya. Janganlah seorang wanita keluar ke pasar atau ke masjid dalam keadaan mengenakan parfum semacam itu. Hal ini dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya.
[Fatawa Nur ‘alad Darb, 7/291, cetakan Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Riyadh-KSA, cetakan pertama, thn 1429 H]
***
Yang dimaksudkan hadits larangan tersebut adalah sebagai berikut:
Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Dari Yahya bin Ja’dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab ada seorang perempuan yang keluar rumah dengan memakai wewangian. Di tengah jalan, Umar mencium bau harum dari perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan tongkat. Setelah itu beliau berkata,
تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم اخرجن تفلات
Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para laki-laki mencium bau harum kalian?! Sesungguhnya hati laki-laki itu ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak memakai wewangian”. (HR. Abdurrazaq dalam al Mushannaf no 8107)
Dari Ibrahim, Umar (bin Khatab) memeriksa shaf shalat jamaah perempuan lalu beliau mencium bau harum dari kepala seorang perempuan. Beliau lantas berkata,
لو أعلم أيتكن هي لفعلت ولفعلت لتطيب إحداكن لزوجها فإذا خرجت لبست أطمار وليدتها
Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai wewangian niscaya aku akan melakukan tindakan demikian dan demikian. Hendaklah kalian memakai wewangian untuk suaminya. Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek yang biasa dipakai oleh budak perempuan”. Ibrahim mengatakan, “Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang memakai wewangian itu sampai ngompol karena takut (dengan Umar)”. (HR. Abdur Razaq no 8118)
Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Riyadh-KSA, 7th Safar 1432 H, 11/01/2011

Artikel  www.muslim.or.id
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
read more “Hukum Wanita Mengenakan Parfum”

Kamis, 03 Februari 2011

Meminta Jabatan

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsariy

Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam etika politik merupakan hal lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang berakar dari budaya Barat ini. Hadits berikut memberikan penjelasan secara gamblang bagaimana sesungguhnya Islam memandang sebuah jabatan yang telah menjadi simbol status sosial ini.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radliallahu 'anhu:

(( يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سَمُرَة , لاَ تَسْأَلُ الإِمَارَةَ. فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا))
"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."


Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan akan diserahkan kepadanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam Nawawi “Bab larangan meminta jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al Ghifari radliallahu 'anhu. Ia berkata: "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?" Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

(( يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ , وَ إِنَّهَا أَمَانَةٌ , وَ إِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَ نَدَامَةٌ, إلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا , وَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا ))
"Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut." (HR. Muslim no. 1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

((يَا أَبَا ذَرٍّ, إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا, وَ إِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي, لا تَأَمَّرَنَّ اثنَينِ و لا تَوَلَّيْنَ مَالَ يَتِيْمٍ ))
"Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim." (HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam Nawawi rahimahullah membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadlus Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.

Kepemimpinan yang diimpikan dan diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu:

(( إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الإِمَارَةِ , وَ سَتَكُوْنُ نَدَامَة يوم القيامة))
"Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan." (HR. Bukhari no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar kalau kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau 'calon pemimpin' di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau 'sekedar' uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nasalullah as salamah wal `afi`ah.
Berkata Al Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): "Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi."
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ اْلآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لاَ يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

"Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa." (Al-Qashshash: 83)
Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: "Allah ta`ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu` (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahkannya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagiannya di akhirat. Oleh karena itu dilarang seseorang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadlus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa ia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin lah yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah musang berbulu domba. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:

(( مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَ الشَّرَفِ لِدِيْنِهِ ))
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya disebabkan ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. Tirmidzi no. 2482, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad, 2/178).

Sifat seorang pemimpin
Di tengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada Abu Dzar radliallahu anhu: "Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat padanya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang kuat. Dan sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan satu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasehat bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Makna ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Dzar adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki." (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan dalil:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)
Berkata penguasa Mesir kepada Yusuf alaihis salam:

إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Allah ta`ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ. ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ. مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ

“Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, yang memiliki Arsy, yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya.” (At-Takwir: 19-21)
Beliau rahimahullah berkata: “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah berfirman:

فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) (As-Siyasah Asy-Syar`iyyah, hal. 12-13)
Al-Imam Qurthubi rahimahullah menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagi Al-Imam (pemimpin) bagi seluruh manusia'. Ibrahim berkata: '(Dan saya mohon juga) dari keturunanku'. Allah berfiman: 'Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim'." (Al-Baqarah: 124)
Beliau berkata: “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang Al-Imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (Al-Jami`li Ahkamil Qur’an, 2/74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa kami paparkan.

Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/ kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat. Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
إِذَا ضُيِّئَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةُ. قال : كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَال : إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا َانْتَظِرِ السَّاعَةُ
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?' Beliau menjawab: 'Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat".” (HR. Bukhari no. 59)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radliallahu 'anhu berkata: "Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: "Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah". Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
(( إِنّا لا نُوَلّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَ لا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ ))
"Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas :"Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)." Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara' dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadlus Shalihih, 2/470)
Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar: "Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih seperti hadits: "Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya Al-Imam (pemimpin) yang adil". Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut." (Syarah Shahih Muslim, 12/210-211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf alaihis salam kepada penguasa Mesir:

اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ اْلأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (Yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau alaihis salam ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Al-Karimur Rahman, hal. 401)
Al-Imam Syaukani berkata: "Nabi Yusuf alahis salam meminta demikian karena kepercayaan para Nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma`shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf alaihis salam pada waktu itu dibolehkan." (Nailul Authar, 8/ 294)
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Berkata Al-Qadli Al-Baidlawi: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)

Faedah hadits
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk dapat mendapatkannya
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan, jabatan dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah tersebut.
4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
5. Ajakan kepada manusia agar jangan berambisi untuk meraih kedudukan tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab ***


1) Dan terlebih lagi bila memimpin lebih dari dua orang (Syarh Riyadlus Shalihin, 2/472)
Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com
read more “Meminta Jabatan”

Kamis, 27 Januari 2011

Menambahkan Nama Suami Dibelakang Nama Istri

Banyak orang yang memiliki kebiasaan menggabungkan nama suami ke nama isterinya. Jika ada seorang suami bernama Habibie dan isterinya bernama Ainun jadilah nama isterinya Ainun Habibie dan semisalnya. Bagaimanakah hukum masalah ini?

فتاوى اللجنة الدائمةالسؤال الثالث من الفتوى رقم 18147

Fatwa Lajnah Daimah, pertanyaan ketiga dari fatwa no 18147

س3: قد شاع في بعض البلدان نسبة المرأة المسلمة بعد الزواج إلى اسم زوجها أو لقبه، فمثلا تزوجت زينب زيدا، فهل يجوز لها أن تكتب: (زينب زيد)، أم هي من الحضارة الغربية التي يجب اجتنابها والحذر منها؟

Pertanyaan, “Tersebar di berbagai negeri sebuah fenomena yaitu seorang wanita muslimah yang sudah menikah dinasabkan kepada nama atau gelar suaminya. Misalnya ada wanita bernama Zainab menikah dengan Zaid. Setelah menikah bolehkan kita tulis nama isteri dengan Zainab Zaid? Ataukah kebiasaan ini adalah bagian dari budaya barat yang wajib kita jauhi dan kita waspadai?

ج3: لا يجوز نسبة الإنسان إلى غير أبيه،

Jawaban Lajnah Daimah, “Tidak boleh menasabkan seseorang kepada selain ayahnya.

قال تعالى: { ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ }

Allah berfirman yang artinya, “Panggilan mereka dengan menasabkan mereka kepada ayah mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah” (QS al Ahzab:5).

وقد جاء الوعيد الشديد على من انتسب إلى غير أبيه.

Juga terdapat hadits yang berisi ancaman keras untuk orang yang menasabkan diri kepada selain ayahnya.

وعلى هذا فلا يجوز نسبة المرأة إلى زوجها كما جرت العادة عند الكفار، ومن تشبه بهم من المسلمين

Berdasarkan penjelasan di atas maka tidak diperbolehkan menasabkan seorang wanita kepada suaminya sebagaimana kebiasaan orang-orang kafir dan kebisaan sebagian kaum muslimin yang suka ikut-ikutan dengan ciri khas orang kafir”.

وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … نائب الرئيس … الرئيس
بكر أبو زيد … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد العزيز آل الشيخ … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku ketua Lajnah Daimah, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh selaku wakil ketua, Abdullah bin Ghadayan, Shalih al Fauzan dan Bakr Abu Zaid masing-masing selaku anggota.

Sumber:
Fatawa Lajnah Daimah jilid 20 hal 379, www.ustadzaris.com
Dicopy dari http://artikelassunnah.blogspot.com/2011/01/menambahkan-nama-suami-dibelakang-nama.html
read more “Menambahkan Nama Suami Dibelakang Nama Istri”

Jumat, 21 Januari 2011

Bahaya Mengejek Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Lisan merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang amat berharga, dan satu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa islam adalah agama yang kaffah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya), “Wahai Orang-Orang yang beriman masuklah ke dalam islam secara kaffah/menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia adalah musuh (kalian) yang nyata”. (QS : Al Baqoroh [2] : 208).
Seorang sahabat yang mulia sekaligus merupakan ahli tafsir dari kalangan sahabat Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Yang dimaksud Kaffah (dalam ayat di atas) adalah masuklah kalian ke dalam ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam secara menyeluruh”[1]. Jika hal ini telah kita fahami maka lihatlah betapa islam begitu memberikan perhatian yang besar terhadap lisan melalui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (yang artinya), “Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata kata-kata yang baik atau ia diam”[2].
Al Imam An Nawawiy Asy Syafi’i rohimahullah mengatakan, “Makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas adalah jika seseorang hendak berbicara dan hal yang akan dibicarakannya itu adalah kebaikan yang ia akan diberi pahala atasnya baik itu hal yang wajib atau sunnah, maka hendaklah ia berbicara. Namun jika tidak demikian maka hendaklah ia menahan diri untuk tidak berbicara  baik hal yang akan dibicarakan itu adalah suatu perkara yang haram, makruh atau mubah yang berada di antara kedua ujung (antara halal dan haram). Maka berdasarkan hal ini, perkataan yang hukumnya mubah dianjurkan untuk meninggalkannya agar tidak terjatuh dalam perkara yang haram atau makruh”[3]. Namun sebagaimana dikatakan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah, perkataan yang baik itu ada dua macam perkataan yang baik jika [1] ditinjau semata-mata perkataan tersebut semisal dzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an dan [2] perkataan yang baik jika ditinjau dari apa yang diinginkan darinya semisal perkataan yang hukum asalnya mubah namun hal yang diinginkan dari perkataan tersebut adalah memberikan rasa gembira kepada teman duduk[4].
Mengejek, Mengolok-olok Perkara yang Merupakan Bagian dari Islam
Jika demikian perhatian islam dalam masalah lisan maka bagaimanakah hukum islam mengenai orang yang mengaku islam namun mengolok-ngolok salah satu ajaran Islam?? Semisal perkataan seseorang kepada saudaranya yang memelihara jenggot dengan sebutan si kambing, mengejek saudarinya yang menggunakan cadar dengan sebutan ninja, atau mengejek seorang muslimah yang memakai jilbab yang benar dengan mengatakan “Kemana-mana kok pakai baju sholat/mukenah” dan lain sebagainya.
Mengenai masalah ini hendaklah kita menilik pada Al Qur’an dan As Sunnah. Kita dapat menyaksikan dalam sebuah ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?” “Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman”. (QS : At Taubah [9] : 65-66).
Ayat yang mulia di atas memiliki sababun nuzul, sebagaimana yang diriwayatkan melalui jalannya Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma[5],  “Ada seseorang yang berkata dengan nada mencemooh pada saat perang Tabuk, “Aku tidak pernah melihat orang yang perutnya lebih besar (rakus terhadap makanan[6]), lebih suka berbohong serta pengecut ketika bertemu musuh dalam perang dari pada ahli qiro’ah kami (yang dia maksudkan adalah Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan para sahabatnya rodhiyallahu ‘anhum[7])”. Maka berkatalah ‘Auf bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, “Engkau telah berdusta bahkan engkau adalah orang munafik, sungguh akan aku beritahukan hal ini kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam”. Maka Auf pun pergi untuk menemui Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam namun ternyata Al Qur’an telah mendahuluinya. Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya kami melihat orang tersebut terseret-seret sambil memegang pelana unta Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan batu-batu melukainya seraya mengatakan, “Wahai Rosulullah sesungguhnya hal itu kami lakukan hanya untuk berbincang-bincang sekedar bergurau di perjalanan dan kami tidaklah bermaksud mengejek atau mengolok-olok”. Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam membacakan firman Allah (yang artinya),  “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?” (QS : At Taubah [9] : 65). Dan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam tidaklah menghiraukan orang tersebut dan tidak berkata lagi padanya”[8].
Maka lihatlah kaum muslimin sekalian jika sebagian sahabat yang ikut perang bersama Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam melawan bangsa romawi saja dianggap kafir karena mengucapkan satu kalimat semisal di atas dengan tujuan hanya sekedar berbincang-bincang dan bergurau di perjalanan tanpa maksud mengolok-olok maka jelaslah bahwa orang-orang yang melontarkan kata-kata kekufuran karena takut hartanya berkurang atau kehormatannya atau basa-basi lebih besar dosanya dari pada orang yang melontarkan kata-kata tersebut dengan tujuan sebagaimana dalam hadits di atas[9].
Berdasarkan ayat dan hadits di atas para ulama diantaranya Syaikh Prof. DR. ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin hafidzahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin ijma’/sepakat menetapkan kafirnya orang yang mengejek sesuatu yang merupakan bagian dari agama Allah Subahanahu wa Ta’ala (sedangkan ia tahu bahwa hal itu merupakan bagian dari agama Allah) sama saja apakah hal tersebut dalam bentuk merendahkan ,hanya sekedar main-main/gurauan, basa-basi dengan orang kafir atau selain mereka, ketika bertengkar dengan seseorang, ketika marah, atau selain hal tersebut”[10].
Sebagian ulama membagi masalah mengejek sesuatu yang merupakan bagian dari agama Allah dengan 2 jenis:
[1]. Pengolok-olokan terang-terangan, sebagaimana sababun nuzul surat At Taubah 65-66 di atas, semisal dengan itu orang yang mengejek tindakan orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, orang yang mengerjakan sholat karena mereka mengerjakan sholat, orang yang memilhara jenggotnya dan seterusnya.
[2]. Pengolok-olokan yang tidak terang-terangan, seperti menjulurkan lidah, atau bibir, dengan isyarat tangan ketika disampaikan/dibacakan Al Qur’an dan Hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam, ketika amar ma’ruf nahi mungkar ditegakkan, maka hal ini pun termasuk kekufuran[11].
Merujuk Fatwa Ulama
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah, pernah menjabat ketua Lajnah Da’imah (semacam Komite Fatwa MUI) dan juga pakar hadits, pernah ditanyakan, “Saat ini banyak di tengah masyarakat muslim yang mengolok-olok syariat-syariat agama yang nampak seperti memelihara jenggot, menaikkan celana di atas mata kaki, dan selainnya. Apakah hal ini termasuk mengolok-olok agama yang membuat seseorang keluar dari Islam? Bagaimana nasihatmu terhadap orang yang terjatuh dalam perbuatan seperti ini? Semoga Allah memberi kepahaman padamu.
Syaikh rahimahullah menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya dan syariat-Nya termasuk dalam kekafiran sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)
Termasuk dalam hal ini adalah mengolok-olok masalah tauhid, shalat, zakat, puasa, haji atau berbagai macam hukum dalam agama ini yang telah disepakati.
Adapun mengolok-olok orang yang memelihara (memanjangkan) jenggot, yang menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) atau semacamnya yang hukumnya masih samar, maka ini perlu diperinci lagi. Tetapi setiap orang wajib berhati-hati melakukan perbuatan semacam ini.
Kami menasihati kepada orang-orang yang melakukan perbuatan olok-olok seperti ini untuk segera bertaubat kepada Allah dan hendaklah komitmen dengan syariat-Nya. Kami menasihati untuk berhati-hati melakukan perbuatan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan syariat ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaklah seseorang takut akan murka dan azab (siksaan) Allah serta takut akan murtad dari agama ini sedangkan dia tidak menyadarinya. Kami memohon kepada Allah agar kami dan kaum muslimin sekalian mendapatkan maaf atas segala kejelekan dan Allah-lah sebaik-baik tempat meminta. Wallahu waliyyut taufiq.[12]
Penutup
Setelah diketahui bahwa bentuk mengolok-olok atau mengejek orang yang berkomitmen dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk kekafiran[13], maka seseorang hendaknya menjauhinya. Dan jika telah terjatuh dalam perbuatan semacam ini hendaknya segera bertaubat. Semoga firman Allah Ta’ala berikut bisa menjadi pelajaran.
Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Az Zumar 39: 53)
Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat Tanwirul Muqbas min Tafsir Ibni Abbas hal. 32, Asy Syamilah.
[2] HR. Bukhori no. 6475, Muslim no. 47.
[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh Al Imam An Nawawiy rohimahullah dengan tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun Syiha hal. 209/II, , terbitan Dar Ma’rifah Beirut, Lebanon.
[4] Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 200 terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[5] Juga diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah. (ed)
[6] Lihat Al Quolul Mufid oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 273/II terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[7] Idem.
[8] HR. Ibnu Jarir Ath Thobari dalam tafsirnya no. 16911 hal. 331/XIV, Ibnu Abi Hatim dalam Tafsrinya no. 10538 hal. 475/XXXV. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir mengatakan riwayat dari jalur Ibnu Umar ini shohih sebagaimana dalam tahqiq beliau untuk tafsir Ath Thobari.
[9] Lihat At Tanbihat Al Mukhtasoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuraisi hal. 73, terbitan Dar Shomi’i, Riyadh, KSA.
[10] Lihat Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah oleh Syaikh Prof. DR. ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin hafidzahullah, hal. 96-97, terbitan Makatabah Mulk Fahd Al Wathoniyah. [Akh tolong dicek ke kitab aslinya ana agak ragu dengan terjemahan ana, jazakumullah khoir]
[11] Lihat At Tanbihat Al Mukhtasoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuraisi hal. 74.
[12] Lihat Kayfa Nuhaqqiqut Tauhid, Madarul Wathon Linnashr, hal.61-62 (ed)
[13] Mohon dibedakan antara hukum masalah dan hukum perorangan. Sudah dijelaskan bahwa perbuatan mengolok-olok ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu kekufuran. Namun bagaimanakah mengenai hukum perorangan? Jawabannya, ini mesti dilihat dari kondisi setiap orang dan kita tidak bisa hukumi mereka itu kafir. Karena barangkali ada penghalang atau syarat yang belum terpenuhi sehingga ia tidak dinyatakan kafir. Wallahu a’lam. (ed)
read more “Bahaya Mengejek Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”