Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Minggu, 27 Februari 2011

Rukun-Rukun Nikah

Hits:

Oleh: Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi

Keabsahan nikah dibutuhkan empat rukun, yaitu:
1. Wali, yaitu ayah kandung wanita, atau penerima wasiat, atau kerabat terdekat dan seterusnya sesuai dengan urutan ahli waris wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita tersebut, atau pemimpin setempat, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, artinya:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (Diriwayatkan semua penulis sunan dan di-shahih-kan al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Dan karena Umar ibnu Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi kecuali dengan izin walinya atau orang bijak dari keluarga wanita atau pemimpin.”

Hukum-hukum bagi wali
Wali mempunyai sejumlah hukum yang harus diperhatikan, yaitu:
  1. Ia layak menjadi wali, yaitu laki-laki, baligh, berakal sempurna dan orang merdeka (bukan budak)
  2. Orang yang berhak menikahi seorang wanita harus meminta izin kepada walinya jika wanita tersebut gadis dan walinya adalah ayahnya sendiri, atau menanyakan wanita tersebut kepada walinya jika wanita tersebut janda dan walinya bukan ayahnya sendiri, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, artinya:
“Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan gadis itu harus dimintai izin, dan izinnya adalah diamnya.” (Diriwayatkan Imam Malik dengan sanad yang shahih)
  1. Perwalian wali yang dekat tidak sah dengan keberadaan wali yang lebih dekat. Jadi tidak sah perwalian saudara seayah dengan keberadaan saudara sekandung, atau perwalian anak saudara dengan keberadaan saudara.
  2. Jika seorang wanita meminta dua orang dari kerabatnya menikahkan dirinya, kemudian masing-masing dari keduanya menikahkannya dengan orang lain, maka wanita tersebut menjadi milik laki-laki yang lebih dahulu dinikahkan dengannya dan jika akad dilaksanakan pada waktu yang sama maka pernikahan wanita tersebut dengan kedua laki-laki tersebut batal

2. Dua orang saksi. Yang dimaksud dengan dua orang saksi bahwa akad nikah harus dihadiri dua orang saksi atau lebih dari laki-laki yang adil dari kaum Muslimin, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.”  (QS. Ath-Thalaq: 2)*
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Hadist ini cacat dan juga diriwayatkan Imam Syafi’i secara mursal. Imam Syafi’i berkata, “Sebagian besar para ulama mengamalkannya.” Itu pula yang dikatakan at-Tarmidzi).

Hukum-hukum bagi dua orang saksi
Diantara hukum-hukum bagi dua orang saksi ialah sebagai berikut:
  1. Saksi nikah harus dua orang atau lebih
  2. Kedua saksi tersebut harus adil, dan adil tersebut terlihat dengan menjahui dosa-dosa besar dan meninggalkan sebagian besar dosa-dosa kecil. Sedang orang fasik dengan melakukan zina, atau minum minuman keras, atau memakan harta riba itu tidak sah dijadikan saksi pernikahan, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.”  (QS. Ath-Thalaq: 2).
Dan karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dan ad-Daruquthni)
  1. Jumlah saksi disunnahkan diperbanyak pada zaman kita karena sedikitnya sifat adil pada zaman sekarang.

3. Shighat Akad Nikah
Shighat akad ialah ucapan calon suami, atau wakilnya pada saat akad nikah, “Nikahkan aku dengan anak putrimu yang bernama si Fulanah, “dan ucapan wali, “Aku nikahkan engkau dengan anak putriku yang bernama si Fulanah,” serta ucapan calon suami, “Aku terima pernikahan anak putrimu denganku.”

Hukum-hukum tentang shighat nikah
Shighat nikah mempunyai hukum-hukum, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Kesamaan suami dengan istri dalam arti suami adalah orang merdeka (tidak budak), berakhlak mulia, religius dan jujur karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika telah dating kepada kalian orang yang kalian ridhai akhlaknya dan agamanya, maka nikahkan dia (dengan anak putrid kalian). Jika tidak, maka terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar.” (Diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ia berkata hadist ini hasan gharib)
  1. Wakalah (mewakilkan) diperbolehkan dalam akad nikah. Jadi calon suami boleh mewakilkan siapapun dalam akad. Sedang calon istri, maka walinya yang melangsungkan akad pernikahannya.

4. Mahar, ialah sesuatu yang diberikan suami kepada istri untuk menghalalkan menikmatinya dan hukum mahar adalah wajib berdasarkan dalil-dalil berikut:
Firman Allah ta’ala,
“Dan berikan maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa: 4)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Carilah mahar kendati Cuma cincin dari besi.” (Muttafaq Alaih)

Hukum-hukum tentang mahar
Mahar mempunyai hukum-hukum, yaitu:
  1. Mahar disunnahkan murah, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.” (Diriwayatkan Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi dengan sanad dhahih).
Juga karena mahar putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Cuma empat ratus atau lima ratus dirham. (Diriwayatkan semua penulis sunan dan di-shahih-kan at-Tirmidzi). Juga karena mahar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sebesar empat ratus atau lima ratus dirham
  1. Mahar disunnahkan ditentukan bentuknya pada saat akad.
  2. Mahar boleh dengan sesuatu yang mubah yang lebih dari seperempat dinar, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Carilah mahar kendati Cuma cincin dari besi.” (Muttafaq Alaih).
  1. Mahar boleh dibayar kontan pada saat akad nikah, atau ditunda, atau sebagiannya saja ditunda, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya  kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu.” (QS. al-Baqarah: 237).
Hanya saja sebagian mahar sunnah diserahkan sebelum suami mengauli istrinya, karena Abu Daud dan an-Nasai meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu memberi sesuatu pada Fathimah sebelum berhubungan dengannya. Ali bin Abu Thalib berkata, “Aku tidak mempunyai apa-apa.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mana baju besimu?” Ali bin Abu thalib Radhiyallahu ‘Anhu memberikan baju besinya kepada Fathimah sebelum menggauli Fathimah.
  1. Mahar menjadi tanggungan suami pada saat akad menjadi wajib ketika suami menggauli istrinya. Jika suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya maka separuh mahar gugur darinya dan ia hanya berkewajiban membayar separuhnya, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya  kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu.” (QS. al-Baqarah: 237).
  1. Jika suami meninggal dunia sebelum menggauli istrinya dan setelah akad, maka istri berhak mewarisinya dan mendapatkan maharnya secara utuh, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memutuskan seperti itu. Itu jika maharnya telah ditentukan. Jika maharnya belum ditentukan, maka istrinya mendapatkan mahar sebesar mahar wanita yang selevel dengannya dan ia menjalani masa iddah sepeninggal suaminya.

(Disalin dari kitab Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim karya Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi terbitan Darul Falah)