Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Kamis, 03 Februari 2011

ISU PENYETARAAN GENDER, BENARKAH MENGANGKAT DERAJAT KAUM PEREMPUAN?

Hits:

Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Allah Ta’ala telah  menetapkan syariat Islam yang lengkap dan  sempurna, serta terjamin  keadilan dan kebenarannya. Allah Ta’ala berfirman:

{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ  صِدْقًا  وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ  الْعَلِيمُ}

“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an),  sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah  kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha  Mendengar lagi Maha  Mengetahui” (QS al-An’aam:115).

Artinya: al-Qur’an adalah firman  Allah Ta’ala yang benar  dalam berita yang terkandung di  dalamnya, serta adil dalam perintah dan  larangannya, maka tidak ada  yang lebih benar dari pada berita yang  terkandung dalam kitab yang  mulia ini, dan tidak ada yang lebih adil  dari pada perintah dan  larangannya[1].

Di antara bentuk keadilan syariat  Islam ini adalah dengan tidak  membedakan antara satu bangsa/suku dengan bangsa/suku  lainnya, demikian  pula satu jenis (laki-laki atau  perempuan) dengan jenis lainnya,  kecuali dengan iman dan takwa kepada  Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا   خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ   اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ}

“Hai manusia,  sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari  seorang laki-laki dan seorang  perempuan dan menjadikan kamu  berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya  kamu saling kenal-mengenal.  Sesungguhnya orang yang paling mulia di  sisi Allah ialah orang yang  paling bertakwa di antara kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi  Maha Mengenal” (QS  al-Hujuraat:13).

Dalam ayat lain Dia ‘Azza wa  jalla berfirman:

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ  أَوْ  أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً   وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa yang  mengerjakan amal saleh, baik  laki-laki maupun perempuan dalam keadaan  beriman, maka sesungguhnya akan  Kami berikan kepadanya kehidupan yang  baik (di dunia), dan sesungguhnya  akan Kami berikan balasan kepada  mereka (di akhirat) dengan pahala yang  lebih baik dari apa yang telah  mereka kerjakan” (QS an-Nahl:97).

Juga dalam firman-Nya:

{فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ  أَنِّي لَا  أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى  بَعْضُكُمْ  مِنْ بَعْضٍ}

“Maka Allah  memperkenankan permohonan mereka (dengan  berfirman): “Sesungguhnya Aku  tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang  beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena)  sebagian kamu adalah dari  sebagian yang lain” (QS Ali ‘Imraan:195).

Apresiasi Islam terhadap  kaum perempuan

Sungguh agama Islam sangat  menghargai dan memuliakan kaum permpuan,  dengan menetapkan hukum-hukum  syariat yang khusus bagi mereka, serta  menjelaskan hak dan kewajiban  mereka dalam Islam, yang semua itu  bertujuan untuk menjaga dan  melindungi kehormatan dan kemuliaan mereka[2].

Syaikh Shaleh al-Fauzan hafidhahullah berkata: “Wanita  muslimah memiliki kedudukan (yang agung) dalam  Islam, sehingga  disandarkan kepadanya banyak tugas (yang mulia dalam  Islam). Oleh karena  itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan  nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3],  bahkan  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan  wasiat  khusus tentang wanita dalam kutbah beliau di Arafah (ketika haji   wada’)[4].  Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada  kaum wanita  di setiap waktu…[5].

Di antara bentuk penghargaan Islam terhadap kaum perempuan adalah  dengan menyamakan mereka dengan kaum  laki-laki dalam mayoritas  hukum-hukum syariat, dalam kewajiban  bertauhid kepada Allah Ta’ala,  menyempurnakan keimanan, dalam  pahala dan siksaan, serta keumuman  anjuran dan larangan dalam Islam[6].

 Beberapa contoh  berikut ini menggambarkan besarnya  pemuliaan dan penghargaan Islam  terhadap kaum perempuan, yang  contoh-contoh ini justru dipakai oleh  para pengusung syubhat (kerancuan) penyetaraan gender untuk  menghujat hukum-hukum Islam yang  berkenaan dengan kaum perempuan.

1. Kewajiban  memakai jilbab (pakaian yang menutupi  semua aurat secara sempurna[7])   bagi wanita ketika berada di luar rumah.

Allah Ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ  لأزْوَاجِكَ  وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ  مِنْ  جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ  وَكَانَ  اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}

“Hai Nabi,  katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak  perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka  mengulurkan jilbabnya ke seluruh  tubuh mereka. Yang demikian itu supaya  mereka lebih mudah untuk  dikenal, sehingga mereka tidak  diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab:59).

Dalam ayat ini Allah ‘Azza wa  jalla menjelaskan kewajiban  memakai jilbab bagi wanita dan hikmah  dari hukum syariat ini, yaitu:  “supaya mereka lebih mudah untuk  dikenal, sehingga mereka tidak  diganggu/disakiti”.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini  menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari  orang-orang yang berakhlak  buruk) akan timbul jika wanita itu tidak  mengenakan jilbab (yang sesuai  dengan syariat). Hal ini dikarenakan  jika wanita tidak memakai jilbab,  boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afifah[8].(terjaga  kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat)  dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan   merendahkan/melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai   dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk)   terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”

2. Kewajiban  memasang hijab/tabir untuk melindungi  perempuan dari pandangan  laki-laki yang bukan mahramnya.

Allah Ta’ala berfirman  menerangkan hikmah agung  disyariatkannya hijab/tabir antara laki-laki  dan perempuan:

{وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ   وَقُلُوبِهِنَّ}

“Dan apabila kamu  meminta sesuatu (keperluan) kepada  mereka (isteri-isteri Nabi), maka  mintalah dari belakang tabir. Cara  yang demikian itu lebih suci bagi  hatimu dan hati mereka” (QS  al-Ahzaab:53).

Syaikh Muhammad bin Ibarahim Alu  syaikh rahimahullah berkata:  “(Dalam ayat ini) Allah menyifati hijab/tabir sebagai kesucian bagi  hatinya orang-orang yang beriman,  laki-laki maupun perempuan, karena  mata manusia kalau tidak melihat  (sesuatu yang mengundang syahwat,  karena terhalangi hijab/tabir) maka  hatinya tidak akan berhasrat  (buruk). Oleh karena itu, dalam kondisi  ini hati manusia akan lebih  suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya  fitnah (kerusakan) pun lebih  besar, karena hijab/tabir benar-benar  mencegah (timbulnya)  keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang  ada penyakit (dalam)  hatinya”[9].

3. Kewajiban  wanita untuk menetap di dalam rumah dan  hanya boleh keluar rumah jika  ada kepentingan yang dibenarkan dalam  agama[10].

Allah ‘Azza wa jalla  berfirman:

{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا   تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى, وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ   وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ, إِنَّمَا يُرِيدُ   اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ   تَطْهِيرًا}

“Dan hendaklah  kalian (wahai istri-istri Nabi)  menetap di rumah-rumah kalian dan  janganlah kalian bertabarruj  (sering keluar rumah dengan  berhias dan bertingkah laku) seperti  (kebiasaan) wanita-wanita  Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat,  tunaikanlah zakat dan  taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah  bermaksud hendak  menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait  (istri-istri Nabi) dan  membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS  al-Ahzaab:33).

Dalam hadits yang shahih  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya  wanita adalah aurat, maka jika dia  keluar (rumah) setan akan  mengikutinya (menghiasainya agar menjadi  fitnah bagi laki-laki), dan  keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya  (Allah Ta’ala) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”[11].

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah ketika menerangkan hikmah  agung diharamkannya tabarruj  dalam Islam, beliau berkata:  “Adapun dalam agama Islam maka perbuatan  ini (tabarruj)  diharamkan, dengan kuat dan kokohnya keimanan  yang menancap dalam hati  seorang wanita muslimah, dalam rangka  (mewujudkan) ketaatannya kepada  Allah Ta’alaShallallahu  ‘alaihi wa sallam,  serta (dalam rangka) menghiasi diri dengan  kesucian dan kemuliaan,  menghindarkan diri dari kehinaan, juga (dalam  rangka) menjauhi perbuatan  dosa, memperhitungkan pahala dan ganjaran  (dari-Nya), serta takut akan  siksaan-Nya yang pedih. Maka wajib bagi  para wanita muslimah untuk  bertakwa kepada Allah dan menjauhi (semua  perbuatan) yang dilarang oleh  Allah dan Rasul-Nya Shallallahu  ‘alaihi wa sallam, supaya  mereka tidak ikut serta dalam  menyusupkan kerusakan di dalam (tubuh)  kaum muslimin, dengan  tersebarnya perbuatan-perbuatan keji, merusak  (moral) anggota keluarga  dan rumah tangga, serta merajalelanya perbuatan  zina. Juga supaya  mereka tidak menjadi sebab yang mengundang pandangan  mata yang  berkhianat dan hati yang berpenyakit (yang menyimpan keinginan  buruk)  kepada mereka, sehingga mereka berdosa dan menjadikan orang lain  (juga) berdosa”[12].dan Rasul-Nya

4. Tugas dan  tanggung jawab kaum wanita, yaitu  mendidik dan mengarahkan anak-anak di dalam rumah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ألا كلكم راع وكلكم مسؤول عن  رعيته, …  والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤولة عنهم”

“Ketahuilah,  kalian semua adalah pemimpin dan kalian  semua akan dimintai  pertanggungjawaban tentang apa yang  dipimpinnya…seorang wanita (istri)  adalah pemimpin di rumah suaminya  bagi anak-anaknya, dan dia akan  dimintai pertanggungjawaban tentang  (perbuatan) mereka”[13].

Tugas dan tanggung jawab ini  menunjukkan agungnya kedudukan dan peran  kaum wanita dalam Islam,  karena merekalah pendidik pertama dan utama  generasi muda Islam, yang  dengan memberikan bimbingan yang baik bagi  mereka, berarti telah  mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat dan  umat Islam.

Syaikh Muhammad bin Shaleh  al-Utsaimin rahimahullah berkata:  “Sesungguhnya kaum wanita  memiliki peran yang agung dan penting dalam  upaya memperbaiki (kondisi) masyarakat, hal ini  dikarenakan (upaya) memperbaiki  (kondisi) masyarakat itu ditempuh dari  dua sisi:

- Yang pertama: perbaikan  (kondisi) di luar (rumah), yang dilakukan  di pasar, mesjid dan  tempat-tempat lainnya di luar (rumah). Yang  perbaikan ini didominasi  oleh kaum laki-laki, karena merekalah  orang-orang yang beraktifitas di  luar (rumah).

- Yang kedua: perbaikan di balik  dinding (di dalam rumah), yang ini  dilakukan di dalam rumah. Tugas  (mulia) ini umumnya disandarkan kepada  kaum wanita, karena merekalah  pemimpin/pendidik di dalam rumah…

Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan: bahwa  sesungguhnya kebaikan separuh atau  bahkan lebih dari (jumlah) masyarakat  disandarkan kepada kaum wanita.  Hal ini dikarenakan dua hal:

1. Jumlah kaum wanita sama dengan  jumlah laki-laki, bahkan lebih  banyak dari laki-laki. Ini berarti umat  manusia yang terbanyak adalah  kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan semua ini, maka  kaum wanita memiliki peran yang sangat besar dalam  memperbaiki (kondisi)  masyarakat.

2. Awal mula tumbuhnya generasi  baru adalah dalam asuhan para wanita,  yang ini semua menunjukkan  mulianya tugas kaum wanita dalam (upaya)  memperbaiki masyarakat[14].

Agama Islam membedakan  kaum perempuan dengan laki-laki untuk  memuliakan mereka.

 Adapun perbedaan antara laki-laki dan perempuan  dalam beberapa hukum syariat, maka ini  justru menunjukkan kesempurnaan  Islam, karena agama ini benar-benar  mempertimbangkan perbedaan kondisi  laki-laki dan perempuan, untuk  kemudian menetapkan bagi kedua jenis ini  hukum-hukum yang sangat sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka.

Inilah bukti bahwa syariat Islam  benar-benar ditetapkan oleh Allah ‘Azza  wa jalla, Dzat Yang  Maha Adil dan Bijaksana, Yang Maha Mengetahui  segala sesuatu yang  mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi  hamba-hamba-Nya. Allah  berfirman:

{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ  اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

“Bukankah Allah  yang menciptakan (alam semesta  beserta isinya) maha mengetahui (segala  sesuatu)? Dan Dia Maha Halus  lagi Maha Mengetahui” (QS  al-Mulk:14).

Ini semua menunjukkan bahwa agama  Islam benar-benar ingin memuliakan  kaum perempuan, karena Islam  menetapkan hukum-hukum yang benar-benar  sesuai dengan kondisi dan  kodrat mereka, yang dengan mengamalkan semua  itulah mereka akan  mendapatkan kemuliaan yang sebenarnya.

Ketika menjelaskan hikmah yang  agung ini, Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata: “Allah  Dialah yang menetapkan dan menakdirkan bahwa  laki-laki tidak sama  dengan perempuan, dalam ciri, bentuk dan kekuatan  fisik. Laki-laki  memiliki fisik dan watak yang lebih kuat, sedangkan  perempuan lebih  lemah dalam (kondisi) fisik maupun wataknya…

Dua macam perbedaan inilah yang  menjadi sandaran bagi sejumlah besar  hukum-hukum syariat.

Allah Yang Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci) dengan  hikmah-Nya yang tinggi telah  menetapkan adanya perbedaan dan  ketidaksamaan antara laki-laki dengan  perempuan dalam sebagian  hukum-hukum syariat, (yaitu) dalam tugas-tugas yang sesuai dengan  kondisi dan bentuk fisik, serta kemampuan  masing-masing dari kedua jenis  tersebut (laki-laki dan perempuan) untuk menunaikannya. (Demikian pula  sesuai dengan) kekhususan masing-masing  dari keduanya pada bidangnya  dalam kehidupan manusia, agar sempurna  (tatanan) kehidupan ini, dan agar  masing-masing dari keduanya  menjalankan tugasnya dalam kehidupan ini.

Maka Allah Ta’ala   mengkhusukan kaum laki-laki dengan  sebagian hukum syariat yang sesuai  dengan kondisi, bentuk, susunan dan  ciri-ciri fisik mereka …, (dan  sesuai dengan) kekuatan, kesabaran dan  keteguhan mereka (dalam  menjalankan hukum-hukum tersebut), (juga sesuai  dengan) semua tugas  mereka di luar rumah dan usaha mereka mencari nafkah  untuk keluarga.

Sebagaimana Allah Ta’ala mengkhususkan kaum perempuan  dengan sebagian hukum syariat yang sesuai dengan kondisi, bentuk,  susunan dan ciri-ciri fisik mereka …, (dan  sesuai dengan) terbatasnya  kemampuan dan kelemahan mereka dalam  menanggung (beban), (juga sesuai  dengan) semua tugas dan tanggung jawab mereka di dalam rumah, dalam  mengatur urusan rumah tangga, dan  mendidik anggota keluarga yang  merupakan generasi (penerus) bagi umat  ini di masa depan.

(Dalam al-Qur’an) Allah  menyebutkan ucapan istri ‘Imran:

{وليسَ الذكَرُ كالأُنْثى}

“Dan laki-laki  tidaklah sama dengan perempuan” (QS Ali ‘Imraan:36).

Maha suci Allah yang milik-Nyalah  segala penciptaan dan perintah  (dalam syariat Islam), dan  (milik-Nyalah) segala hukum dan pensyariatan.

{أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ,  تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ}

“Ketahuilah,  menciptakan dan memerintahkan hanyalah  hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam” (QS al-A’raaf:54).

Inilah iradah (kehendak)  Allah yang bersifat kauniyyah  qadariyyah (sesuai dengan takdir dan kodrat yang telah Allah ‘Azza  wa jalla tetapkan bagi  semua makhluk) dalam penciptaan,  pembentukan rupa dan bakat  (masing-masing makhluk). Dan inilah iradah (kehendak)-Nya yang  bersifat diniyyah syar’iyyah (sesuai  dengan ketentuan agama  dan syariat yang dicintai dan diridhai-Nya). Maka  terkumpullah dua iradah (kehendak) Allah ini (dalam hal ini)  untuk (tujuan)  kemaslahatan/kebaikan hamba-hamba-Nya, kemakmuran alam  semesta, dan  keteraturan (tatanan) hidup pribadi, rumah tangga,  kelompok, serta  seluruh masyarakat[15].

 

Penyetaraan gender justru  merusak kemuliaan kaum perempuan

Pada hakekatnya, isu penyetaraan  gender merupakan warisan dari  orang-orang zindik (orang-orang  munafik yang berkedok Islam)  yang bertujuan untuk merusak ajaran Islam  dan kemuliaan perempuan  muslimah[16].

Seruan ini benar-benar  bertentangan dengan fitrah kaum perempuan,  yang berarti dengan  merealisasikannya akan menzhalimi dan menganiaya  kaum perempuan, karena menempatkan dan membebani mereka dengan sesuatu  yang melebihi batas  kemampuan yang digariskan Allah I, Zat yang maha  mengetahui segala  sesuatu engan terperinci, kepada mereka[17].

Maka seruan yang sesat ini  termasuk penyebab utama terjadinya  berbagai macam kerusakan besar dalam akhlak dan moral yang terjadi di  masyarakat, karena ini termasuk  perbuatan maksiat kepada Allah ‘Azza  wa jalla. Allah Ta’alaberfirman:

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ   وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“Telah nampak  kerusakan di darat dan di lautan  disebabkan karena perbuatan tangan  (maksiat)[18]manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka  sebagian dari (akibat)  perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan  yang benar)” (QS Ar  Ruum:41).

Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyaahi rahimahullah[19] berkata: “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka   (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka  bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah Ta’ala)”[20].

Oleh sebab itu, Allah menamakan  orang-orang munafik sebagai  “orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi”, karena buruknya  perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam  menentang Allah ‘Azza wa  jalla dan rasul-Nya Shallallahu  ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا  تُفْسِدُوا فِي  الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ, أَلا  إِنَّهُمْ هُمُ  الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}

“Dan bila  dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu  membuat kerusakan di muka  bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami  orang-orang yang mengadakan  perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka  itulah orang-orang yang  membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS  al-Baqarah:11-12).

Penutup

 Dari keterangan  di atas, jelaslah bagaimana  besarnya penghargaan dan pemuliaan Islam  terhadap kaum perempuan, serta  rusaknya pemahaman orang-orang yang  menyerukan penyetaraan gender, yang  pada hakikatnya bertujuan untuk  merusak fitrah dan akhlak kaum  perempuan.

Allah Ta’ala telah  memperingatkan kita tentang keberadaan  orang-orang yang ingin merusak  fitrah manusia ini dan kerusakan yang  mereka lakukan dalam firman-Nya:

{وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ   عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا  مَيْلًا عَظِيمًا}

“Dan Allah hendak  menerima taubatmu, sedang  orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya  bermaksud supaya kamu berpaling  sejauh-jauhnya (dari kebenaran)”  (QS an-Nisaa’:27).

Oleh karena itulah, seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan  anugerah hidayah dari Allah Ta’ala untuk berpegang teguh dengan  agama ini, hendaklah dia merasa bangga  dalam menjalankan hukum-hukum  syariat-Nya. Karena dengan itulah dia  akan meraih kemuliaan yang hakiki  di dunia dan akhirat, dan semua itu  jauh lebih agung dan utama dari pada  semua kesenangan duniawi yang  dikumpulkan oleh manusia.

Allah Ta’ala berfirman:

{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ  وَبِرَحْمَتِهِ  فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا  يَجْمَعُونَ}

“Katakanlah:  “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,  hendaklah dengan itu mereka  (orang-orang yang beriman) bergembira  (berbangga), kurnia Allah dan  rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa  (kemewahan duniawi) yang  dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yunus:58).

“Karunia Allah” dalam ayat ini  ditafsirkan oleh para ulama ahli  tafsir dengan “keimanan kepada-Nya”,  sedangkan “Rahmat Allah”  ditafsirkan dengan “al-Qur’an”[21].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

{وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ  وَلِرَسُولِهِ  وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا  يَعْلَمُونَ}

“Dan kemuliaan  (yang sebenarnya) itu hanyalah milik  Allah, milik Rasul-Nya dan milik  orang-orang yang beriman, akan tetapi  orang-orang munafik itu tiada  mengetahui” (QS al-Munaafiqun:8).

Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dulunya kita adalah  kaum yang paling hina, kemudian Allah Ta’ala memuliakan kita  dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan  dengan selain  agama Islam ini, pasti Allah Ta’ala akan  menjadikan kita hina  dan rendah”[22].

Semoga Allah Ta’ala  menjadikan tulisan ini bermanfaat dan  sebagai nasehat bagi para wanita  muslimah untuk kembali kepada kemuliaan  mereka yang sebenarnya dengan  menjalankan petunjuk Allah ‘Azza wa  jalla dalam agama Islam.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا  محمد وآله  وصحبه أجمعين, وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 26 Rabi’ul awwal  1431 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni




[1] Lihat kitab  “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 174).

[2] Lihat kitab “al-Mar’ah, baina  takriimil Islam wa da’aawat tahriir”  (hal. 6).

[3] Misalnya dalam HSR al-Bukhari  (no. 3153) dan Muslim (no. 1468).

[4] Dalam HSR Muslim (no. 1218).

[5] Kitab “at-Tanbiihaat ‘ala  ahkaamin takhtashshu bil mu’minaat” (hal. 5).

[6] Lihat keterangan Syaikh Bakr  Abu Zaid rahimahullah dalam kitab  “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 17).

[7] Lihat kitab “hiraasatul  fadhiilah” (hal. 53).

[8] Kitab “Taisiirul Kariimir  Rahmaan” (hal. 489).

[9] Kitab “al-Hijaabu wa  fadha-iluhu” (hal. 3).

[10] Lihat kitab “hiraasatul  fadhiilah” (hal. 53).

[11] HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani  dalam “al-Mu’jamul  ausath”  (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu  Khuzaimah, Ibnu Hibban,  al-Mundziri dan Syikh al-Albani dalam  “Silsilatul ahaaditsish  shahiihah” (no. 2688).

[12] Kitab “hiraasatul fadhiilah”  (hal. 105).

[13] HSR al-Bukhari (no. 2416) dan Muslim (no. 1829).

[14] Kitab “Daurul mar-ati fi  ishlaahil mujtama’” (hal. 3-4).

[15] Kitab “hiraasatul fadhiilah”  (hal. 18-20).

[16] Ibid (hal. 21).

[17] Ibid.

[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir”  (3/576).

[19] Beliau adalah Rufai’ bin  Mihran ar-Riyaahi (wafat 90 H), seorang  Tabi’in senior yang terpercaya  dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam, lihat “Taqriibut tahdziib” (hal. 162).

[20] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir beliau  (3/576).

[21] Lihat keterangan Imam Ibnul  Qayyim rahimahullah dalam kitab  “Miftahu daaris sa’aadah”  (1/227).

[22] Riwayat Al Hakim rahimahullah dalam “Al Mustadrak” (1/130),  dinyatakan shahih oleh Al Hakim rahimahullahrahimahullah.dan disepakati  oleh Adz Dzahabi

Artikel: http://salafiyunpad.wordpress.com/
Sumber: ibnuabbaskendari.wordpress.com