Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Senin, 11 April 2011

Sekali Lagi, Berlemahlembutlah Wahai Ahlus Sunnah

Hits:

ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة

Oleh : Al-Muhaddits  al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd

Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Alloh semata, dan tidak ada kemampuan dan kekuatan melainkan atas izin Alloh. Semoga shalawat,  salam dan keberkahan senantiasa tercurahkan kepada hamba dan Rasul-Nya,  Nabi kita Muhammad, juga terhadap keluarga, sahabat dan siapa saja yang  mencintai beliau.

Wa ba’d : sesungguhnya, orang-orang dari kalangan ahlus  sunnah wal jama’ah yang menyibukkan diri dengan ilmu syar’i dan meniti  di atas jalan salaful ummah, mereka di zaman ini lebih butuh untuk  saling bersatu dan menasehati diantara mereka, terlebih lagi mereka  adalah golongan yang terhitung minoritas jika dibandingkan dengan  firqoh-firqoh dan kelompok-kelompok yang menyimpang dari manhaj salaful  ummah.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, di penghujung masa hidup dua  orang syaikh yang mulia, yaitu syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz dan  Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimîn rahimahumallâhu, sekelompok kecil yang sangat minoritas dari kalangan ahlus sunnah,  masih menyibukkan diri untuk memperingatkan (ummat) dari  kelompok-kelompok yang menyeleweng dari manhaj salaful ummah, dan ini  adalah tindakan yang patut dipuji dan disyukuri. Namun yang amat  disayangkan, pasca wafatnya kedua syaikh tersebut, sebagian dari  kelompok kecil ini mulai sibuk  mencela sebagian saudara-saudara mereka  sesama ahlus sunnah yang menyeru untuk berpegang teguh kepada manhaj  salaful ummah, baik di dalam ataupun luar negeri.

Padahal, termasuk hak mereka yang harus ditunaikan, adalah wajib  menerima kebaikan-kebaikan mereka, mendukung dan meluruskan mereka  apabila didapati suatu kesalahan yang apabila memang itu suatu  kesalahan. Kemudian hendaknya tidak menyibukkan diri di dalam majelis  menyebutkan kesalahan saudara-saudaranya dan mentahdzir mereka. Namun  hendaknya mereka sibuk dengan ilmu, mempelajari, mengajarkan dan  mendakwahkannya. Inilah manhaj yang lurus di dalam mencapai kebaikan dan perbaikan yang dipegang oleh syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, imam  ahlus sunnah wal jama’ah di zaman ini, semoga Alloh merahmati beliau.

Ahlus sunnah yang menyibukkan diri dengan ilmu di zaman ini sangat  sedikit jumlahnya, mereka lebih butuh untuk ditambah bukan  dikurang-kurangi, lebih butuh untuk saling bersatu bukan malah saling  memutuskan hubungan. Mungkin keadaan ini seperti yang dikatakan oleh  ahli Nahwu :

المصغَّر لا يصغَّر

“al-Mushoghghor laa yushoghghor“[1] .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmû’ al-Fatâwâ (51/27) :

“Kalian ketahui bahwa termasuk kaidah yang agung yang  menghimpun agama adalah menarik simpati, mempersatukan kalimat dan  memperbaiki hubungan diantara sesama, karena sesungguhnya Alloh Ta’ala  berfirman : “Bertakwalah dan perbaikilah hubungan diantara kalian“, dan firman-Nya : “dan berpegangteguhlah kalian dengan tali (agama) Alloh semuanya dan janganlah kalian berpecah belah” dan firman-Nya : “dan janganlah kalian berpecah belah dan berselisih setelah sampai kepada  kalian keterangan yang jelas dan bagi mereka ada siksa yang besar”  dan ayat-ayat semisal yang memerintahkan untuk bersatu serta melarang  dari berpecah belah dan berselisih. Mereka yang berpegang dengan pokok  inilah yang disebut ahlul jama’ah dan yang keluar dari pokok/landasan  ini disebut dengan ahlul furqoh.”

Saya telah menulis pembahasan seperti ini sebelumnya dalam risalah yang berjudul “Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah“, yang dicetak pertama kali tahun 1424 kemudian dicetak lagi pada tahun  1426, lalu dicetak kembali di dalam kumpulan buku dan risalah saya (Majmû’ al-Kutub war Rosâ’il Syaikh al-Abbâd) juz VI hal. 327-381 pada tahun 1428. Saya paparkan di dalamnya sejumlah besar teks ayat al-Qur’an, sunnah dan ucapan ulama muhaqqiq (peneliti) dari kalangan ahlus sunnah. Di dalam risalah ini, setelah muqoddimah terkandung beberapa bab pembahasan sbb :

  • Nikmat berbicara dan lisan
  • Menjaga lisan di dalam berbicara kecuali dalam hal kebaikan
  • Prasangka dan tajassus (mencari-cari kesalahan)
  • Ramah dan lemah lembut
  • Sikap ahlus sunnah terhadap seorang alim yang jatuh kepada kesalahan maka beliau diberikan udzur tidak malah dibid’ahkan dan dihajr (diboikot)
  • Fitnah tajrih (mencela) dan hajr pada sebagian ahli sunnah di zaman ini dan jalan keluarnya
  • Bid’ah menguji manusia dengan perseorangan
  • Peringatan dari fitnah tajrih dan tabdi’ (vonis bid’ah) pada sebagian ahli sunnah di zaman ini.

Namun amat disayangkan, akhir-akhir ini malah keadaannya semakin  runyam dengan adanya sebagian ahlus sunnah yang sibuk dengan celaan,  vonis bid’ah hingga muncul sikap saling menghajr. Pertanyaan seperti ini senantiasa berulang-berulang ditanyakan  : “Apa pendapatmu terhadap  fulan yang  menvonis bid’ah fulan”, “apakah saya membaca buku si fulan  yang dibid’ahkan oleh Fulan?” Bahkan sampai-sampai ada sebagian penuntut ilmu junior berkata  terhadap sesama mereka : “apa sikapmu terhadap  fulan yang dinvonis bid’ah fulan? Kamu harus punya sikap terhadap hal  ini, jika tidak kamu akan kami tinggalkan!!!” Hal ini semakin diperburuk dengan terjadinya hal seperti ini di sebagian negara Eropa dan  semisalnya yang para penuntut ilmu ahlis sunnah di dalamnya memiliki  perbendaharaan ilmu yang masih sangat minim, padahal mereka lebih sangat membutuhkan untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan melepaskan diri dari fitnah saling menghajr yang disebabkan oleh sikap taklid di dalam tajrih (mencela).

Manhaj seperti ini serupa dengan thoriqoh Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya mengatakan tentang jama’ahnya :

فدعوتُكم أحقُّ أن يأتيها الناس ولا تأتي أحداً … إذ هي جِماعُ كلِّ خير، وغيرها لا يسلم من النقص!!

“Dakwah kalian lebih utama untuk didatangi manusia bukan mendatangi  seseorang… Karena jama’ah ini mengumpulkan semua kebaikan, sedangkan  selain (jama’ah ini) tidak lepas dari kekurangan” (Mudzakkarât ad-Da’wah wad Dâ’iyah hal 232 cet. Dar asy-Syihab karya Syaikh Hasan al-Bannâ)

Beliau juga berkata :

وموقفنا من الدعوات المختلفة التي  طغت في هذا العصر ففرَّقت القلوبَ وبلبلت الأفكار، أن نزنها بميزان دعوتنا، فما وافقها فمرحباً به، وما خالفها فنحن براء منه!!

“Sikap kita terhadap dakwah-dakwah yang beraneka ragam yang memampoi  batas di zaman ini, yang memecah belah hati dan memporakporandakan  fikiran, adalah kita timbang dengan timbangan dakwah kita, apabila  selaras dengan dakwah kita maka marhaban (kita sambut), dan apabila menyelisihinya, maka kita berlepas diri darinya!!!” (Majmû’ah ar-Rosâ’il Hasan al-Bannâ hal. 240 cet. Dar ad-Da’wah th. 1411)

Termasuk kebaikan bagi mereka, para penuntut ilmu, ketimbang sibuk  dengan fitnah ini, lebih baik mereka sibukkan diri dengan membaca  buku-buku yang bermanfaat karya ahlus sunnah, terutama buku-buku ulama  zaman ini seperti fatwa-fatwa syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz,  fatwa-fatwa Lajnah ad-Dâimah lil Iftâ`, karya tulis Syaikh Ibnu  ‘Utsaimîn dan selainnya. Karena dengan demikian mereka akan memperoleh  ilmu yang bermanfaat dan selamat dari “qîla wa qôla” (desas-desus) dan  memakan daging saudaranya sesama ahlus sunnah.

Ibnul Qoyyim berkata di dalam “al-Jawâbul Kâfi” (hal. 203) :

ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز  من أكل الحرام والظلم والزنى والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغير  ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه، حتى يُرى الرجل يشار إليه بالدين  والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل  بالكلمة الواحدة منها أبعد مما بين المشرق والمغرب، وكم ترى من رجل متورع  عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما  يقول

“Sungguh aneh, ada orang yang mudah di dalam menjaga dan memelihara  dirinya dari memakan yang haram, berbuat aniaya, berzina, mencuri, minum khamr, memandang suatu yang haram dan perbuatan haram lainnya, namun ia berat di dalam menjaga gerakan lisannya. Sampai-sampai dapat anda  lihat, ada seorang lelaki yang dipuji agamanya, zuhudnya dan ibadahnya,  namun ia berbicara dengan suatu ucapan yang dimurkai Alloh, yang ia  anggap remeh. Dengan satu kata dari ucapan tersebut derajatnya turun  sejauh timur dan barat. Betapa banyak orang yang anda lihat, menjaga  diri dari perbuatan keji dan aniaya, namun lisannya gemar berbuat fitnah terhadap kehormatan manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah  meninggal, dan ia tidak mempedulikan apa yang diucapkannya.”  

Apabila didapati ada ucapan seorang ahli sunnah yang masih global dan terperinci, maka hendaknya berbaik sangka dengannya dan membawa  ucapannya yang global kepada yang terperinci, sebagaimana ucapan ‘Umar Radhiyallâhu ‘anhu : “Janganlah sekali-sekali kamu berprasangka terhadap ucapan yang  disampaikan saudara mukminmu melainkan dengan persangkaan yang baik dan  kamu dapati ucapannya memang bisa dibawa kepada kemungkinan yang baik”,  ucapan ini disebutkan oleh Ibnu Katsîr dalam menafsirkan Surat  al-Hujurât.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab ar-Radd ‘alal Bakri (hal 324) :

ومعلوم أن مفسر كلام المتكلم يقضي على مجمله، وصريحه يُقدَّم على كنايته

“Suatu hal yang sudah diketahui bersama bahwa ucapan yang terperinci itu menentukan ucapan yang global, dan ucapan yang jelas (shârih) itu lebih didahulukan daripada ucapan yang bersifat samar (kinayah).”

Beliau juga berkata di dalam kitab ash-Shôrimul Maslûl (2/512) :

وأَخْذ مذاهب الفقهاء من الإطلاقات من غير مراجعة لما فسروا به كلامهم وما تقتضيه أصولهم يجرُّ إلى مذاهب قبيحة

“Mengambil pendapat yang masih bersifat umum dari madzhab-madzhab  ahli fikih tanpa kembali kepada apa yang bisa menafsirkan perkataan  merka dan yang dikehendaki oleh ushul madzhab mereka, akan menghantarkan kepada madzhab yang buruk”

Beliau juga berkata dalam kitab al-Jawâbush Shahîh liman Baddala Dînal Masîh (4/44) :

فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به

“Wajib menafsirkan ucapan seseorang dengan ucapannya yang lain dan  mengambil perkataannya dari sana dan sini, sehingga bisa diketahui dari  kebiasaannya apa yang dimaksudkan dan dikehendaki dari lafal yang ia  kemukakan itu.”

Orang yang mengkritik dan dikritik itu tidak ma’shum dan tidak ada  seorangpun dari mereka yang lepas dari kekurangan dan kesalahan. Mencari kesempurnaan itu memang yang diinginkan, namun jangan sampai hal ini  mengecilkan bahkan menghilangkan kebaikan pada selainnya. Karena itu  tidak layak mengatakan : “Kalau tidak sempurna berarti tidak ada”, atau  “Kalau bukan cahaya sempurna berarti kegelapan”, bahkan seharusnya  menjaga cahaya yang kurang tersebut dan berupaya untuk menambahnya.  Apabila tidak bisa mendapatkan dua lentera atau lebih, maka satu lentera cahaya itu lebih baik daripada kegelapan.

Semoga Alloh merahmati syaikh kami, asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz  yang menghabiskan hidupnya dengan ilmu syar’i, mempelajarinya,  mengamalkan, mengajarkan dan mendakwahkannya. Beliau adalah orang yang  paling menganjurkan masyaikh dan para penuntut ilmu agar (sibuk)  mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau menasehati salah  satu masyaikh tentang hal ini, dan syaikh tersebut mengemukakan alasan  yang tidak diridhai oleh syaikh Ibnu Baz, beliau rahimahullâhu  mengatakan : “rabun tidaklah (sama dengan) buta”. Maksudnya adalah,  sesuatu yang tidak bisa diperoleh seluruhnya tidaklah ditinggalkan  sebagiannya. Apabila tidak ada penglihatan yang kuat dan hanya ada  pengelihatan yang lemah yaitu rabun, maka sesungguhnya rabun itu masih  lebih baik daripada kebutaan.

Syaikh (Ibnu Bâz) kehilangan pengelihatannya semenjak usia 20 tahun,  akan tetapi Alloh menganugerahkan kepada beliau cahaya bashirah, yang  orang khusus (para ulama) dan awam pun sudah mengetahui hal ini.

Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ Fatawa (10/364) :

فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور  الذي ليس بصاف وإلا بقي الناس في الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة إلا إذا حصل نور لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج  عن النور بالكلية

“Apabila tidak ada cahaya yang bersih/murni dan hanya ada cahaya yang masih belum bersih sedangkan manusia masih dalam kegelapan, maka tidak  sepatutnya mencela seseorang dan mencegah dari cahaya yang masih  tercampur kegelapan tersebut kecuali apabila sudah ada cahaya yang tidak tercampur lagi dengan kegelapan. Jika tidak, betapa banyak orang yang  menyimpang darinya akan keluar dari cahaya keseluruhannya.”

Dan yang juga semisal dengan ini adalah ucapan sebagian orang :  “Kebenaran itu seluruhnya tidak bertingkat/bercabang, ambillah  seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya”, jadi jika mengambil seluruhnya  adalah haq dan meninggalkan seluruhnya adalah bathil. Barang siapa yang  ada padanya kebenaran maka dinasehati untuk tetap pada kebenaran  tersebut dan berupaya untuk memperoleh kebenaran yang belum ada padanya.

Hajr yang terpuji adalah yang bermaslahat bukannya malah menyebabkan  mafsadat. Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ al-Fatâwâ (28/173) :

ولو كان كلما اختلف مسلمان في شيء تهاجرا لم يبق بين المسلمين عصمة ولا أخوة

“Jikalau setiap kali dua orang muslim berselisih pendapat terhadap  suatu hal dan langsung saling menghajr, niscaya tidak ada ada lagi  keterpeliharaan dan persaudaraan di antara kaum muslimin.”

Beliau juga berkata (28/206) :

وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين في قوتهم وضعفهم وقلتهم وكثرتهم؛ فإن المقصود به زجر المهجور وتأديبه ورجوع العامة عن مثل  حاله، فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته  كان مشروعاً، وإن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر،  والهاجر ضعيف، بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر إلى أن قال: ((إذا عُرف هذا، فالهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله،  فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله وأن تكون موافقة لأمره، فتكون خالصة لله  صواباً، فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجراً غير مأمور به كان خارجا عن هذا،  وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله)).

“Syariat hajr itu berbeda-beda dilihat dari fihak yang menghajr, dari sisi kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, dan tujuannya adalah  untuk membuat jera dan mendidik orang yang dihajr serta agar masyarakat  tidak melakukan perbuatannya. Apabila maslahat dari hajr itu lebih kuat, menyebabkan keburukan semakin lemah dan memudar, maka hajrnya  disyariatkan. Namun jika baik yang dihajr ataupun orang lain tidak  mendapatkan manfaat dari hajr dan bahkan malah semakin menambah  keburukan, sedangkan fihak yang menghajr dalam posisi lemah dan mafsadat dari hajr lebih besar daripada maslahatnya, maka hajr tidak  disyariatkan…” Sampai ucapan, “jika hal ini telah diketahui, maka hajr  yang syar’i itu termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Alloh dan  Rasul-Nya. Oleh karena itu, ketaatan itu haruslah ikhlas karena Alloh  dan haruslah sesuai dengan perintah-Nya. Sehingga ketaatan itu murni  untuk Allah dan benar pelaksanaannya. Maka barangsiapa yang melakukan  hajr karena hawa nafsunya, atau melakukan hajr yang tidak diperintahkan, maka ia telah keluar dari syariat. Betapa banyak perbuatan dilakukan  karena mempertutkan hawa nafsu, namun acapkali dikira karena ketaatan  kepada Alloh.”

Para ulama menyebutkan bahwa jika seorang alim melakukan kekeliruan,  tidak diikuti kesalahannya dan tidak pula berlepas diri darinya (dari  alim tersebut), kesalahannya diampuni karena masih banyaknya kebenaran  padanya. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu  Taimiyah dalam “Majmû’ Fatawa” (3/349) setelah perkataan sebelumnya :

ومثل هؤلاء إذا لم يجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعة الإسلام، يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه  وتعالى يغفر للمؤمنين خطأهم في مثل ذلك، ولهذا وقع في مثل هذا كثير من سلف  الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد، وهي تخالف ما ثبت في الكتاب  والسنة، بخلاف من والى موافقه وعادى مخالفه وفرق جماعة المسلمين…

“Orang-orang seperti mereka jika ucapan bid’ah dari para ulama tidak  dijadikan sebagai pemecah belah jama’ah kaum muslimin, dan dasar  menerapkan kecintaan dan permusuhan, maka mereka anggap termasuk bentuk  kesalahan, padahal Alloh Subhânahu wa Ta’âlâmengampuni kesalahan orang-orang mukmin dalam hal seperti ini. Karena  itulah, banyak para imam salaful ummah, mereka berpendapat dengan  ijtihadnya, namun menyelisihi al-Qur’an as as-Sunnah,( tetapi mereka  tidak berwala’ kepada yang menyepakatinya, memusuhi orang yang  menyelisihinya). Berbeda dengan orang yang loyal karena sepakat  dengannya, benci karena menyelisihinya dan memecah belah jama’ah kaum  muslimin…”

Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’ (14/39) :

ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد  المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى  الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة

“Sekiranya setiap imam yang keliru di dalam ijtihadnya pada suatu  masalah yang seharusnya mereka dimaafkan atasnya, namun kita malah  membid’ahkan dan menghajr mereka, niscaya tidak akan ada seorang alim  pun yang selamat, baik itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah dan ulama selain  mereka yang lebih senior. Dan Alloh, Dia-lah yang memberi petunjuk  makhluk-Nya kepada kebenaran dan Dia-lah yang paling maha pemurah. Kita  memohon perlindungan kepada Alloh dari hawa nafsu dan sikap keras.”

Beliau juga berkata (14/376) :

ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة  إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من  الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه

“Sekiranya setiap ulama yang bersalah di dalam ijtihadnya, dengan  keimanan yang benar dan bermaksud untuk mengikuti kebenaran, kita  tinggalkan dan kita vonis bid’ah, niscaya akan sangat sedikit para imam  yang selamat darinya. Semoga Alloh merahmati mereka semua dengan  anugerah dan kemuliaan-Nya.”

Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa terkadang tajrih (mencela kredibilitas perawi) itu didorong oleh hawa nafsu. Beliau berkata di dalam bukunya, “Shayidul Khâthir” (hal. 143) :

لقيت مشايخ أحوالهم مختلفة يتفاوتون في مقاديرهم في العلم، وكان أنفعهم لي في صحبته العامل منهم بعلمه وإن كان غيره أعلم منه، ولقد لقيت جماعة من علماء الحديث يحفظون ويعرفون ولكنهم كانوا يتسامحون  بغيبة ويخرجونها مخرج جرح وتعديل … ولقد لقيت عبد الوهاب الأنماطي فكان على قانون السلف ولم يُسمع في مجلسه غيبة…

“Saya menjumpai banyak masyaikh, dan keadaan mereka berbeda-beda  tingkatan keilmuannya. Yang paling bermanfaat diantara mereka yang  kusertai adalah mereka yang mengamalkan ilmunya walaupun ada dari selain mereka lebih alim darinya. Saya juga menjumpai segolongan ulama hadits  yang menghafal dan mengenal (ilmu hadits), akan tetapi mereka  memperbolehkan ghibah dan menganggapnya bagian dari cakupan Jarh wa  Ta’dil… Saya pernah bertemu dengan ‘Abdul Wahhab al-Anmâthi dan beliau  berada di atas pokok salaf, namun tidak pernah didengar di dalam  majlisnya beliau melakukan ghibah…”

Beliau juga berkata di dalam bukunya “Talbîs Iblîs” (2/689) :

ومن تلبيس إبليس على أصحاب الحديث قدح بعضهم في بعض طلباً للتشفي، ويُخرجون ذلك مخرج الجرح والتعديل الذي استعمله قدماء هذه  الأمة للذب عن الشرع، والله أعلم بالمقاصد

“Termasuk perangkap Iblis terhadap ahli hadits adalah, mereka saling  mencela satu sama lainnya untuk menuntut balas, dan mereka menganggap  hal ini dari cakupan jarh wa ta’dil, yang mana para ulama sebelumnya  menggunakannya sebagai pembelaan terhadap syariat, dan hanya Allohlah  yang mengetahui maksud tujuan mereka”

Apabila ini terjadi di zaman Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597  atau sekitar itu, lantas bagaimana kiranya dengan orang-orang di abad  ke-15?!

Baru-baru ini ada sebuah risalah bermutu berjudul “al-Ibânah ‘an  Kaifiyatit Ta’âmul ma’al Khilâf baina Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah” karya  Syaikh Muhammad bin ‘Abdillâh al-Imâm dari Yaman, dan risalah ini dipuji oleh lima ulama Yaman. Di dalamnya terkandung banyak nukilan dari ulama ahli sunnah baik terdahulu maupun sekarang, terutama Syaikhul Islam  Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim rohimahumâllâh, tentang  nasehat bagi ahlus sunnah untuk saling berbuat baik diantara mereka.  Saya telah menelaah sebagian besar isi risalah ini, dan memetik faidah  darinya berupa sumber rujukan sebagian penukilan yang dipaparkan di  dalam risalah ini, dari dua imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim. Oleh  karena itu saya menasehatkan untuk membaca risalah ini dan mengambil  manfaat darinya.

Alangkah bagusnya apa yang beliau (Syaikh Muhammad al-Imâm) katakan di dalam risalah ini (hal 170) :

وقد يجرِّح المعتبرُ بعضَ أهل السنة فتنشب فتن  الهجر والتمزيق والمضاربات، وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم، فعند  حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن، فالواجب إعادة النظر في  طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد، وفيما تدوم به الأخوة وتحفظ به  الدعوة وتعالج به الأخطاء، ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها  الضرر

“Terkadang seorang ulama mu’tabar (yang diakui) menjarh  sebagian ahlis sunnah yang mengakibatkan merebaknya fitnah hajr,  mengoyak (barisan) dan kekacauan, terkadang juga menyebabkan peperangan  diantara ahli sunnah sendiri, apabila konsekuensi (jarh tersebut)  seperti ini, maka diketahui bahwa jarh ini menghantarkan kepada fitnah,  oleh karena itu wajib mengevaluasi kembali cara tajrih dan melihat  kepada maslahat, kerusakannya dan  apa yang bisa membuat persaudaraan  tetap terjaga, dakwah tetap terpelihara dan kesalahan bisa terobati.  Tidak benar tetap bersikeras menggunakan cara jarh yang secara nyata  lebih menimbulkan madharat.”

Tidak ada keraguan bahwa para masyaikh dan penuntut ilmu lainnya dari ahli sunnah juga turut merasakan apa yang dirasakan oleh  saudara-saudara dari Yaman ini, mereka mengeluhkan terjadinya perpecahan dan perselisihan ini, dan mengharapkan untuk lebih mengedepankan  nasehat kepada saudara-saudara mereka, dan saudara-saudara kita dari  Yaman telah mendahului dalam hal ini, semoga Alloh membalas mereka  dengan kebaikan.

Semoga nasehat ini merupakan bagian dari sabda Nabi SAW :

الإيمان يمان والحكمة يمانية

“Keimanan dan hikmah dari arah kanan (dari arah negeri Yaman) ” (HR Bukhari (3499) dan Muslim (188).

Diharapkan nasehat dari saudara kita di Yaman ini dapat memberikan  kontribusi positif dari penulisan dan penyebarannya. Saya tidaklah  mengira akan ada seseorang dari ahli sunnah yang mendukung bentuk tajrih seperti ini (yang menyebabkan mafsadat, pent) dan berkonsentrasi  mengikutinya, dimana hal ini tidak akan membuahkan sesuatu melainkan  sikap permusuhan dan kebencian diantara ahli sunnah serta kerasnya hati.

Keheranan orang yang berakal tidak berhenti sampai di sini, di saat  kaum westernis lagi giat-giatnya merusak negeri Haramain setelah Allah  memperbaikinya. Terutama bencana moral di forum-forum mereka yang  diadakan di Jeddah, yang mereka sebut secara dusta dengan nama “Forum  Khadijah binti Khuwailid”, yang saya menulis tentang hal ini sebuah  risalah berjudul “Laa Yalîqu ittikhâdza Ism Khadîjah binti Khuwailid  ‘Unwânan Linfilâtin Nisâ’”. Saya katakan, di saat seperti ini, ada ahlus sunnah yang menyibukkan diri dengan saling mencela satu dengan lainnya  dan mentahdzir mereka.

Saya memohon kepada Alloh Azza wa Jalla agar memberikan taufiq kepada Ahlus sunnah di setiap tempat, agar tetap berpegang teguh dengan  sunnah, saling menyatu dan bekerjasama di dalam kebaikan dan takwa, dan  menghilangkan segala bentuk perpecahan dan perselisihan diantara mereka. Saya juga memohon kepada Alloh agar memberi taufiq kepada seluruh kaum  muslimin agar mau memahami agama dan tetap di atas kebenaran. Semoga  shalawat, salam dan keberkahan senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita  Muhammad, keluarga beliau dan sahabatnya.

16 Muharam 1432 H.

‘Abdul Muhsin bin Hamd al-’Abbad al-Badr

Selesai dialihbahasakan oleh Abu Salma al-Atsari dan diposting secara berkala ke Grup BB “Manhaj al-I’tidal”

Dikoreksi kembali oleh al-Ustadz Fakhruddin, Lc. (Mudir Ma’had Abu Hurairoh, Lombok)



[1] Al-Mushoghghor laa yushoghghor rasanya sulit untuk diterjemahkan. Secara maksud adalah : sesuatu yang sudah berbentuk tasghir tidak dapat lagi ditasghir.
Di dalam bahasa arab kita mengenal yang namanya ism tasghir, yang fungsinya untuk menganggap lebih kecil. Seperti contohnya :

‘Utsmân menjadi ‘Utsaimîn (‘Utsmân kecil)
‘Umar menjadi Umair (Umar kecil)
Thullab menjadi Thuwailib (penuntut ilmu kecil)

Maksud syaikh di sini adalah, ahlus sunnah itu sudah kecil, maka  janganlah diperkecil lagi dengan tindakan-tindakan saling mencela,  menghujat, dls. Jadi, sesuatu yang sdh kecil, jangan dikecilkan lagi.  Jadi rasanya tepat jika kaidah nahwu ini dianalogikan untuk  menggambarkan hal ini. Wallohu a’lam. (Pent.)

http://abusalma.net/?p=1129#more-1129