Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Kamis, 25 Agustus 2011

Nikah Tanpa Wali: Bolehkah?

Hadits dan Fiqih adalah dua sahabat karib yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling berkaitan erat bagi seorang alim, ibarat dua sayap bagi seekor burung. Dahulu Ali bin Madini pernah mengatakan:
“Mempelajari fiqih hadits adalah separuh ilmu, dan mempelajari rijal (rawi) hadits juga separuh ilmu”.[1]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata:
“Sungguh amat jelek sekali bagi seorang ahli hadits ketika ditanya tentang suatu kejadian, lalu dia tidak mengerti karena kesibukannya dalam mengumpulkan jalur-jalur hadits. Demikian pula sangat jelek bagi seorang faqih ketika ditanya: Apa maksud sabda Nabi ini, lalu dia tidak mengerti tentang keabsahan dan maknanya”. [2]
Oleh karenanya, bagi seorang yang menggeluti ilmu fiqih hendaknya dia melengkapinya dengan ilmu hadits. Imam asy-Syaukani berkata:
Seorang yang ingin menulis kitab fiqih  -sekalipun dia telah mencapai puncak yang tinggi- apabila dia tidak membidangi ilmu hadits dan pembedaan antara yang shahih dan lemah, maka kitab karyanya tidaklah dibangun di atas pondasi, sebab kebanyakan ilmu fiqih itu diambil dari ilmu hadits”. [3]
Sebagaimana juga bagi seorang yang menggeluti ilmu hadits hendaknya dia tidak lupa bahwa buah hadits adalah dengan mempelajari fiqihnya dan mengamalkannya, bukan hanya sekedar dalam jalur-jalur riwayatnya belaka. Ambilah kisah berikut sebagai ibrah!
Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 16/108 menceritakan bahwa Hamzah al-Kinani berkata:
“Saya pernah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan, sayapun merasa sangat gembira sekali, lalu saya bermimpi melihat Yahya bin Ma’in, akupun berkata padanya: Wahai Abu Zakariya! Saya telah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan. Beliau kemudian diam sejenak, lalu berkata: “Saya khawatir hal ini masuk dalam firman Allah:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”. (At-Taktsur: 1)
Maka alangkah indahnya apabila ilmu fiqih dan hadits dipadukan bersama!! Dan alangkah butuhnya kita kepada fiqih yang bersumber dari sunnah nabawiyyah shahihah!!.
  • Kajian berikut merupakan salah satu contoh tentang pentingnya paduan antara ilmu hadits dan fiqih. Kajian yang kami maksud adalah “nikah tanpa wali”, lantaran dalam sebagian madzhab (baca; Madzhab Hanafiyah) dan itu diikuti oleh sebagian saudara kita bahwa semua hadits-hadits yang berkaitan tentangnya adalah tidak shahih dari Nabi[4], sehingga mereka membuat suatu kesimpulan bahwa seorang wanita tidak perlu wali dan saksi dalam pernikahannya[5].
  • Oleh karenanya, sangat penting sekali bagi kita untuk mengkaji akar permasalahan ini sehingga nampak bagi kita cahaya kebenaran dan gelapnya kebatilan[6].
A. TAKHRIJ HADITS[7]
  • Hadits tentang bahasan kita kali ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, diriwayatkan dari banyak sahabat. Al-Hakim berkata dalam Al-Mustadrak 2/168: “Telah shahih riwayat tentangnya dari para isteri Nabi; Aisyah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy”. Lalu katanya: “Dan dalam bab ini terdapat pula riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Mu’adz, Abdullah bin Umar, Abu Dzar, Miqdad, Ibnu Mas’ud, Jabir, Abu Hurairah, Imran bin Hushain, Abdullah bin Amr, Miswar bin Makhramah dan Anas bin Malik”.[8]
  • Al-Ustadz yang mulia, A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawabnya hal. 245-247 telah mencantumkan sebelas hadits fakta pembahasan tetapi beliau mementahkan seluruhnya, sehingga beliau membuat sebuah kesimpulan pada hal. 253: “Pendeknya, sekalian riwayat yang menerangkan “Tidak sah nikah melainkan dengan wali” itu tidak sunyi daripada celaan tentang riwayatnya”. Katanya juga: “Tidak ada satupun yang betul-betul sah riwayatnya”.
  • Demikianlah ucapan beliau -semoga Allah mengampuninya-!! Tentu saja ucapan beliau ini perlu diteliti ulang kembali, sebab menurut penelitian ulama ahli hadits bahwa hadits ini adalah shahih. Oleh karenanya, perkenanlah kami sedikit memaparkan hadits pembahasan beserta sanggahan sesingkat mungkin atas kritikan Al-Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya-.
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah menambahkan ilmu bagimu- bahwa hadits tentang masalah ini telah shahih dari riwayat Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Berikut keterangannya:
I. Hadits Aisyah

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”.
  • SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 2083, Tirmidzi 1102, Ibnu Majah 1879, ad-Darimi 2/137, Ahmad 6/47, 165, Syafi’I 1543, Ibnu Abi Syaibah 4/128, Abdur Razzaq 10472, ath-Thayyalisi 1463, ath-Thahawi 2/4, Ibnu Hibban 1248, ad-Daraquthni 381, Ibnu Jarud 700, al-Hakim 2/168, al-Baihaqi 7/105, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/39 dari beberapa jalur yang banyak sekali dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah dari Nabi.
  • Hadits ini shahih dengan tiada keraguan di dalamnya. Adapun al-Ustadz yang mulia, A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- beliau mengatakan dalam Soal Jawabnya 253: “Keterangan ketiga dianggap lemah oleh sebagian ahli hadits[9], lantaran seorang bernama Zuhri yang meriwayatkan hadits ini, tatkala orang bertanya kepadanya dia menjawab: “Saya tidak meriwayatkan hadits itu”.
  • Beliau mengisyaratkan apa yang terdapat dalam riwayat Ahmad 6/47 usai hadits ini: “Ibnu Juraij berkata: Saya bertemu dengan Zuhri lalu saya bertanya kepadanya tentang hadits ini tetapi dia tidak mengetahuinya. Dan dia memuji Sulaiman bin Musa”.
Kritikan ini sangat mentah sekali, telah dibantah oleh para ulama ahli hadits dari beberapa segi:
1. Kisah ini dilemahkan oleh para ulama seperti Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, Ibnu Adi, Ibnu Abdil Barr, al-Hakim dan lain sebagainya, karena tambahan ini tidak diriwayatkan kecuali dari Ibnu ‘Ulayyah saja. [10]
2. Anggaplah kisah ini shahih, tetap tidak bisa dijadikan sebagai alasan melemahkan hadits ini, sebab lupanya Zuhri tidaklah mengharuskan bahwa Sulaiman bin Musa keliru. Masalah ini telah dikupas oleh Imam Daraquthni dalam kitab Man Haddatsa wa Nasiya (Orang-orang yang menceritakan hadits lalu lupa) dan para ulama lainnya. [11]
  • Al-Hakim berkata: “Telah shahih dengan riwayat para imam bahwa para perawi tersebut mendengar antara sebagian dari sebagian lainnya. Maka riwayat-riwayat ini tidaklah dimentahkan karena cerita Ibnu ‘Ulayyah dan pertanyaan kepada Ibnu Juraij dan ucapannya: Saya bertanya kepad Zuhri, tetapi dia tidak mengetahuinya”. Seorang yang terpercaya dan penghafal hadits terkadang lupa usai menceritakan hadits, sebagaimana tak sedikit ahli hadits tertimpa hal ini”. Ibnu Hibban juga berkata: “Hal ini tidak menjadikan cacat keshahihan hadits ini, karena seorang ahli ilmu yang kuat terkadang meriwayatkan kemudian lupa, sehingga ketika ditanya dia tidak mengetahuinya, jadi lupanya dia tidak menunjukkan batilnys hadits tersebut”. [12]
3. Sulaiman bin Musa tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Juraij, beliau dikuatkan oleh kawan-kawannya yang lain, diantaranya:
a. Hajjaj bin Artah sebagaimana dalam riwayat Ibnu Majah 1/580, Ahmad 6/260, Baihaqi 7/105
b. Ja’far bin Rabi’ah sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud 2084, Ahmad 6/66
c. Ubaidullah bin Abu Ja’far sebagaimana dalam riwayat ath-Thahawi 3/7
d. Ayyub bin Musa al-Qurasyi sebagaimana dalam riwayat Ibnu Adi dalam Al-Kamil 4/1516
4. Para ulama ahli hadits telah menshahihkan hadits ini. Berikut kami nukilkan sebagian komentar mereka:
  • Yahya bin Ma’in berkata: “Hadits Aisyah “Tidak sah pernikahan tanpa wali” tidak shahih hadits yang berkaitan akan hal ini kecuali hadits (dari jalur) Sulaiman bin Musa”.
  • Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla 9/465: “Tidak shahih dalam masalah ini selain sanad ini. Hal ini cukup sebagi dalil tentang saksi dalam pernikahan”.[13]
  • Tirmidzi berkata: “Hadits hasan”.
  • Al-Hakim berkata: “Hadits shahih menurut syarat Bukhari Muslim”.[14]
  • Ibnul Jauzi berkata dalam At-Tahqiq 3/71: “Hadits ini shahih, seluruh rawinya adalah para perawi shahih”.[15]
  • Adz-Dzahabi juga berkata dalam Tanqih Tahqiq 8/270: “Hadits shahih”.
  • Al-Albani menyimpulkan bahwa hadits ini pada asalnya hasan tetapi dapat naik kepada derajat shahih karena adanya beberapa syawahid (penguat) dari jalur lainnya. [16]
  • Demikian pula para ulama lainnya yang mencantumkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka yang khusus memuat hadits shahih seperti Ibnu Hibban, Ibnul Jarud, Abu Awanah dan sebagainya[17].
II. Hadits Abu Musa al-Asy’ari

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

Dari Abu Musa al-Asy’ari berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”.
  • SHAHIH. Diriwayatkan  Abu Dawud 2085, Tirmidzi 1/203, Ibnu Majah 1/580, Darimi 2/137, ath-Thahawi 2/5, Ibnu Abi Syaibah 4/131, Ibnul Jarud 702, Ibnu Hibban 1243, Daraquthni 38, al-Hakim 2/170, Baihaqi 7.107, Ahmad 4/393, 413, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/38 dari jalur Abu Ishaq as-Sabi’I dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asy’ari secara marfu’ (sampai kepada Nabi).
  • Hadits inipun shahih juga. Adapun Ustadz yang mulia A. Hassan, beliau berkata dalam Soal Jawabnya hal. 253: “Keterangan kedua dilemahkan oleh Ibnu Hibban dengan alasan bahwa yang meriwayatkan hadits itu tidak jumpa sendiri dengan Nabi, tetapi dengan perantaraan seorang sahabat yang tidak disebut namanya”.
Kritik ini sangat lemah sekali ditinjau dari beberapa segi:
1. Di kitab apakah hadits ini dilemahkan Ibnu Hibban, sebab setahu kami Ibnu Hibban malah mencantumkan hadits ini dalam kitab Shahihnya dan tidak berkomentar melemahkan hadits ini seperti dinukil oleh Ustadz A. Hassan. Bahkan Ibnu Hibban secara tegas dalam Shahih-nya 9/395 mengatakan bahwa hadits ini shahih secara mursal maupun bersambung dan tidak ada keraguan akan keshahihannya!!.
2. Anggaplah nukilan itu benar, maka alasan seperti di atas sangat tidak tepat sekali, sebab telah mapan dalam disiplin ilmu hadits bahwa semua sahabat adalah adil dan terpercaya, baik disebut namanya maupun tidak, apalagi dalam hadits pembahasan telah nyata disebut nama sahabatnya yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
3. Kritikan yang populer di kalangan ahli hadits adalah hadits ini diperselisihkan tentang bersambung dan tidaknya. Artinya, dalam riwayat dari Israil bin Yunus, Syarik bin Abdillah, Abu Awanah, Zuhair bin Muawiyah dan Qais bin Rabi’ dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi secara bersambung. Tetapi dalam riwayat Syu’bah dan Sufyan Tsauri dari Abu Ishaq dari Abu Burdah langsung dari Nabi tanpa menyebut Abu Musa al-Asy’ari. Namun kritikan inipun telah dijawab oleh para ulama:
  • Imam Tirmidzi berkata: “Riwayat orang-orang yang meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” menurut saya lebih shahih, sebab mereka mendengar dari Abu Ishaq dalam waktu yang berbeda-beda. Sekalipun Syu’bah dan Tsauri lebih kuat hafalannya daripada mereka, tetapi riwayat mereka menurutku lebih shahih karena Syu’bah dan Tsauri mendengar hadits ini dari Abu Ishaq dalam satu waktu. Bukti yang menunjukkan hal ini adalah apa yang diceritakan Mahmud bin Ghailan kepada kami: Menceritakan kami Abu Dawud: Menceritakan kami Syu’bah, dia berkata: Saya mendengar Syafi’I bertanya kepada Abu Ishaq: Apakah engkau mendengar Abu Burdah berkata bahwa Nabi bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali, lalu dia menjawab: Ya.
  • Hadits ini menunjukkan bahwa Syu’bah dan Tsauri mendengar hadits ini dalam satu waktu, sedangkan Israil sangat kuat riwayatnya dari Abu Ishaq. Saya mendengar Muhammad bin al-Matani berkata: Saya mendengar Abdur Rahman bin Mahdi mengatakan: “Tidaklah luput padaku hadits Tsauri dari Abu Ishaq kecuali saya mengandalkan pada Israil karena dia memiliki yang lebih sempurna”.
  • Al-Albani berkomentar dalam Irwaul Ghalil 6/238): “Tidak ragu lagi, ucapan Tirmidzi bahwa riwayat yang lebih shahih adalah riwayat jama’ah dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa secara marfu adalah pendapat yang benar, karena dzahir sanadnya adalah shahih. Oleh karena itulah sejumlah para ulama telah menilai hadits ini shahih, diantaranya adalah Ali bin Madini, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli sebagaimana diceritakan al-Hakim dan beliau juga menshahihkan serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan juga Bukhari sebagaimana diceritakan Ibnu Mulaqqin dalam al-Khulashah 2/143”.[18]
  • Alangkah bagusnya apa yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Kifayah hal. 413 dari Muhammad bin Harun al-Makki, dia berkata: Saya mendengar Bukhari pernah ditanya tentang hadits Israil dari Abi Ishaq dari Abu Burdah dari ayahnya dari Nabi “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”, maka beliau menjawab: “Tambahan dari orang yang terpercaya itu diterima, Israil bin Yunus adalah terpercaya. Sekalipun Syu’bah dan Tsauri memursalkannya (menjatuhkan sahabat Abu Musa al-Asy’ari) namun hal itu tidak membahayakan hadits”.[19]
Demikianlah ucapan Imam Bukhari. Cukuplah kiranya hal itu sebagai hujjah yang kuat. Dengan demikian, seorang yang mengerti ilmu hadits tidak akan meragukan tentang keabsahan hadits ini. Lantas, bagaimana kiranya apabila digabungkan dengan riwayat-riwayat lainnya??!!
Kesimpulan, hadits pembahasan ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, apalagi didukung oleh riwayat-riwayat lainnya yang masih banyak lagi[20].
Saudaraku, sebenarnya hati ini masih berkeinginan untuk memaparkan hadits-hadits lainnya, namun sepertinya kita cukupkan sampai sini dulu karena kita harus berpindah kepada point penting lainnya, yaitu fiqih hadits ini. Wallahul Muwaffiq.
B. FIQIH HADITS[21]
Berangkat dari hadits-hadits di atas, maka mayoritas ulama berpendapat seperti kandungan hadits tersebut.
  • Imam al-Baghawi berkata: “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pandapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’I, Abdullah bin Mubarak, Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq”. [22]
  • Termasuk ulama yang berpendapat seperti itu juga adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua sahabat Abu Hanifah[23]. Bahkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/187 menyebutkan dari Ibnu Mundzir bahwa tidak diketahui dari seorang sahabatpun yang menyelisihi hal itu[24].
  • Kembali kepada hadits pemabhasan, di muka tadi kami menerjemahkan (tidak sah pernikahan seorang kecuali dengan wali). Terjemahan ini dikritik oleh Ustadz. A. Hassan dalam Soal Jawab-nya hal. 254: “Hadits-hadits itu tidak boleh diartikan begitu, karena kalau kita artikan tidak sah nikah dengan tanpa wali niscaya berlawanan dengan beberapa hadits, diantaranya:

الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا

“Wanita janda lebih lebih berhak dengan dirinya daripada walinya”. [25]
Kami jawab dengan tidak mengurangi penghormatan saya dan pengakuan saya terhadap ilmu Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya-:
1. Terlebih dahulu kita harus memahami sebuah kaidah yang populer di kalangan ulama bahwa nafi (peniadaan) itu pada asalnya bermakna tidak ada, kemudian tidak sah, kemudian tidak sempurna. Jadi apabila kita menjumpai dalam Al-Qur’an dan sunnah peniadaan sesuatu, maka pada asalnya bermakna “tidak ada” terlebih dahulu, contohnya:

لاَ خَالِقَ لِلْكَوْنِ إِلاَّ اللهُ

Tidak ada pencipta alam kecuali Allah”
  • Kalau ternyata yang ditiadakan itu wujudnya ada, maka kita artikan “tidak sah”. Contohnya:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْكِتَابِ

Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Al-Fatihah”
  • Di sini tidak mungkin diartikan “tidak ada” karena memang wujud shalat itu ada.
Kalau tidak mungkin diartikan demikian, lantaran suatu ibadah tetap sah tanpa adanya sesuatu tersebut, maka kita artikan tidak sempurna, bukan tidak sah. Contohnya hadits:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman seorang sehingga dia mencintai saudaranya apa yang dia cinta untuk dirinya”.
  • Di sini tidak mungkin diartikan “tidak sah” karena keimanan seorang tetap ada sekalipun dia tidak melakukan hal itu. [26]
  • Berangkat dari kaidah di atas, maka terjemahan hadits pembahasan “La Nikaha Illa bi Wali” yang paling tepat adalah kita terjemahkan “Tidak sah pernikan kecuali dengan wali”.
Kalau ada yang bertanya: Mengapa tidak diartikan “tidak ada” atau “tidak sempurna” saja?!  Kami jawab: Tidak mungkin kita menerjemahkan seperti itu. Adapun terjemahan “tidak ada”, maka sungguh tidak tepat sekali, karena kenyataan di dunia membuktikan bahwa ada sebagian wanita yang menikah tanpa wali.
Sedangkan terjemahan “tidak sempurna” inipun tidak tepat juga, sebab selagi kita bisa mengartikannya dengan “tidak sah” maka kita tidak mengartikannya dengan “tidak sempurna”, karena inilah dzahir lafadz hadits dan urutan yang lebih pertama. Apalagi secara tegas dalam hadits Aisyah dinyatakan “maka nikahnya batil, batil, batil”. Lantas bagaimana kita akan mengatakan sah padahal Nabi mengatakan batil alias tidak sah?!
  • Jadi, kita mengartikannya dengan “tidak sah” sampai ada dalil yang menunjukkan tentang sahnya pernikahan tanpa wali.[27]
2. Adapun dalil yang digunakan oleh Ustadz A. Hassan untuk merubah makna hadits ini, maka hal ini sangat lemah sekali ditinjau dari beberapa segi:
a. Hadits pembahasan kita adalah hadits yang muhkam dan jelas sekali, adapun hadits yang dibawakan oleh Ustadz A. Hassan itu tidak jelas menunjukkan bahwa wanita janda boleh menikah tanpa wali. Maka bagaimana mungkin kita meninggalkan dalil yang jelas karena dalil yang tidak jelas?!
b. Jawaban atas hadits ini ditinjau dari dua segi:
Pertama: Maksud hadits ini bukan berarti wanita janda boleh menikah tanpa wali, tetapi maksudnya adalah bahwa wanita janda itu tidak boleh dinikahkan sehingga dia diajak musyawarah dan dimintai pendapatnya serta dijelaskan perkaranya sejelas mungkin, tidak boleh hanya cukup dengan pendapat dan pandangan wali saja. Hal ini sangat jelas sekali apabila kita mengamati hadits ini secara lebih sempurna:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوْتُهَا

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bersabda: “Wanita janda itu lebih berhak tentang dirinya daripada walinya, dan wanita gadis dimintai izin, dan izinnya adalah diamnya”.
  • Hadits ini selaras dengan hadits-hadits lainnnya seperti:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ, وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Wanita janda tidak dinikahkah sehingga diajak musyawarah, dan anak gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izin”. Mereka bertanya: Wahai rasulullah! Bagaimana izinnya? Dia menjawab: “Diamnya”.
  • Jadi nampak jelaslah bagi kita bahwa pembicaraan hadits ini berkaitan tentang izin dan keridhaan wanita, bukan masalah melangsungkan akad pernikahan.
.
Kedua: Perlu diketahui bahwa lafadz “dia lebih berhak” menunjukkan bahwa kedua-duanya memiliki hak, hanya saja wanita janda lebih berhak daripada walinya karena tidak mungkin bagi wali untuk menikahkannya kecuali setelah ridhanya. Berarti wali itu punya hak yaitu dalam akad dan wanita juga punya hak yaitu izin dan keridhaannya. Dengan demikian dapat kita padukan antara keduanya, yakni si wanita lebih berhak dalam masalah izin dan tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dalam akad.
  • Ibnul Jauzi berkata dalam At-Tahqiq 8/292: “Adapun hadits (Ibnu Abbas), maka Nabi menetapkan bagi si wanita sebuah hak dan menjadikannya lebih berhak daripada wali, karena memang tugas wali hanyalah melangsungkan akad pernikahan dan tidak boleh baginya untuk menikahkan kecuali dengan izin si wanita”. [28]
c. Rawi hadits tersebut adalah sahabat Abdullah bin Abbas, sedangkan pendapat beliau adalah mengatakan tidak sah pernikahan kecuali dengan wali[29].
Dan kita tahu semua sebuah kaidah “perawi itu lebih mengerti tentang maksud riwayat yang dia bawakan”.
C. NASEHAT DAN SERUAN
  • Syaikh Ahmad Syakir berkata: “Tidak diragukan lagi oleh seorangpun yang menggeluti ilmu hadits bahwa hadits “Tidak sah pernikahan tanpa wali” adalah hadits yang shahih dengan sanad-sanad yang hampir mencapai derajat mutawatir ma’nawi yang pasti maknanya. Hal itu merupakan pendapat mayoritas ulama dan didukung oleh fiqih Al Qur’an, tidak ada yang menyelisihi hal ini –sepengatahuan saya- kecuali para ahli fiqih Hanafiyyah dan yang mengekor kepada mereka. Bagi ulama pendahulu, mereka masih memiliki udzur karena ada kemungkinan belum sampai hadits ini kepada mereka, tetapi bagi orang belakangan, mereka telah dibutakan oleh fanatik madzhab sehingga serampangan dalam melemahkan hadits atau memalingkan artinya tanpa alasan yang kuat.
  • Kenyataan yang dapat kita saksikan pada kebanyakan negera muslim yang berpegang pada madzhab Hanafiyyah dalam masalah ini adalah kerusakan akhlak dan kehormatan, sehingga menjadikan pernikahan kebanyakan para wanita yang menikah tanpa wali adalah bathil dan merusak nasab.
  • Saya menghimbau kepada para ulama dan tokoh Islam di setiap negeri dan tempat untuk mengkaji ulang tentang masalah krusial ini dan kembali kepada perintah Allah dan rasulNya berupa persyaratan wali dalam nikah sehingga dengan demikian para wanita akan terselamatkan dari mara bahaya yang menghadang mereka”. [30]
D. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kesimpulan pembahasan ini ada dalam dua point berikut:
1. Hadits pembahasan adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya.
2. Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa wali.
  • Akhirnya, demikianlah keterangan singkat tentang pembahasan ini, semoga dapat menghilangkan kesamaran dan membuat terang kebenaran, sehingga harapan kami kepada sebagian saudara kami yang masih berpemahaman salah untuk mengkaji lagi masalah ini dan kembali kepada jalan kebenaran. Alangkah bagusnya ucapan Ustadz A. Hassan  -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawab-nya hal. 262: “Kalau ada keterangan kuat yang dapat merubah pendirian itu, saya tidak akan mundur untuk menerimanya”.
  • Kami menyadari bahwa beliau dalam hal ini telah berusaha semaksimal mungkin mencari titik kebenaran dan kami juga menyadari bahwa beliau dalam hal ini mengikuti pendapat sebagian ulama sebelumnya, tetapi kami juga menyadari bahwa kebenaran adalah di atas segalanya sehingga tidak menutup pintu kritik terhadap pendapatnya, dan tidak ada yang ma’shum dari kesalahan selain Rasulullah.
  • Kita tutup pembahasan ini dengan ucapan Syaikh al-Albani: “Kenapa pendapat yang sesuai dengan hadits shahih ini ditinggalkan hanya karena pendapat salah seorang dari imam kaum muslimin?! Benar, kita menghargai pendapat para imam, tetapi pendapat itu memiliki arti tatkala tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan sunnah. Semua kita membaca dalam kitab-kitab ushul ucapan para ulama:

إِذَا وَرَدَ الأَثَرْ بَطَلَ النَّظَرْ

Apabila ada dalil maka gugurlah pendapat.

إِذَا جَاءَ نَهْرُ اللهْ بَطَلَ نَهْرُ مَعْقِلْ

Apabila ada dalil gugurlah logika.

لاَ اجْتِهَادَ فِيْ مَوْرِدِ النَّصِّ

Tidak ada ijtihad apabila ada nash..
Semua kaidah ini telah diketahui bersama. Lantas kenapa kita tidak menerapkan kaidah-kaidah ini, malah menerapkan pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah?!”. [31]Dahulu juga pernah dikatakan:

فَلَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا                         إِلاَّ خِلاَفٌ لَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ

Tidak semua perselisihan itu dianggap
Kecuali perselisihan yang memiliki kekuatan dalil.[32]
.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
abiubaidah.com

[1] Al-Jami’ li Akhlaq Raw wa Adab Sami’i, al-Khathib al-Baghdadi2/211. [2] Shaidul Khathir hal. 399-400.
[3] Adab Thalab hal. 71.
[4] Lihat Al-Mughni Anil Hifdzi wal Kitab hal. 407 oleh Syaikh Umar bin Badr al-Mushili al-Hanafi dan Bada’I Shana’I’ 2/371 oleh al-Kasani.
[5] Lihat Al-Mabsuth 3/10 as-Sarakhsi.
[6] Bahasan ini juga sekaligus melengkapi makalah yang pernah ditulis oleh akhuna wa ustadzuna Abu Yusuf Ahmad Sabiq “Nikah Sirri Dalam Timbangan Syar’I” yang dimuat dalam Majalah Al Furqon edisi 12/Th. 3
[7] Diramu dari Irwaul Ghalil 6/243/1840 oleh al-Albani dan Junnatul Murtab hal. 407-418 oleh Abu Ishaq al-Huwaini dengan beberapa tambahan.
(Faedah): Al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathi memiliki buku khusus tentang jalur-jalur hadits ini sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhis Habir 3/156. Dan sebagian penulis hadits masa kini, Syaikh Muflih bin Sulaiman ar-Rusyaidi juga memiliki buku khusus tentang hadits ini berjudul “At-Tahqiq Al-Jali li Hadits La Nikaha Illa biwali”, cetakan Muassasah Qurthubah, Mesir.
[8] Lihat perincian takhrij riwayat-riwayat ini dalam risalah “At-Tahqiq al-Jaliy li Hadits Laa Nikaha ‘Illa bi Wali” oleh Syaikh Muflih bin Sulaiman –semoga Allah membalas kebaikan padanya-.
[9] Diantaranya adalah Imam ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 3/8, cet Darul Kutub Ilmiyyah.
[10] Lihat Ilal Hadits 1/408 Ibnu Abi Hatim, al-Kamil Ibnu Adi 3/1115, at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157.
[11] at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157).
[12] Lihat pula Al-Muhalla Ibnu Hazm 9/453 dan at-Tahqiq Ibnul Jauzi 8/273).
[13] Ucapan Imam Yahya bin Ma;in dan Ibnu Hazm di atas tidak sepenuhnya benar, karena penelitian menunjukkan bahwa telah shahih juga dari riwayat sahabat yang lain, hanya saja riwayat Aisyah ini adalah riwayat yang paling shahih.
[14] Sekali-kali tidak, Sulaiman bin Musa bukanlah rawi Imam Bukhari. (Irwaul Ghalil al-Albani 6/246), yang benar sanad hadits ini adalah hasan dan bisa naik kepada shahih karena adanya beberapa penguat lainnya.
[15] Ibnu Abdil Hadi membantah dalam At-Tanqih 3/261 bahwa Sulaiman rawi yang hasan, bukan perawi Bukhari Muslim.
[16] Irwaul Ghalil 6/246).
[17] Lihat pula Bulughul Maram hal. 70 oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, tahqiq Samir az-Zuhairi, cet kedua.
[18] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 9/345 menukil dari al-Marrudzi: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in tentang hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”, lalu keduanya menjawab: Shahih”.  Saya berkata: Dan dishahihkan juga oleh Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitabnya Ikhtilaf Ulama hal. 121, al-Baihaqi, Dhiya’ dan banyak ahli hadits sebagaimana dalam Subulus Salam ash-Shan’ani 6/26, an-Nawawi dalam Syarh Muslim 9/208, bahkan sebagian ulama menilainya mutawatir seperti as-Suyuthi seebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadir 6/437 dan al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 157-158. Wallahu A’lam.
[19] Al-Hafizh adz-Dzahabi juga berkata dalam Siyar Nubala’ 7/359: “Saya lebih condong mendahulukan Israil pada riwayat kakeknya daripada Syu’bah dan Tsauri, sebab Israil adalah kepercayaan kakeknya. Disamping ilmu dan hafalannya yang kuat, beliau juga orang yang khusyu’ dan shalih”. Kemudian saya mendapati keterangan Imam Ibnu Qayyim yang sangat bagus dalam Tadzib Tahdzib 6/74 -Aunul Ma’bud-, beliau menguatkan riwayat Israil ini ditinjau dari lima segi. Walhamdulillah.
[20] Lihat Sunan Kubra al-Baihaqi 7/107, At-Tanqih Ibnul Jauzi 8/270-290, Nasbur Rayah az-Zailai’I 3/341-349, Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/1173-11735, Irwaul Ghalil al-Albani6/235-243, Junnatul Murtab Abu Ishaq al-Huwaini 418-429.
[21] Lihat faedah-faedah hadits ini dalam Ma’alim Sunan al-Khothobi 3/196-197
[22] Syarh Sunnah 9.40-41.
[23] Syarh Ma’ani Atsar ath-Thhawi 3/7.
[24] Adapun hikmah dari syarat wali nikah bagi wanita adalah menjaga kaum wanita karena mereka mudah tertipu oleh kaum lelaki. (Al-Mughni 9/347 Ibnu Qudamah). Diantara hikmahnya juga adalah untuk membendung jalan perzinaan, karena seorang pezina dengan amat mudahnya nanti akan mengatakan kepada wanita: “Nikahilah aku dengan sepuluh dirham” dan saksinya adalah kedua temannya!! (I’lam Muwaqqi’in Ibnu Qayyim 5/59).
[25] HR. Muslim 1421
[26] Syarh Mumti’ 1/158-159 oleh Ibnu Utsaimin).
[27] Lihat I’lam Muwaqqi’in Ibnu Qayyim 6/175, Faidhul Qadir al-Munawi 6/4371, Subulus Salam ash-Shan’ani6/27, Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin2/70).
[28] Lihat pula Al-Hawi Al-Kabir al-Mawardi11/65, Syarh Shahih Muslim Nawawi 9/208, Subulus Salam ash-Shan’ani 6/37.
[29] Lihat Mu’jam Kabir ath-Thabrani 12483.
[30] Umdah Tafsir 2/123
[31] Ath-Thasfiyah wa Tarbiyah hal. 25.
[32] Ucapan Abul Hasan bin al-Hashshar dalam qashidahnya tentang surat makiyah dan madaniyah di kitabnya An-Nasikh wal Mansukh. Lihat Al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.


Sumber: http://abiubaidah.com/nikah-tanpa-wali-bolehkah.html/
read more “Nikah Tanpa Wali: Bolehkah?”

Rabu, 24 Agustus 2011

Orang Tua Tak Merestui Hubungan Kami

Monday February 8, 2010 02:06

Ustadz, Saya sedang bimbang, karena orang tua tidak menyukai lelaki pilihan saya, dengan alasan secara fisik tidak pantas bersanding dengan saya. Saya diminta putus padahal sudah 7 tahun saya jalani. Perlu diketahui, pasangan saya bertubuh sangat kurus dan berkulit hitam, namun dia sudah bekerja dan beragama muslim. Apa yg harus saya lakukan ustad?
Terima Kasih.
Seorang Muslimah
Alamat: Surabaya
Email: aldya_xxxxx@yahoo.com
Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc. menjawab:
Pertama: Ukhti… Perlu kita ingat kembali bahwa hukum wanita menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan mahrom (pacaran) adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Dan janganlah kalian mendekati zina, karena ia merupakan suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk“. (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini melarang dan mengharamkan kita untuk mendekati zina, apapun bentuknya. Dan diantara bentuk perbuatan mendekati zina adalah pacaran.
Ingat pula sabda Nabi -Shallallahu’alaihi Wasallam-:
?? ???? ??? ??? ??? ??? ??? ?? ?????? ???? ??? ?? ?????? ???? ????? ?????? ???? ?????? ??????? ?????? ???? ??????? ?????? ?????? ??? ??? ???????? (???? ??????? 6243, ????? 2657)
Sesungguhnya Alloh mentakdirkan untuk anak adam, bagian zina yang ia pasti akan melakukannya. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah dengan bertutur kata, dan hatinya berangan-angan dan menyenangi sesuatu. Sedang kemaluannya, bisa jadi ia menuruti semua itu, dan bisa juga ia tidak menurutinya”. (HR. Bukhari no.6243, Muslim no.2657)
??? ???? ?? ??? ????? ????? ?? ???? ??? ?? ?? ?? ??? ????? ?? ??? ?? (???? ???????? ????? ???????? ?? ??????? 226)
Andai saja kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan penusuk dari besi, itu lebih baik bagi dia, daripada memegang wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Thabarani, dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits no: 226)
Dan Islam tidak melarang sesuatu, kecuali karena adanya banyak mafsadah di dalamnya, atau mafsadah-nya lebih besar dari pada manfaatnya. Baik mafsadah itu kita rasakan langsung atau tidak.
Oleh karena itu, mohonlah ampun kepada Alloh dan bertaubatlah, karena Rasul -Shallallahu’alaihi Wasallam- juga bersabda:
?? ??? ??? ????? ???? ???????? ???????? (???? ??????? 2499, ????? ????????)
Setiap anak adam itu banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya itu mereka yang banyak taubatnya”. (HR. Tirmidzi: 2499, dan di-hasan-kan oleh Al Albani)
Kedua: Jangan kita lupakan pula, bahwa kita terlahir di dunia, -dari bayi yang tidak tahu apa-apa, hingga dewasa sehingga kaya ilmu-, adalah atas jasa orang tua kita. Oleh karena itulah Islam sangat menekankan masalah berbakti kepada orang tua, membahagiakan mereka, dan tidak durhaka pada mereka. Bahkan Nabi -Shallallahu’Alaihi Wasallam- bersabda:
??? ???? ?? ??? ???????? ???? ???? ?? ??? ????????
Keridhaan Allah itu terletak pada keridhaan kedua orang tua, dan (sebaliknya) kemurkaaan Allah (juga) terletak pada kemurkaan kedua orang tua“.
Apalagi, kita juga nantinya akan menjadi orang tua bagi anak-anak kita, bukankah ketika itu, kita juga ingin agar anak kita berbakti pada kita, membahagiakan kita, dan tidak mendurhakai kita?! Jika kita nantinya ingin seperti ini, maka hendaklah sekarang kita melakukannya untuk orang tua kita, karena balasan sesuatu itu sesuai dengan amalan yang kita lakukan. (fal jaza’u min jinsil amal)
Ketiga: Islam sangatlah menghormati wanita, dan melindunginya dari segala sesuatu yang merugikan dan membahayakannya. Oleh karena itulah, ia tidak boleh menikah kecuali dengan izin dari walinya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu’alaihi Wasallam-:
???? ????? ???? ???? ??? ????? ??????? ????
Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (tidak sah)”
Dan jika bapak anti masih ada, beliaulah yang harus menjadi wali. Maka bagaimana anti akan menikah dengan sah, jika bapak anti tidak mengizinkannya?!
Keempat: Keputusan menikah adalah keputusan yang sangat besar dalam perjalanan hidup anti, dan konsekuensinya akan anti rasakan seumur hidup. Oleh karena itu, hendaklah ekstra hati-hati dalam menghadapi masalah ini. Bertukar pendapatlah dengan orang yang paling berhak dijadikan rujukan, yakni orang tua kita. Biasanya mereka lebih jernih dalam melihat keadaan dari pada kita, karena mereka lebih pengalaman dalam mengarungi kehidupan, dan lebih matang pikirannya. Tentunya keputusan yang diambil dari kesepakatan antara kita dengan mereka, itu lebih baik dan lebih matang dari pada keputusan dari satu pihak saja.
Ditambah lagi, jika kita menjalani suatu keputusan atas restu dari orang tua, tentunya mereka akan selalu mendoakan kebaikan bagi kita, dan tidak diragukan lagi, doa mereka akan sangat mustajab dan menjadikan hidup kita penuh berkah, tentram, dan bahagia dunia akhirat.
Kelima: Cobalah membayangkan jika anti berada di posisi orang tua, mungkin anti juga akan mengambil langkah yang sama. Karena seringkali orang tua lebih menghargai anaknya, dari pada kita sendiri. Oleh karena itu, mungkin orang tua merasa tidak pantas anaknya mendapatkan orang yang kurang memenuhi standar dalam pandangannya. Disinilah pentingnya komunikasi, tukar pendapat, dan saling memberi informasi.
Keenam: Ingat pula sabda Nabi -Shallallahu alaihi Wasallam- tentang pentingnya agama calon kita, tentunya orang yang agamanya kuat, lebih kita dahulukan dari pada orang yang agamanya lemah, karena orang yang agamanya kuat, akan lebih mengetahui hak dan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.
Ketujuh: mungkin solusi berikut bisa menjadi pertimbangan anti:
  • Adakan komunikasi yang lebih baik dan lebih terbuka dengan orang tua.
  • Jelaskan alasan yang mendasari langkah anti, dan kelebihan yang ada pada pilihan anti.
  • Jelaskan kerugian yang timbul, jika anti meninggalkan pilihan anti.
  • Jika satu kesempatan tidak cukup, teruslah komunikasi dalam kesempatan-kesempatan lainnya.
  • Mungkin orang tua ada pandangan lain, cobalah untuk menjajakinya
  • Jangan lupa untuk selalu berdoa kepada Alloh, terutama ketika sujud dalam sholat, dan ketika sepertiga malam terakhir, agar dimudahkan urusan anti, dan diberikan solusi terbaik.
  • Jangan lupa juga untuk sholat istikhoroh, dan memohon petunjuk Alloh, apakah calon anti itu baik bagi masa depan anti di dunia dan akhirat, atau tidak?… Karena hanya Dia-lah yang maha mengetahui apa yang tersembunyi dari hambanya… Petunjuk dari sholat istikhoroh, tidak harus berupa mimpi, tapi bisa juga dengan perasaan hati, atau yang lainnya.
Pesan terakhir, ingatlah selalu dan jangan sampai lupa, bahwa langkah untuk menikah adalah langkah besar dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, jangan sampai kita melangkah, kecuali semuanya sudah clear, serta orang tua setuju dan merestui langkah besar ini…
Sekian… Mohon ma’af bila ada kata yang kurang berkenan… Semoga anti bisa tabah dan sabar dalam menghadapi masalah ini… Dan diberikan taufiq oleh Alloh untuk meraih yang terbaik bagi anti, di dunia ini hingga di akhirat nanti… amin.
Dari hamba yang sangat membutuhkan maghfiroh dari-Nya, Musyaffa’ ad-Dariny

Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
read more “Orang Tua Tak Merestui Hubungan Kami”

Senin, 22 Agustus 2011

Bagaimana doa zakat fitrah (zakat fitri)

Adakah doa zakat fitrah pada waktu menjelang idul fitri?

Jawaban:

Tidak ada doa khusus ketika membayar zakat fitri (zakat fitrah).

Lajnah Daimah (Komite Tetap untuk Fatwa dan Penelitian Islam) ditanya, “Apakah ada bacaan khusus ketika membayar zakat fitri? (doa zakat fitrah)”

Mereka menjawab, “Alhamdulillah, kami tidak mengetahui adanya doa tertentu (doa zakat fitrah) yang diucapkan ketika membayar zakat fitri. Wa billahit taufiq.”

Fatwa Lajnah yang tercantum di http://www.islamqa.com/ar/ref/27015

**

Catatan redaksi perihal doa zakat fitrah


Bagi yang ingin berdoa (doa zakat fitrah), memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan amalnya. Misalnya, bisa dengan membaca doa,

اللّهُمَّ تَقَبَّل مِنِّي إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ العَلِيمُ

Ya Allah, terimalah amal dariku. Sesungguhnya, Engkau Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

Hanya saja, doa ini berlaku untuk semua bentuk ibadah, tidak hanya pada zakat (doa zakat fitrah)

Allahu a’lam.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kesimpulan: Tidak penjelasan masalah doa zakat fitrah secara khusus
read more “Bagaimana doa zakat fitrah (zakat fitri)”

Minggu, 14 Agustus 2011

ASI Di Gelas, Apakah Menjadikan Anak Yang Meminumnya Anak Susuan?

Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz, ana mau tanya : Kalo ASI yang disimpan di gelas, lalu diberikan/diminumkan kepada seorang anak di bawah 2 tahun, sebanyak lima kali atau lebih dan sampai kenyang, apakah memenuhi syarat menjadi saudara sepersusuan? Jazakallahu khairan. Baarakallaahu fikum. Wassalamu'alaikum. (Abu Mujahid)
Jawab: Wa'alaikumsalaamwarahmatullaahi wabarakaatuhu. Wa fiikum barakallaahu.
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah, wa ba'du.
Jumhur ulama mengatakan bahwa semua cara menyusui menjadikan anak tersebut anak susuan, apabila terpenuhi semua syarat-syarat (anak di bawah 2 tahun, lima kali atau lebih menyusu), mereka tidak membedakan apakah anak tersebut menyusu langsung, atau tidak langsung (dari gelas misalnya). (Lihat Badai'ush Shanai' 4/9, Al-Mudawwanah 2/299, Al-Umm 6/76, Al-Majmu' 18/220, dan Al-Mughny 11/313)
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لا رضاع إلا ما شد العظم وأنبت اللحم
"Tidak termasuk menyusui kecuali susu yang membentuk tulang dan menumbuhkan daging" (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Segi pendalilannya bahwa ASI yang diminum dengan memakai gelas juga bisa membentuk tulang dan menumbuhkan daging, dengan demikian hukumnya sama dengan ASI yang diminum langsung dari payudara ibunya.
Demikian pula kisah Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) radhiyallahu 'anhaa ketika Salim bin Ma'qil (bekas budak Sahlah yang diambil anak oleh Abu Hudzaifah) sudah dewasa dan sering masuk ke rumah mereka, kemudian mereka merasa tidak enak dengan keberadaan Salim, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Sahlah untuk menyusui Salim supaya menjadi anak susuannya (dan ini adalah kekhususan Sahlah ketika menyusui Salim) seraya bersabda
أرضعيه تحرمي عليه
"Susuilah dia maka dia menjadi haram atasmu (menjadi mahram)" (HR. Muslim)
Hadist ini menunjukkan bahwa Salim radhiyallahu 'anhu tidak langsung menyusu dari Sahlah karena saat itu dia bukan mahram Sahlah, ini menunjukkan bahwa meminum ASI secara tidak langsung hukumnya sama dengan meminum langsung.
Berkata Al-Qadhy 'Iyadh rahimahullah:
ولعله هكذا كان رضاع سالم، يصبه في حلقه دون مسه ببعض أعضائه ثدي امرأة أجنبية
"Mungkin demikian yang terjadi ketika menyusui Salim, susu sampai ke tenggorokannya tanpa menyentuh payudara wanita asing dengan sebagian anggota badannya " (Ikmaalul Mu'lim 4/641)
Berkata An-Nawawy rahimahullahu:
وهذا الذي قاله القاضي حسن
"Dan apa yang dikatakan Al-Qadhy ini baik" (Syarh Shahih Muslim 10/31).
Wallahu a'lam.


Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2010/05/asi-di-gelas-apakah-menjadikan-anak.html
read more “ASI Di Gelas, Apakah Menjadikan Anak Yang Meminumnya Anak Susuan?”

Rabu, 10 Agustus 2011

Hukum Nyogok untuk Dapat Kerja

hukum_menyogok_uang_untuk_mendapat_kerja_1.jpg

Pertanyaan, “Aku menjumpai adanya tiga pendapat mengenai boleh/tidaknya memberikan sejumlah uang untuk mendapatkan pekerjaan, baik di instansi swasta maupun instansi negeri. Pertama, boleh. Kedua, boleh dengan syarat memiliki kapabilitas untuk bekerja di bidang tersebut, tidak menyebabkan orang lain tergusur, pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal, dan adanya kebutuhan mendesak atau kondisi darurat untuk bekerja di bidang tersebut. Ketiga, boleh untuk instansi swasta dengan memenuhi syarat-syarat di atas, namun tidak boleh untuk instansi negeri. Manakah pendapat yang paling kuat dari tiga pendapat di atas?”

Jawaban, “Pendapat kedua, yang membolehkan menyerahkan sejumlah uang untuk mendapatkan kerja dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di teks pertanyaan, adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran dan pendapat yang lebih tepat, baik untuk instansi negeri atau pun swasta. Dengan terpenuhinya persyaratan di atas, jelaslah bahwa orang tersebut berhak dan layak untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.
Dengan demikian, uang yang diserahkan adalah uang haram untuk yang mengambilnya namun tidak haram untuk pihak yang memberikan, karena uang tersebut diberikan dalam rangka mendapatkan hak yang dibuktikan dengan kelayakan orang tersebut untuk mendapatkan suatu pekerjaan dan uang sogok ini tidak menyebabkan adanya pihak yang dizalimi. Memberikan sejumlah uang kepada seorang pejabat untuk menghilangkan hak orang lain --dengan didasari kepentingan pihak yang memberikan sejumlah uang-- adalah tindakan yang haram, mengingat firman Allah,
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
'Janganlah kalian memakan harta di antara sesama kalian dengan cara-cara yang tidak benar, dan janganlah kalian bawa urusan harta tersebut kepada penguasa supaya kalian dapat memakan sebagian harta milik orang lain dengan jalan berbuat dosa padahal kalian mengetahuinya.' (Q.s. Al-Baqarah:188)
Inilah alasan adanya hadis-hadis yang melarang memberikan hadiah kepada para pejabat karena hadiah semacam itu hanya akan membuahkan tindakan kezaliman dan pelanggaran terhadap hak orang lain.
Tolong-menolong dalam kezaliman adalah perbuatan yang haram dalam hukum agama, sebagaimana firman Allah,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالعُدْوَانِ
'Dan tolong-menolonglah untuk melakukan kebaikan serta takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong untuk melakukan dosa dan kezaliman.' (Q.s. Al-Maidah:2)."

Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bi54.php
Artikel www.PengusahaMuslim.com
read more “Hukum Nyogok untuk Dapat Kerja”

Hukum Jamsostek

hukum_asuransi_kesehatan_1.jpg 

Pertanyaan, “Apa hukum mengikuti asuransi kesehatan (jamsostek, dan lain-lain)?”

Jawaban, “Asuransi kesehatan itu bagian dari asuransi tijari (asuransi yang berorientasikan keuntungan). Hukum mengikuti asuransi tijari itu ada dua macam.
  1. Jika mengikuti asuransi tersebut karena suka-rela tanpa ada satu pun pihak yang memaksanya maka hukumnya adalah tidak boleh karena transaksi asuransi itu mengandung unsur gharar (gambling) dan taruhan yang terlarang dalam syariat.
  2. Jika keanggotaan asuransi tersebut dipaksakan oleh pemerintah dan tidak mungkin menghindarinya maka kita boleh bergabung dengan asuransi tersebut, namun kita memiliki kewajiban untuk tidak ridha dengannya. Inilah level pengingkaran terhadap kemungkaran yang paling rendah. Kita punya hak dan kita boleh memanfaatkan polis asuransi sebanyak total premi yang pernah kita berikan kepada perusahaan asuransi.
Orang yang benar-benar mengenal Allah tentu saja yakin bahwa bertakwa kepada Allah penyebab dimudahkannya segala urusan, mendapatkan rezeki, dan keluar dari kesempitan penghidupan serta kondisi keuangan yang mengkhawatirkan.
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan untuknya jalan keluar dan Allah akan melimpahkan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Q.s. Ath-Thalaq:2--3)
وقال تعالى: وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Allah berfirman yang artinya, “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan mudahkan segala urusannya.” (Q.s. Ath-Thalaq:4)
Referensi: http://www.ferkous.com/rep/Bi133.php
Artikel www.PengusahaMuslim.com
read more “Hukum Jamsostek”

Selasa, 09 Agustus 2011

TUNTUNAN ZAKAT FITHRI

Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
http://almanhaj.or.id/content/3147/slash/0

Islam adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla
untuk manusia. Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya
bagi umat ini setiap tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua
rukun Islam yang besar. ‘Idul Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul
Fithri mengiringi ibadah puasa Ramadhan.

Karena di dalam melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering
melakukan perkara yang dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan
hikmahNya, Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih
menyempurnakan puasanya. Oleh karena itulah, sangat penting bagi kita
untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Semoga
pembahasan ringkas ini dapat menjadi sumbangan bagi kaum muslimin
dalam menjalankan ibadah ini.

MAKNA ZAKAT FITHRI
Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat
fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah
yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa
Ramadhan.[1]

HIKMAH ZAKAT FITHRI
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah
zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

"Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang
berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan
bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat
(‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa
menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari
shadaqah-shadaqah".[2]

HUKUM ZAKAT FITHRI
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian ulama beranggapan,
kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil yang mereka gunakan
tidak shahih dan sharih (jelas).[3]

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang
kewajiban zakat fithri ini. Beliau t berkata,"Telah bersepakat semua
ahli ilmu yang kami menghafal darinya bahwa shadaqah fithri wajib [4].
Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan bahwa zakat fithri hukumnya
wajib, tidak mansukh.

SIAPA YANG WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI?
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya atau miskin, yang mampu
menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua: (1) Islam dan
(2) Mampu.

Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak,
laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah
diwajibkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua
dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri
itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)" [5].

Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa
Jalla berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya".[al Baqarah/2:286].

Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan
Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi
dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu
malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki
kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ
فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّارِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي
مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ- فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا يُغْنِيهِ -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمَا
الْغِنَى الَّذِي لَا تَنْبَغِي مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ- قَالَ: ((قَدْرُ
مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ
آخَرَ أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ
وَيَوْمٍ-

"Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka
sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan
di tempat yang lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para
sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an
Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan
itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang
mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di
tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari
dan semalam” atau “semalam dan sehari". [HR Abu Dawud, no. 1629.
dishahihkan oleh Syaikh al Albani].[6]

Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran kemampuan itu ialah, memiliki
nishab zakat uang atau senilai dengannya dan lebih dari kebutuhan
tempat tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :

لاَصَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى

"Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan".[7]

Tetapi pendapat ini lemah, karena:
1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada
zakat maal.
2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta,
seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi
ukuran.
3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil, karena kita
berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib mengeluarkan
zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah
dijelaskan. Wallahu a’lam.[8]

BAGAIMANA DENGAN JANIN?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga
wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?

Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al
Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri
atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin,
menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak
kecil”.[9]

Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad
bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang
merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang
tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai
mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut
ibunya”.[10]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Yang
nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fithri
bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah
ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah
empat bulan”.

Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fithri bagi
janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau
mengeluarkan zakat fithri bagi janin [11]. Jika tidak, maka tentang
hal ini tidak ada Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari
Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah
mereka”.[12]

Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan bagi orang tua untuk
membayar zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat bulan dalam
kandungan, wallahu a’lam.

SUAMI MEMBAYAR ZAKAT FITHRI DARI DIRINYA DAN ORANG-ORANG YANG MENJADI
TANGGUNGANNYA
Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang wajib membayar zakat
fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga wajib
membayar zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung
seluruh anggota keluarganya?[13]

Pendapat Pertama.
Suami wajib membayar zakat fithri bagi dirinya dan orang-orang yang
dia tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan dalil,
bahwa suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka dia
juga membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَمَرَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ عَنِ
الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ مِمَّنْ تُمَوِّنُوْنَ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari
anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang
yang kamu tanggung”. [Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no.
835].[14]

Pendapat Kedua.
Sebagian ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Ibnul Mundzir, Ibnu
Hazm, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat, seorang
isteri membayar zakat fithri sendiri, dengan dalil:

1. Hadits Ibnu Umar :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua
dari kalangan umat Islam”. [HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].

Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan kewajiban tiap-tiap
orang pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan “wanita”, sehingga
dia wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah bersuami
ataupun belum bersuami.

Tetapi pendapat ini dibantah : Bahwa disebutkan “wanita”, tidak
berarti dia wajib membayar zakat fithrah bagi dirinya. Karena di dalam
hadits itu, juga disebutkan budak dan anak kecil. Dalam masalah ini
sudah dimaklumi, jika keduanya ditanggung oleh tuannya dan orang
tuanya. Demikian juga para sahabat membayar zakat fithri untuk janin
di dalam perut ibunya. Apalagi sudah ada hadits yang menjelaskan,
bahwa suami membayar zakat fithri bagi orang-orang yang dia tanggung.

2. Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak
ditanggung orang lain. Allah berfirman:

"Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". [al An’aam/6 : 164].

Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri seseorang dan orang-orang
yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban (berdosa) akan
memikul beban (dosa) orang lain.

Tetapi pendapat ini dibantah : Ini seperti seorang suami yang
menanggung nafkah orang-orang yang dia tanggung. Dan setelah hadits
yang memberitakan hal itu sah, maka wajib diterima, tidak boleh
dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau yang lainnya. Dari
keterangan ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih kuat. Wallahu
a’lam.

BENTUKNYA
Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah keumuman makanan pokok di
daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak terbatas pada jenis
makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang
paling benar dari para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Beliau rahimahullah ditanya tentang zakat fithri : “Apakah dikeluarkan
dalam bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis gandum), sya’ir
(sejenis gandum), atau tepung?”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Al-Hamdulillah.
Jika penduduk suatu kota menggunakan salah satu dari jenis ini sebagai
makanan pokok, maka tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat
fithri dari (jenis) makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka
mengeluarkan makanan pokok dari selain itu? Seperti jika makanan pokok
mereka padi dan dukhn (sejenis gandum), apakah mereka wajib
mengeluarkan hinthah (sejenis gandum) atau sya’ir (sejenis gandum),
ataukah cukup bagi mereka (mengeluarkan) padi, dukhn, atau semacamnya?
(Dalam permasalahan ini), telah masyhur dikenal terjadinya
perselisihan, dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad :

Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan
jenis) yang disebutkan di dalam hadits.

Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari
jenis-jenis ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama –seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah
yang lebih benar dari pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal,
dalam semua shadaqah adalah, diwajibkan untuk menolong orang-orang
miskin, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5 ayat 89-".[15]

UKURANNYA
Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah satu sha’ kurma kering, atau
anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok yang
menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا
نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ
طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ

"Dari Abu Sa’id Radhiyalahu 'anhu, dia berkata : “Kami dahulu di zaman
Rasulullah n pada hari fithri mengeluarkan satu sha’ makanan”. Abu
Sa’id berkata,"Makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering, keju,
dan kurma kering.” [HR Bukhari, no. 1510.

Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah [16], apakah satu sha’
seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan pendapat yang benar adalah
yang kedua, yaitu setengah sha'.

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ ثَعْلَبَةَ بْنُ صُعَيْرٍ الْعُذْرِيُّ خَطَبَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ
الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ
بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ

"Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari
sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkhutbah kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’
burr atau qumh (gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu
sha’ kurma kering, atau satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas
setiap satu orang merdeka, budak, anak kecil, dan orang tua "[17].

Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk Madinah zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud
adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat,
maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk
menakar ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat
dengan perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai
masalah ini, sebagai berikut:

1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih Sunnah, 2/83).
2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam, 3/74).
3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus. (Syarhul Mumti’, 6/176).

Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,"Para ulama telah mencoba
dengan gandum yang bagus. Mereka telah melakukan penelitian secara
sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu sha’ mencapai 2 kg 40 gr
gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda
ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan
menambah timbangannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh)
menyedikitkan”. [Syarhul Mumti’, 6/176-177].

Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al ’Utsaimin ini
selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita
-umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan
beras sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.

TIDAK BOLEH DIGANTI DENGAN JENIS LAINNYA
Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam wujud makanan pokok
ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena itu, tidak
boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun
dengan uang!

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan ahli fiqih tidak
membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah
membolehkannya”. [Syarah Muslim].

Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat Abu Hanifah
rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu
lupa” - Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu
telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah
berhenti pada zhahir nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan
dengan makna lainnya”. [al Wajiiz, 230-231].[18]

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Zakat fithri wajib
dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak
menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena,
tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan
walaupun dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [19].

WAKTU MENGELUARKAN
Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:
1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan,
atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat
fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar
zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya
adalah, tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun
Hanafiyah berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar 'Idul
Fithri.[20]

2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat
fithri, yaitu fajar hari 'Id, dengan kesepakatan empat madzhab.[21]

3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi
membayar zakat fithri. Tentang waktu terakhirnya, para ulama
bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id,
dianggap tidak berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadits :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk
menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan
keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa
menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang
diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu
adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609;
Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].

Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat
beberapa pendapat : [22]
- Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : "Boleh maju setahun atau dua tahun".
- Malik rahimahullah berpendapat : "Tidak boleh maju".
- Syafi’iyah berpendapat : "Boleh maju sejak awal bulan Ramadhan".
- Hanabilah : "Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id".

Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan
perbuatan Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma, sedangkan beliau adalah
termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallm . Nafi’ berkata:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ
يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ

"Dan Ibnu 'Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang
menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri".
[HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].

YANG BERHAK MENERIMA
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.
1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur,
dan pendapat Hanabilah.[23]

2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin.
Asy Syaukani rahimahullah berkata,"Adapun tempat pembagian shadaqah
fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam 'Barangsiapa membayarnya sebelum shalat,
maka itu merupakan zakat yang diterima,' dan perkataan Ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan zakat
fithri. Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya
didahulukan orang-orang faqir, karena perintah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut.
Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang lain." [24]

Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq
Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Tempat pembagian shadaqah
fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi,
orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada
bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam 'Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!' Maka
zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir,
kecuali jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau
besarnya kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain
mereka".[26]

3. Hanya orang miskin.
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka,
muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang
mengurusinya, atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan
kepada mujahid (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang)
untuknya, tidak diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada
ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi
karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang
menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat
fithri itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.[27]

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul
Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul 'Azhim bin Badawi dalam
al Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta
Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 105-106].

Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan
alasan-alasan sebagai berikut:

1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang zakat fithri:

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin". [HR Abu Dawud, no.
1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].

2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa),
sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak,
yaitu orang miskin, wallahu a’lam.
3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan golongan
sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri
termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :

"(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan. -at Taubah/9 ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa
ayat ini khusus untuk zakat mal, dilihat dari rangkaian ayat
sebelumnya dan sesudahnya.[28]

Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat
ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan
ini. Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk
delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit.
Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau
musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai
dengan hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.

PANITIA ZAKAT FITHRI?
Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu adanya
orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di
antara keterangan yang menunjukkan hal ini.[30]
1. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah
menjaga zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].
2. Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu biasa memberikan zakat fithri kepada
orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].
Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin.
Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab
mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami
jelaskan di atas.

Demikian sedikit pembahasan seputar zakat fithri. Semoga bermanfaat
untuk kita. Wallahu a'lam.

Maraji’:
1. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan, hlm:
101-107, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al
Halabi al Atsari.
2. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79-85, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim.
3. Ta’liqat Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyah,1/548-555, Imam
Shidiq Hasan Khan, ta’liq: Syaikh al Albani.
4. Al Wajiz fii Fiqhis-Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, halaman 229-231.
5. Minhajul Muslim, 230-232, Syaikh Abu Bakar al Jazairi.
6. Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/169-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi.
7. Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin,
Penerbit Muassasah Aasaam, Cet. I, Th. 1416H/1996M.
8. Majmu’ Fatawa, 25/68-69, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
9. Taisirul Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyyah li Syaikhil
Islam Ibni Taimiyah, halaman 408-414, Syaikh Dr. Ahmad al Muwafi.
10. Minhajus Salikin, 107, Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
11. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79.
[2]. HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al Albani.
[3]. Lihat Fat-hul Bari, 2/214, al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani; Ma’alimus Sunan, 2/214, Imam al Khaththabi; Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, halaman 101, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari.
[4]. Ijma', karya Ibnul Mundzir, halaman 49. Dinukil dari Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80.
[5]. HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984.
[6]. Lihat Ta’liqat Radhiyah, 1/55-554; al Wajiz, 230; Minhajul Muslim, 299.
[7]. HR Bukhari, no. 1426; Ahmad, no. 7116; dan lain-lain. Lafazh ini milik Imam Ahmad.
[8]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80-81.
[9]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 102.
[10]. Taisirul Fiqh, 74, karya beliau]???
[11]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/419; dan 'Abdullah bin Ahmad dalam al Masail, no 644. Bahkan hal ini nampaknya merupakan kebiasaan Salafush-Shalih, sebagaimana dikatakan oleh Abu Qilabah rahimahullah : “Mereka biasa memberikan shadaqah fithri, termasuk memberikan dari bayi di dalam kandungan”. (Riwayat Abdurrazaq, no. 5788).
[12]. Syarhul Mumti’, 6/162-163.
[13]. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/179-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi; Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.
[14]. Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan : “Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/141), al Baihaqi (4/161), dari Ibnu 'Umar dengan sanad yang dha’if (lemah). Juga diriwayatkan oleh al Baihaqi (4/161) dengan sanad lain dari Ali, tetapi sanadnya munqathi’ (terputus). Hadits ini juga memiliki jalan yang lain mauquf (berhenti) pada Ibnu 'Umar (yakni ucapan sahabat, bukan sabda Nabi, Pen) diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al Mushannaf (4/37) dengan sanad yang shahih. Dengan jalan-jalan periwayatan ini, maka hadits ini merupakan (hadits) hasan”. (Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, hlm. 105).
[15]. Majmu’ Fatawa 25/68-69. Lihat juga Ikhtiyarat, 2/408; Minhajus Salikin, 107.
[16]. Hinthah atau qumh, yaitu sejenis gandum yang berkwalitas bagus.
[17]. HR Ahmad, 5/432. Semua perawinya terpercaya. Juga memiliki penguat pada riwayat Daruquthni, 2/151 dari Jabir dengan sanad shahih. Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, hlm. 105.
[18]. Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu Baaz, Ibnu 'Utsaimin, al Fauzan, 'Abdullah al Jibrin.
[19]. Minhajul Muslim, halaman 231.
[20]. Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/76.
[21]. Ibid, 3/80.
[22]. Ibid, 3/75.
[23]. Ikhtiyarat, 2/412-413.
[24]. Dararil Mudhiyyah, halaman 140. Penerbit Muassasah ar Rayyan, Cet. II, Th. 1418H/1997M.
[25]. At Ta’liq t ar R dhiyyah, 1/555.
[26]. Minhajul Muslim, 231. Penerbit Makatabatul 'Ulum wal Hikam & Darul Hadits, tanpa tahun; Taisirul Fiqh, 74.
[27]. Lihat asy Syarhul Kabir, 1/508; al Khurasyi 2/233. Dinukil dari Ikhtiyarat, 2/412-413.
[28]. Lihat Majmu Fatawa, 25/71-78.
[29]. Bahkan sebagian ulama berpendapat wajib dibagi untuk delapan golongan. Lihat Majmu Fatawa 25/71-78.
[30]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 106.
read more “TUNTUNAN ZAKAT FITHRI”

Minggu, 07 Agustus 2011

Info Kajian di Bengkulu

wa'alaykum salam warahmatullahi wa barakatuh

Info Kajian di bengkulu:: Dikelola oleh ikhwah bengkulu yang tergabung di Majelis Ta'lim Imam Syafi'i (MTIS).
http://www.facebook.com/group.php?gid=118468602152&v=wall

Mushalla Ainul Yaqin dari
Jl. Batanghari 3 Rt : 12 Rw : 03 Simpang
Empat Pantai Nusa Indah Kec Ratu Agung Kota Bengkulu.

CP: 085228394299 (Pebri)

    Irvan syarif: 085267461907


Abu Hasan Putra

Sumber: millis.assunnah
read more “Info Kajian di Bengkulu”

Sabtu, 06 Agustus 2011

Menjalankan Kotak Infak Ketika Khuthbah Jumat

Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz, bagaimana hukum menjalankan kotak infaq di masjid pada saat ada khotib naik mimbar atau pada saat pengajian rutin? Jazakallahu khoiron. (Mujiono, Tanjungpinang)

Jawab:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wa barakaatuh.
Pertanyaan ini mengandung dua pertanyaan;
Pertama: Hukum menjalankan kotak infak di masjid saat khotib naik mimbar
Kedua: Hukum menjalankan kotak infak saat pengajian rutin

Adapun jawaban soal pertama, maka sebagaimana kita maklumi bersama bahwa khutbah Jum’at merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan shalat Jum’at. Bahkan mayoritas ulama mengatakan bahwa khutbah jum’at adalah syarat sahnya shalat jum’at. (Lihat Al-Mughni 2/74, Bada’I as-Shona’I 1/262)
Karena urgennya khutbah jum’at maka ada beberapa perkara yang harus di perhatikan oleh para hadirin shalat jum’at. Diantaranya adalah larangan berbicara ketika khotib sedang menyampaikan khutbahnya, berdasarkan hadits;
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Artinya: "Apabila engkau berkata kepada saudaramu pada hari jum’at: Diamlah!Sedangkan imam sedang berkhutbah maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia. (HR.Bukhari: 934, Muslim: 851)
Demikian pula tidak diperkenankan bagi para hadirin untuk melakukan perbuatan sia-sia seperti bermain-main batu krikil, bermain-main jam dan sebagainya. Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Artinya: "Barangsiapa yang berwudhu dan membagusi wudhunya kemudian mendatangi shalat jum'at dan diam mendengarkan khutbah, maka baginya ampunan antara jumat dengan jum'at berikutnya dan tambahan tiga hari. Barangsiapa yang memegang batu krikil sungguh dia telah berbuat sia-sia. ( HR.Muslim: 857)
Imam an-Nawawi rahimahullahu mengatakan: “Hadits ini berisi larangan dari memegang batu krikil dan selainnya dari jenis-jenis perbuatan yang sia-sia ketika khutbah jum’at. Dan di dalam hadits ini juga terdapat isyarat untuk menghadapkan hati dan anggota badan saat sedang khutbah jum’at”. (Syarah Shohih Muslim 3/229)
Berkata Syeikh Masyhur Hasan Salman:
ومن هذا الباب ما شاهدته من بعض سنوات في بعض مساجد القرى، من الدوران على الناس يوم الجمعة بصندوق لجمع التبرعات والإمام يخطب
Artinya: "Dan termasuk dalam bab ini (kesalahan yang berkaitan dengan shalat jumat) apa yang saya saksikan beberapa tahun ini di masjid-masjid pedesaan, dimana mereka menjalankan kotak amal pada hari jumat sedangkan imam dalam keadaan berkhuthbah" (Al-Qaulul Mubin fii Akhthaail Mushalliin hal:340)
Dari sini, maka tidak sepantasnya mengedarkan kotak amal saat khotib naik mimbar. Karena hal itu dapat mengganggu khutbah dan membuyarkan konsentrasi para makmum yang sedang mendengarkan khutbah. Selayaknya kotak amal tersebut diletakkan di depan masjid atau tempat lainnya yang tidak mengganggu jalannya ibadah.
Adapun soal kedua, menjalankan kotak amal saat pengajian rutin maka hukum asalnya adalah boleh, dan saya tidak mengetahui ada dalil yang melarangnya. Allohu A’lam.


Syahrul Fatwa

Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2011/07/menjalankan-kotak-infak-ketika-khuthbah.html
read more “Menjalankan Kotak Infak Ketika Khuthbah Jumat”

Lafazh Adzan Dan Iqomah Untuk Bayi Baru Lahir

Tanya: Assalamualaikum. Apakah adzan dan iqomah untuk bayi baru lahir sama dengan adzan dan iqomah waktu akan melakukan sholat? (Didik)

Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Sebelum kami menjawab pertanyaan diatas, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum adzan dan iqomat bagi bayi yang baru lahir, sunnahkah adzan di telinga bayi yang baru lahir? Masalah ini harus kita perhatikan dengan baik, sebab kebanyakan para penulis yang membahas masalah ini menegaskan sunnahnya mengadzani bayi, sampai para ulama sekelas Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/389) dan Imam Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud hal.61.
Padahal perkaranya tidak demikian, yaitu tidak disyariatkan mengadzani bayi yang baru lahir. Karena seluruh riwayat tentang masalah tersebut derajatnya lemah, sehingga tidak boleh dijadikan sandaran hukum dalam beramal. Kelemahan riwayat tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh al-Albani dalam ad-Dho’iifah no.321 dan dijelaskan tentang kelemahannya dengan bagus oleh penulis Ahkam al-Maulud Fis Sunnah al-Muthohharoh hal.34-39. lihat pula Tahqiq Syaikh Salim al-Hilali terhadap kitab Tuhfatul Maudud hal.61-65 yang kesimpulannya beliau menilai lemah riwayat mengadzani di telinga bayi yang baru lahir.
Berhubungan dengan pertanyaan di atas, anggaplah bahwa riwayat mengadzani di telinga bayi adalah shohih (padahal lemah), apakah sama lafazh adzannya dengan lafazh adzan untuk shalat? Jawabnya; lafazhnya adalah sama, karena rahasia disyariatkannya (Padahal tidak disyariatkan) mengadzani bayi agar kalimat pertama yang di dengar oleh bayi baru lahir adalah kalimat adzan yang berisi tetang keagungan Alloh, syahadat tauhid dan lain-lain. Juga hikmah yang lain agar dengan adzan ini membuat setan lari, karena setan akan selalu mengintai manusia untuk mengganggu dan memberi ujian.(Lihat Tuhfatul Maudud hal.64)
Allohu A’lam



Syahrul Fatwa

Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2011/07/lafazh-adzan-dan-iqomah-untuk-bayi-baru.html
read more “Lafazh Adzan Dan Iqomah Untuk Bayi Baru Lahir”

Tentang Hipnoterapi (Pengobatan Dengan Hipnotis)

Jumat, 12 Juni 2009

Hari Rabu tanggal 3 Juni 2009, disela-sela forum tanya jawab via YM, ada sebuah pertanyaan dari salah seorang peserta berkaitan dengan pertanyaan no:7 (Mengobati Sihir Dengan Sihir, Bolehkah?), pertanyaannya: Apakah hipnotis yang digunakan untuk pengobatan (hipnoterapi) termasuk sihir?

Jawab:
Hipnotis (التنويم المغناطيسي أو التنويم الإيحائي) adalah termasuk jenis sihir, dimana penghipnotis meminta bantuan jin dalam melaksanakan aksinya. Dan jin akan membantu setelah penghipnotis tersebut mau berbuat syirik atau kekufuran.
Saya pernah membaca sebuah kisah dari seorang muslim yang belajar di luar negeri, dimana di Universitas sering diadakan acara hipnotis. Singkat cerita muslim tersebut ingin meyakinkan bahwa hipnotis ini dari syetan maka dia mencoba untuk menjadi relawan untuk dihipnotis. Ketika detik-detik mau dihipnotis dia terus menerus membaca ayat kursi sehingga akhirnya penghipnotis ini pun gagal dalam menghipnotis dia.
Komite Tetap Untuk Fatwa Saudi Arabia telah mengeluarkan sebuah fatwa berkaitan dengan hal ini, saya nukil berikut ini nash pertanyaan dan jawabannya:
Pertanyaan:
وما حكم الإسلام في التنويم المغناطيسي وبه تقوى قدرة المنوم على الإيحاء بالمنوم وبالتالي السيطرة عليه وجعله يترك محرما أو يشفى من مرض عصبي أو يقوم بالعمل الذي يطلب المنوم ؟
"ِِApakah hukum hipnotis di dalam islam, dimana dengan cara ini orang yang menghipnotis bisa lebih mampu untuk menguasai orang yang dihipnotis, sehingga membuat dia meninggalkan yang haram atau mengobati penyakit syaraf atau melakukan perbuatan yang diminta oleh penghipnotis? (Fatawa Al-Lajnah Ad-daimah 1/345)

Jawabannya:
Berkata Al-Lajnah Ad-Daimah:
التنويم المغناطيسي ضرب من ضروب الكهانة باستخدام جني حتى يسلطه المنوم على المنوم فيتكلم بلسانه ويكسبه قوة على بعض الأعمال بالسيطرة عليه إن صدق مع المنوم وكان طوعا له مقابل ما يتقرب به المنوم إليه ويجعل ذلك الجني المنوم طوع إرادة المنوم بما يطلبه منه من الأعمال أو الأخبار بمساعدة الجني له إن صدق ذلك الجني مع المنوم وعلى ذلك يكون استغلال التنويم المغناطيسي واتخاذه طريقا أو وسيلة للدلالة على مكانة سرقة أو ضالة أو علاج مريض أو القيام بأي عمل آخر بواسطة المنوم غير جائز بل هو شرك لما تقدم ولأنه التجاء إلى غير الله فيما هو من وراء الأسباب العادية التي جعلها سبحانه إلى المخلوقات وأباحها لهم .
"Hipnotis adalah termasuk jenis tenung (sihir) dengan menggunakan jin dimana penghipnotis menguasakan jin kepada orang yang dihipnotis, kemudian berbicara (jin tersebut) lewat lisannya, dan memberinya kekuatan untuk bisa mengerjakan sebuah pekerjaan tertentu, kalau jin tersebut jujur dan patuh kepada penghipnotis sebagai imbalan dari ibadah yang sudah dikerjakan oleh penghipnotis tersebut kepada jin.
Jin tersebut akan menjadikan orang yang terhipnotis menuruti apa yang diinginkan penghipnotis baik melakukan pekerjaan tertentu atau memberitahu sesuatu dengan bantuan jin, kalau jin tersebut jujur kepada penghipnotis.
Oleh karena itu, menggunakan hipnotis dan menjadikannya cara untuk mengetahui tempat barang yang dicuri atau barang yang hilang, atau penyembuhan penyakit, atau melakukan pekerjaan tertentu dengan perantaraan orang yang dihipnotis adalah tidak boleh, bahkan termasuk syirik sebagaimana telah berlalu, dan juga ini termasuk bergantung kepada selain Allah di dalam perkara-perkara diluar sebab-sebab yang biasa, yang Allah jadikan dan bolehkan untuk makhluknya (Fatawa Al-Lajnah Ad-daimah 1/348)
Dari fatwa di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa hipnoterapi (pengobatan dengan hipnotis) tidak diperbolehkan dan termasuk pengobatan dengan sihir.
Seandainya masih ada keraguan dalam diri kita apakah hipnoterapi itu menggunakan jin atau tidak maka seorang muslim diperintahkan untuk meninggalkan perkara-perkara yang meragukan, apalagi dalam masalah aqidah seperti ini, demi keselamatan agama dan akhirat kita, dan hendaknya kita menggunakan cara-cara yang syar'I yang tidak meragukan dalam pengobatan.
Semoga Allah ta'ala memberikan taufiq dan hidayah kepada kita semua kepada jalan yang lurus dan memberikan kekuatan untuk istiqamah diatasnya. Amin.


Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/06/tentang-hipnoterapi-pengobatan-dengan.html
read more “Tentang Hipnoterapi (Pengobatan Dengan Hipnotis)”

Kamis, 04 Agustus 2011

HADITS-HADITS DHA'IF DAN MAUDHU' YANG BANYAK BEREDAR PADA BULAN RAMADHAN

Rabu, 3 Agustus 2011 23:29:39 WIB

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

HADITS PERTAMA : TENTANG GANJARAN ORANG YANG MELAKSANAKAN IBADAH PUASA DAN SHALAT TARAWIH

عَنِ النَّضْرِ بْنِ شَيْبَانَ قَالَ لَقِيتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقُلْتُ حَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ يَذْكُرُهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ قَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَقَالَ شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"Dari Nadhir bin Syaibân, ia mengatakan, 'Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya, 'Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurraman bin 'Auf Radhiyallahu 'anhu) tentang Ramadhân.' Ia mengatakan, 'Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin 'Auf Radhiyallahu 'anhu) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut bulan Ramadhân lalu bersabda, 'Bulan yang Allâh Azza wa Jalla telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya". [HR Ibnu Mâjah, no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, no. 2201 lewar jalur periwayatan Nadhr bin Syaibân]

Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaibân itu layyinul hadîts (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Taqrîb beliau rahimahullah.

Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga telah menilai hadits ini lemah dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits yang sah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

Hadits yang beliau rahimahullah maksudkan yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim dan ulama hadits lainnya lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang shalat (qiyâm Ramadhân atau Tarawih) dengan dasar iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu".

Juga ada sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits shahih riwayat Bukhâri dan Muslim, yaitu :

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak jima' juga tidak fasiq, niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang ibu" [HR. Bukhâri dan Muslim]

HADITS KEDUA : TENTANG PUASA ITU SETENGAH DARI KESEHATAN

... وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ وَالطُّهُورُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ

"Puasa itu setengah kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman".

Dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3519 dalam Kitab ad-Dâ'awât, juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad beliau rahimahullah (4/260 dan 5/363) lewat jalur periwayatan Juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.

Sanad hadits ini dha'if, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah seorang yang majhûl (tidak dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Madini rahimahullah (lihat, Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78 karya Ibnu Hajar rahimahullah).

Hadits dhaif lainnya yang senada yaitu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ , الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ

"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran." [HR. Ibnu Mâjah, no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu]

Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin Ubaidah dinilai haditsnya lemah oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tahdzîb, 10/318-320. Beliau ini seorang yang shalih dan ahli ibadah, akan tetapi lemah dalam periwayatan hadits.

Al-Hâfizh dalam kitab Taqrîbnya mengatakan, "Dha'if."

Hadits yang sah tentang hal ini adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada seorang lelaki dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam hadits yang panjang tesrbut terdapat kalimat :

صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ

"Berpuasalah pada bulan kesabaran yaitu Ramadhân". [HR Imam Ahmad dengan sanad yang shahih]

Hadits yang lain yaitu hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang bulan Ramadhân :

شَهْرَ الصَّبْرِ

"bulan kesabaran (Ramadhan)".

Dikeluarkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (2/263, 384 dan 513), juga dikeluarkan oleh Imam Nasa'i rahimahullah (3/218-219). Dan hadits lain lewat jalur periwayatan a'rabiyûn sebagaimana dalam Majma'uz Zawâid (3/196) oleh al Haitsami rahimahullah.

HADITS KETIGA : TENTANG RAMADHAN DIBAGI TIGA

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ (وفي رواية : ووَسَطُهُ) مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

"Awal bulan Ramadhân itu adalah rahmat, tengahnya adalah maghfirah (ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka". [HR Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain lewat jalur periwayatan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu]

Hadits ini sangat lemah. Silahkan lihat kitab Dha'if Jâmi'is Shagîr, no. 2134 dan Faidhul Qadîr, no. 2815

Hadits lemah yang senada dengan hadits diatas yaitu :

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيّ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ مُبَارَكٌ ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً ، وَقِيَامَهُ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ...وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُه رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ...

"Dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari terakhir bulan Sya'bân. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Wahai manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi kalian, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allâh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan tujuh puluh ibadah wajib pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga .... Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka .....". [HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain]

Sanad hadits ini dha'îf (lemah), karena ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud'ân. Orang ini seorang perawi yang lemah sebagaiamana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, Yahya rahimahullah, Bukhâri rahimahullah, Dâru Quthni rahimahullah, Abu Hâtim rahimahullah dan lain-lain.

Ibnu Khuzaimah rahimahullah sendiri mengatakan, "Aku tidak menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya jelek." Imam Abu Hatim rahimahullah mengatakan, "Hadits ini mungkar."

Silahkan lihat kitab Silsilah ad-Dha'îfah Wal Maudhû'ah, no. 871, at-Targhîb wat Tarhîb, 2/94 dan Mizânul I'tidâl, 3/127.

HADITS KEEMPAT : TENTANG TIDUR DAN DIAMNYA ORANG YANG BERPUASA

الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ

"Orang yang berpuasa itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun dia tidur di atas kasurnya". [HR Tamâm]

Sanad hadits ini dha'if, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin Abdullah bin Zujâj dan Muhammad bin Hârûn bin Muhammad bin Bakar bin Hilâl. Kedua orang ini tidak ditemukan keterangan tentang jati diri mereka dalam kitab Jarh wat Ta'dil (yaitu kitab-kitab yang berisi keterangan tentang cela atau cacat ataupun pujian terhadap para rawi). Ditambah lagi, dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Hâsyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang perawi yang majhûl (tidak diketahui keadaan dirinya), sebagaimana dijelaskan oleh adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab beliau rahimahullah Mizânul I'tidâl. Imam Uqaili rahimahullah mengatakan, "Orang ini haditsnya mungkar."

Ada juga hadits lain yang semakna dengan hadits diatas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Dailami rahimahullah dalam kitab Musnad Firdaus lewat jalur Anâs bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu dengan lafazh :

الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ نََائِمًا عَلَى فِرَاشِهِ

"Orang yang berpuasa itu tetap dalam ibadah meskipun dia tidur di atas kasurnya".

Sanad hadits ini maudhû' (palsu), karena ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk pemalsu hadits, sebagaimana diterangkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab ad-Dhu'afa.

Silahkan, lihat kitab Silsilah ad-Dha'îfah wal Maudhû'ah, no. 653 dan kitab Faidhul Qadîr, no. 5125

Ada juga hadits lain yang semakna :

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

"Tidurnya orang yang sedang berpuasa itu ibadah, diamnya merupakan tasbih, amal perbuatannya (akan dibalas) dengan berlipatganda, doa'nya mustajab dan dosanya diampuni". [(Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'abul Imân dan lain-lain dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi Aufa.]

Sanad hadits ini maudhû', karena dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha'i, seorang pendusta. [Lihat, Faidhul Qadîr, no. 9293, Silsilatud Dha'ifah, no. 4696]

HAITS KELIMA : TENTANG DO'A BUKA PUASA

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu, beliau Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan :

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Wahai Allâh! UntukMu kami berpuasa dan dengan rizki dari Mu kami berbuka. Ya Allâh ! Terimalah amalan kami ! Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Diriwayatkan oleh Daru Quthni t dalam kitab Sunan beliau rahimahullah, Ibnu Sunni dalam kitab 'Amalul Yaumi wal Lailah, no. 473 dan Thabrani t dalam kitab al-Mu'jamul Kabîr]

Sanad hadits ini sangat lemah (dha'îfun jiddan), karena :

Pertama : Ada seorang rawi yang bernama Abdul Mâlik bin Hârun bin 'Antarah. Orang ini adalah sseorang rawi yang sangat lemah.
- Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, "Abdul Mâlik itu dha'if."
- Imam Yahya rahimahullah, "Dia seorang pendusta (kadzdzâb)."
- Sementara Ibnu Hibbân rahimahullah mengatakan, "Dia seorang pemalsu hadits."
- Imam Sa'di mengatakan, "Dajjâl (pendusta)."
- Imam Dzahabi rahimahullah, 'Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits."
- Ibnu Hatim mengatakan, "Matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama)."

Kedua : Dalam sanad hadits ini terdapat juga orang tua dari Abdul Mâlik yaitu Hârun bin 'Antarah. Dia ini seorang rawi yang diperselisihkan oleh para Ulama ahli hadits. Imam Daru Quthni rahimahullah menilainya lemah, sedangkan Ibni Hibbân rahimahullah telang mengatakan, "Mungkarul hadîts (orang yang haditsnya diingkari), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya."

Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, Ibnu Hajar rahimahullah, al Haitsami rahimahullah dan Syaikh al-Albâni rahimahullah dan lain-lain. Silahkan para pembaca melihat kitab-kitab ; Mizânul I'tidal (2/666), Majma'uz Zawâ'id (3/156 oleh Imam Haitsami rahimahullah), Zâdul Ma'âd dalam kitab Shiyâm oleh Imam Ibnul Qayyim t dan Irwâ'ul Ghalîl (4/36-39 oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah)

Hadits dhaif lainnya tentang do'a berbuka yaitu :

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ n كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

"Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, beliau Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila berbuka, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan :

بسم الله اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

"Dengan nama Allâh, Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka".

Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani rahimahullah dalam kitab al-Mu'jamus Shagîr, hlm. 189 dan al-Mu'jam Ausath.

Sanad hadits ini lemah (dha'îf), karena

Pertama : Dalam sanad hadits ini terdapat Ismail bin Amar al Bajali. Dia adalah seorang rawi yang lemah. Imam Dzahabi rahimahullah mengatakan dalam kitab adh-Dhu'âfa, "Bukan hanya satu orang saja yang melememahkannya."

Imam Ibnu 'Adi rahimahullah mengatakan, "Orang ini sering membawakan hadits-hadits yang tidak boleh diikuti."

Imam Ibnu Hâtim rahimahullah mengatakan, "Orang ini lemah."

Kedua : Dalam sanadnya terdapat Dâwud bin az-Zibriqân. Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, "Orang ini lebih jelek daripada Ismail bin Amr al bajali."

Sementara itu, Imam Abu Dâwud rahimahullah, Abu Zur'ah rahimahullah dan Ibnu Hajar rahimahullah memasukkan orang ini ke golongan matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli hadits).

Imam Ibnu 'Adi mengatakan, "Biasanya apa yang diriwayatkan oleh orang ini tidak boleh diikuti." (lihat, Mizânul I'tidâl, 2/7)

Hadits Thabrani rahimahullah ini pernah dibawakan oleh Ustadz Abdul Qadir Hassan dalam risalah puasa, namun beliau tidak mengomentari derajatnya.

Masih tentang do'a berbuka, ada hadits dha'if lainnya yang senada yaitu :

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

"Dari Mu'adz bin Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan :

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

"Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka".

Hadits ini dha'if l(lemah). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud, no. 2358, al-Baihaqi, 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunni. Lafazh hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, hanya beda dalam kalimat awalnya. Hadits ini lemah karena ada dua illah (penyebab) :

Pertama : Mursal [1]. Karena Mu'adz bin Zuhrah, seorang tabi'in bukan shahabat Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua : Juga karena Mu'adz bin Zuhrah ini seorang rawi yang majhûl, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Hushain bin Abdurrahman. Sementara Ibnu Abi Hâtim rahimahullah dalam kitab beliau rahimahullah Jarh Wa Ta'dil tidak menerangkan tentang celaan maupun pujian untuknya.

Sebatas yang saya ketahui, tidak ada satu riwayatpun yang sah tentang do'a berbuka puasa kecuali riwayat dibawah ini :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

"Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, adalah Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berbuka puasa, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan :

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

"Dahaga telah lenyap, urat-urat telah basah dan pahala atau ganjaran tetap ada insya Allâh"

Hadits ini hasan riwayat Abu Dâwud, no. 2357; Nasâ'i, 1/66; Daru Quthni, ia mengatakan, "Sanad hadits ini hasan."; al Hâkim, 1/422 dan Baihaqi, 4/239. Syaikh al-Albâni rahimahullah sepakat dengan penilai Daru Quthni terhadap hadits ini.

Sebatas yang saya ketahui, semua rawi (orang-orang yang meriwayatkan) hadits ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali Husain bin Wâqid. Dia seorang rawi yang tsiqah namun memiliki sedikit kelemahan , sehingga tepatlah kalau sanad hadits ini dinilai hasan.

HADITS KEENAM : TENTANG KEUTAMAAN I'TIKAF

مَنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ

"Barangsiapa yang beri'tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Ramadhân, maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali".

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dalam kitab beliau Syu'abul Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib Radhiyallahu 'anhuma. hadits ini Maudhû'.

Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab beliau Dha'if Jami'ish Shaghiir, no. 5460, mengatakan ,"Maudhû.' Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan penyebab kepalsuan hadits ini dalam kitab beliau rahimahullah Silsilah ad-Dha'ifah, no. 518

Hadits dha'if lain yang hampir senada yaitu :

مَنِ اعْتَكَفَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang beri'tikaf atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat".

Hadits dha'if riwayat Dailami rahimahullah dalam Musnad Firdaus. Al-Munâwi rahimahullah, dalam kitab beliau Faidhul Qadîr, syarah Ja'mi' Shaghîr (6/74, no. 8480) mengatakan, "Dalam hadits ini terdapat rawi yang tidak aku ketahui."

HADITS KETUJUH : TENTANG BERANDAI-ANDAI RAMADHAN SEPANJANG TAHUN

لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا (فِي ) رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةُ كٌلَّهَا

"Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada pada buan Ramadhân, niscaya semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun".

Maudhu'. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, no. 1886 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali, dari asy-Sya'bi dari Nâfi' bin Burdah, dari Abu Mas'ud al-Ghifari- ia mengatakan, "Suatu hari, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda , "(lalu beliau menyebutkan hadits diatas).

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan hadits di atas dalam kitab beliau rahimahullah al-Maudhû'ât, 2/189 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali dari Sya'bi dari Nâfi' bin Burdah dan Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu . kemudian beliau rahimahullah mengatakan, "Hadits ini maudhû' (palsu) dipalsukan atas nama Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang yang tertuduh telah memalsukan hadits ini adalah Jarîr bin Ayyûb.

Yahya rahimahullah mengatakan, 'Orang-orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi syai-in).'

Fadhl bin Dukain rahimahullah mengatakan, 'Dia termasuk orang yang biasa memalsukan hadits.'

An-Nasa'i dan Daru Quthni rahimahullah mengatakan, 'Matrûk (orang yang haditsnya tidak dianggap).'"

Imam Syaukani rahimahullah dalam kitab al-Fawâ-idul Majmû'ah Fil Ahâdîtsil Maudhû'ah, no. 254 mengomentari hadits diatas, "Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la rahimahullah lewat jalur Abdullah bin Mas'ûd Radhiyallahu 'anhu secara marfuu. Hadits ini maudhû (palsu). Kerusakannya ada pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan lafazhnya merupakan susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits palsu.'

HADITS KEDELAPAN : TENTANG RAMADHAN BULAN TERBAIK BAGI KAUM MUSLIMIN

مَا أَتَى عَلَى الْمُسْلِمِينَ شَهْرٌ خَيْرٌ لَهُمْ مِنْ رَمَضَانَ وَلَا أَتَى عَلَى الْمُنَافِقِينَ شَهْرٌ شَرٌّ مِنْ رَمَضَانَ

"Tidak ada bulan yang datang kepada kaum Muslimin yang lebih baik daripada Ramadhân . dan tidak datang kepada kaum Munafiqin bulan yang lebih buruk daripada bulan Ramadhân".

Hadits ini dha'if. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (2/330, Fathurrabbani, 9/231-232), Ibnu Khuzaimah, no. 1884 dan lain-lainnya. Semua riwayat ini melalui jalur periwayatan Katsîr bin Zaid rahimahullah dari Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu'

Al-Haitsami rahimahullah dalam kitabnya Majma'uz Zawâid, 3/140-141 mengatakan, "Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan Thabrani rahimahullah dalam kitabnya al-Ausath dari Tamîm dan aku tidak menemukan riwayat hidup Tamîm." Maksudnya Tamîm (bapaknya Amr) seorang perawi yang majhûl.

Dalam kitab Mizânul I'tidâl, 3/249, adz Dzahabi rahimahullah mengatakan, "Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu tentang keutamaan bulan Ramadhân. Dan dari Amr, hadits ini diriwayatkan oleh Katsîr bin Zaid. Tentang Amr bin Tamim, Imam Bukhâri rahimahullah mengatakan, 'Haditsnya perlu diteliti (Fi hadîtsihi nazhar)."

Ini adalah salah satu istilah Imam Bukhâri dalam mengkritik dan menerangkan cacat perawi yang sangat halus akan tetapi makna dan maksudnya dalam sekali. Apabila Imam Bukhâri mengatakan, "Fiihi nazhar atau fi haditsihi nazhar, maka perawi itu derajatnya lemah atau bahkan sangat lemah. "

HADITS KESEMBILAN : TENTANG MENGQADHA PUASA RAMADHAN DENGAN CARA BERTURUT-TURUT

مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلاَ يَقْطَعْهُ

"Barangsiapa yang memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân, maka hendaknya dia mengqadha'nya dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling)".

Hadits ini dha'if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah dalam sunannya, 2/191-192 dan al-Baihaqi dalam sunan beliau, 2/259 lewat jalur Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh dari 'Alâ bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah (ia mengatakan), Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : (seperti hadits diatas).

Sanad hadits ini dha'if (lemah), karena Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah seorang rawi yang dha'if (lemah).

Ad-Daaru Quthni rahimahullah mengatakan, "Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah dha'îful hadîts (orang yang haditsnya lemah)."

Al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Talkhishul Habîr ,2/260, no. 920 mengatakan, "Ibnu Abil Hâtim rahimahullah telah menerangkan bahwa bapaknya yaitu Abu Hâtim telah mengingkari hadits ini karena ada Abdurrahman."

Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan, "Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma'in rahimahullah, Nasa'i rahimahullah dan Daru Quthni rahimahullah."

Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Mizânul I'tidâl, 2/545, "Diantara hadits-hadits mungkarnya adalah ….. (kemudian beliau rahimahullah membawakan hadits di atas)

Ada juga hadits dha'if lainnya yang bertentangan dengan hadits dha'if di atas yaitu :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فِى قَضَاءِ رَمَضَانَ : إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ

"Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, beliau Radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda tentang qadha' Ramadhân, 'Jika ia mau, dia bisa mengqadha'nya dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau, dia juga bisa mengqadha'nya secara beturut-turut (tanpa diselang-seling)".

Hadits ini dha'if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah, 2/193 lewat jalur periwayatan Sufyân bin Bisyr, ia mengatakan, 'Kami telah diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin Umar dari Nâfi' dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dia mengatakan : (seperti hadits di atas)

Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini dha'if karena Sufyaan bin Bisyr adalah seorang perawi yang majhûl, sebagaimana telah ditegaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, karena beliau rahimahullah tidak mendapatkan riwayat hidupnya. Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, "Ringkasnya, tidak ada satu pun hadits marfu' yang sah yang menerangkan (mengqadha' shaum Ramadhân) dengan selang-seling dan tidak juga berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) ialah boleh mengqadha' dengan cara keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. [Lihat Irwâ'ul Ghalîl, 4/97]

Demikianlah beberapa contoh hadits dha'if bahkan sebagiannya maudhu' yang banyak beredar dan sering diulang-ulang penyampaiannya diatas mimbar pada bulan Ramadhân. Semoga naskah singkat ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk tidak lagi menjadikan hadits-hadits diatas sebagai hujjah dalam beramal. Cukuplah bagi kita dengan mengikuti hadits-hadits shahih atau hadits-hadits yang layak dijadikan sebagai hujjah. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk mengikuti Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara mengamalkan hadits-hadits yang tsabit dari Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan langsung dari rasulullah n oleh tabi'in tanpa perantara shahabat

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3142/slash/0
read more “HADITS-HADITS DHA'IF DAN MAUDHU' YANG BANYAK BEREDAR PADA BULAN RAMADHAN”