Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Rabu, 22 Juni 2011

Tumbal dan Sesajen, Tradisi Syirik Warisan Jahiliyah

Hits:

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk  halus/jin  yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat  tertentu  adalah kebiasaan syirik (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat   kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kemampuan untuk   memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja,   sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen tersebut mereka   berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala   permohonan mereka dipenuhinya.

Kebiasan ini sudah ada sejak zaman Jahiliyah sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia   meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Qs. al-Jin: 6).

Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada   para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para  jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal),   bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain.[1]

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا  يَا مَعْشَرَ  الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ  أَوْلِيَاؤُهُمْ  مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ  وَبَلَغْنَا  أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ  مَثْوَاكُمْ  خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ  حَكِيمٌ عَلِيمٌ

“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka   semuanya, (dan Dia berfirman), ‘Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia,’ lalu berkatalah teman-teman  dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir), ‘Ya   Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan   kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai   kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman,   ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya,   kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabb-mu Maha  Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’aam:128).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Jin (syaitan) mendapatkan   kesenangan dengan manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan  berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan   tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk   memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin,   (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi   kebutuhan-kebutuhannya.”[2]

Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam

Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[3], adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي  وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ  وَبِذَلِكَ  أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku),   hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku  adalah  orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (Qs. al-An’aam: 162-163).

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanla.” (Qs. al-Kautsar: 2).

Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan   berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan   kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya   semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan   anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu   Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]

Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk   mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan   merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar  dari agama Islam (menjadi kafir).[5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173).

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sembahan (selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya.”[6]

Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.”[7]

Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa   yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dijauhkan dari rahmat-Nya.[8]

Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor   utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah   semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam  hati  orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.

Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk   perbuatan syirik besar.[9]

Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhubeliau berkata, “Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat,  ada dua orang yang melewati   (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah)  kita  hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai   kurban/tumbal untuk berhala kita).’ Maka, mereka berkata kepada orang   yang pertama, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’ Tapi, orang   itu enggan –dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak akan   berkurban kepada siapapun selain Allah Subhanahu wa Ta’ala’–,   maka diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata   kepada orang yang kedua, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’,   -dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak mempenyai sesuatu   untuk dikurbankan.’ Maka mereka berkata lagi, ‘Kurbankanlah sesuatu   meskipun (hanya) seekor lalat!’, orang itu berkata (dengan meremehkan),  ‘Apalah artinya seekor lalat,’, lalu diapun berkurban dengan seekor   lalat, –dalam riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat–   kemudian (di akhirat) dia masuk neraka.’”[10]

Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Tumbal dan Sesajen

Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah  ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik   kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ  أَنْ يُشْرَكَ  بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ  يُشْرِكْ  بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan   syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain   dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang   mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat   besar.” (Qs an-Nisaa’: 48).

Maka, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ini   dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena   termasuk tolong-menolong dalam perbuatan maksiat yang sangat besar   kepada Allah, yaitu perbuatan syirik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ   وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا   اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Qs. al-Maaidah: 2).

Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling   tolong-menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini   adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan   perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang   mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan   tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.”[11]

Dan dalam hadits shahih tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya  ikut membantu serta mendukung perbuatan ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang   yang menulis (transaksinya), dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama (dalam perbuatan dosa).”[12]

Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang   menunjukkan) diharamkannya menolong/mendukung (terselenggaranya   perbuatan) batil (maksiat).”[13]

Hukum Memanfaatkan Makanan/Harta yang Digunakan untuk Tumbal/Sesajen

Jika makanan tersebut berupa hewan sembelihan, maka tidak boleh   dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, karena hewan sembelihan tersebut dipersembahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai.[14] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,   daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menafsirkan ayat ini, beliau   berkata, “Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah tidak boleh   dimakan dagingnya.”[15]

Dan karena daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jika mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia  (juga) mengharamkan harganya (diperjual-belikan).”[16]

Adapun jika makanan tersebut selain hewan sembelihan, demikian juga   harta, maka sebagian ulama ada yang mengharamkannya dan menyamakan   hukumnya dengan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala[17]

Akan tetapi pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, insya Allah, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang  membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan,  karena hukum asal makanan/harta tersebut adalah halal dan telah   ditinggalkan oleh pemiliknya.

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “(Pendapat yang mengatakan) bahwa uang (harta), makanan, minuman dan hewan yang masih hidup, yang   dipersembahkan oleh pemiliknya kepada (sembahan selain Allah, baik itu)  kepada Nabi, wali maupun (sembahan-sembahan) lainnya, haram untuk   diambil dan dimanfaatkan, pendapat ini tidak benar. Karena semua itu   adalah harta yang bisa dimanfaatkan dan telah ditinggalkan oleh   pemiliknya, serta hukumya tidak sama dengan bangkai (yang haram dan   najis), maka (hukumnya) boleh diambil (dan dimanfaatkan), sama seperti   harta (lainnya) yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk siapa saja yang  menginginkannya, seperti bulir padi dan buah korma yang ditinggalkan   oleh para petani dan pemanen pohon korma untuk orang-orang miskin.

Dalil yang menunjukkan kebolehan ini adalah (perbuatan) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika) beliau mengambil harta (yang dipersembahkan oleh orang-orang musyrik) yang (tersimpan) di perbendaharaan (berhala) al-Laata, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (memanfaatkannya untuk) melunasi utang (sahabat yang bernama) ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) tidak menganggap dipersembahkannya harta tersebut kepada (berhala) al-Laata sebagai (sebab) untuk melarang mengambil (dan memanfaatkan harta tersebut) ketika bisa (diambil).

Akan tetapi, orang yang melihat orang (lain) yang melakukan perbuatan syirik tersebut (mempersembahkan makanan/harta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala), dari kalangan orang-orang bodoh dan para pelaku syirik, wajib baginya  untuk mengingkari perbuatan tersebut dan menjelaskan kepada pelaku   syirik itu bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk syirik, supaya tidak timbul prasangka bahwa sikap diam dan tidak mengingkari (perbuatan   tersebut), atau mengambil seluruh/sebagian dari harta persembahan   tersebut, adalah bukti yang menuinjukkan bolehnya perbuatan tersebut dan bolehnya berkurban dengan harta tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena perbuatan syirik adalah kemungkaran (kemaksiatan) yang paling   besar (dosanya), maka wajib diingkari/dinasihati orang yang   melakukannya.

Adapun kalau makanan (yang dipersembahkan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) tersebut terbuat dari daging hewan yang disembelih oleh para pelaku   syirik, maka (hukumnya) haram (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian   juga lemak dan kuahnya, karena (daging) sembelihan para pelaku syirik   hukumnya sama dengan (daging) bangkai, sehingga haram (untuk dimakan)   dan menjadikan najis makanan lain yang tercampur dengannya. Berbeda   dengan (misalnya) roti atau (makanan) lainnya yang tidak tercampur   dengan (daging) sembelihan tersebut, maka ini semua halal bagi orang   yang mengambilnya (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga uang dan   harta lainnya (halal untuk diambil), sebagaimana penjelasan yang lalu, wallahu a’lam.”[18]

Penutup

 

Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 3 Dzulqa’dah 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (4/550), Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 890), at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid (hal. 317) dan kitab Hum Laisu Bisyai (hal. 4).

[2] Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 273).

[3] Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 282).

[4] Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 228).

[5] Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim (13/141), al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid (1/215) dan kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid (hal. 146).

[6] Kitab Jaami’ul Bayaan Fi Ta’wiilil Quran (3/319).

[7] HSR. Muslim (no. 1978)

[8] Keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid (hal. 146).

[9] Lihat kitab Fathul Majid (hal. 178 dan 179).

[10] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf (no. 33038) dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan dari jalan lain oleh Imam Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 15-16), al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman (no. 7343) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (1/203).

[11] Kitab Tafsir Ibnu Katsir (2/5).

[12] HSR. Muslim (no. 1598).

[13] Kitab Syarhu Shahiihi Muslim (11/26).

[14] Lihat keterangan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Fathul Majiid (hal. 175).

[15] Kitab Daqa-iqut Tafsiir (2/130).

[16] HR Ahmad (1/293), Ibnu Hibban (no. 4938) dan lain-lain, Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani dalam kitab Ghaayatul Maraam (no. 318).

[17] Lihat keterangan Syaikh Muhammad Hamid al-Faqiy dalam catatan kaki beliau terhadap kitab Fathul Majiid (hal. 174).

[18] Catatan kaki Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz terhadap kitab Fathul Majiid (hal. 174-175).

http://muslim.or.id


--
Mari Kembali Kepada Tauhid dan Sunnah, Tinggalkan Syirik dan Bid'ah.