Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Jumat, 03 Juni 2011

Amalan di Bulan Rajab

Hits:

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan  salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para  pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan  haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa  saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini,  kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk  menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.  

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban.  Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah  Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ  شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ  مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا  فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas  bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,  di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,  maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak  penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan  berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang  lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ  muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan  munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari  sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ  السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا  أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو  الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى  وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan  langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada  empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang  terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2)  Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu  Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena  dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai  pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan  perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena  mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik  untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir  surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan  ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa  pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut  sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang  dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al  Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan  haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang  lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh  sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar  Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada  yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram,  sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini  dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin  Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa  hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih  pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam  ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan  haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan  ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap  bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak  diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang  pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah  dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah  hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan  ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya  dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu  Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473  dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing,  lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam.  ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya  berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan  tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai  ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang  untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas  sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi  ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan)  kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.  Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ  يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada  seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.”  (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan  pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’,  yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah  dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied  selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu  Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya  dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at.  Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka  itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan  Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga  tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah  shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat  Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib  (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa  sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap  raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali,  surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut  dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan  akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun  hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang  telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan  sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu  panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak.  Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan  dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib,  bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh  orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di  bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di  kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir  shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil  Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis,  setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan  shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan  bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini.  Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah  pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan  Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf  pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai  hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan  Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun  tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari  bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu  semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan  maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya  adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang  berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama  dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan  oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa  seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab)  dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam  Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau  mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya  shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk  berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan  tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab  saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada  bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku  tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu  bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya  sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan  Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti  bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang  dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan  pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al  Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al  Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah  Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas  yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya  para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa  menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada  kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal  tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan  bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang  menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan  bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’  Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil  (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu  kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih  diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang  dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan  dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula  para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak  pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan  mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui  tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan  tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian  malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at  dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang  yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini  semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang  merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah  melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada  tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari  Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa  Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan  perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang  bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits  (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk  hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij  Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan  beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga  Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma  sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id