Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Jumat, 13 Mei 2011

Wahai Anakku …, Kutitipkan Surat Ini Untukmu...

Hits:

(Disadur dari kajian Ustadz Armen -Rohimahulloh-, oleh ustadz Abu Abdillah Ad-Daariny, Lc Hafidzohulloh)Original Message From: Maratua Parlagutan <maratua.parlagutan@yahoo.co.id>
From: aep.saepuloh@icbp.indofood.co.id




بسم الله الرحمن الرحيم


Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Allah ta’ala Segala puji ku panjatkan ke hadirat Allah ta’ala, yang telah memudahkan ibu  untuk beribadah kepada-Nya. Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada  Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, keluarga, dan para  sahabatnya.

Wahai anakku … Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah   berpikir  panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,   sekalipun  keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.Setiap kali  menulis,  setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh  tangis. Dan setiap  kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini  terluka.

Wahai anakku … Sepanjang  masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi  laki-laki  dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau   pantas membaca  tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu  engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah   remas hati ibu,  dan telah engkau robek pula perasaannya.

Wahai anakku … 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan  dalam kehidupanku. Suatu  ketika dokter datang menyampaikan tentang  kehamilanku, dan semua  ibu  sangat mengerti arti kalimat tersebut.  Bercampur rasa gembira dan   bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia  adalah awal mula dari perubahan   fisik dan emosi ibu. Semenjak kabar  gembira tersebut, aku membawamu  sembilan bulan. Tidur,  berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan.  Akan tetapi, itu semua  tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku  kepadamu, bahkan ia tumbuh  bersama  berjalannya waktu. Aku  mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah.  Bersamaan  dengan itu, aku begitu gembira tatkala  merasakan dan melihat  terjalan  kakimu, atau balikan badanmu di  perutku. Aku merasa puas, setiap aku  menimbang diriku, karena bila  semakin hari  semakin berat perutku,  berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di  dalam rahimku.

Anakku … Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam  itu, yang  aku  tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang  tidak   tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit  itu  berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis.  Sebanyak  itu  pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah  waktunya   engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata    kebahagiaanku dengan air mata tangismu. Ketika engkau lahir, menetes   air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna  semua keletihan dan kesedihan,   hilang semua sakit dan penderitaan,  bahkan kasihku kepadamu semakin   bertambah, dengan bertambah kuatnya  sakit. Aku raih dirimu, sebelum ku  raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.  

 Wahai anakku … Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku  membawamu dengan hatiku,   memandikanmu dengan kedua tangan kasih  sayangku. Sari pati hidupku,   kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi  tidurmu, berletih demi   kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya,  agar aku selalu melihat   senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah  setiap permintaanmu agar  aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah  kebahagiaanku. Lalu berlalulah  waktu, hari berganti hari, bulan  berganti bulan, tahun  berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi  pelayanmu yang tidak  pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah  berhenti… menjadi  pekerjamu yang  tidak pernah lelah… dan mendoakan  selalu kebaikan dan  taufiq untukmu.  Aku selau memperhatikan dirimu,  hari demi hari, hingga engkau menjadi   dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu  yang kekar, kumis dan jambang tipis  telah menghiasi wajahmu, telah  menambah ketampananmu, wahai anakku…   Tatkala itu, aku mulai melirik  ke kiri dan ke kanan, demi mencari  pasangan  hidupmu, semakin dekat hari  perkawinanmu anakku, semakin dekat  pula  hari kepergianmu. Tatkala  itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku  mengalir, entah apa  rasanya  hati ini. Bahagia telah bercampur dengan  duka. Tangis telah  bercampur  pula dengan tawa. Bahagia karena engkau  mendapatkan pasangan… karena  engkau telah  mendapatkan jodoh… karena  engkau telah mendapatkan  pendamping hidup…  Sedangkan sedih karena  engkau adalah pelipur hatiku,  yang akan berpisah  sebentar lagi dari  diriku.   Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah  perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu. Senyummu  yang selama  ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang  telah  sirna  bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam.  Tawamu yang   selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah  tenggelam, seperti   batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening,  dengan dedaunan yang   berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi,  karena engkau telah  melupakanku dan melupakan hakku.   Terasa lama hari-hari yang ku  lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik  demi detik ku hitung demi  mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku   seakan sangat panjang. Aku  selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti  kedatanganmu. Setiap kali  berderit pintu, aku menyangka bahwa  engkaulah  orang yang datang itu.  Setiap kali telepon berdering, aku  merasa bahwa  engkau yang akan  menelponku. Setiap suara kendaraan yang  lewat, aku  merasa bahwa  engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku  sia-sia, dan harapanku   hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan…  Yang tersisa hanya   kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku  rasakan, sambil   menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan  oleh-Nya.

Anakku… Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.  Yang ibu pinta kepadamu: Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam  kehidupanmu. Jadikanlah  ibumu yang malang ini sebagai pembantu di  rumahmu, agar bisa  juga aku  menatap wajahmu, agar ibu teringat pula  dengan hari-hari  bahagia masa  kecilmu.   Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan  dengan ibumu. Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu. Yang ibu tagih kepadamu: Jadikanlah  rumah ibumu, salah satu  tempat persinggahanmu, agar engkau  dapat  sekali-kali singgah ke sana,  sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan  ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau  kunjungi. Atau   sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan   engkaupun berlalu pergi.

Anakku… Telah bungkuk  pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku  telah  dimakan oleh  usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya   seharusnya telah  dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…Akan tetapi,  yang tidak  pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku  kepadamu… masih  seperti dulu…  masih seperti lautan yang tidak pernah  kering… masih  seperti angin yang  tidak pernah berhenti… Sekiranya engkau dimuliakan  satu hari saja  oleh seseorang, niscaya  engkau akan balas kebaikan  dengan kebaikan,  sedangkan ibumu, mana balas  budimu, mana balasan  baikmu?! bukankah air  susu seharusnya dibalas  dengan air serupa?!  bukan sebaliknya air susu  dibalas dengan air tuba?!  Dan bukankah Alloh ta’ala, telah berfirman:  

هل جزاء الإحسان إلا الإحسان

Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?! Sampai  begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah  berlalunya hari dan berselangnya waktu.

Wahai anakku… Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap  itu  pula  bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau  adalah  buah  dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku…   Engkaulah  laba dari semua usahaku… Dosa apakah yang telah ku perbuat,  sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah suatu hari  aku salah dalam bergaul denganmu?! Atau pernahkah aku berbuat lalai  dalam melayanimu?! Tidak  dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang  terhina dari sekian  banyak  pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah?! Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan  kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?! Dapatkah engkau sekarang  menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua  yang malang ini?!  

إن الله يحب المحسنين


Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik.

Wahai anakku…
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.   Wahai anakku…Hatiku  terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau  sehat wal  afiat.  Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah  laki-laki  yang supel,  dermawan dan berbudi.

Wahai anakku… Apakah hatimu tidak  tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa dimakan oleh  rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian   kedukaan?! Mengapa?  Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil  mengalirkan  air  matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka  di hatinya…  Karena  engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati  durhakamu  tepat  menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil  pula  memutuskan tali  silaturrahim.

Wahai anakku…
Ibumu inilah sebenarnya pintu surga,  maka titilah jembatan itu  menujunya…  Lewatilah jalannya dengan senyuman  yang manis, kemaafan, dan  balas  budi yang baik… Semoga aku bertemu  denganmu di sana, dengan  kasih  sayang Alloh ta’ala sebagaimana di dalam  hadits:
 

الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه

  Orang tua adalah pintu surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau,    sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi,    dishohihkan oleh Albani)

Anakku… Aku mengenalmu  sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku   tahu engkau  sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang   keuatamaan  berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang   keutamaan shof  pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan tentang  keutamaan infak, dan bersedekah…Akan tetapi satu hadits yang  telah  engkau lupakan… satu keutamaan besar  yang telah engkau lalaikan… yaitu  bahwa Nabi -shollallohu alaihi  wasallam- telah bersabda,  sebagaimana  diriwayatkan oleh Abdulloh bin  Mas’ud, ia mengatakan:  

سألت رسول الله  صلى الله عليه وسلم، قلت: يا رسول الله أي العمل أفضل؟   قال: الصلاة على  ميقاتها. قلت: ثم أيُّ؟ قال: ثم بر الوالدين. قلت: ثم   أيُّ؟ قال: الجهاد في  سبيل الله. فسكت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم   ولو استزدته لزادني.  (متفق عليه)

Aku  bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi  wasallam-: Wahai   Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau  menjawab: sholat pada   waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai  Rosululloh? Beliau   menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.  Aku bertanya lagi:  Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab:  Kemudian jihad di  jalan  Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada  Rosululloh   -shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku  bertanya lagi,   niscaya beliau akan menjawabnya.
Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…

Wahai anakku… Inilah aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak atau    banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…   Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga  dan   anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah    berantah untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia   salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia    mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri    yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang    reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah…   Berangkatlah  suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk   mendapatkan emas,  guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana mengganti rumah  reotnya. Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga  puluh tahun dalam   perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan  kegagalan. Dia gagal   dalam usahanya. Pulanglah ia kembali ke  kampungnya. Dan sampailah ia ke   tempat dusun yang selama ini ia  tinggal.   Apa  lagi yang terjadi di  tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya,  matanya terbelalak. Ia  melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati  oleh  anak-anak dan  keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah  perusahaan  besar, tambang  emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di  negeri  orang, kiranya  orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku… Engkau  berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi   engkau telah  lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di   sampingmu ada  orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu   masuk surga…
Ibumu  adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga, atau   mempercepat amalmu masuk surga… Bukankah ridloku adalah keridloan   Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!

Anakku…
Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- di dalam haditsnya:
 

رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة (رواه مسلم)

  Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada  yang   bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah  orang  yang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau   keduanya,  akan tetapi tidak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)
Celakalah  seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup  bersamanya,  berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak   memasukkan dia  ke surga.

Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan  ini ke langit, aku tidak akan adukan  duka  ini kepada Alloh, karena jika  seandainya keluhan ini telah  membumbung  menembus awan, melewati  pintu-pintu langit, maka akan  menimpamu  kebinasaan dan kesengsaraan,  yang tidak ada obatnya dan  tidak ada tabib  yang dapat menyembuhkannya… Aku  tidak akan  melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan   melakukannya,  sedangkan engkau adalah jantung hatiku… bagaimana ibu ini   kuat  menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adalah pelipur    lara hatiku… bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab,   padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku…
Bangunlah nak…  bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban sudah  mulai merambat di  kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan   menjadi tua pula.
 

الجزاء من جنس العمل

Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu.
 

الجزاء من جنس العمل


Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.
Aku tidak ingin engkau menulis surat ini… aku tidak ingin engkau  menulis  surat yang sama, dengan air matamu kepada anak-anakmu,  sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.

Wahai anakku… Bertakwalah kepada Allah… takutlah engkau kepada Allah… berbaktilah  kepada ibumu… peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya…  basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang  ringkihnya… dan   kokohkan badannya yang telah lapuk…

 Anakku… Setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.
Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Dari Ibumu yang merana.
(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh- oleh ustadz Abu Abdillah Ad-Daariny, Lc) Tambahan: Kajian ini sering diputar di radio RODJA AM 756Khz, juga tersedia dalam format Vcd / Mp3 dan tersedia di toko2 buku Islam, mungkin juga bisa di download di www.radiorodja.com