Oleh:                                                               
Ust Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Prolog
Andaikan ada berita yang mengabarkan tentang seorang anak yang   memperkosa ibu kandungnya sendiri, penulis yakin gelombang kutukan   terhadap pelaku perbuatan keji tersebut akan tak kuasa untuk dibendung!   Bisa dipastikan tidak ada satupun orang yang berakal sehat mendukung   perilaku munkar tersebut!
Namun, bagaimana halnya jika ada iklan bank yang mempromosikan   pinjaman dengan bunga lunak? Akankah ada pengingkaran terhadap praktek   ribawi tersebut? Ataukah justru hal itu dianggap sebagai berita yang   lazim, atau bahkan akan menuai pujian lantaran lunaknya bunga yang   ditawarkan? Lalu sebaliknya, ustadz yang memperingatkan umat dari bahaya   berhubungan dengan bank dalam model transaksi seperti itu, akan dicap   sebagai orang yang kaku, keras, 
saklek, dan segudang stigma lainnya?
Begitulah kira-kira sekelumit realita ketidaksadaran banyak umat   dengan bahaya riba. Padahal menurut kacamata Islam, berzina dengan ibu   kandung dan memakan riba dosanya adalah selevel! Rasulullah 
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَاباً، أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
“Riba ada tujuh puluh tiga tingkatan. Yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya”. HR. Al-Hakim dan dinyatakan sahih oleh beliau dan al-Albany.
• Periodisasi Pengharaman Riba1 
Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan   melalui tahapan yang hampir sama dengan tahapan pengharaman khamar.
Pengetahuan tentang hal ini bukan untuk merubah hukum riba; sebab riba sudah jelas haram berdasarkan al-Qur’an, Sunnah maupun 
ijma’.   Namun untuk mengetahui sejarah turunnya ayat-ayat yang berbicara   tentang riba, juga untuk mengenal besarnya hikmah dan kasih sayang Allah   yang mempertimbangkan kondisi psikologis para hamba-Nya dan tingkat   kesiapan mereka dalam menerima hukum. Tidak kalah pentingnya juga, untuk   mempelajari berbagai sisi argumen al-Qur’an dalam mengharamkan riba.
1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta. 
Pada tahap pertama ini, Allah 
ta’ala hanya memberitahukan  pada  mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang  melalui  riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah  
ta’ala.  Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro  berakibat pada tidak  seimbangnya sistem perekonomian yang berujung pada  penurunan nilai mata  uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan  merugikan mereka sendiri.
Pematahan paradigma ini Allah gambarkan dalam QS. Ar-Rum (30): 39;
“
Sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia   bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu   berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan   Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
2. Tahap kedua: Pemberitahuan bahwa riba diharamkan atas umat terdahulu. 
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah 
ta’ala  lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka   umat-umat terdahulu juga telah dilarang untuk melakukannya. Bahkan   karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan   mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah ancam mereka dengan azab yang   pedih. Ayat ini juga mengisyaratkan kemungkinan akan diharamkannya  riba  atas umat Islam, sebagaimana telah diharamkan atas umat  sebelumnya.
Allah 
ta’ala berfirman,
“
Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka   makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena   mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. Dan karena   mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya,   dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami  telah  menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang  pedih”.QS. An-Nisa’ (4): 160-161.
 3. Tahap ketiga: Gambaran bahwa riba akan membuahkan kezaliman yang berlipat ganda. 
Pada tahapan yang ketiga, Allah 
ta’ala menerangkan bahwa  riba  mengakibat kezaliman yang berlipat ganda. Di antara bentuknya: si   pemberi pinjaman akan membebani peminjam dengan bunga sebagai  kompensasi  dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut. Yang itu  akan  semakin bertambah dengan berjalannya waktu, apalagi manakala  tenggat  waktu yang telah disepakati tidak bisa dipenuhi oleh peminjam.  Sehingga  si peminjam akan sangat sengsara karena terbebani dengan  hutang yang  semakin berlipat ganda.
2
Salah satu yang perlu digarisbawahi, sebagaimana dijelaskan antara lain oleh asy-Syaukany dalam 
Tafsirnya,   bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang  dilarang  adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat  ganda tidak  dilarang. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang  keliru dan tidak  dimaksudkan dalam ayat ini.
3
Allah 
ta’ala mengingatkan,
“
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba   dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kalian   mendapat keberuntungan.”QS. Ali Imran (3):130.
 4. Tahap keempat: Pengharaman segala macam dan bentuk riba. 
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi   pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan   muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak   langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun   kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah 
ta’ala menegaskan,
“
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan   tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) bila kamu orang yang beriman.   Jika kamu tidak melaksanakannya, maka ketahuilah, bahwa Allah dan   Rasul-Nya akan memerangimu. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak   atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak  pula  dizalimi (dirugikan).” QS. Al-Baqarah (2): 278-279.
 • Kerugian duniawi pelaku riba
Satu hal yang seharusnya selalu diingat setiap insan, manakala Islam   melarang suatu perbuatan, pasti perilaku tersebut memuat kerusakan  fatal  atau mengakibatkan bahaya besar bagi pelakunya, baik di dunia  maupun  akhirat. Sekalipun barangkali perbuatan itu mengandung beberapa  manfaat.  Jika dicermati ulang dengan teliti, ternyata manfaat tadi bila   dibandingan dengan keburukan yang ditimbulkannya, jelas tidak ada   apa-apanya.
Banyak orang mengira bahwa dengan jual beli sistem riba atau   meminjamkan uang yang berbunga akan menguntungkan dirinya, padahal   sejatinya tidaklah demikian. Keuntungan yang nampaknya banyak, tidak   lain hanyalah fatamorgana belaka. Allah 
ta’ala berfirman, 
“Allah melenyapkan riba dan menyuburkan sedekah”. QS. Al-Baqarah (2): 276.
Lenyapnya harta hasil riba, kata Imam Ibn Katsir dalam 
Tafsirnya,   bisa jadi lenyap secara total dari tangan pemiliknya, atau keberkahan   harta tersebut hilang, sehingga tidak bisa dipetik manfaatnya.
Di antara indikasi ketidakberkahan suatu harta, manakala dimakan, dia   akan menumbuhkan berbagai macam penyakit di tubuh, menjadikan hati   tidak tentram, membuat anak-anak nakal dan sulit diatur. Manakala   digunakan untuk membangun rumah, maka tidak nyaman untuk ditinggali.   Bahkan bisa jadi Allah akan memusnahkannya dalam sekejap, dengan   mengirim api untuk membakarnya, atau mengutus air untuk   menenggelamkannya, atau musibah lainnya.
Itu sekedar contoh dampak buruk riba yang berskala kecil (baca:   pribadi). Adapun dampaknya yang lebih luas, kiranya krisis ekonomi di   Amerika belum lama ini merupakan contoh paling mudah dan jelasnya.
Banyak orang merasa heran bagaimana Amerika Serikat yang konon   memiliki sistem ekonomi dan keuangan yang kuat, bisa mengalami krisis   yang begitu parah, hingga total hutang negeri Paman Sam saat ini   mencapai 15 triliun dolar, sebagaimana dilansir blog ekonomi, The   Economy Collapse (TEC).
Usut punya usut, biang keladi dari krisis tersebut tidak lain adalah   lembaga keuangan di Amerika Serikat, terutama perbankan. Bahwa negara   Amerika menjalan sistem ekonomi riba tentu kita semua sudah tahu. Tapi   bukan hanya itu masalahnya. Ada tindakan negatif yang dilakukan   bank-bank di Amerika untuk meraup keuntungan lebih. Tindakan ini   berkaitan dengan pemberian kredit rumah.
Permisalan gampangnya seperti ini. Para nasabah seharusnya membayar   cicilan bunga kredit sebesar 200 ribu setiap bulan. Ternyata bank   memberikan keringanan semu kepada nasabah dengan menarik cicilan bunga   kredit sebesar 100 ribu setiap bulan. Tentu 100 ribu sisanya tidak   direlakan begitu saja. Lebih kejamnya sisa cicilan bunga tersebut   dimasukkan ke dalam hutang kredit pokok. Secara otomatis, pokok kredit   yang bertambah akan menyebabkan nominal bunga pinjaman pun bertambah.   Intinya bisa dikatakan, bunga pinjaman kemudian berbunga lagi. Tentu hal   ini membuat para nasabah tidak mampu membayar cicilan karena nilainya   terus membengkak.
Akibatnya, banyak nasabah yang harus kehilangan rumah kredit   tersebut. Lebih lanjut hal ini berdampak pada merosotnya bisnis properti   yang ada di Amerika. Bak bola salju, krisis ini terus menggelinding   sambil menyeret gumpalan-gumpalan krisis yang lain hingga terus menjalar   ke benua Eropa. Sungguh benar firman Allah 
ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 276 tersebut di atas.
Cukup kiranya bagi umat manusia krisis ekonomi di Asia, Amerika, dan   Eropa menjadi pelajaran yang berharga. Terutama sekali bagi kita  sebagai  umat Islam yang diberikan sistem ekonomi terbaik dari sisi  Allah. Dan  sudah saatnya bagi kita untuk hijrah dari ekonomi kapitalis  atau riba  kepada ekonomi Islam atau syariah. Ini semua untuk  kemaslahatan kita di  dunia terutama di akhirat kelak. 
4
 • Kerugian ukhrawi pelaku riba
Keterangan di atas baru membahas tentang sebagian kecil dampak buruk   riba di dunia, yang ini tidak ada apa-apanya dibanding dengan akibatnya   di akhirat.
Sejak awal kebangkitan para pemakan riba dari alam kubur saja, mereka   sudah berpenampilan mengenaskan; seperti orang gila yang kesurupan   setan!
“Orang-orang yang memakan riba, tidak dapat berdiri  melainkan seperti  berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.  Yang demikian itu  karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan  riba. Padahal  Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba”. QS. Al-Baqarah (2): 275.
Kelanjutannya, mereka terancam dengan siksaan yang sangat pedih di neraka.
“Barangsiapa mendapat peringatan dari Rabbnya, lalu ia berhenti (dari   memakan riba), maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya   dan urusannya (terserah) kepada Allah. Namun barang siapa yang kembali   (memakan riba), maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di   dalamnya”. QS. Al-Baqarah (2): 275.
Sunnah Nabi 
shallallahu ’alaihi wa sallam mendeskripsikan berbagai jenis siksaan yang disiapkan Allah untuk para pemakan riba.
Rasulullah 
shallallahu ’alaihi wa sallam menuturkan ‘kunjungannya’ ke neraka,
“
Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah.  Tiba-tiba  ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di  tepi sungai  ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu orang  yang berenang  itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu,  sembari membuka  mulutnya dan memakan batu-batu tersebut … Orang  tersebut tidak lain  adalah pemakan riba”. HR. Bukhari (no. 7047) dari Samurah bin Jundub 
radhiyallahu ’anhu.
Dalam hadits lain diceritakan,
أَتَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ بُطُونُهُمْ   كَالْبُيُوتِ فِيهَا الْحَيَّاتُ تُرَى مِنْ خَارِجِ بُطُونِهِمْ،   فَقُلْتُ: “مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرَائِيلُ؟” قَالَ: “هَؤُلَاءِ أَكَلَةُ   الرِّبَا
“Pada malam Isra’ aku mendatangi suatu kaum yang perutnya sebesar   rumah, dan dipenuhi dengan ular-ular. Ular tersebut terlihat dari  luar.  Akupun bertanya, “Siapakah mereka wahai Jibril?”. “Mereka adalah  para  pemakan riba” jawab beliau”. HR. Ibn Majah (no. 2273) dari Abu Hurairah 
radhiyallahu’anhu dan dinilai lemah oleh al-Albany.
Semoga tulisan sederhana ini bisa lebih menyadarkan kaum muslimin   bahwa riba hanyalah akan membawa kesusahan di dunia dan akhirat, maka   ayo bersegeralah untuk meninggalkan riba!
 Ditulis di Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 08 Rabi’ul Awwal 1433 / 31 Januari 2012
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
Catatan kaki:
1. 
At-Tadarruj fî Tahrîm ar-Ribâ dalam http://www.hablullah.com/?p=1133 dan 
Bahaya Riba makalah 
Rikza   Maulan, Lc., M.Ag sebagaimana dalam   http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-hadits/bahaya-riba.htm, dengan   berbagai tambahan dan perubahan. 
2. Baca: 
Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).
3. Bahkan penafsiran seperti itu teranggap sebagai penafsiran yang 
syâdz (ganjil). Lihat: 
Al-Aqwâl asy-Syâddzah fî at-Tafsîr karya Dr. Abdurrahman ad-Dahsy (hal. 304-306).
4. http://antonramdan.wordpress.com/2011/12/11/riba-dibalik-krisis-ekonomi-eropa-saat-ini.