Rabu, 29 Juni 2011 22:42:27 WIB
Oleh
Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin
Segala puji hanya milik Allah Rabb Azza wa Jalla semesta alam, yang  menurunkan al-Qur’anul-Karim sebagai petunjuk dan peringatan bagi  seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia. Semoga shalawat dan salam  tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,  sebagai utusan Allah dan menjadi manusia sempurna rohani dan akalnya,  tinggi kedudukannya, luhur budi pekertinya, dan mulia akhlaknya,  sehingga ucapan dan tindakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam  menjadi panutan dan suri tauladan.
Dengan dalih Islamisasi dan dakwah lewat media, akhir-akhir ini banyak  bermunculan kesenian bernuasa Islam, hingga para pengamen jalananpun  ikut-ikutan menyajikan lagu-lagu bernafaskan Islam. Bahkan dangdut,  ketoprak dan wayang kulit bercorakkan Islam tumbuh subur dimana-mana,  sampai pentas kesenian lawak yang berbau Islam pun merebak, hingga  semakin sulit dibedakan antara kesenian Islam dengan kesenian jahiliyah.
Bagaimanakah tinjauan Islam dalam masalah ini? Benarkah mereka sedang  memainkan peran Islam, atau justru sedang mempermainkan peranan Islam?  Waspadalah, jangan gampang silau dan tertipu dengan segala pentas seni  dan musik yang bernuansa religi atau bernafaskan Islam.
ADAKAH HIBURAN DAN KESENIAN DALAM ISLAM?
Jenuhnya suasana dan penatnya pikiran akibat dari kesibukan harian,  telah memunculkan banyak gagasan untuk menghilangkannya, misalnya dengan  menghadirkan hiburan. Maka didesainlah inovasi berbagai hiburan, mulai  dari kelas bergensi hingga tingkat ecek-ecek. Bahkan peluang ini banyak  dilirik para investor media, baik asing maupun lokal.
Tidak bisa ditampik, saat-saat tertentu hidup memang membutuhkan suasana  rilek dan santai untuk mengendurkan urat saraf, memulihkan gairah dan  semangat baru, mengusir gundah dan gelisah, menghasung kondisi penat dan  letih, dan menghilangkan rasa pegal dan capek. Sehingga badan kembali  segar, mental menjadi stabil, gairah kerja tumbuh lestari, dan  produktifitas semakin meningkat, serta kehidupan manusia semakin maju  dan sejahtera. Tetapi semuanya harus seirama dengan Islam dan dalam  rangka beribadah kepada Allah, bukan hanya sekedar mencari kepuasan  syahwat.
Allah berfirman:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ  وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب
"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah  dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. [Alam Nasyrah/94:7-8]
Dalam Tafsir Ma’alimut-Tanzil disebutkan bahwa Imam Mujahid berkata,  jika kamu telah selesai dari urusan duniamu, maka kerjakanlah dengan  sungguh-sungguh ibadah kepada Allah dan shalatlah. [1]
Dunia kesenian dan panggung hiburan zaman sekarang sangat bervariasi.  Mulai dari tayangan sinetron religi, pentas dangdut, konser nasyid  marawis, pertunjukan ketoprak, film komedi, festival gambus hingga  manggungnya para pelawak. Semuanya bertujuan untuk menghibur para  pemirsa atau penonton yang sedang mengalami letih batin, capek pikiran  dan lelah badan. Bahkan maraknya tayangan entertainment (pertunjukan) di  layar televise bertujuan menghibur para pemirsa, akhirnya para ustadz  setengah artis dengan tampilan nyentrik dan ganteng, ikut ambil bagian.
Ironisnya, muatan hiburan jarang ditakar dengan norma Islam, hingga  hiburan yang disebut islamipun banyak yang melenceng dari aturan agama,  bahkan lebih cenderung bebas dan bias, jauh dari kendali syariat.  Apalagi kepentingan materi menjadi dominan, target keuntungan menjadi  pertimbangan utama, dan kepuasan penonton sebagai prioritas. Sehingga  bisa dipastikan, hiburan jenis apapun tidak sepi dari kebatilan dan  kemungkaran. Sementara penonton, rata-rata tertarik dengan segala yang  berbau syahwat, semua yang bersifat hura-hura, dan tayangan beraroma  pornografi.
Selingan hidup untuk mengusir bosan dan capek dengan canda dan tawa  merupakan sifat bawaan manusia, sebagai bumbu pergaulan dan garam  kehidupan, karena semua orang kurang betah dengan suasana tegang dan  hidup tanpa sisipan humor. Bercanda dan tertawa bolehboleh saja, asal  masih dalam bingkai syariat, tidak mengandung muatan dusta, memuat  pelecehan dan pamer penghinaan. Karena Nabipun kadang bercanda dengan  sebagian sahabatnya.
Dikisahkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa ada  seorang laki-laki berasal dari daerah pedalaman bernama Zahir bin Haram.  Dia sering memberi hadiah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  barang-barang dari pedalaman. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu  memberi bekal saat ia ingin kembali ke kampungnya. Beliau Shallallahu  'alaihi wa sallam bersabda: “Zahir adalah orang pedalaman kita, dan kita  orang perkotaannya”. 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mencintai Zahir bin Haram,  meskipun orang ini bermuka sangat buruk. Pernah, suatu hari beliau  Shallallahu 'alaihi wa sallam menghampirinya ketika ia sedang berjualan.  Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memeluknya dari arah belakang,  sehingga Zahir bin Haram tidak bisa melihatnya. Maka ia pun berseru:  “Lepaskan aku. Siapakah ini?” 
Maka Rasulullah berkata: “Siapa yang mau membeli budak ini?” 
Zahir bin Haram menyahut: “Engkau akan mendapati aku tidak mungkin laku  dijual, wahai Rasulullah,” maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam  menimpali: 
لَكِنْ عِنْدَ اللَّه لَسْتَ بِكاَ سِدٍ (أوْ قَا لَ) لَكِنْ عِنْدَ ا للَّهِ أنْتَ غَا لٍ
“Tetapi engkau di sisi Allah bukan barang yang tidak laku,” atau beliau  bersabda: “Tetapi engkau di sisi Allah sangat mahal”. [2]
Demikianlah gaya canda beliau, berkelakar tapi serius, bercanda bersih  dari kedustaan, tertawa tetapi jauh dari kehinaan, berhumor ria namun  tidak sampai menghilangkan muru’ah dan wibawa. Bahkan canda dan humor  beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berbalas surga dan menebar  keutamaan. Bukankah dengan canda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam  ini Zahir bin Haram menunai keutamaan dan kemuliaan di sisi Allah dengan  ucapan beliau, “tetapi engkau di sisi Allah sangat mahal”. 
PENTAS KESENIAN LAWAK DALAM PRESPEKTIF ISLAM
Kecenderungan ingin menjadi orang tenar dan populer merupakan watak  dasar manusia, sehingga apapun yang mampu mengantarnya kepada  popularitas dikejar dan menjadi rebutan. Tidak perduli, untuk meraihnya  harus melanggar norma agama dan aturan sosial. Jago-jago panggung dan  pahlawan hiburan bermunculan.
Di antara acara hiburan dan pentas kesenian yang paling banyak diminati  para pemirsa, yaitu yang dikemas dengan humor. Atau lebih dekat dengan  dunia canda, dalam hal ini lawak. Sehingga para humoris (pelawak) pun  menjadi idola, banyak mendapat sorotan mata publik, menjadi tayangan  yang banyak menyedot pemirsa dan menarik perhatian. Acara apapun selalu  dibumbui dengan canda (lawakan), hingga para kyai dan ustadz pun beradu  kepandaian dalam bercanda dan mencari sensasi dengan bergaya seperti  pelawak. 
Begitu pula dengan orang kebanyakan, siapakah yang kemudian tidak  tertarik menjadi jago bercanda atau melawak? Dengan imbalan jutaan  rupiah dalam setiap aktingnya, menjadi bintang iklan dengan bayaran  mahal, dan menyandang gelar, menjadi populer di semua kalangan dari  anakanak hingga para pejabat negara. 
Inilah yang membuat banyak orang kemudian ikut hijrah ke dunia pentas  penuh humor. Karena setiap acara hiburan dan kesenian selalu diselingi  dengan acara lawakan. Bahkan ustadz yang digemari umat, ialah mereka  yang pintar meniru gaya para pelawak. Memang, hampir setiap orang suka  bercanda dan senang dengan suasana humoris. Bakat seni lawak pun digali,  dan dunia akting pun digeluti. Banyak orang kemudian berpacu untuk  berlaga di dunia humoris ini, dari orang-orang gedongan hingga para  gelandangan, bahkan terkadang sebagian orang terhormat ikut menjadi  ambil bagian. Padahal, jika mengetahui resiko dan ancamannya, pasti akan  lebih banyak yang menangis daripada tertawa.
Adapun Islam tidak melarang hal tersebut, karena Nabi Shallallahu  'alaihi wa sallam juga kadang bercanda dan menghidupkan suasana humoris  ketika bergaul dengan sebagaian sahabatnya. Namun Islam juga membenci  kedustaan dan kemunafikan dalam bergaya. Sehingga barang siapa yang  memancing suasana agar semua tertawa walaupun dengan cara berdusta, maka  ia terkena ancaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya  ada seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat; tidak diucapkan  kecuali untuk membuat orang lain tertawa, maka ia terhempas ke dalam  jurang jahannam sedalam antara langit dan bumi. Dan sungguh  terpelesetnya lisan, lebih berat daripada seseorang terpeleset  kakinya”.[3]
Dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
ويْلٌ لِلَّذِ ي يُحَدِّ ثُ بِا لْحَدِ يْثِ لِيُضحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Celakalah bagi seseorang yang bercerita dengan suatu cerita, agar orang  lain tertawa maka ia berdusta, maka kecelakaan baginya, kecelakaan  baginya. [4]
MENIMBANG DAMPAK DUNIA LAWAK
Kebanyakan tema yang diangkat para pelawak ialah kosong dari kenyataan,  cenderung bombastis dan tidak mendidik. Yang penting, target opini dari  para pemirsa tercapai, rating acara menanjak dan dukungan dari kalangan  umum melonjak.
Kadang antara pelawak saling melempar hinaan, ledekan dan ejekan untuk  menciptakan suasana segar. Kadang pula bentuk tubuh atau raut muka  pelawak yang kurang sempurna dijadikan sebagai bahan canda untuk  menciptakan suasana humoris. Bahkan kondisi cacat atau kelainan orang  menjadi bumbu dan komoditi lawakan, sehingga kadang sebagian pelawak  meniru gaya bicara, cara berjalan, dan prilaku aneh seseorang untuk  menggelitik tawa penonton. Lebih parah, terkadang simbol agama menjadi  sarana pelecehan para pelawak yang hanya ingin populer. Padahal setiap  kalimat dari lisan kita pasti akan dihisab Allah Subahnahu wa Ta'ala  dengan mudah, dan tercatat secara akurat dalam catatan malaikat,  sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ  قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ   
Ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di  sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun  yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu  hadir. [Qaaf/50:17-18]
Imam Ibnu Rajab berkata: “Para ulama salaf sepakat, bahwa malaikat yang  berada di sebelah kanannya mencatat semua kebaikan, dan malaikat di  sebelah kirinya mencatat semua keburukan”. [5]
Adapun lisan, ia merupakan anggota tubuh sangat mungil, tetapi paling  menentukan surge dan nerakanya seseorang. Bahkan kepribadian seseorang  bisa ditangkap dari lisannya. Sehingga lisan lebih tajam dari pisau, dan  lebih bahaya dibandingkan dengan semua kejahatan, karena kebanyakan  perbuatan jahat berawal dari mulut, atau kurang kontrol terhadap mulut.  Oleh karena itu, Islam sangat perhatian terhadap bahaya lisan, dan  menyuruh untuk menjaganya.
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْبَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Barang siapa yang menjaminku mampu menjaga apa yang ada diantara dua  bibirnya dan di antara kakinya, maka aku akan jamin surga.[6]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إَنْ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّم بِا لْكلِمةِ مِنْ رِ ضْوَانِ اللّه لاَ  يُلقِي لَهاَ بَالاً يَرفَعُ اللَّه بِهَا دَ رَجَا تو و إِنَّ الْعَبْدَ  لَيَتَكَمَلَّمُ بِا اكَاِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللّّه لاَيُلقِي لَهَا بَاَلاً  يَهوِِ ي بِهاَ فِي جَهَنَّم
Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat tentang sesuatu  yang diridhai Allah, yang tidak ia sadari, maka Allah mengangkat  dengannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba berbicara  dengan satu kalimat tentang sesuatu yang dimurkai Allah, yang tidak ia  sadari, ternyata menghempaskan dirinya dengannya ke dalam jahannam.[7]
Ketika seorang muslim berbicara, ia hanya mempunyai dua pilihan. Yaitu  berbicara tentang suatu kebaikan yang mendatangkan ridha Allah, atau  diam karena takut terhadap murka Allah. Dan berbicara mengenai apapun  harus berdasarkan ilmu, karena setiap kalimat yang keluar dari mulut  kita pasti dimintai pertanggungjawabannya, sebagaimana disebutkan dalam  firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan  tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya  akan diminta pertanggunganjawabnya. [al-Isrâ‘/17:36].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَاَنَ يُؤْ مِنُ بِا للَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوِلْيَسْكُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.[8]
WASPADAI PENGHINAAN SIMBOL ISLAM DALAM PENTAS LAWAK
Tema obrolan para pelawak pada umumnya kurang berfaidah dan sia-sia  belaka. Padahal, termasuk tanda kebaikan Islam seseorang, yaitu  meninggalkan sesuatu yang kurang berguna dan tidak bermanfaat,  sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan, yang  artinya: Di antara pertanda kebaikan Islam seseorang, ialah meninggalkan  apa yang tidak penting baginya.[9]. Apalagi berbicara dusta dan bohong  untuk mengundang gelak tawa manusia, maka yang demikian itu merupakan  perkataan yang melebihi kesiasiaan. Seandainya mereka mengetahui  akibatnya, sungguh mereka akan banyak menangis daripada tertawa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
لَوْ تَغْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَشِيْرًا
Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. [10]
Adakalanya seorang pelawak dengan seenaknya membuat guyonan yang  melecehkan simbol dan syiar Islam. Bahkan pernah ada seorang pelawak  dengan enteng membuat lelucon dengan ucapan “syukur (maksudnya, cukur)  al-Hamdulillah” kepada temannya yangberperan sebagai tukang cukur botak  sebelah. Padahal mengolok-olok agama dan menggunakan ayat-ayat al-Qur`an  untuk bercanda hukumnya haram. Karena mengolok-olok Allah atau  Rasul-Nya atau Sunnah merupakan kekufuran dan riddah (keluar dari  Islam). Yaitu mengeluarkan pelakunya dari keislaman, sebagaimana firman  Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan.
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ  قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ  لَا  تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن  طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ  
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan  itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda  gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah,  ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu  minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan  segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan  mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang  yang selalu berbuat dosa. [at-Taubah/9:65-66]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala  menjelaskan, bahwa Dia bisa memaafkan  segolongan di antara mereka hanya dengan bertaubat kepada Allah  Subhanahu wa Ta'ala dari kekufuran mereka, yang disebabkan oleh sikap  mengolokolok mereka terhadap Allah, ayat-Nya dan Rasul-Nya.
HUKUM MENGOLOK-OLOK SIMBOL AGAMA UNTUK MEMBUAT ORANG LAIN TERTAWA
Berkaitan dengan masalah ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin  rahiahullah pernah ditanya: Ada sebagian orang yang bercanda dengan  perkataan yang mengandung ejekan dan hinaan terhadap Allah atau  Rasul-Nya atau agama-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullam memberikan jawaban:  Perbuatan mengolok-ngolok Allah, Rasul-Nya dan agama Islam untuk  membuat orang lain tertawa, walaupun hanya sekedar bercanda, merupakan  kekufuran dan kemunafikan. Perbuatan ini seperti pernah terjadi pada  jaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka yang  mengatakan,”Kami belum penah melihat seperti para pembaca (al-Qur‘aan)  di antara kami, yang lebih buncit perutnya, lebih berdusta lisannya, dan  pengecut saat berhadapan dengan musuh”. Maksudnya, ialah Rasulullah dan  para sahabatnya. Lalu turunlah ayat tentang mereka, yang artinya: Jika  kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu  mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan  bermain-main saja”. [at-Taubah/9:65].
Lantas mereka datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan  berkata: “Sesungguhnya kami berbicara tentang hal itu ketika kami dalam  perjalanan, hanya bertujuan untuk menghilangkan jenuhnya perjalanan,”  namun Rasulullah n berkata kepada mereka sebagaimana yang diperintahkan  Allah, Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya  kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir  sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66].
Jadi, bahasan materi Rububiyah, kerasulan, wahyu dan agama merupakan  materi agama yang terhormat. Seorang pun tidak boleh bermain-main dengan  itu. Seorangpun tidak boleh menjadikannya sebagai bahan ejekan dan  banyolan, agar membuat orang lain tertawa ataupun menghina. Barangsiapa  berbuat demikian, maka ia telah kafir, karena perbuatan tersebut sebagai  bukti penghinaan terhadap Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan  syariat-syariat-Nya. Maka barangsiapa melakukan perbuatan tersebut,  hendaknya bertaubat kepada Allah, karena perbuaan itu termasuk  kemunafikan, dan hendaklah harus bertaubat kepada Allah, memohon ampunan  dan memperbaiki perbuatannya, serta menumbuhkan di dalam hatinya rasa  takut, pengagungan dan cinta terhadap-Nya. Hanya Allahlah yang kuasa  memberi taufik.[11]
PENGHINAAN TERHADAP ORANG SHALIH DALAM PENTAS LAWAK
Terkadang seorang pelawak berakting (berperan) menjadi sosok seorang  tokoh agama atau ustadz, namun sosok tersebut menjadi bahan ledekan dan  guyonan. Bahkan mereka menirukan gaya, gerakan dan mimik sang ustadz,  tetapi muatan bicara dan perkataannya jauh dari norma kepantasan,  sehingga menjatuhkan kredibilitas sosok dan figur agama. 
Ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullah :  Apa hukum  mengolok-olok orang-orang yang konsisten dalam menjalankan  perintah-perintah Allah? 
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullah memberikan jawaban:  Mengolok-olok orang-orang yang konsisten dan istiqamah dalam  menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya,  dikarenakan konsistensi mereka merupakan perbuatan haram dan sangat  membahayakan pelakunya. Karena dikhawatirkan, ejekan tersebut berangkat  dari sikap ketidaksukaannya terhadap keistiqamahan mereka dalam  menjalankan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka ia serupa dengan yang  disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya, yang artinya:  Jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang
apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya  kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah  dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”  Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.  [at-Taubah/9:65-66].
Kami belum penah melihat seperti para pembaca (Al Qur’an) di antara  kami, yang lebih buncit perutnya, lebih berdusta lisannya dan pengecut  saat berhadapan dengan musuh. Maksudnya, ialah Rasulullah dan para  sahabatnya. Lalu turunlah ayat tentang mereka, yang artinya: Jika kamu  tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu  mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan  bermain-main saja”. [at-Taubah/9:65].
Oleh karena itu, orang yang suka mengolokolok komunitas atau kelompok  yang menebarkan kebenaran hendaklah berhati-hati, karena mereka yang  diejek dan diolok-olok adalah termasuk para ahli agama yang dimaksudkan  dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya: Sesungguhnya  orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia)  menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang beriman  lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan  apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali  dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka  mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang  sesat”, padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga  bagi orangorang mukmin. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman  menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas dipan-dipan  sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran  terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. [al-Muthaffifin/83:29-36].  [12]
MUSIK, WANITA SEKSI, DAN WARIA SERONOK DALAM PENTAS LAWAK
Suatu pemandangan yang dianggap lumrah dan biasa, setiap pentas lawakan  selalu dibumbui dengan selingan musik dan tampilnya wanita setengah  bugil serta waria jalang yang berdandan seronok, mengubar aurat dan  bergaya sensual. Otomatis, tampilan demikian itu cukup menjadi candu  sangat membius dan menebar benih kerusakan sangat dahsyat di tengah  kamunitas masyarakat yang lemah iman  dan kurang memiliki daya counter  terhadap keburukan. Bukankah haram bagi kaum laki-laki berdandan seperti  wanita, atau sebaliknya? Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa  sallam mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan mengutuk wanita  yang menyerupai laki-laki, seperti telah ditegaskan Ibnu ‘Abbas. [13]
Ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdul-Azis bin Baz rahimahullah, bagaimana  hukum mendengarkan musik dan nyanyian? Bagaimana pula hukum menonton  drama atau panggung hiburan yang menampilkan wanitawanita yang  bertabarruj?
Jawaban Syaikh ‘Abdul-Azis bin Baz rahimahullah : Hukumnya terlarang dan  haram, karena hal itu bisa menghalangi seseorang dari jalan Allah,  menimbulkan penyakit hati, dan menjerumuskan seseorang ke dalam bahaya  dan perbuatan kotor yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah  Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ  اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ  عَذَابٌ مُّهِينٌ وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّىٰ  مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا ۖ  فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ  
Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan perkataan yang tak  berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh  adzab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami,  (maka) dia berpaling dengan menyombongkan diri seolaholah dia belum  mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri  kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. [Luqman/31:6-7]
Dalam dua ayat di atas, terdapat petunjuk bahwa mendengarkan musik dan  nyanyian merupakan sebagian dari penyebab kesesatan dan menyesatkan,  memperolok-olokkan ayatayat Allah Subahnahu wa Ta'ala, dan enggan serta  takabur mendengarkannya. Allah Azza wa Jalla mengancam tindakan-tindakan  tersebut dengan adzab yang menghinakan dan pedih. Kebanyakan ulama  menafsirkan “perkataan yang tidak berguna (lahwul-hadîts)” dalam ayat  tersebut, dengan nyanyian dan musik, serta segala bentuk yang  menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Diriwayatkan pula dalam Sahih al-Bukhâri, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْ نَ ا لْحِرَ وَ الْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَا زِفَ
Sungguh akan ada di antara ummatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan musik.” 
ا لْحِر dalam hadits tersebut, artinya kemaluan yang haram atau zina.  Adapun الْحَرِيْرَ sutera), telah diketahui diharamkan bagi kaum pria.  Sedangkan الْخَمْرَ  juga telah dikenal, yaitu segala sesuatu yang  memabukkan, diharamkan bagi pria maupun wanita. Dan الْمَعَا زِفَ ialah  alat-alat musik, misalnya kecapi, gendang, mandolin, dan sebagainya,  seperti telah dijelaskan dalam an-Nihayah dan al-Qamus.  الْعَزْفُ  artinya bermain alat-alat musik, sedangkan العَازِفُ  adalah pemain  musik atau penyanyi.
Oleh karena itu, patut diperhatikan peringatan yang disebutkan dalam  Fatawa an-Nadzar wal- Khalwah wal-Ikhtilath, [14] bahwa setiap muslim  dan muslimah wajib menjauhi dan mewaspadai kemungkaran-kemungkaran ini,  termasuk dalam hal menonton sinetron dan panggung hiburan yang  menampilkan wanitawanita bertabarruj. Demikian itu merupakan perbuatan  yang diharamkan, karena mengandung bahaya besar, yaitu timbulnya  berbagai macam penyakit hati, hilangnya kecemburuan, dan terkadang juga  menjerumuskan penontonnya ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah, baik  penonton tersebut seorang pria maupun wanita. Semoga Allah Subhanahu wa  Ta'ala memberikan taufiq kepada kita, untuk melaksanakan apa yang  membawa kepada Ridha-Nya dan kepada keselamatan dari sebab-sebab  kemurkaan-Nya.
Wallahul-Muwafiq
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi  Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ma’alimut-Tanzil, al-Baghawi (8/466).
[2]. Shahîh, diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan lihat  al-Fathur Rabbani, Ahmad ‘Abdur-Rahman al-Bana (22/239) dan Imam  Muhammad at-Tibrizi dalam Miskatul-Masabih, Bab: Mizah (4889), (3/1370).  Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
[3]. Shahîh, diriwayatkan Imam Muhammad at-Tibrizi dalam Miskâtul- Mashâbih, Bab: Mizah (4835), (3/1360).
[4]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmdzi dalam Sunan-nya (2315) dan  Imam at-Tibrizi dalam Miskâtul- Mashâbih, Bab: Hifzul-Lisan (4834), dan  dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
[5]. Lihat Jami’ul Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab (1/336).
[6]. Shahîh, diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya (6474) dan  Imam Muhammad at-Tibrizi dalam Miskatul-Masabih, Bab: Mizah (4889),  (3/1370).
[7]. Shahîh, diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya (6478) dan Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3970).
[8]. Shahîh, diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (2/267), Imam  al-Bukhari dalam Shahîh-nya (6018), (6136) dan (6475), Imam Muslim dalam  Shahîh-nya ((47), Abu Dawud dalam Sunan-nya (5154), dan Imam  at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2500), serta Ibnu Hibban dalam Shahih-nya  (506).
[9]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2317), Imam  Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3976), dan Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya  (229).
[10]. Shahih, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2313), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
[11]. Majmu’ Fatâwâ wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin (2/ 156-157).
[12]. Majmu’ Fatâwâ wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin (2/ 157-158).
[13]. Shahîh, diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya (5885), Abu  Dawud dalam Sunan-nya (4097), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2785),  dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1904).
[14]. Fatâwâ an-Nadzar wal-Khalwah wal-Ikhtilath, Syaikh ‘Abdul-’Azis
bin Bâz, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin, Syaikh
Jibrin dan al-Lajnatud-Dâimah lil Buhûtsil-’Ilmiyah wal-Iftâ`,
hlm. 55-56.
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3107/slash/0
 read more “CANDA DI PANGGUNG HIBURAN”