Jumat, 15 April 2011 16:49:40 WIB
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Tidak disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran Islam.  Syari’at sangat memperhatikan permasalahan ini, karena merupakan  perwujudan aqidah seseorang. Dan Allah l menjadikannya sebagai tujuan  penciptaan manusia dalam firmanNya,
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu. [Adz Dzariyat:56].
Diantara ibadah yang agung dan penting ialah shalat. Karena merupakan amalan terbaik seorang hamba. Rasulullah n bersabda,
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
Istiqamahlah, dan kalian tidak akan mampu ber-istiqamah dengan sempurna.  Ketahuilah, sebaik-baik amalan kalian ialah shalat. Dan tidaklah  menjaga wudhu, kecuali seorang mukmin.[1]   
Terlebih lagi, shalat telah diwajibkan Allah terhadap kaum mukminin.  Sehingga sudah selayaknya kita memperhatikan masalah ini. Dengan  berharap dapat menunaikannya secara sempurna. 
KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM
Shalat menempati kedudukan tinggi dalam Islam. Adalah rukun kedua dan berfungsi sebagai tiang agama. Rasulullah bersabda,
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ 
Pemimpin segala perkara (agama) ialah Islam (syahadatain), dan tiangnya ialah shalat.[2] 
Seluruh syariat para rasul menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk  menunaikannya, sebagaimana Allah berfirman menjelaskan do’a Nabi Ibrohim  Alaihissallam :
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ
Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak-cucuku, orang-orang yang tetap  mendirikan shalat, ya Rabb kami, perkenankan do'aku. [Ibrahim:40]. 
Dan mengisahkan Nabi Ismail Alaihissallam :
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بَالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. [Maryam :55]. 
Demikian juga menyampaikan berita kepada Nabi Musa Alaihissallam :
إِنَّنِى أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku,  maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thaha  :14].
Nabi Isa Alaihissallam menceritakan nikmat yang diperolehnya dalam Al Qur’an: 
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَاكُنتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ مَادُمْتُ حَيًّا 
Dan Dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada,  dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan)  zakat selama aku hidup. [Maryam :31]. 
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengambil perjanjian Bani Israil untuk menegakkan shalat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ  اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى  وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُو الصَّلاَةَ  وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ  وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil  (yaitu):Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah  kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin,  serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat  dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali  sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. [Al Baqarah  :83]. 
Demikian juga Allah memerintahkan hal itu kepada Nabi Muhamad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firmanNya:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَنَسْئَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah  kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah  yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi  orang yang bertaqwa. [Thaha:132].
Demikian tinggi kedudukan shalat dalam Islam, sampai Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai pembeda antara  mukmin dan kafir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ 
Perjanjian antara aku dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka telah berbuat kekafiran.[3]   
Memang, seseorang yang meninggalkan shalat, akan lebih mudah  meninggalkan yang lainnya. Kemudian terputuslah hubungannya dari Allah  Subhanahu wa Ta'ala. 
Abu Bakar Ash Shidiq menyatakan dalam surat Beliau kepada  Umar,“Ketahuilah, perkara yang paling penting padaku ialah shalat.  Karena seseorang yang meninggalkannya, akan lebih mudah meninggalkan  yang lainnya. Dan ketahuilah, Alah Subhanahu wa Ta'ala memiliki satu hak  pada malam hari yang tidak  diterimaNya pada siang hari. Dan satu hak  pada siang hari yang tidak diterimaNya pada malam hari. Allah tidak  menerima amalan sunnah, sampai (seseorang) menunaikan kewajiban.” [4]  
HUKUM SHOLAT BERJAMA’AH
Shalat jama’ah disyari’atkan dalam Islam. Akan tetapi para ulama  berselisih pendapat tentang hukumnya. Terpilah menjadi empat pendapat.
Pertama : Hukumnya Fardhu Kifayah.
Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah  mutaqaddimin (terdahulu, peny.), dan banyak ulama Hanafiyah maupun  Malikiyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,“Dzahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat  berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimin  dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.” [5] 
Dalil-Dalilnya.
Hadits Pertama.
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ  الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ  بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ 
Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak  ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya.  Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang  sendirian.[6]  
As Saib berkata,”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.[7] 
Hadits Kedua.
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ  وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ  الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka,  serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian  sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat,  hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi  imam. [8]  
Hadits Ketiga.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ  بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh  derajat.” [9]
Kedua. Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.
Demikian ini pendapat Dzahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini  didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul  Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.
Diantara Dalil-Dalinya, ialah: 
Hadits Pertama.
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur. [10] 
Hadits Kedua.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ  فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ  رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ  عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ 
Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta  dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu  bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan.  Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak  berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah),  lalu aku bakar rumah-rumah mereka. [11]  
Hadits Ketiga.
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى  فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى  الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا  وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ  نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan  berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku  ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu  'alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau  Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia  meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, langsung Rasulullah  memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau mendengar panggilan adzan  shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!” [12] 
Ketiga : Hukumnya Sunnah Muakkad.
Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil  Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj.
Dalil-Dalilnya.
Hadits Pertama.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ  بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah n bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.”[13] 
Hadits Kedua.
إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا  مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى  يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا  ثُمَّ يَنَامُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ  الْإِمَامِ فِي جَمَاعَةٍ
Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah  yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang  menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari  orang yang shalat, kemudian tidur.  Dalam riwayat Abu Kuraib,  (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jama’ah. [14]
Imam Asy Syaukani menyatakan setelah membantah pendapat yang  mewajibkannya,“Pendapat yang tepat dan mendekati kebenaran, (bahwa)  shalat jama’ah termasuk sunah-sunah yang muakkad… Adapun hukum shalat  jama’ah adalah fardhu ‘ain atau kifayah atau syarat sah shalat maka  tidak”. 
Hal ini dikuatkan oleh Shidiq Hasan Khan dengan pernyataan Beliau,  “Adapun hukumnya fardhu, maka dalil-dalilnya masih dipertentangkan. Akan  tetapi terdapat cara ushul fiqh yang mengkompromikan dalil-dalil  tersebut. Yaitu, hadits-hadits keutamaan shalat jama’ah menunjukkan  keabsahan shalat secara sendirian. Hadits-hadits ini cukup banyak.  Diantaranya :
وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ  أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّي  وَحْدَهُ ثُمَّ يَنَامُ 
Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar  pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. Hadits ini  dalam kitab shahih. Juga, diantaranya hadits tentang seseorang yang  shalatnya salah. Kemudian Rasulullah n memerintahkannya untuk mengulangi  shalatnya, sendirian. Kemudian hadits أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى  هَذَا  (seandainya ada seorang yang bersedekah kepadanya) [15].  Ketika  melihat seseorang shalat sendirian. 
Diantara hadits-hadits yang menguatkannya ialah hadits yang mengajarkan  rukun Islam. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak  memerintahkan orang yang diajarinya untuk tidak shalat, kecuali  berjama’ah. Padahal Beliau mengatakan kepada orang yang menyatakan saya  tidak menambah dan menguranginya: أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ  (telah beruntung  jika benar) dan dalil-dalil lainnya. Semua ini dapat menjadi pemaling  sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam  فَلاَ صَلاَةَ لَهُ  yang ada  pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban berjama’ah kepada  peniadaan kesempurnaan, bukan keabsahannya.” [16]
Pendapat ini dirajihkan oleh Asy Syaukani dan  Shidiq Hasan Khan serta Sayyid Sabiq.[17] 
Keempat : Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) Dan Bukan Syarat.
Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi  Rabbah, Al Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian  besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali.
Dalilnya.
-  Dalil-dalil dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ  مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا  فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ  يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ  وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ  أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً  وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ  أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ  إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu  hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan  dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian  apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan  se-raka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk  menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum  bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka  bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya  kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu  kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan  senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan  atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu.  Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi  orang-orang kafir itu. [An Nisa’:102].
Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat  berjama’ah. Yakni tidak boleh ditinggalkan, kecuali ada udzur, seperti:  ketakutan atau sakit.
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'. [Al Baqarah:43).
Ayat di atas merupakan perintah. Kata perintah menunjukkan maksud kewajiban shalat berjama’ah.
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ  يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ  تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ  الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ  وَاْلأَبْصَارُ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk  dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu  petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula)  oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan  zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan  penglihatan menjadi goncang. [An Nur:36-37].
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِندَ كُلِّ  مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَابَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
Katakanlah,"Rabbku menyuruh menjalankan keadilan." Dan  (katakanlah),"Luruskan muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah  Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepadaNya. Sebagaimana Dia telah  menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali  kepadaNya." [Al A’raf:29]. 
Kedua ayat di atas, terdapat kata perintah yang menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah.
يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ  فَلاَيَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ  كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka  mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah,  lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia)  diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. [Al  Qalam:42-43].
Ibnul Qayyim berkata,“Sisi pendalilannya, adalah Allah Subhanahu wa  Ta'ala menghukum mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang  antara mereka dengan sujud, ketika diperintahkan untuk sujud. Mereka  diperintahkan sujud di dunia dan enggan menerimanya. Jika demikian, maka  menjawab panggilan mendatangi masjid untuk menghadiri jama’ah shalat,  bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya saja.”
- Dalil dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ  فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ  رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ  عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ 
Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku bertekad meminta  dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu  bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan.  Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak  berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah).  Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.[18]  
Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan,“Adapun hadits bab  (hadits di atas), maka dhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah  fardhu ‘ain. Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang  meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin  terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti  pensyari’atan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu  kifayah.”[19]
Demikian juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan,“Ulama yang berpendapat,  bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini.  Karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh  Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu  tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian  jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain.” [20] 
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى  فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى  الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا  وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ  نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan  berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku  ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu  'alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau  Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia  meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, langsung Rasulullah  memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau mendengar panggilan adzan  shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!” [21]  
Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah  berkata,“Jika orang buta yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya,  tidak diberi keringanan, maka, (yang) selainnya lebih lagi.” [22]  
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ  الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ  بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ 
Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak  ditegakkan pada mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya.  Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang  sendirian.[23]
Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini  dirajihkan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk  Riset dan Fatwa Saudi Arabia) [24]   dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin  Ghanim As Sadlan dalam kitabnya Shalat Al Jama’ah [25].  Demikian juga  sejumlah ulama lainnya. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.  8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, kitab Thoharoh Wa Sunanuha, bab  Al Muhafadzoh Alal  Wudhu No. 253, Ahmad dalam musnadnya No. 21400 dan  21344 dan Addarimiy dalam sunannya, kitab Thaharoh, bab Ma Ja’a fith  Thuhur No.653.
[2]. Diriwayatkan oleh Attirmidziy dalam sunannya, kitab Al Iman bir  Rasulillah n no. 3541 dan Ahmad dalam musnadnya no. 21054, Attirmidziy  berkata: “Ini hadits hasan shohih”.
[3]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Jami’nya (Sunannya), kitab Iman  bir Rasulillah n , Bab Ma Ja’a Fi Tarki Shalat, no. 2545 dan An Nasa’i  dalam Sunannya kitab Shalat, Bab Al Hukmu Fi Tarikis Shalat, no. 459  dengan sanad yang shahih.
[4]. Dinukil oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, 22/40.
[5]. Fathul Bari, 2/26.
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, kitab Ash Shalat, Bab  At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no. 460, An Nasa’i dalam Sunannya, kitab  Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam  Musnadnya, no. 26242.
[7]. Lihat penukilan Abu Dawud setelah menyampaikan hadits diatas.
[8]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Al  Adzan Lil Musafir Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah Kadzalik, no. 595 dan  Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalat, Bab Man  Ahaqu bil Imamah, no. 1080.
[9]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatul Jama’ah, no. 609.
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab Al Masajid wal  Jama’ah, Bab At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits  ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[11]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab  Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al  Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At  Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[12]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa  Mawadhi’ Shalat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no.  1044.
[13]. Diriwayatkan oleh Bukhoriy dalam shohihnya kitab Al Adzaan, Bab Fadhlu sholatul jama’ah no. 609.
[14]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya kitab Al Masaajid Wa  Mawaadhi’ Sholat, bab Fadhlu Katsrotil Khutha Ilal Masaajid, no.1064.  Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 11380.
[15]. Raudhatun Nadiyah Syarah Durarul Bahiyah, 1/306.
[16]. Fiqih Sunnah, 1/248.
[18]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya kitab Al Adzan, Bab  Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al  Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At  Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[19]. Fathul Bari, 2/125.
[20]. Ihkamul Ahkam, 1/124.
[21]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa  Mawadhi’ Sholat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no.  1044.
[22]. Al Mughni, 3/6.
[23]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, kitab Ash Shalat, Bab  At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.460, An Nasa’i dalam Sunannya, kitab Al  Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam  Musnadnya, no. 26242.
[24]. Fatawa Lajnah Daimah, 7/283.
[25]. Ibid. hal. 72.
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3039/slash/0
 read more “HUKUM SHALAT JAMA’AH”