Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu,
Ahlan wa sahlan, selamat datang di blog Toko Buku An-Naajiyah. Kunjungi toko kami di jln. Bangka Raya no D3-4, Perumnas 3 Bekasi. Dapatkan discount-discountnya. Atau dapat dipesan dengan mengontak kami di +6281219112152, +622170736246, E-mail gwsantri@gmail.com, maka barang akan dikirim ketempat tujuan setelah dikurangi discount dan ditambahkan ongkos kirim yang ditanggung oleh si pemesan. Kunjungi juga toko online kami di www.tb-an-naajiyah.dinomarket.com.

Pembayaran:
1. Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi, no 7000739248, kode ATM Bersama 451, a.n Gusti Wijaya Santri.
2. Bank Muamalat cabang Kalimas Bekasi, no 0218913136, kode ATM Bersama 147, a.n Gusti Wijaya Santri

Pengiriman pesanan menggunakan JNE/Pos Indonesia/Indah Cargo/Pahala Kencana/jasa pengiriman yang disepakati.

Semoga kehadiran toko dan blog ini dapat memberikan manfa'at untuk Saya khususnya dan semua pengunjung pada umumnya.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuhu

Banner

Rabu, 29 Februari 2012

AL-KHULU’, GUGATAN CERAI DALAM ISLAM

Jumat, 14 Maret 2008 01:04:01 WIB

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi

Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).

PENGERTIAN GUGATAN CERAI
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu (الخُلْعُ ). Kata Al-Khulu (الخُلْعُ ) dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata (خُلْعُ الْشوْ بِ). Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]

Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya [1]. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus” [2]

HUKUM AL-KHULU’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

جَاءَتْ امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْس بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّه مَاأَنقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقِ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُواللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيقََتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]

Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya. [8]

KETENTUAN HUKUM AL-KHULU[9]
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut.

1. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanta sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. [11]

2.Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] [12]

Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [13]

b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَاْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]

3. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]

4. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan

Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]

Wallahu a’lam

Maraji’.
1. Fathul Bari
2. Jami Ahkamun Nisa, Musthafa Al-Adawi, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cetakan Pertama, Tahun 1419H.
3. Majmu Fatawa
4. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
5. Shahih Fiqhis Sunnah
6 Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton, Gondangrejo - Solo 57183. Telp. 0271-5891016]
_______
Footnote
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340
[2]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[3]. Al-Mughni, 7/51
[4]. Majmu Al-Fatawa, 32/282
[5]. Fathul Bari, 9/315
[6]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[7]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[8]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[9]. Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah, 3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa, 4/153-154 dengan beberapa tambahan.
[10]. Fathul Bari, 9/318
[11]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[12]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[13]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343
[14]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[15]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[16]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2382/slash/0
read more “AL-KHULU’, GUGATAN CERAI DALAM ISLAM”

Selasa, 28 Februari 2012

Kedua puluh tiga: IMAN KEPADA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Senin, 27 Februari 2012 23:12:38 WIB
 
Oleh al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Muhammad Rasulullah [1] صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu-ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin ‘Adnan, dan ‘Adnan adalah salah satu putera Nabi Allah Isma’il bin Ibrahim al-Khalil - salam terlimpah atas Nabi kita dan atas keduanya-.

Beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul, serta utusan Allah kepada seluruh manusia. Beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, dan Rasul yang tidak boleh didustakan. Beliau adalah sebaik-baik makhluk, makhluk yang paling utama dan paling mulia di hadapan Allah Ta’ala, derajatnya paling tinggi, dan kedudukannya paling dekat kepada Allah.

Beliau diutus kepada manusia dan jin dengan membawa kebenaran dan petunjuk, yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa’: 107]

Allah menurunkan Kitab-Nya kepadanya, mengamanahkan kepadanya atas agama-Nya, dan menugaskannya untuk menyampaikan risalah-Nya. Allah telah melindunginya dari kesalahan dalam menyampaikan risalah ini, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Ahlus Sunnah beriman bahwa Allah Ta’ala mendukung (menguatkan) Nabi-Nya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ dengan mukjizat-mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang jelas.

Di antara mukjizat-mukjizat tersebut dan yang terbesar adalah Al-Qur-an yang dengannya Allah mengemukakan tantangan kepada ummat yang paling fasih dan paling mendalam (bahasanya) serta paling mampu bermanthiq (berlogika).

Mukjizat terbesar -setelah Al-Qur-an- yang dengannya Allah menguatkan Nabi-Nya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ adalah mukjizat Isra’ dan Mi’raj.

Di antara mukjizat beliau juga adalah:

Terbelahnya bulan, suatu mukjizat besar yang Allah berikan kepada Nabi-Nya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ sebagai bukti atas kenabiannya. Hal itu terjadi di Makkah ketika kaum musyrikin meminta suatu bukti dari beliau.

Memperbanyak makanan untuk beliau, dan ini terjadi pada beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ lebih dari sekali.

Memperbanyak air, dan air tersebut memancar di antara jari-jemarinya yang mulia, serta makanan bertasbih untuknya saat dimakan. Hal ini sering kali terjadi pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Beliau mengabarkan sebagian perkara ghaib. Beliau mengabarkan tentang hal-hal yang terjadi yang jauh darinya segera setelah kejadiannya. Beliau pun mengabarkan tentang perkara-perkara ghaib yang belum terjadi, lalu terjadi setelah itu, sebagaimana yang beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ kabarkan, dan lain-lainnya.

Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:

1. Keumuman risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus Allah ke muka bumi untuk segenap jin dan manusia dengan membawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang. Dalil tentang keumuman risalah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...’” [Al-A’raaf: 158]

Juga firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh ummat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada me-ngetahui.” [Saba’: 28][2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِيْ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تَحِلَّ ِلأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً.

“Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan seorang pun dari Rasul-Rasul sebelumku, yaitu (1) aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan perjalanan, (2) dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan bersuci (untuk tayammum-pent.), maka siapa saja dari ummatku yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat, (3) dihalalkan rampasan perang bagiku dan tidak dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku, (4) dan aku diberikan kekuasaan memberikan syafa’at (dengan izin Allah), (5) Nabi-Nabi diutus hanya untuk kaumnya saja sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” [3]

Mereka (Ahlus Sunnah) mengimani dan meyakini bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ahlus Sunnah menyaksikan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Rasul yang paling mulia dan penghulu seluruh makhluk.

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan utusan-Nya, dua sifat ini (hamba dan utusan) untuk menolak adanya sifat ghuluw (melampaui batas) dan tafrith (melalaikan hak-hak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam).

2. Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib dan termasuk bagian dari iman.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.

“Tidaklah beriman seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” [4]

3. Ahlus Sunnah menyaksikan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi Alaihimussallam.
Setiap orang yang mendakwahkan adanya kenabian sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang demikian itu adalah sesat dan kufur.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Ahzaab: 40]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan akan adanya dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

...وَإِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُوْنَ ثَلاَثُوْنَ، كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ، وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي.

“... Dan sesungguhnya akan muncul pada ummatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.” [5]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لِيْ خَمْسَةُ أَسْمَاءٍ: أَنَا مُحَمَّدٌ، وَأَحْمَدُ، وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يَمْحُو اللهُ بِيَ الْكُفْرَ. وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِيْ، وَأَنَا الْعَاقِبُ (لَيْسَ بَعْدِي نَبِيٌّ).

“Aku memiliki lima nama, aku Muhammad (yang terpuji), aku adalah Ahmad (yang banyak memuji), aku adalah al-Maahi (penghapus) dimana melalui perantaraanku Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al-Haasyir (pengumpul) yang mana manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku juga mempunyai nama al-‘Aaqib (belakangan/penutup) -tidak ada lagi Nabi yang datang sesudahku-.” [6]

4. Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui masalah yang ghaib semasa hidupnya kecuali yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, apalagi setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ

“Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku.’...” [Al-An’aam: 50][7]

Kalau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui masalah yang ghaib, maka apalagi orang lain. Karena yang mengetahui masalah yang ghaib hanya Allah Azza wa Jalla semata.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah: ‘Tidaklah ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.’ Dan mereka tidak mengetahui apabila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini merujuk pada kitab al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salaafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 84-87) secara ringkas.
[2]. Lihat juga Al-Anbiyaa’: 107 dan al-Ahqaaf: 29-31.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 335) dan Muslim (no. 521), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari Radhiyallahu anhuma, lafazh ini milik al-Bukhari.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/275) dan an-Nasa-i (VIII/114-115), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[5]. HR. ِAhmad (V/278), Abu Dawud (no. 4252), Ibnu Majah (no. 3952), dengan sanad yang shahih menurut syarat Muslim, dari Sahabat Tsauban Radhiyallahu anhu. Ketahuilah bahwa di antara dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi adalah Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani al-Hindi, yang muncul ketika kolonial Inggris menjajah India. Pada awalnya ia mengaku sebagai al-Mahdi al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), kemudian mengaku sebagai Nabi ‘Isa Alaihissallam, dan terakhir ia mengaku sebagai Nabi dan mendirikan aliran Ahmadiyah... Mereka (kaum Ahmadiyah) mempunyai keyakinan-keyakinan bathil yang banyak sekali dan menyalahi keyakinan ummat Islam. Mereka menafikan tentang dibangkitkannya jasad manusia dari kubur (nanti pada hari Kiamat), mereka meyakini bahwa nikmat dan siksa hanya dialami oleh ruh saja, mereka beranggapan bahwa siksaan terhadap orang kafir terbatas, mengingkari adanya jin dan lain sebagainya. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (IV/252) oleh Syaikh al-Albani.

Pendapat para ulama bahwa Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908 M) adalah kafir, juga aliran Ahmadiyah pun kafir, mereka disebut sebagai MINORITAS NON MUSLIM!!!

Di antara keyakinan-keyakinan sesat Ahmadiyah adalah:
1. Meyakini bahwa Allah puasa, tidur, menulis, dapat bersalah dan lainnya. Mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Ta’aalallaahu ‘amma yaquuluuna ‘uluwwan kabiiran.
2. Meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah Nabi terakhir, dan mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi terakhir dan paling utama.
3. Mereka memiliki kitab suci tersendiri yang berbeda dengan Al-Qur-an ummat Islam, mereka menamakannya Kitaabul Mubiin.
4. Menurut mereka, tidak ada jihad dalam Islam, dan telah dihapus.
5. Setiap Muslim adalah kafir menurut mereka sampai masuk aliran Ahmadiyah al-Qadiyani.
6. Mereka menghalalkan khamr, narkoba, barang yang memabukkan, dan lainnya.

Ahmadiyah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Yahudi, Nashrani, dan aliran kebathinan. (Lihat al-Mausuu’ah al-Muyassarah fil Adyaan wal Madzaahib wal Ahzaabil Mu’ashirah I/419-423, cet. WAMY, th. 1418 H.)
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 3532), Muslim (no. 2354) dan at-Tirmidzi (no. 2840), dari Sahabat Jubair bin Muth'im Radhiyallahu anhu. Penjelasan dalam tanda kurung adalah penjelasan dari Imam az-Zuhri yang terdapat dalam riwayat Muslim dan at-Tirmidzi. Lihat Fat-hul Baari (VI/557) cet. Darul Fikr.
[7]. Lihat juga Al-A’raaf: 188 dan Jin: 26-27

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3223/slash/0
read more “Kedua puluh tiga: IMAN KEPADA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM”

Kedua puluh empat: WAJIBNYA MENCINTAI DAN MENGAGUNGKAN NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM SERTA LARANGAN GHULUW (BERLEBIH-LEBIHAN)

Selasa, 21 Februari 2012 23:33:18 WIB

Oleh al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Dianjurkan Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[1]
Di antara hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta'ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]

Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintahkan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).

Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam. Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang menghimpunnya dengan salam untuk beliau. Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah satunya saja. Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya mengucapkan: “‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan untuknya keselamatan).” Hal itu karena Allah memerintahkan untuk mengucapkan keduanya.

Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah muakkadah. Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkannya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka berselisih tentang hukum wajibnya. Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab muadzdzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.

“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”[2]

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah:

1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.
2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.
4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.
5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.
6. Shalawat merupakan sebab sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[3]

Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat dan memuji beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak meriwayatkan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Di antaranya adalah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Maha-mulia.” [4]

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.

E. Larangan Ghuluw Dan Berlebih-Lebihan Dalam Memuji Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:

لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [5]

Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.

Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, perbuatan ini adalah syirik.

Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[6]

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” [7]

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.” [8]

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” [9]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh di-minta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah v dalam kasidah nuniyyah-nya berkata:

ِللهِ حَقٌّ لاَ يَكُوْنُ لِغَيْرِهِ
وَلِعَبْدِهِ حَقٌّ هُمَا حَقَّانِ
لاَ تَجْعَلُوا الْحَقَّيْنِ حَقًّا وَاحِدًا
مِنْ غَيْرِ تَمْيِيْزٍ وَلاَ فُرْقَانِ

“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selain-Nya,
bagi hamba pun ada hak, dan ia adalah dua hak yang berbeda.
Jangan kalian jadikan dua hak itu menjadi satu hak,
tanpa memisahkan dan tanpa membedakannya.” [10]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada kitab Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlish Shalaah was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 453-556), karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dengan ta’liq dan takhrij Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
[2]. HR. Al-Baihaqi (III/249) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, sanad hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1407) oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
[3]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 158-159).
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 3370/Fat-hul Baari (VI/408)), Muslim (no. 406), Abu Dawud (no. 976, 977, 978), at-Tirmidzi (no. 483), an-Nasa-i (III/47-48), Ibnu Majah (no. 904), Ahmad (IV/243-244) dan lain-lain, dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu.
Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat dilihat dalam buku Do’a dan Wirid (hal. 178-180), oleh penulis, cet. VI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta, th. 2006 H.
[5]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khu-zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Mu-hammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[7]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).
[8]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawi-nya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul Baari V/179)
[9]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[10]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 152) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3219/slash/0
read more “Kedua puluh empat: WAJIBNYA MENCINTAI DAN MENGAGUNGKAN NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM SERTA LARANGAN GHULUW (BERLEBIH-LEBIHAN)”

KIAT MEMBENTENGI KELUARGA DARI SIHIR

Jumat, 2 April 2010 22:53:11 WIB

SEKILAS TENTANG HAKIKAT SIHIR
Secara etimologis, sihir artinya sesuatu yang tersembunyi dan sangat halus penyebabnya. Sedangkan menurut istilah syariat, Abu Muhammad Al Maqdisi menjelaskan, sihir adalah azimat-azimat, mantra-mantra atau pun buhul-buhul yang bisa memberi pengaruh terhadap hati sekaligus jasad, bisa menyebabkan seseorang menjadi sakit, terbunuh, atau pun memisahkan seorang suami dari istrinya. [1]

Jadi sihir benar-benar ada, memiliki pengaruh dan hakikat yang bisa mencelakakan seseorang dengan taqdir Allah yang bersifat kauni . Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ

"Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang bisa mereka gunakan untuk menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka (ahli sihir) itu tidak dapat memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah" [Al Baqarah : 102].

Demikian juga firman Allah yang memerintahkan kita berlindung dari kejahatan sihir :

وَ مِنْ شَر ِّ النَّفَّاثاَتِ فْي العُقَدِ

"Dan (aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul". [Al Falaq : 4].

Seandainya sihir tidak memiliki pengaruh buruk, tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan memerintahkan kita agar berlindung darinya.[2]

Sihir juga pernah menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu ketika seorang Yahudi bernama Labid bin Al A’sham menyihir Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aisyah rahimahullah menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُحِرَ حَتَّى كَانَ يَرَى أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah disihir, sehingga Beliau merasa seolah-olah mendatangi istri-istrinya, padahal tidak melakukannya".[3]

Berkaitan dengan hadits ini, Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan: “Sihir adalah salah satu jenis penyakit diantara penyakit-penyakit lainnya yang wajar menimpa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti halnya penyakit lain yang tidak diingkari. Dan sihir ini tidak menodai nubuwah Beliau. Adapun keadaan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu, seolah-olah membayangkan melakukan sesuatu, padahal Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya. Hal itu tidak mengurangi kejujuran Beliau. Karena dalil dan ijma’ telah menegaskan tentang kema’shuman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari sikap tidak jujur. Terpengaruh sihir perkara yang hanya mungkin terjadi pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah duniawi yang bukan merupakan tujuan risalah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diistimewakan lantaran masalah duniawi pula. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia biasa yang bisa tertimpa penyakit seperti halnya manusia. Maka bisa saja terjadi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dikhayalkan oleh perkara-perkara dunia yang tidak ada hakikatnya. Kemudian perkara itu (pada akhirnya) menjadi jelas sebagaimana yang terjadi pada diri Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam”.[4]

Sihir memiliki bentuk beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Di antara contohnya adalah tiwalah (sihir yang dilakukan oleh seorang istri untuk mendapatkan cinta suaminya/pelet), namimah (adu domba), al ‘athfu (pengasihan), ash sharfu (menjauhkan hati) dan sebagainya. Sebagian besar sihir ini masuk ke dalam perbuatan kufur dan syirik, kecuali sihir dengan membubuhi racun atau obat-obatan serta namimah, maka ini tidak termasuk syirik.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Sihir termasuk perbuatan syirik ditinjau dari dua sisi.

Pertama : Karena dalam sihir itu terdapat unsur meminta pelayanan dan ketergantungan dari setan serta pendekatan diri kepada mereka melalui sesuatu yang mereka sukai, agar setan-setan itu memberi pelayanan yang diinginkan.
Kedua : Karena di dalam sihir terdapat unsur pengakuan (bahwa si pelaku) mengetahui ilmu ghaib dan penyetaraan diri dengan Allah dalam ilmuNya, dan adanya upaya untuk menempuh segala cara yang bisa menyampaikannya kepada hal tersebut. Ini adalah salah satu cabang dari kesyirikan dan kekufuran”.[5]

Hukum mempelajari dan melakukan sihir adalah haram dan kufur. Hukuman bagi para tukang sihir adalah dibunuh, sebagaimana yang diriwayatkan dari beberapa orang sahabat [6]. Dan sihir merupakan perbuatan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (dan tidak mengerjakan sihir), tetapi setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia". [Al Baqarah : 102]

PETUNJUK NABI UNTUK MENANGKAL DAN MENGOBATI SIHIR
Seperti telah dijelaskan oleh para ulama, sihir termasuk jenis penyakit yang bisa menimpa manusia dengan izin Allah Azza wa Jalla . Tidaklah Allah Azza wa Jalla menurunkan satu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obat penawarnya. Dan seorang muslim dilarang berobat dengan sesuatu yang diharamkan Allah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda :

مَا أنْزَلَ اللهُ دَاءً إلا أنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah akan menurunkan pula obat penawarnya".[7]

Seorang muslim dilarang pergi ke dukun untuk mengobati sihir dengan sihir yang sejenis. Karena hukum mendatangi dukun dan mempercayai mereka adalah kufur. Apatah lagi sampai meminta mereka untuk melakukan sihir demi mengusir sihir yang menimpanya, ataupun untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh anak dan sanak saudaranya, atau hubungan suami istri dan keluarga, tentang barang yang hilang, percintaan, perselisihan dan sebagainya. Hal itu merupakan perkara ghaib dan hanya Allah Azza wa Jalla saja yang mengetahui. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أتَى كَاهِنًا أوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَدٍ

"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, kemudian ia membenarkan (mempercayai) perkataan mereka, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad".[8]

Para dukun, paranormal, tukang sihir dan peramal itu hanya mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib berdasarkan kabar yang dibawa setan yang mencuri dengar dari langit. Para dukun itu, tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan kecuali dengan cara berkhidmah, tunduk dan taat serta menyembah tentara iblis tersebut. Ini merupakan perbuatan kufur dan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ {212} تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { 222} يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta". [Asy Syu’ara`: 221-223].

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya kepada dugaan dan asumsi bahwa cara yang dilakukan para dukun itu sebagai pengobatan, misalnya tulisan-tulisan azimat, rajah-rajah, menuangkan cairan yang telah dibaca mantra-mantra syirik dan sebagainya. Semua itu adalah praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia. Barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sungguh ia telah ikut tolong-menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.[9]

CARA PENECGAHAN DARI SIHIR YANG DIAJARKAN RASULULLAH[10]
1- Dalam setiap keadaan senantiasa mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan bertawakkal kepadaNya, serta menjauhi perbuatan syirik dengan segala bentuknya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {99} إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah". [An Nahl : 99-100].

Ketika Menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata : “Sesungguhnya setan tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi (mengalahkan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya semata, yang tidak ada sekutu bagiNya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membela orang-orang mu’min yang bertawakkal kepadaNya dari setiap kejelekan setan, sehingga tidak ada celah sedikitpun bagi setan untuk mencelakakan mereka”[11]. Dan ayat-ayat semisal ini banyak terdapat di dalam Al Qur`an.

2- Melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan, dan menjauhi setiap yang dilarang, serta bertaubat dari setiap perbuatan dosa dan kejelekan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu :

يَا غُلاَمُ ! إنِي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ...

"Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…"[12]

Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan menyatakan, makna sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (احْفَظِ اللهَ ) adalah jagalah perintah-perintahNya, larangan-laranganNya, hukum-hukumNya serta hak-hakNya. Caranya, dengan memenuhi apa-apa yang Allah dan RasulNya perintahkan berupa kewajiban-kewajiban, serta menjauhi segala perkara yang dilarang. Sedangkan makna (يَحْفَظْكَ ) ialah, barangsiapa yang menjaga perintah-perintahNya, mengerjakan setiap kewajiban dan menjauhi setiap laranganNya, niscaya Allah k akan menjaganya. Karena balasan suatu amalan, sejenis dengan amal itu sendiri. Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba meliputi penjagaan terhadap dirinya, anak, keluarga dan hartanya. Juga penjagaan terhadap agama dan imannya dari setiap perkara syubhat yang menyesatkan”.[13]

3. Tidak membiarkan anak-anak berkeliaran saat akan terbenamnya matahari. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Jika malam telah masuk -jika kalian berada di sore hari-, maka tahanlah anak-anak kalian. Sesungguhnya setan berkeliaran pada waktu itu. tatkala malam telah datang sejenak, maka lepaskanlah mereka". [HR Bukhari Muslim].

4- Membersihkan rumah dari salib, patung-patung dan gambar-gambar yang bernyawa serta anjing. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Malaikat (rahmat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat hal-hal di atas. Demikian juga dibersihkan dari piranti-piranti yang melalaikan, seruling dan musik.

5. Memperbanyak membaca Al Qur`an dan manjadikannya sebagai dzikir harian. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

"Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah".[14]

6- Membentengi diri dengan doa-doa dan ta’awudz serta dzikir-dzikir yang disyariatkan, seperti dzikir pagi dan sore, dzikir-dzikir setelah shalat fardhu, dzikir sebelum dan sesudah bangun tidur, do’a ketika masuk dan keluar rumah, do’a ketika naik kendaraan, do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a ketika masuk dan keluar kamar mandi, do’a ketika melihat orang yang mandapat musibah, serta dzikir-dzikir lainnya.

Ibnul Qayyim berkata,”Sesungguhnya sihir para penyihir itu akan bekerja secara sempurna bila mengenai hati yang lemah, jiwa-jiwa yang penuh dengan syahwat yang senanantiasa bergantung kepada hal-hal rendahan. Oleh sebab itu, umumnya sihir banyak mengenai para wanita, anak-anak, orang-orang bodoh, orang-orang pedalaman, dan orang-orang yang lemah dalam berpegang teguh kepada agama, sikap tawakkal dan tauhid, serta orang-orang yang tidak memiliki bagian sama sekali dari dzikir-dzikir Ilahi, doa-doa, dan ta’awwudzaat nabawiyah.” [15]

7. Memakan tujuh butir kurma ‘ajwah setiap pagi hari. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ

"Barangsiapa yang makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada setiap pagi, maka racun dan sihir tidak akan mampu membahayakannya pada hari itu". [16]

Dan yang lebih utama, jika kurma yang kita makan itu berasal dari kota Madinah (yakni di antara dua kampung di kota Madinah), sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. Syaikh Abdul ’Aziz bin Baz berpendapat, seluruh jenis kurma Madinah memiliki sifat yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini. Namun beliau juga berpendapat, bahwa perlindungan ini juga diharapkan bagi orang yang memakan tujuh butir kurma, selain kurma Madinah secara mutlak.[17]

TERAPI PENGOBATAN SETELAH TERKENA SIHIR [18]
1. Metode pertama : Mengeluarkan dan menggagalkan sihir tersebut jika diketahui tempatnya dengan cara yang dibolehkan syariat. Ini merupakan metode paling ampuh untuk mengobati orang yang terkena sihir.[19]

2. Metode kedua : Dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan. Para ulama telah bersepakat bolehnya menggunakan ruqyah sebagai pengobatan apabila memenuhi tiga syarat [20].

Pertama : Hendaknya ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur`an), atau dengan Asmaul Husna atau dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, atau dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Ruqyah tersebut dengan menggunakan bahasa Arab, atau dengan bahasa selain Arab yang difahami maknanya.
Ketiga : Hendaknya orang yang meruqyah dan yang diruqyah meyakini, bahwa ruqyah tersebut tidak mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi dengan kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Karena ruqyah hanyalah salah satu sebab di antara sebab-sebab diperolehnya kesembuhan. Dan Allah-lah yang menyembuhkan.

Selain itu, ada hal sangat penting yang juga harus diperhatikan, bahwa ruqyah akan bekerja secara efektif bila orang yang sakit (terkena sihir) dan orang yang mengobati sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah Azza wa Jalla, bertawakkal kepadaNya semata, bertakwa dan mentauhidkanNya, serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Al Qur`an adalah penyembuh bagi penyakit dan rahmat bagi orang-orang beriman. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ruqyah tersebut tidak akan berefek kepada penyakitnya, karena ruqyah itu sendiri merupakan obat mujarab yang diajarkan oleh syari’at. Namun ibarat senjata, setajam apapun ia, jika berada di tangan orang yang tidak lihai menggunakannya, maka senjata itu tidak banyak manfaatnya.[21]

Dikatakan oleh Ibnu At Tiin: “Ruqyah dengan membaca mu’awwidzat atau dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan pengobatan rohani, (akan bekerja efektif) bila di baca oleh hambaNya yang shalih; kesembuhan pun akan diperoleh dengan izin Allah Azza wa Jalla “.

Diantara bentuk pengobatan yang termasuk metode kedua ini ialah sebagai berikut:

- Membaca surat Al Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah, surat Al Ikhlash, An Naas dan Al Falaq sebanyak tiga kali atau lebih dengan mengangkat tangan, tiupkan ke kedua tangan tersebut seusai membaca ayat-ayat tadi, kemudian usapkan ke bagian tubuh yang sakit dengan tangan kanan.[23]

- Membaca ta’awwudz (doa perlindungan diri) dan ruqyah-ruqyah untuk mengobati sihir, di antaranya sebagai berikut:[24]

a. أسْألُ اللهَ العَظِيْمَ رَبَّ العَرْشِ العَظِيْمِ أنْ يَشْفِيَكَ

"Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu (dibaca sebanyak tujuh kali)".[25]

b. Orang yang terkena sihir meletakkan tangannya pada bagian tubuh yang terasa sakit, kemudian membaca: (بِسْمِ الله) sebanyak tiga kali lalu membaca :

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti". [26]

c. Mengusap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa :

اللهَُّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitku dan sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Menyembuhkan, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.[27]

d. Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَ عِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ

"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemarahanNya, dari kejahatan hamba-hambaNya, dan dari bisikan-bisikan setan dan dari kedatangan mereka kepadaku.

3. Metode ketiga : Mengeluarkan sihir tersebut dengan melakukan pembekaman pada bagian tubuh yang terlihat bekas sihir, jika hal itu memang memungkinkan. Bila tidak memungkinkan, maka ruqyah-ruqyah di atas telah mencukupi untuk mengobati sihir.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan rahasia pembekaman di bagian yang terkena sihir ini. Bahwa sihir itu tersusun dari pengaruh ruh-ruh jahat dan adanya respon kekuatan alami yang lahir dari ruh jahat tersebut. Inilah jenis sihir yang paling kuat, terutama pada bagian tubuh yang menjadi pusat persemayaman sihir tadi. Maka pembekaman pada bagian tersebut merupakan metode pengobatan yang sangat efektif bila dilakukan sesuai dengan cara yang tepat.[29]

4. Metode keempat : Dengan menggunakan obat-obatan alami sebagaimana disebutkan Al Qur’an dan As Sunnah, dengan disertai keyakinan penuh terhadap kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkannya. Di antaranya dengan menggunakan madu, habbahtus sauda` (jinten hitam), air zam-zam, minyak zaitun dan obat-obatan lainnya yang dibenarkan syara’ sebagai obat. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ

"Pengobatan itu ada dalam tiga hal. (Yaitu): berbekam, minum madu dan pengobatan dengan kay (besi panas). Sedangkan aku melarang umatku menggunakan pengobatan dengan kay".[30

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ

“Sesungguhnya habbah sauda’ ini merupakan obat bagi segala jenis penyakit, kecuali as saam”. Aku (‘Aisyah) bertanya,”Apakah as saam itu?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kematian." [31]

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ماَءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
"Air zam-zam itu tergantung niat orang yang meminumnya". [32]

Dari Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

"Makanlah minyak zaitun dan minyakilah rambut kalian dengannya, karena sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi".[33]

Demikianlah sekilas pembahasan tentang sihir berikut cara mencegah dan mengobatinya. Selayaknya bagi setiap pribadi muslim, terutama para pemimpin keluarga, untuk mengetahui hal ini dan mengajarkan kepada keluarganya. Agar anggota keluarga mampu membentengi diri dari kejahatan sihir. Selayaknya pula bagi pemimpin keluarga, untuk mengkondisikan keluarganya agar senantiasa taat kepada Allah Sang Pemelihara manusia. Membersihkan rumahnya serta menyingkirkan sejauh-jauhnya dari segala sarana yang mengundang kemaksiatan, seperti musik, majalah-majalah porno, gambar makhluk hidup dan sebagainya. Agar keluarganya mendapat curahan rahmat dan perlindungan dari Allah, terjauhkan dari gangguan iblis dan bala tentaranya. Wallahu waliyyut taufiiq. (Hanin Ummu Abdillah)

Maraji :
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Zaadul Ma’ad, tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risaalah, Cet. III, Th. 1421H/200M.
2. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa Yalihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqaa Min Al Kitab Wa As Sunnah.
3. Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baz, dan takhrij Ali bin Sinan, Darul Fikr, Th. 1412H/1992M.
4. Shahih Al Bukhari bersama Fathul Bari.
5. Shahih Muslim.
6. Sunan Abu Dawud.
7. Jami’ At Tirmidzi.
8. Sunan Ibnu Majah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baaz, dan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 235.
[2]. Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baaz, dan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 235
[3]. HR Al Bukhari, kitab Ath Thibb, Bab Hal Yastakhriju As Sihr, hadits no. 3175 (mu’allaq), 3268, 5763, 5765, 5766, 6063, 6391, dan Muslim, kitab As Salam, Bab As Sihr, hadits no. 2189.
[4]. Zaadul Ma’ad (4/114), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[5]. Al Qaulus Sadid, hlm. 93-94.
[6]. Lihat penjelasannya dalam Fathul Majid, Bab “Maa Ja`a fi As Sihr”.
[7]. HR Bukhari, kitab Ath Thibb, Bab Maa Anzalallahu Da’an Illa Anzala Lahu Syifa’an, hadits no. 5678.
[8]. Syaikh Ali bin Sinan berkata,”Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazaar (2067, Kasyful Astaar).” Al Mundziri berkata dalam At Targhiib (4/36): “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazaar dan Abu Ya’la dengan sanad jayyid mauquf”. Sedangkan Al Hafizh berkata dalam Al Fath (10/216): ”Sanad hadits ini jayyid”. Lihat Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi dengan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 356.
[9]. Lihat penjelasannya dalam Risalah Fi Hukmi As Sihr Wal Kahanah, karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz.
[10]. Zaadul Ma’ad (4/ 114-117), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth; dan Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa Yaliihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqa Min Al Kitab Wa As Sunnah, karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, hlm. 85-89.
[11]. Taisir Karimir Rahman (1/1142) dengan ringkas.
[12]. HR Tirmidzi kitab Shifatil Qiyamah, hadits no. 2516.
[13]. Qawaid Wa Fawaid Min Al Arba’in An Nawawiyah, hlm.170-171 dengan ringkas.
[14]. HR Muslim, kitab Shalatil Musafirina Wa Qasriha, Bab Istihbabi Shalatin Nafilati Fi Baitihi Wa Jawaziha Fil Masjid, hadits no. 780.
[15]. Zaadul Ma’ad (4/116), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[16]. HR Bukhari, hadits no. 5445, 5768, 5769, 5779; dan Muslim, hadits no.2047.
[17]. Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 89.
[18]. Ibid, hlm. 90-104.
[19]. Zaadul Ma’ad (4/114), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[20]. Fathul Baari (10/195).
[21]. Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 80-82 dengan ringkas.
[22]. Fathul Baari (10/196).
[23]. HR Bukhari, 5735) -Fathul Baari (9/62) dan (10/208); Muslim, hadits no.2192.
[24]. Lihat secara lebih detail dalam Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 92-101.
[25]. HR Abu Dawud, hadits no. 3106 dan At Tirmidzi, hadits no. 2083.
[26]. HR Muslim, no.2202 (67).
[27]. HR Al Bukhari, no. 5743, 5744, 5750 dan Muslim, no. 2191 (46-49).
[28]. HR Abu Dawud, hadits no. 3893 dan At Tirmidzi, no. 3528
[29]. Zaadul Ma’ad (4/115).
[30]. HR Bukhari, hadits no.5680 dan 5681- Al Fath (10/137).
[31]. HR Bukhari, hadits no. 5687 dan 5688; Muslim, hadits no. 2215.
[32]. HR Ibnu Majah, hadits no. 3062.
[33]. HR At Tirmidzi, hadits no. 1851 dan Ibnu Majah, hadits no. 3319

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2695/slash/0
read more “KIAT MEMBENTENGI KELUARGA DARI SIHIR”

Senin, 27 Februari 2012

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Senin, 13 Februari 2012 23:07:47 WIB

Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


DEFINISI ASYRAATHUS SAA’AH (TANDA-TANDA KIAMAT)
(الشَّرَطُ) dengan huruf ra yang berharakat, maknanya adalah tanda, bentuk jamaknya (أَشْرَاطٌ), dan (أَشْرَاطُ الشَّيْءِ) maknanya adalah bagian pertama dari se-suatu, demikian pula kalimat (شُـرَطُ السُّلْطَانِ) adalah orang-orang pilihan dari teman-temannya (penguasa) yang lebih diutamakan daripada orang lain dari kalangan tentaranya. Demikian pula lafazh (اَلاِشْتِرَاطُ) maknanya adalah sesuatu yang disyaratkan manusia satu sama lainnya, maka asy-Syarath adalah tanda bagi sesuatu yang ditandakan.[1]

Makna (السَّاعَةُ) menurut bahasa, ia adalah salah satu bagian (waktu) siang atau malam, bentuk jamaknya adalah (سَـاعَاتٌ) dan (سَـاعٌ), siang dan malam seluruhnya adalah 24 jam.

Makna (اَلسَّاعَةُ) menurut istilah syara’ adalah waktu di mana Kiamat itu terjadi. Dinamakan demikian karena cepatnya hitungan (waktu) di dalamnya, atau karena (Kiamat) itu mengagetkan manusia hanya dalam satu waktu. Maka semua makhluk mati dengan satu kali tiupan (sangkakala). [2]

Maka makna Asyraatus Saa’ah adalah tanda-tanda Kiamat yang mendahuluinya dan menunjukkan kedekatannya. Ada juga yang mengatakan bahwa tanda Kiamat adalah segala hal yang diingkari oleh manusia berupa gejala-gejalanya yang kecil sebelum Kiamat terjadi. Ada juga yang mengata-kan bahwa ia adalah sebab-sebab Kiamat bukan yang besar dan sebelum terjadinya. [3]

Kata as-saa’ah (Kiamat) dimutlakkan pada tiga makna:

1. As-Saa’atush Shughraa (Kiamat Kecil)
Ia adalah kematian manusia, barangsiapa meninggal dunia, maka telah terjadi Kiamat padanya karena ia telah memasuki alam akhirat.

2. As-Saa’atul Wusthaa (Kiamat Sedang)
Ia adalah meninggalnya manusia dan suatu generasi. Hal ini diperkuat dengan sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:

كَانَ اْلأَعْرَابُ إِذَا قَدِمُوا عَلَـى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَأَلُوهُ عَنِ السَّاعَةِ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَنَظَرَ إِلَى أَحْدَثِ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ، فَقَالَ: إِنْ يَعِشْ هَذَا لَمْ يُدْرِكْهُ الْهَرَمُ؛ قَامَتْ عَلَيْكُمْ سَاعَتُكُمْ.

“Jika orang-orang badui datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang Kiamat, ‘Kapan terjadinya Kiamat? Lalu beliau menatap orang yang paling muda di antara mereka, beliau berkata, ‘Jika anak ini hidup dan masa tua tidak datang kepadanya, maka telah terjadi Kiamat kepada kalian.’”[4]

Artinya, kematian mereka. Maksudnya adalah Kiamatnya orang-orang yang diajak bicara oleh beliau.

3. As-Saa’atul Kubraa' (Kiamat Besar)
Ia adalah kebangkitan manusia dari kubur mereka untuk dikumpulkan dan diberikan balasan.

Jika kata as-saa’ah diungkapkan secara mutlak dalam al-Qur-an, maka yang dimaksud adalah Kiamat kubra (besar).

Allah Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari Berbangkit...” [Al-Ahzaab: 63]

Maksudnya adalah (bertanya) tentang hari Kiamat.

Allah Ta’ala berfirman:

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ

“Telah dekat (datangnya) saat itu...” [Al-Qamar: 1]

Maknanya adalah telah dekat hari Kiamat.

Allah Ta’ala telah menyebutkan dua Kiamat: yang kecil dan yang besar di dalam al-Qur-an al-Karim. Anda akan dapati penyebutan kedua Kiamat di dalam satu surat, sebagaimana tercantum di dalam surat al-Waaqi’ah.

Allah Ta’ala menyebutkan Kiamat besar di awal-awal surat tersebut. Allah berfirman:

إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ خَافِضَةٌ رَافِعَةٌ إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً

“Apabila terjadi hari Kiamat, terjadinya Kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal). (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur luluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah dia debu yang beterbangan, dan kamu menjadi tiga golongan.” [Al-Waaqi’ah: 1-7]

Kemudian di akhir ayat Allah menyebutkan Kiamat sughra (kecil), yaitu kematian, seraya berfirman:

فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَٰكِنْ لَا تُبْصِرُونَ

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat.” [Al-Waaqi’ah: 83-85]

Demikian pula Allah mengungkapkan kedua Kiamat di dalam surat al-Qiyaamah, Allah berfirman:

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Aku bersumpah dengan hari Kiamat.” [Al-Qiyaamah: 1]

Ini adalah Kiamat kubra (besar).

Selanjutnya Allah menyebutkan kematian. Dia berfirman:

كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan.” [Al-Qiyaamah: 26]

Ia adalah Kiamat sughra (kecil).

Juga ayat-ayat lainnya yang terdapat pada beberapa surat dalam al-Qur-an yang sangat luas untuk diungkapkan di sini.

Dan Kiamat kubra (besar) adalah materi yang akan kami jelaskan tanda-tandanya sebagaimana diungkap di dalam al-Kitab dan as-Sunnah. [6]

PEMBAGIAN TANDA-TANDA KIAMAT (ASYRAATHUS SAA’AH)
Tanda-tanda Kiamat terbagi menjadi dua bagian:

1. Tanda-Tanda Kecil
Yaitu tanda-tanda yang mendahului Kiamat dalam kurun waktu yang lama dan merupakan sesuatu yang dianggap biasa. Seperti hilangnya ilmu, menyebarkan kebodohan, meminum khamr, saling berlomba membuat dan meninggikan bangunan, dan lainnya. Terkadang sebagiannya nampak bersamaan dengan tanda-tanda besar Kiamat, atau setelahnya.

2. Tanda-Tanda Besar
Yaitu peristiwa-peristiwa besar yang terjadi menjelang Kiamat dan merupakan sesuatu yang tidak biasa terjadi. Seperti keluarnya Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa Alaihissallam, keluarnya Ya'-juj dan Ma'-juj, dan terbitnya matahari dari barat.[7]

Sebagian ulama membagi tanda-tanda Kiamat berdasarkan kemunculannya menjadi tiga bagian:[8]

a. Telah muncul dan berakhir.
b. Telah muncul dan senantiasa muncul bahkan bertambah banyak.
c. Belum muncul sampai sekarang.

Dua bagian yang pertama merupakan tanda-tanda kecil, adapun bagian ketiga, maka bergabung di dalamnya tanda-tanda besar dan sebagian tanda-tanda kecil.

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT
Tanda-tanda kecil Kiamat yang diungkapkan oleh para ulama banyak sekali. Kami sebutkan di sini sebagian tanda tersebut yang telah tetap berdasarkan as-Sunnah bahwa ia termasuk tanda-tanda kecil Kiamat. Dan kami tinggalkan yang tidak shahih -sesuai dengan kemampuan ilmu kami yang sangat terbatas-. Hal itu dilakukan setelah meneliti hadits-hadits tersebut dan mengetahui pendapat para ulama terhadap hadits-hadits tersebut, berdasarkan keshahihan dan kelemahannya. Terkadang ada tanda-tanda Kiamat lain yang telah tetap keshahihannya hanya saja kami belum bisa meneliti keshahihan haditsnya.

Kami menyebutkan tanda-tanda ini tanpa berurutan, karena kami belum pernah mendapatkan satu hadits atau beberapa hadits yang jelas-jelas menerangkan urutannya. Maka pertama kali kami menyebutkan (tanda Kiamat) yang dijelaskan oleh para ulama bahwa ia telah muncul dan berakhir. Kemudian kami memilih penyebutan tanda-tanda Kiamat yang lainnya dengan mendahulukan berbagai peristiwa yang mesti untuk didahulukan daripada yang lainnya. Misalnya, nampaknya berbagai fitnah lebih didahulukan dari-pada diambilnya ilmu karena beberapa fitnah telah muncul pada zaman para Sahabat. Peperangan dengan Romawi didahulukan daripada penaklukan Konstantinopel karena khabar mengungkapkannya seperti itu. Penaklukan Konstantinopel didahulukan daripada memerangi Yahudi pada zaman turun-nya Nabi ‘Isa Alaihissallam karena penaklukannya terjadi sebelum munculnya Dajjal, dan turunnya Nabi ‘Isa Alaihissallam terjadi setelah munculnya Dajjal, dan demikianlah seterusnya.... Sebagian tanda-tanda Kiamat menuntut untuk disebutkan di akhir karena ia tidak muncul kecuali setelah munculnya tanda-tanda besar Kiamat, seperti hancurnya Ka’bah oleh orang Habasyah, juga munculnya angin yang mencabut ruh kaum mukminin.

Di antara hal yang perlu diketahui bahwa sebagian besar dari tanda-tanda Kiamat telah muncul permulaannya pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum, dan terus bertambah, kemudian menjadi semakin banyak di sebagian tempat sementara di tempat lainnya tidak demikian, dan yang menjadikannya sempurna (dari tanda-tanda tersebut) adalah dengan datangnya hari Kiamat. Misalnya dicabutnya ilmu tidak berlanjut kecuali dengan kebodohan, akan tetapi hal itu tidak menghalangi adanya sebagian kelompok ahli ilmu karena mereka ketika itu tenggelam (berada) di antara orang-orang bodoh. Kiaskanlah (seperti itu) pada tanda-tanda Kiamat yang lainnya.[9]

Dan di antara hal yang perlu diperhatikan pula bahwa sebagian orang memahami bahwa sesuatu yang termasuk tanda-tanda Kiamat berarti sesuatu yang dilarang. Kaidah seperti ini tidak benar, karena tidak setiap apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari tanda-tanda Kiamat menjadi haram atau tercela. Karena saling berlomba dalam membuat bangunan yang tinggi, banyaknya harta, dan perbandingan lima puluh wanita untuk satu orang laki-laki jelas-jelas bukan sesuatu yang haram. Hal ini hanya sekedar tanda, sedangkan tanda tidak disyaratkan padanya suatu hukum apa pun. Tanda-tanda ini bisa berupa sesuatu yang baik, jelek, mubah, haram, wajib dan yang lainnya. Wal-laahu a’lam. [10]

Sekarang saatnya kita mulai membahas tanda-tanda kecil Kiamat, yaitu sebagai berikut.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsar (II/460), dan Lisaanul ‘Arab (VII/329-330), karya Abul Fadhl Ibnu Manzhur, cet. Darul Fikr dan Daar Shadir, Beirut.
[2]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (II/422), Lisaanul ‘Arab (VIII/169) dan Tartiibul Qaamusil Muhiith (II/647), karya Ustadz ath-Thahir Ahmad az-Zawawi, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah. (1399 H).
[3]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (II/460), Lisaanul ‘Arab (VII/329-330).
[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Sakaraatul Maut (XI/361, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah, bab Qurbus Saa’ah (XVIII/90, Syarh an-Nawawi).
[5]. Fat-hul Baari (XI/363).
[6]. Lihat Majmu’ al-Fataawaa’ (IV/264-265), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Fat-hul Baari (XI/364), dan Taajul ‘Aruus min Jawaahiril Qaamus (V/390).
[7]. Lihat kitab at-Tadzkirah, karya al-Qurthubi (hal. 624), Fat-hul Baari (XIII/485), dan kitab Ikmaalul Mu’allim Syarh Shahiih Muslim (I/70), karya Abi ‘Abdillah Muhammad bin Khalifah al-Ubay al-Maliki, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut. Dan lihat Muqaddimah kitab at-Tashriih bima Tawaa-tara fi Nuzuulil Masiih (hal. 9), karya Muhaddits Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri al-Hindi, disusun oleh muridnya Syaikh Muhammad Syafii’, tahqiq dan ta’liq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, dicetak oleh percetakan al-Ashiil, Halab, disebarluaskan oleh Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyyah, Lembaga Pendidikan Ilmu Agama Islam. (1385).
[8]. Lihat kitab Fat-hul Baari (XIII/53-54), al-Isyaa’ah li Asyraathis Saa’ah (hal. 3), karya al-Barzanji, Lawaa-mi’ul Anwaaril Bahiyyah wa Sawaathiul Asraaril Atsariyyah (II/66), karya al-‘Allamah Muhammad bin Ahmad as-Safarayini al-Hanbali, ta’liq ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Abu Bitthin dan Syaikh Sulaiman bin Samhan salah satu ulama Najd, diambil dari buletin Yayasan al-Khaafiqiin dan per-pustakaannya, Damaskus, cet. II, th. 1402 H.
[9]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/16).
Penjelasannya akan dirinci kembali dalam pembahasan tentang dicabutnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.
[10]. Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (I/159).

http://almanhaj.or.id/content/3212/slash/0
read more “TANDA-TANDA KECIL KIAMAT”

Minggu, 26 Februari 2012

JADWAL SHALAT SUBUH DIPERMASALAHKAN

Senin, 2 Nopember 2009 23:03:51 WIB

Oleh Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah


MUQODDIMAH
Salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut. Apabila shalat dilakukan sebelum waktunya atau sesudah waktunya berlalu maka tidak sah. Allah Subha ahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [an-Nisa 4 : 103]

Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi waktu-waktu shalat secara global dalam al-Qur’an (seperti dalam al-Isra 127 : 78) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam beberapa hadits beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1]. Tanda-tanda masuknya waktu shalat dapat dilihat dan diketahui oleh siapapun dengan penglihatan masing-masing. Hanya saja sebagian tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat kemudahan dalam melihatnya. Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas karena dalam hadits-hadits disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada terbenamnya matahari. Hal ini berbeda dengan waktu Subuh, di mana tanda masuknya (terbit fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda masuknya waktu shalat yang lain.

Zaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu shalat sangatlah mudah. Akan tetapi ketika zaman mulai berubah, dengan banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi dengan banyaknya penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang tebal cukup mempengaruhi kondisi langit. Hal tersebut mempengaruhi tingat kesulitan melihat tanda-tanda awal waktu masuk shalat terutama waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum muslimin berijtihad (mencari jalan) untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi samar, di antaranya yaitu dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan atas penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal yang ada di negara-negara Islam.

Di Saudi Arabia misalnya, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini. [2]

AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH[3]
Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah ada. Mereka menuduh bahwa jadwal waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu sebenarnya sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk menyaksikan secara langsung terbitnya fajar, sebagian orang mengambil pendapatnya dan sebagian yang lain eggan mengikutinya.

Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA). Setelah diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah. Dengan demikian hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.

Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah selaku Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia sepeninggal Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah apa yang dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]

WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ
Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya saat terbit fajar shodiq, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. Oleh karena itu shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar kadzib, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يُحَرَّمُ فِيْهِ الطَّعَامُ وَ تَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَفَجْرٌ تُحَرَّمُ فِيهِ الصَّلاَةُ وَ يَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ

“Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat (subuh) dan halal makanan” [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah 2/314]

PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :

1. Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.

2. Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi, sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi

3. Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin].

AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ
Bila kita cermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan beberapa kalangan ketika mendefinisikan terbitnya fajar shodiq itu sendiri.

Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan terbit kecuali jika benar-benar tampak jelas cahaya berwarna merah, yang diketahui semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah pendapat yang dipegang oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat Subuh akhir-akhir ini.

Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa fajar shodiq dikatakan telah terbit jika terlihat sinar putih (permulaan cahaya fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi tidak sampai mempengaruhi (tidak merubah) keadaan langit (yang gelap) [8]

DEFENISI FAJAR SHODIQ
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa jelasnya benang putih dengan benang hitam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]

Ibnu Faris rahimahullah berkata الْفَجْرِ (fajar) adalah terbelahnya kegelapan malam oleh (datangnya) Subuh (awal siang).

Ibnu Mandhur rahimahullah berkata : “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu sinar merahnya matahari di kegelapan malam. Dan fajar itu ada dua macam : Pertama, Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib yang biasa disebut Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar mustathir (menyebar). Ini adalah fajar shodiq yang menyebar di ufuk, yang dengannya haram makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan waktu subuh tidak dikatakan masuk kecuali dengan (terbitnya) fajar shodiq”

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala مِنَ الْفَجْرِ sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar, bukan keseluruhan fajar”[9]

Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Dinamai fajar (shodiq) itu benang, karena yang muncul berupa warna putih terlihat memanjang seperti benang” [10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dinamai putihnya siang dengan nama benang putih dan hitamnya malam dengan nama benang hitam, menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna putih yang berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan samarnya, karena benang itu adalah tipis” [Syarhul Umdah, Kitab As-Shiyam : 1/530]

Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : “Yang dimaksud الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ adalah awal permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk seperti benang yang dibentang” [Al-Kasysyaf : 1/339]

Abu As-Su’ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dan hurup من (dalam ayat مِنَ الْفَجْرِ ), juga boleh bermakna التبعيض (sebagian), karena sesungguhnya yang muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar (bukan keseluruhannya)” [Tafsir Abul Su’ud : 1/318]

Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

فَكُلُوْاوَاشْرَبُوْا حَتَّى يَعْتَرِضُ لَكُمُ الأَحْمَرُ

“Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah” [HR Abu Daud : 1/69-370, At-Tirmidzi : 705, Ibnu Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm 231, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 2031].

Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; “Makna merah di sini adalah warna putih yang menyebar masuk kepada awal-awal warna merah (bukan benar-benar merah).

Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis kitab Aunul Ma’bud mengatakan : “Makna hadits ‘Makan dan minumlah sampai tampak kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya siang dari hitamnya malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)” [Aunul Ma’bud : 6/339]

Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang dipakai untuk menyebutkan warna putih, sebagaimana orang Arab biasa mengatakan seorang wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit merah. [An-Nihayah 1/437]

Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : “Kalau dikatakan mengapa gelapnya malam diserupakan dengan benang hitam, padahal gelapnya meliputi alam (tidak mirip benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar itu diserupakan dengan benang, karena dia memanjang terbentang di ufuk, sedangkan gelapnya malam (yang mendominasi ufuk) tidak ada kemiripan (dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang hitam adalah (gelapnya) malam yang ada pada posisi benang putih sebelum muncul pada tempat tersebut, (benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih yang muncul setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.

Kemudian beliau menambahkan : “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (terbitnya) fajar putih yang membentang di ufuk sebelum munculnya merah itulah yang mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah waktu Subuh dimulai)”.

Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أُنْزِلَتْ (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمالْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ) وَلَمْ يَنْزِلُ (مِنْ الْفَجْرِ) فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الْخَيْطَ اْلأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ اْلأَسْوَدَ وَلَمْ يَزَلْ يأَكُلُ حَتَّى يَتَبَتَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ (مِنْ الْفَجْرِ) فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Dari Shal bin Sa’d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam sebelum turun ayat (akhirnya) مِنَ الْفَجْرِ yaitu fajar” dahulu orang-orang jika hendak berpuasa, di antara mereka mengikat kakinya dengan benang putih dan benang hitam, lalu dia terus makan (sahur) sampai benar-benar jelas melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah menurunkan مِنَ الْفَجْرِ yaitu fajar, lalu mereka tahu bahwa yang dimaksud (benang putih dan hitam itu) adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang” [HR al-Bukhari : 4241 dan Muslim 1091]

Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya fajar harus benar-benar jelas cahaya Subuh itu dengan sempurna, diketahui semua orang dan menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung, karena dua benang putih dan hitam yang diletakkan berdekatan tidak akan jelas perbedaannya kecuali ketika langit sudah sangat terang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkannya, dan menerangkan bahwa yang dimaksud bukan demikian, tetapi sekedar terbit fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan, maka itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan dan minum” [12]

Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu adalah menyebar dan meluas di langit, cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat beliau. Lihatlah awal ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau mengatakan : “Para penafsir firman Allah berkata ….” Dan Ibnu Jarir menutup dengan perkataan : “Demikian para penafsir menyebutkan pendapat ini”. Dan sebagai bukti, ternyata beliau berpendapat sebagaiaman jumhur berpendapat dengan mengatakan : “(terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar semisal benang putih, bukan keseluruhan fajar” [13]

TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih, oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar. Oleh karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.

Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya terang yang menerangi jalan-jalan atau harus terlihat warna merah di ufuk, maka ini adalah pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara bahasa, dan makna ini kurang tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya fajar dengan terbitnya fajar secara sempurna (bukan permulaannya). Hal ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyerupakan fajar dengan benang putih bersama adanya gelap malam yang lebih dominan.

Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Subuh ketika baru terbit fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara sempurna, sebagaimana dalam haditsnya.

ثُمَ صَلَّى الْفَجْرَ حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ

“Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar” [HR At-Tirmidzi 1/149, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih dalam Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi 1/149]

KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]
Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta haram makan dan minum bagi orang yang berpuasa, adalah jika tampak permulaan terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya sinar yang berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan ayat al-Qur’an, yaitu masuknya waktu Subuh adalah “Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan benang karena sama tipisnya dan bentuknya yang kecil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan benang ini di ufuk, karena benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa pendek.

Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda fajar terbit walaupun sangat kecil selagi dapat dilihat mata manusia. Dan bukanlah termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan langit, akan tetapi fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam tetap mendominasi, fajar itu dikatakan terbit dengan adanya cahaya sebatas benang di bawah ufuk tepat di atas bumi, dan sebelum menyebarnya cahaya Subuh.

Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat ketajamannya, maka tidak semua manusia melihatnya. Yang dapat melihat adalah orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan ketika langit menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya fajar shodiq itu tidak dapat dilihat oleh mata [15]

AWAL MULA PEMBUATAN JADWAL WAKTU SHALAT
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mengetahui waktu shalat dengan melihat tanda-tanda yang tampak bagi mereka. Lalu ketika zaman semakin berubah, mereka memikirkan cara-cara yang mudah untuk mengetahui waktu-waktu shalat dan lainnya. Dahulu mereka hanya berpegang dengan pergantian hari yang terus berputar berbeda-beda menurut musim yang berbeda. Setelah ditemukan alat penunjuk waktu berupa alat yang dipancangkan dan mempunyai bayangan, maka mereka beralih kepada alat ini selama ribuan tahuan, lalu terus berkembang, sehingga ditemukan jam mekanik sekitar abad 13M dan tersebarlah pemakaian jam ini pada abad 15M

Dengan alat ini kaum muslimin mengetahui waktu-waktu dengan sangat tepat, bahkan dapat mengetahui perbedaan waktu permenitnya, kemudian ditemukan jam yang menggunakan bandul pada abad 18. Penemuan ini semakin membuat manusia mengetahui waktu lebih teliti sampai perdetiknya, dan terus berkembang bentuk-bentuk jam ini sampai sekarang. [16]

Ketika manusia telah membutuhkan jam-jam waktu ini, maka mereka juga membutuhkannya untuk mudahnya mengetahui waktu shalat. Karena jika tidak demikian maka mereka harus berulang kali melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat yang setiap harinya terulang 5 kali waktu, belum lagi keadaan langit sudah berubah. Bersamaan dengan itulah menjadi dikenal perhitungan waktu-waktu bagi kaum muslimin. Dan cara-cara hisab/perhitungannya ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya alat-alat perhitungan waktu yang digunakan oleh kaum muslimin. Lalu ketika ditemukan mesin cetak mulailah dicetak jadwal waktu shalat dan puasa yang kemudian disebarkan sehingga memudahkan kaum muslimin dalam menjalankan ibadah mereka. [17]

Pembuatan jadwal-jadwal ini berdasarkan perhitungan yang sangat teliti para ahli dibidangnya, yaitu menjadikan gerakan matahari sebagai patokannya. Mereka membedakan penentuan waktu ini sesuai dengan perbedaan hari dan tempatnya, bahkan dengan perhitungan menggunakan alat-alat yang lebih canggih dapat diketahui waktu shalat lima waktu sampai beberapa tahun kedepannya [18]. Demikianlah kaum muslimin terus menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat dari dahulu hingga sekarang.

HUKUM MENGGUNAKAN JADWAL WAKTU SHALAT
Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]

Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.

1. Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.

2. Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.

3. Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]

FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H. Beliau mengatakan :

“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.

Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.

Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.

Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.

Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [21]

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro. Beliau mengatakan : “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum muslimin”.

Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang” [22]

FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”. Beliau berkata :

“Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka. Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat, mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya” [23]

TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan : “Suatu permasalahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]

AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الذِّينُ النَّصِيحَةُ قُلنَالِمَن؟ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab : Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74]

Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.

Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]

KESIMPULAN
1. Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya fajar.

2. Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada yang berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya memenuhi jalanan dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti benang tipis pertanda terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakannya dengan benang putih yang tipis dan samara.

3. Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, sangat mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang putih, oleh karena itu, jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat gelap, lalu tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih pertanda awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera, biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar yersebut.

4. Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.

5. Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
6). Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah 1430/2009. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Dinukil secara ringkas dari Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin rahimahullah hlm.7-11
[2]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara langsung kepada penulis, bahkan hamper di setiap majelis ta’lim saat itu mempertanyakan masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah Al-Furqon, al-Ustadz Ahamad Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk membahasnya, karena permasalahannya semakin dirasa rumit serta membuat banyak orang bingung dan ragu akan keabasahan shalat Subuh mereka. Akhirnya kami putuskan untuk membahasnya demi kemaslahatan bersama. Kami sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-Ustadz Abu Ubaidah hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam masalah ini. Dan kami sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari kitab Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dan Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah. Cetakan pertama tahun 1428H. Demikian juga kami tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh, Saudi Arabia. (Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh hlm.7)
[5]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu Abbas, Tholq bin Ali, Atho’ bin Abi Robbah, al-A’masy, dan Masruq. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini adalah pendapat jumhur para ulama, dikuatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobari, Ibnu Zaid, dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur’an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni 2/94. Demikian juga Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus pengganti Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya, beliau menafikan terlihatnya fajar shodiq pada zaman sekarang kecuali dengan penelitian yang mendalam. (informasi dari al-Akh Abdul Wahhab dari kota Unaizah, KSA)
[16]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[17]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[18]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[19]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141
[20]. Lantas timbul pertanyaan penting : Kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam penentuan shalat?!! Imam Al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya : “Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dhuhur, demikain juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara : Pertama, Melihat hilal. Kedua : Menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[21]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30
[22]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli dibidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[23]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22
[24]. Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya mengatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan “ Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar”. (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam
[25]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2562/slash/0
read more “JADWAL SHALAT SUBUH DIPERMASALAHKAN”